Rabu, 27 Mei 2020

"Keranjang Sampah" itu Bernama Cak Nun



Biasanya orang yang disebut selebritis itu adalah artis yang sering ngeksis di media massa. Atau yang sering bikin konten di medsos  dengan follower jutaan.

Beda dengan Cak Nun (atau Mbah Nun, sori di sini aku pakai nama Cak Nun saja. Karena nama itu yang paling populer). Beliau dikenal luas tanpa harus tampil di tivi maupun koran.

Andai terpaksa masuk tivi, itu pun TV lokal. Dan bukan karena keinginannya, tapi pihak tivi yang minta. Urusannya adalah sodaqoh pada awak tivi, bukan bisnis maupun ngeksis. 

Cak Nun adalah selebritis sejati. Dikenal luas tidak dengan ngeksis. Bahkan bisa jadi beliau lebih terkenal dibanding selebritis yang tiap hari ngeksis abis.

Nggak cuman terkenal di dunia nyata, di dunia jin pun terkenal. Ketika ada anak kesurupan dan yang menangani anak buahnya Cak Nun, si jin langsung minggat, "Wah lha kok anak buahe Cak Nun. Aku tak lungo ae. Wasyuu."

Cak Nun nggak punya akun medsos. Dan nggak mau masuk TV nasional. Sudah berkali-kali menolak undangan Najwa Shihab tampil di acaranya. Juga menolak tampil di ILC  TV One.

Pernah sekali ILC menampilkan rekaman sekilas saat beliau berpesan pada rakyat Indonesia yang saat itu terpecah menjadi dua kubu akibat Pemilu. Itu karena didatangi langsung oleh awak TV One di rumahnya. Nggak tega nolak.

Setelah rekaman itu disiarkan, orang-orang pada komen, "Wah, Cak Nun turun gunung.."

Turun gunung ndasmu. Sejak kapan Cak Nun bertapa di gunung. Beliau bukan pendekar tapak najis. Dipikirnya selama ini Cak Nun di rumah cuman tenguk-tenguk karo nyekeli manuk.

Setelah Soeharto lengser, Cak Nun memilih bergerilya keliling daerah, shalawatan sambil membesarkan hati rakyat. Memberi alternatif cara hidup yang wasyik. Menjadi keranjang sampah yang menampung keluh kesah rakyat.

Cak Nun memilih jalan itu karena tahu kalau reformasi itu cuman basa-basi. Lha wong yang turun cuman Soeharto tok. Pengikutnya masih ngendon di pemerintahan. Mengamankan hasil rampokan masing-masing. Nggak heran kalau sampai sekarang malingnya nggak pernah berkurang, malah tambah banyak.

Cak Nun gak melok-melok. Gak taek-taekan,  badoken kabeh kono.

Sampai hari ini beliau tetap konsisten di jalannya. Dan semakin hari jamaah yang hadir bertambah banyak. Dan rata-rata militan. Ada yang datang jauh-jauh dari luar kota.  Walau kehujanan tetap tidak beranjak. Tetap semangat menyimak pitutur Cak Nun yang maknyes seperti oase di tengah gurun. Menjawab kerinduan akan kehidupan yang lebih baik.

Lebay yo. Tapi begitulah adanya.

Tapi memang totalitas beliau luar biasa, belum ada tandingannya. Mengingat umurnya yang sudah kepala enam. Jam kerjanya jam delapan malam sampai jam tiga pagi. Itu dijalani hampir setiap hari. Di acara pengajian reguler di kota-kota besar dan non reguler di daerah-daerah. Sampai pernah dalam keadaan sakit tetap hadir. Dengan suara pelo koyok wong bindeng.

Mungkin kalau aku yang jadi Cak Nun, sebelum ceramah ngomong dulu, "Nyoyi yo yek, anyu oya ngenyek wong binyeng, capi nyuayaku anyen nyaji myelo." (sori yo rek, aku ora ngenyek wong bindeng. Tapi suaraku pancen lagi pelo).

Semua itu dijalani beliau tanpa tendesi apa-apa. Nggak ada urusan dengan politik atau kekuasaan. Bukan untuk kepentingan kubu atau golongan. Tapi tetap saja orang-orang curiga. Mereka pikir pasti ada udang dibalik batu. Mereka-mereka yang tidak lagi percaya kesucian. Tidak percaya kalau di zaman ini masih ada orang yang melakukan kebaikan tanpa pamrih.

Jangan salah paham kalau  beliau didatangi oleh tokoh-tokoh parpol kubu yang berbeda. Seolah-olah Cak Nun ada di pihak mereka. Padahal yang terjadi adalah Cak Nun tidak memihak, hanya menerima semuanya.  Beliau hanya sesepuh yang selalu siap dimintai pertimbangan oleh siapapun.

Bangsatlah mereka yang memanfaatkan pitutur atau quotes beliau untuk kampanye atau kepentingan yang lain.

Kalau Cak Nun mengkritik Jokowi itu bukan berarti beliau ada di pihak Prabowo. Begitu juga sebaliknya. Cak Nun nggak ada urusan dengan politik-politikan. Urusannya adalah amar maruf nahi mungkar. Bodohlah orang yang menyimpulkan Cak Nun memihak salah satu kubu hanya dari selembar foto.

Dalam berdakwah Cak Nun nggak perduli dengan tarif.  Acara yang diprakarsainya juga nggak pakai sponsor. Hebatnya masih bertahan sampai sekarang. Dan jamaahnya semakin hari semakin banyak. Jamaah di sini jangan diartikan sama dengan pengikut. Cak Nun nggak ingin diikuti. Yang pantas diikuti hanya Rasulullah.

Nggak heran kalau beliau dicintai dan dirindukan oleh banyak orang yang bahkan tidak pernah sekali pun bertemu, bertatap muka langsung dengan beliau. Mereka yang hanya tahu Cak Nun lewat tulisan atau cuplikan video colongan para akun pemburu dollar di YouTube.

Jika bisa kesampaian bertemu secara langsung dengan Cak Nun, banyak dari mereka yang mewek terharu. Raine dadi elek. Wis elek, mewek. Taek rek.

Wis ah. Aku nulis ini dalam rangka memperingati Ultah beliau yang jatuh pada 27 Mei kemarin. Sugeng ambal warsa Mbah. Semoga selalu diberi kekuatan dan kesehatan dalam menemani kami. Ai lop yu ful.

- Robbi Gandamana -

Senin, 25 Mei 2020

Hari Ini (Bisa Jadi) adalah Kekonyolan Kita di Masa Mendatang

Duta Kehormatan UNICEF David Beckham tertawa bersama Sripun (15) di rumahnya di Semarang, Jawa Tengah, Indonesia, 27 Maret 2018. Sripun diunjuk oleh lingkungannya untuk menjadi agen perubahan dan berpartisipasi dalam program anti-bullying yang diinisiasi UNICEF.(dok. UNICEF/Indonesia/Modola) | regional.kompas.com
Aku ngakak sendiri kalau lihat buku kenangan anakku yang baru lulus esempe. Ya Alloh, motto hidup atau quotes para alumnusnya itu loh, a little bit wagu.
Ada anak cewek yang nulis quotes: "Wasted time hanyalah membuang waktu." Maksute opo iki!?? Swemproel. Ini pasti anak yang selalu always.
Ada lagi quotes: "Untuk apa terus mengejar jika ia terus berlari". Rupanya jomblo putus asa. Anak ini jelas nggak bisa jadi Satpam. Kalau ada maling nggak mau ngejar.
Yang ini mungkin terinspirasi dari tulisan di bak truk: "Otot kawat balungan kere." Motto hidup yang sangat jujur. Woala melas tenan uripmu Ndes.
Para lulusan Corona (lulus karena tertolong Corona) ini memang lutju. Tapi itu memang umum terjadi pada anak usia belasan yang ingin terkesan "yes" di mata teman-temannya.
Kita yang sudah berumur pun bisa seperti itu. Bisa jadi hari ini adalah kekonyolan kita di masa mendatang.
Aku sendiri sering malu kalau baca postinganku di masa lalu. Swemproel, kok iso yo aku kemeruh koyok ngono iku. Konyol pol. Tapi aku menikmati proses itu.
Nggak papa konyol. Konyol itu indah. Asal tidak hina. Justru hidup kurang berwarna kalau nggak punya pengalaman konyol. Dan aku punya banyak bahan omongan karena sering konyol kok.
Konyol memang memalukan. Tapi yang penting bukan aib. Seperti pemuda yang diarak telanjang keliling kampung karena tertangkap basah main dokter-dokteran dengan istri orang. Bukan konyol yang seperti itu. Ojok sampek.
Semua berproses. Semua orang pernah melalui masa paling alay dalam hidupnya. Dan nggak sadar kalau alay. Baru sadar saat kembali membuka kenangan masa lalu. Entah itu dari album foto atau postingan tulisan jadul di medsos. "Hlukk modelku mbiyen kok ndlahom banget yo."
Ah sudahlah. Kembali ke soal buku kenangan saja. Masih banyak quotes yang asyik untuk disimak. Really made my day!
Quotes-nya macam-macam. Ada quotes yang bertema nepotisme kayak "Pintar itu tidak menentukan nilai. Tinggal gurunya suka sama kita apa enggak." Kasihan, rupanya dia korban subjektivitas guru.
"Orang pinter kalah sama orang bejo. Orang bejo kalah sama orang dalam." Heran, ini anak kecil sudah paham ketatnya persaingan di dunia kerja.
Ada yang nulis quotes yang tak lebih dari hal konyol --> "Maju tak gentar, mundur tak ganjel."
"Penyebab terbesar penyakit jantung adalah orang tersebut memiliki jantung.", atau
"Masalah membuat hidup berarti. Jadi seringlah membuat masalah." O_O.
Ada juga yang seperti ini ---> "Tetaplah hidup walau tidak berguna." Sepertinya dia pernah jadi korban kapal karam.
Yang ini agak benar ---> "Gaya sebuah benda dipengaruhi oleh berat. Kalau hidup anda semakin berat mungkin anda kebanyakan gaya."
Tapi ada quotes yang sekelas enterpreneur ---> "School does not teach life." Apik iki. Karena sekolah sekarang memang mencetak buruh industri dan atau pegawai negeri. Kalau ilmu kehidupan, belajarlah pada tukang becak. Dia tahu pasti apa arti sengsara sampai mendetail.
Yang ini oke juga --> "Baik dan buruknya dirimu tergantung yang menceritakan." Yang nulis ini layak jadi Mario Teguh berikutnya.
Dan quotes dari seorang cewek centil ini cocok sebagai penutup: "Terimakasih atas waktu dan tempatnya telah membaca quotes unfaedah ini."
Adza adza ajza dwech ach.
-Robbi Gandamana-
disediakan hipwee.com

Pandemi Tidak Bisa Menghapus Begitu Saja Budaya yang Sudah Jadi Peradaban



Nggak ada maksud atau niatan melanggar anjuran pemerintah untuk tidak berkerumun, foto pul kumpul di atas ini spontanitas.
Pandemi tidak bisa menghapus begitu saja adat budaya yang sudah mengakar.
Setelah kami shalat ied (tentu dengan protokol kesehatan yang ketat) di masjid depan rumah, yang nggak mudik galau. Akhirnya pada keluar rumah, bermaaf-maafan dan dilanjut foto bareng.

Ini akan jadi sejarah, berlebaran di saat pandemi. Biasanya setelah shalat pada bubar jalan. Acara halal bihalal baru seminggu kemudian. Warganya banyak yang pulkam keluar kota.

Kami cuma warga perumahan ndeso pinggiran kota. Budaya srawungnya masih kuat. Dan juga terbawa euphoria lebaran. Jadi agak percuma kalau diceramahi soal pandemi. Kami sudah qatam.

Sori nggak ada maksud nggak ngajeni anjuran pemerintah. Tapi tidak mudah mengingkari adat budaya yang sudah jadi peradaban. Bisa sakaw men.

Tenang saja, pul kumpul ini terbatas hanya warga perumahan kami sendiri. Tidak ada orang luar. Dan masih menerapkan protokol kesehatan. Tentu saja.

Tapi bagaimanapun juga pada saatnya nanti kita akan berdamai dengan pandemi. Bukan menyerah kalah. Tapi menjalankan aktifitas seperti biasa dengan tetap menjalankan protokol kesehatan dengan ketat.

Ada saatnya kita ampun-ampun, nggak tahan lagi melakukan aktifitas hanya di dalam rumah selama berbulan-bulan. Yang malah lebih banyak di kasur ngglundang ngglundung. Nggarai weteng mblendung.

Negara juga nggak mungkin terus-terusan kasih bantuan. Apalagi ternyata bantuannya buat beli baju lebaran, malah ada yang buat beli burung murai demi memanjakan hobi.

Repot ngopeni kere manja. Terus-terusan disuplai juga nggak bagus. Menumbuhkan mental nyadong. Dadi males kerjo.

Kalau tidak berdamai kita akan menghadapi resiko krisis pangan dan stress karena terlalu lama di dalam rumah, nggak bisa piknik, ekonomi tercekik. Tapi berdamai juga sangat beresiko terpapar corona.

Pilihannya nggak ada yang asyik : keluwen, masuk rumah sakit jiwa, atau mati kena corona.

Tapi jangan panik. Kere kok panik. Wis kere, panik. Nggak ada alasan untuk panik kalau ikhtiar dan tawakal sudah maksimal.

Tahun-tahun ke depan kita akan berteman dengan kematian. Tapi ada banyak jalan untuk bertahan. Semua tergantung pada sikap, pilihan dan nasib. Wis sakarepmu.

Persiapkan diri. Kita nggak tahu siapa yang akan dipanggil Tuhan duluan. Aku atau kamu.

Kalau mau, tutupi saja telingamu rapat. Jika dipanggil Tuhan, kamu nggak akan dengar. Atau pelihara saja anjing di dalam rumah, malaikat yang akan mencabut nyawa nggak akan mau masuk rumahmu.😁

Sekian. Semoga menambah kepanikan dan paranoid. 😅

- Robbi Gandamana -

Selesaikanlah Hati Sebelum Bermaaf-maafan




Aku pasti pernah salah pada anda-anda semua. Nggak mungkin kalau nggak pernah. Lha wong tulisanku nylekit, omonganku pating pecotot. Ceplas-ceplos gak karu-karuan.

Jadi aku merasa sangat perlu dan harus yang memulai minta maaf.

Aku tahu memaafkan itu nggak mudah. Padahal memaafkan itu jauh lebih nikmat dari minta maaf.

Sama dengan memberi, itu jauh lebih melegakan jiwa daripada diberi.

Tapi kadang manusia punya gengsi yang berlebih. Terutama jenis manusia pendendam. Ini agak susah memaafkan. Mereka lebih mengingat kesalahan orang daripada kebaikannya.

Sekali bikin kesalahan fatal, seribu kebaikan temannya di masa lalu langsung hangus tidak tersisa. Bahkan nggak ada ampasnya.

Mereka sulit memaafkan. Kelihatannya sudah salaman dan minta maaf, tapi hanya sampai tenggorokan. Nggak nyampai hati. Cuman formalitas.

Susah berteman dengan species seperti itu. Apa pun dimasalahkan. Dan dia selalu merasa jadi pihak yang paling benar. Gak onok salahe. Maha benar segala titahnya.

Maka jangan mau repot meladeni species ini. Argumennya diiyakan saja. Daripada waktu dan tenagamu tersita. Bikin bad mood. Sudah bad face, bad mood lagi. Perfect.

Lagian buat apa memperdebatkan kebenaran. Kebenaran itu relatif. Nggak ada yang betul-betul benar. Semua tergantung pada cara pandang, sudut pandang, jarak pandang, dan pandangan pertama..eh nggak ding.

Ada masa di mana hati seseorang sudah selesai. Sudah gampang minta maaf, mudah memaafkan, sibuk mengingat-ingat kesalahan sendiri dan lebih banyak mencari kebaikan orang lain.

Ketika tahu salah, langsung minta maaf, nggak banyak omong. Dah terserah, kamu yang benar, aku yang salah. Kok repot.

Jangan salah paham. Bukan seperti jargon "sing waras ngalah". Kalau yang waras ngalah, wong gendeng menguasai dunia.

Ini soal rendah hati, bukan rendah diri. Dua hal yang sangat jauh berbeda. Yang satu membutuhkan keluasan hati, yang satunya malah menyempitkan hati.

So, apakah kamu termasuk golongan orang yang hatinya sudah selesai?

Selamat merayakan hari raya Idul Fitri 1441 H . Mohon maaf lahir dan bathin, baik kesalahan yang kusengaja maupun yang kurencanakan dengan rapi.

- Robbi Gandamana -

Selasa, 19 Mei 2020

Tuhan Nggak Ngurusi Piala



Kuamati di Fesbuk semakin hari semakin banyak penulis. Dan rata-rata tulisane apik. Sip lah. Kudoakan jadi penulis andal. Minimal nggak jadi buzzer, iku wis apik.
Nggak masalah walau hanya nulis di Fesbuk. Jangan dipikir kalau tulisan sudah di-publish di media berita itu sudah jaminan bagus. Enggak. Akeh sing mblendes. Bahkan yang sudah dinobatkan sebagai 'the best' sekalipun. Itu cuman soal nasib baik. Trust me.
Terus saja nulis. Sukur-sukur kalau menginspirasi, bisa menggerakan orang untuk berbuat baik. Bermanfaat bagi banyak orang. Yang penting tidak dimanfaatkan.
Ingat kata Ustadz Sueb (embuh sopo iku), sebaik-baik manusia adalah yang paling bermanfaat. Tapi kalau memang belum bisa bermanfaat yo gak popo, minimal nggak ngisruh.
Hirarki tertinggi itu bukan kuasa, kaya, kuat dan pintar, tapi manfaat. Sekarang ini banyak orang geer pada dirinya sendiri karena sudah kaya, pintar, berkuasa dan kuat. Padahal kaya, pintar, kuasa dan kuat itu masih bahan mentah. Masih harus diolah lagi agar jadi bermanfaat.
Makanya jangan bangga dulu kalau sudah kaya, berkuasa, pintar dan kuat. Bahkan jangan nggaya kalau sudah dinobatkan jadi juara.
Juara itu putusan juri yang hanya segelintir orang. Biarlah publik yang menilai kamu pantas jadi juara atau tidak. Aku sendiri nggak percaya blas pada juri Indonesia dalam urusan gambar menggambar bla bla bla off the record.
Aku punya piala saat ikut-ikutan lomba dulu, tapi sama sekali tidak aku rawat, buat apa. Aku ikut kompetisi karena urusannya butuh uang, bukan piala. Piala is my ass. Kalau mau, di toko olah raga banyak sekali.
Baguslah kalau kamu jadi juara, sarjana, rektor. Kariermu meningkat. Tapi ingat, semua itu belum prestasi. Prestasi itu kalau gelarmu, kesarjanaanmu, kerektoranmu bermanfaat bagi banyak orang. Nggak cuman bermanfaat bagi dirimu sendiri.
Kalau ada orang diangkat jadi lurah, camat, menteri, atau jabatan apapun, jangan kasih selamat dulu. Kasih ucapan selamat kalau kerjanya sudah kelar, beres dan menghasilkan sesuatu yang bermanfaat.
Tuhan nggak ngurusi pialamu, sertifikatmu, pangkat dan jabatanmu. Jadi jangan kecil hati kalau kamu nobody. Karena yang dinilai Tuhan itu seberapa besar manfaatmu pada orang lain.
Banyak orang hebat di negeri ini. Kita nggak kekurangan pakar dan ilmuwan. Sayangnya mereka lebih memilih menetap di luar negeri. Karena lab dan dana risetnya di sana sangat oke. Soal itu sudah ada yang menanggung. 
Ada paguyubannya, Ikatan Ilmuwan Indonesia Internasional (I-4). Sudah ratusan penemuan yang dipatenkan oleh mereka.
Baguslah kalau sudah mempatenkan penemuan yang bermanfaat. Cuman sayangnya di negerinya sendiri penemuan itu kurang ada gaungnya. Banjir masih saja melanda kota-kota, padahal kita punya pakar tata kota yang andal diakui dunia, tapi memilih hidup di luar negeri. Sori, tidak aku sebutkan namanya. Bukan takut disomasi, tapi lupa namanya.
Banyak dari pakar itu yang jadi dosen di kampus top Amrik. Wong endonesah ngajari bule memang membanggakan, tapi lebih membanggakan lagi kalau berjuang membasmi kebodohan bangsa sendiri. Ikut membantu negara bangkit dari keterpurukan ekonomi.
Aku salut pada Hasanain Juaini, bukan ilmuwan sih, tapi seorang Tuan Guru (Kyai) di Lombok. Dia dulu adalah guru di Malaysia. Ketika mengurus sesuatu di kantor imigrasi Malaysia, dia melihat banyak kerumunan pekerja kasar Indonesia yang bermasalah. Dia pun memutuskan pulang ke Indonesia.
Hasanain berpikir, buat apa mencerdaskan bangsa lain kalau di negerinya sendiri banyak orang bodoh. Dia pun mendirikan pondok pesantren di lombok yang dananya di dapat dari swadaya pribadi dan bantuan dari teman-temannya di luar negeri.
Kapan-kapan Hasanain Juaini perlu diangkat jadi Menteri Pendidikan. Ketoke bakalan asyik.
Dunia pendidikan di negeri ini terkesan bingung. Gonta-ganti kurikulum berulang kali. Pendidikan berbasis budaya, berbasis karakter, berbasis kompetensi, dan banyak lagi. Mbok sekali-sekali dicoba pendidikan berbasis manfaat. Karena apa pun keberhasilan akademik, tidak bisa disebut berhasil kalau tidak bermanfaat bagi orang lain.
Maka cobalah untuk bermanfaat. Dengan cara yang kamu bisa. Nggak masalah kalau cuman lewat medsos. Medsos iku saiki sak taprok, akeh pol. Postingannya bisa tulisan, cuitan, gambar, video, dan rekaman suara.
Sing penting nggak menyebarkan kebaikan dengan video colongan. Wis colongan, judule kisruh : "Cak Nun Memarahi Habib Rizieq". Koyok Habib Rizieq iku ponakane Cak Nun ae.
Nek iso Instagram ojok di-private. Dengan Instagram kamu punya kesempatan menggembirakan dan menginspirasi orang. Yang ambigu itu yang sering posting ayat-ayat tapi di-private. Niatnya syiar agama tapi kok hanya pada temannya sendiri. Gak popo di-private nek postingane cuman narsis. Kamera jahat rules!
Aku sendiri nggak akan follow akun yang di-private, kecuali aku kenal akrab di dunia nyata. Setelah di-follow ternyata postingannya cuman narsis pakai kamera jahat. Nyesel. Ampun mbokde.
Embuh rek. Sakjane sik akeh sing ate tak tulis, cuman aku lali.
-Robbi Gandamana-

Senin, 11 Mei 2020

Jangan Berfatwa di Medsos

disediakan oleh dictio.id

Di medsos, orang tidak terlalu menghiraukan kepakaran seseorang. Orang awam yang sama sekali bukan pakar bisa mendapat follower jutaan selama postingannya swejuk, menggembirakan dan menginspirasi.  
Sebaliknya seorang pakar yang ahli dibidangnya malah sering dibully. Lha wong postingannya bikin polemik, gaduh dan panik. Yo rasakno.
Warganet itu memang serba tahu. Kita sedang mengalami banjir data luar biasa. Banyak orang yang tahu banyak, tapi tentang sedikit hal. Ngerti sembarang tapi pemahamannya parsial. Dan orang-orang ini yang biasanya 'membantai'  para pakar yang sok berfatwa di medsos.
Karena banyak pakar yang hanya ahli dibidangnya, tapi di bidang lainnya payah. Kebanyakan ilmunya nggak otentik. Tidak berdasar dari pengalaman pribadi atau penelitian panjang.  
Tapi berdasar informasi literer. Ilmunya didapat dari buku atau riset singkat tidak mendetail yang masih bisa dipatahkan kebenarannya di kemudian hari.
Pinter itu nggak mesti pandai. Goblok bukan berarti gemblung. Ada yang sangat pinter di suatu bidang, tapi di bidang lainnya ndlahom total.
Ilmu itu asalnya dari kehidupan. Kehidupan dulu, baru ada ilmu. Orang-orang desa yang sudah lama berada di alam, dan bercocok tanam secara turun temurun kadang lebih tahu soal alam dari pakar pertanian.
Suku Badui, Kasepuhan Cipta Gelar, Suku Samin, atau suku-suku yang adat istiadatnya masih kuat, sebenarnya sangat pakar soal alam walaupun tidak pernah sekolah formal. Alam telah mengajari mereka kearifan yang luar biasa (dalam mengolah alam).
Jadi, pakar pertanian jangan minteri mereka. Tanah diperkosa dengan pupuk kimia. Tanahnya pun ketagihan. Kalau tidak dikasih pupuk kimia langsung sakaw.
Makanya hai para pakar, jangan merasa tahu segalanya. Dokter pun bukan berarti penentu sembuh atau tidaknya pasien. Bahkan ada pasien yang sudah difatwa mati, tapi malah gak mati-mati. Ternyata malaikat nggak mau mendatangi rumah si pasien karena ada anjingnya. Malaikatnya takut terkena najis. O_O
Jangan heran kalau kemarin ada dokter yang berfatwa (menyerukan) lockdown 'dibantai' habis-habisan oleh warganet. Soalnya dia ngomong kesehatan tapi mengesampingkan sosial budaya. Paham ilmu kesehatan tapi nggak paham budaya. Nggak paham karakter bangsa.
Dari segi kesehatan memang kita harusnya sudah lockdown sejak awal virus C-19 datang. Tapi dari segi sosial budaya, negoro iki ora sanggup bulik. Kere masih mendominasi negeri.
Kasihan juga lihat si dokter lokdon itu dibully habis-habisan. Harusnya dengan retorika yang elegan, no bully. Bully itu budaya anak alay. Pembully adalah orang yang bermasalah dengan hidupnya dan melampiaskannya di medsos.
Jangankan lockdown, PSBB saja sudah membuat loyo rakyat kecil. Banyak lahir kere baru. Banyak bisnis sepi order. PHK dimana-mana. Pedagang kecil keliling mulai punah. Karena banyak jalan kampung diportal di siang hari. Paranoid melanda kota-kota.
Di negeri ini adanya Suaka Margasatwa, tidak ada Suaka Pelaku Usaha. Padahal justru mereka yang bisa mendongkrak perekonomian negeri di saat kritis. Seperti saat Krismon dulu.
Pakar berfatwa di medsos itu beresiko (dibully). Martabatnya dipertaruhkan. Makanya kalau berfatwa jangan via medsos. Tapi monggo saja kalau di-share di medsos.
Ada sedikit pakar atau tokoh yang berhasil tetap menjaga ketokohannya. Gus Mus misalnya. Orang ini memang asyik. Saat awal bermedsos dulu banyak yang mencemooh, "Wis tuwek kok fesbukan".  Tapi seiring berjalannya waktu, beliau bisa membuktikan bahwa medsos juga bisa jadi media berdakwah yang mbois.
Medsos itu dunia aneh. Anak ingusan bisa dengan pede membully kyai. Banyak tokoh yang jadi lutju. Mungkin masa mudanya kurang bahagia. Over posting yang menurutnya keren. Padahal bikin perut mules. Pinginnya langsung ke toilet tiap kali dia posting.
Ada seorang tokoh yang sebenarnya panutanku, tapi berhubung tiap hari posting video bertelanjang dada memainkan wayang yang menurutku narsis banget, langsung aku unfollow. Sori mbah, pulsa dataku boros.
Yang paling aneh itu memang Instagram. Untuk mendapat follower ribuan nggak harus jadi orang hebat. Banyak yang modal utamanya cuman kamera jahat. Kiamat sudah dekat.
Mereka-mereka yang posting karya, followernya kalah telak dengan hanya yang pamer muka. Ada yang cantik beneran, tapi banyak yang kamera jahat atau polesan. Yo wis lah, nggak papa, manusiawi. Lanjutkan.
Ya begitulah..
Sekarang ini banyak orang pinter, tapi sedikit yang bijak. Ngomong kesehatan tapi tidak dengan dimensi sosial. Ngomong agama tidak dengan dimensi budaya. Pinter kesehatan tapi tidak paham sosial. Pinter agama tapi buta soal budaya.
-Robbi Gandamana-