Biasanya orang yang disebut selebritis itu adalah artis yang sering ngeksis di media massa. Atau yang sering bikin konten di medsos dengan follower jutaan.
Beda dengan Cak Nun (atau Mbah Nun, sori di sini aku pakai nama Cak Nun saja. Karena nama itu yang paling populer). Beliau dikenal luas tanpa harus tampil di tivi maupun koran.
Andai terpaksa masuk tivi, itu pun TV lokal. Dan bukan karena keinginannya, tapi pihak tivi yang minta. Urusannya adalah sodaqoh pada awak tivi, bukan bisnis maupun ngeksis.
Cak Nun adalah selebritis sejati. Dikenal luas tidak dengan ngeksis. Bahkan bisa jadi beliau lebih terkenal dibanding selebritis yang tiap hari ngeksis abis.
Nggak cuman terkenal di dunia nyata, di dunia jin pun terkenal. Ketika ada anak kesurupan dan yang menangani anak buahnya Cak Nun, si jin langsung minggat, "Wah lha kok anak buahe Cak Nun. Aku tak lungo ae. Wasyuu."
Cak Nun nggak punya akun medsos. Dan nggak mau masuk TV nasional. Sudah berkali-kali menolak undangan Najwa Shihab tampil di acaranya. Juga menolak tampil di ILC TV One.
Pernah sekali ILC menampilkan rekaman sekilas saat beliau berpesan pada rakyat Indonesia yang saat itu terpecah menjadi dua kubu akibat Pemilu. Itu karena didatangi langsung oleh awak TV One di rumahnya. Nggak tega nolak.
Setelah rekaman itu disiarkan, orang-orang pada komen, "Wah, Cak Nun turun gunung.."
Turun gunung ndasmu. Sejak kapan Cak Nun bertapa di gunung. Beliau bukan pendekar tapak najis. Dipikirnya selama ini Cak Nun di rumah cuman tenguk-tenguk karo nyekeli manuk.
Setelah Soeharto lengser, Cak Nun memilih bergerilya keliling daerah, shalawatan sambil membesarkan hati rakyat. Memberi alternatif cara hidup yang wasyik. Menjadi keranjang sampah yang menampung keluh kesah rakyat.
Cak Nun memilih jalan itu karena tahu kalau reformasi itu cuman basa-basi. Lha wong yang turun cuman Soeharto tok. Pengikutnya masih ngendon di pemerintahan. Mengamankan hasil rampokan masing-masing. Nggak heran kalau sampai sekarang malingnya nggak pernah berkurang, malah tambah banyak.
Cak Nun gak melok-melok. Gak taek-taekan, badoken kabeh kono.
Sampai hari ini beliau tetap konsisten di jalannya. Dan semakin hari jamaah yang hadir bertambah banyak. Dan rata-rata militan. Ada yang datang jauh-jauh dari luar kota. Walau kehujanan tetap tidak beranjak. Tetap semangat menyimak pitutur Cak Nun yang maknyes seperti oase di tengah gurun. Menjawab kerinduan akan kehidupan yang lebih baik.
Lebay yo. Tapi begitulah adanya.
Tapi memang totalitas beliau luar biasa, belum ada tandingannya. Mengingat umurnya yang sudah kepala enam. Jam kerjanya jam delapan malam sampai jam tiga pagi. Itu dijalani hampir setiap hari. Di acara pengajian reguler di kota-kota besar dan non reguler di daerah-daerah. Sampai pernah dalam keadaan sakit tetap hadir. Dengan suara pelo koyok wong bindeng.
Mungkin kalau aku yang jadi Cak Nun, sebelum ceramah ngomong dulu, "Nyoyi yo yek, anyu oya ngenyek wong binyeng, capi nyuayaku anyen nyaji myelo." (sori yo rek, aku ora ngenyek wong bindeng. Tapi suaraku pancen lagi pelo).
Semua itu dijalani beliau tanpa tendesi apa-apa. Nggak ada urusan dengan politik atau kekuasaan. Bukan untuk kepentingan kubu atau golongan. Tapi tetap saja orang-orang curiga. Mereka pikir pasti ada udang dibalik batu. Mereka-mereka yang tidak lagi percaya kesucian. Tidak percaya kalau di zaman ini masih ada orang yang melakukan kebaikan tanpa pamrih.
Jangan salah paham kalau beliau didatangi oleh tokoh-tokoh parpol kubu yang berbeda. Seolah-olah Cak Nun ada di pihak mereka. Padahal yang terjadi adalah Cak Nun tidak memihak, hanya menerima semuanya. Beliau hanya sesepuh yang selalu siap dimintai pertimbangan oleh siapapun.
Bangsatlah mereka yang memanfaatkan pitutur atau quotes beliau untuk kampanye atau kepentingan yang lain.
Kalau Cak Nun mengkritik Jokowi itu bukan berarti beliau ada di pihak Prabowo. Begitu juga sebaliknya. Cak Nun nggak ada urusan dengan politik-politikan. Urusannya adalah amar maruf nahi mungkar. Bodohlah orang yang menyimpulkan Cak Nun memihak salah satu kubu hanya dari selembar foto.
Dalam berdakwah Cak Nun nggak perduli dengan tarif. Acara yang diprakarsainya juga nggak pakai sponsor. Hebatnya masih bertahan sampai sekarang. Dan jamaahnya semakin hari semakin banyak. Jamaah di sini jangan diartikan sama dengan pengikut. Cak Nun nggak ingin diikuti. Yang pantas diikuti hanya Rasulullah.
Nggak heran kalau beliau dicintai dan dirindukan oleh banyak orang yang bahkan tidak pernah sekali pun bertemu, bertatap muka langsung dengan beliau. Mereka yang hanya tahu Cak Nun lewat tulisan atau cuplikan video colongan para akun pemburu dollar di YouTube.
Jika bisa kesampaian bertemu secara langsung dengan Cak Nun, banyak dari mereka yang mewek terharu. Raine dadi elek. Wis elek, mewek. Taek rek.
Wis ah. Aku nulis ini dalam rangka memperingati Ultah beliau yang jatuh pada 27 Mei kemarin. Sugeng ambal warsa Mbah. Semoga selalu diberi kekuatan dan kesehatan dalam menemani kami. Ai lop yu ful.
- Robbi Gandamana -