Senin, 11 Mei 2020

Jangan Berfatwa di Medsos

disediakan oleh dictio.id

Di medsos, orang tidak terlalu menghiraukan kepakaran seseorang. Orang awam yang sama sekali bukan pakar bisa mendapat follower jutaan selama postingannya swejuk, menggembirakan dan menginspirasi.  
Sebaliknya seorang pakar yang ahli dibidangnya malah sering dibully. Lha wong postingannya bikin polemik, gaduh dan panik. Yo rasakno.
Warganet itu memang serba tahu. Kita sedang mengalami banjir data luar biasa. Banyak orang yang tahu banyak, tapi tentang sedikit hal. Ngerti sembarang tapi pemahamannya parsial. Dan orang-orang ini yang biasanya 'membantai'  para pakar yang sok berfatwa di medsos.
Karena banyak pakar yang hanya ahli dibidangnya, tapi di bidang lainnya payah. Kebanyakan ilmunya nggak otentik. Tidak berdasar dari pengalaman pribadi atau penelitian panjang.  
Tapi berdasar informasi literer. Ilmunya didapat dari buku atau riset singkat tidak mendetail yang masih bisa dipatahkan kebenarannya di kemudian hari.
Pinter itu nggak mesti pandai. Goblok bukan berarti gemblung. Ada yang sangat pinter di suatu bidang, tapi di bidang lainnya ndlahom total.
Ilmu itu asalnya dari kehidupan. Kehidupan dulu, baru ada ilmu. Orang-orang desa yang sudah lama berada di alam, dan bercocok tanam secara turun temurun kadang lebih tahu soal alam dari pakar pertanian.
Suku Badui, Kasepuhan Cipta Gelar, Suku Samin, atau suku-suku yang adat istiadatnya masih kuat, sebenarnya sangat pakar soal alam walaupun tidak pernah sekolah formal. Alam telah mengajari mereka kearifan yang luar biasa (dalam mengolah alam).
Jadi, pakar pertanian jangan minteri mereka. Tanah diperkosa dengan pupuk kimia. Tanahnya pun ketagihan. Kalau tidak dikasih pupuk kimia langsung sakaw.
Makanya hai para pakar, jangan merasa tahu segalanya. Dokter pun bukan berarti penentu sembuh atau tidaknya pasien. Bahkan ada pasien yang sudah difatwa mati, tapi malah gak mati-mati. Ternyata malaikat nggak mau mendatangi rumah si pasien karena ada anjingnya. Malaikatnya takut terkena najis. O_O
Jangan heran kalau kemarin ada dokter yang berfatwa (menyerukan) lockdown 'dibantai' habis-habisan oleh warganet. Soalnya dia ngomong kesehatan tapi mengesampingkan sosial budaya. Paham ilmu kesehatan tapi nggak paham budaya. Nggak paham karakter bangsa.
Dari segi kesehatan memang kita harusnya sudah lockdown sejak awal virus C-19 datang. Tapi dari segi sosial budaya, negoro iki ora sanggup bulik. Kere masih mendominasi negeri.
Kasihan juga lihat si dokter lokdon itu dibully habis-habisan. Harusnya dengan retorika yang elegan, no bully. Bully itu budaya anak alay. Pembully adalah orang yang bermasalah dengan hidupnya dan melampiaskannya di medsos.
Jangankan lockdown, PSBB saja sudah membuat loyo rakyat kecil. Banyak lahir kere baru. Banyak bisnis sepi order. PHK dimana-mana. Pedagang kecil keliling mulai punah. Karena banyak jalan kampung diportal di siang hari. Paranoid melanda kota-kota.
Di negeri ini adanya Suaka Margasatwa, tidak ada Suaka Pelaku Usaha. Padahal justru mereka yang bisa mendongkrak perekonomian negeri di saat kritis. Seperti saat Krismon dulu.
Pakar berfatwa di medsos itu beresiko (dibully). Martabatnya dipertaruhkan. Makanya kalau berfatwa jangan via medsos. Tapi monggo saja kalau di-share di medsos.
Ada sedikit pakar atau tokoh yang berhasil tetap menjaga ketokohannya. Gus Mus misalnya. Orang ini memang asyik. Saat awal bermedsos dulu banyak yang mencemooh, "Wis tuwek kok fesbukan".  Tapi seiring berjalannya waktu, beliau bisa membuktikan bahwa medsos juga bisa jadi media berdakwah yang mbois.
Medsos itu dunia aneh. Anak ingusan bisa dengan pede membully kyai. Banyak tokoh yang jadi lutju. Mungkin masa mudanya kurang bahagia. Over posting yang menurutnya keren. Padahal bikin perut mules. Pinginnya langsung ke toilet tiap kali dia posting.
Ada seorang tokoh yang sebenarnya panutanku, tapi berhubung tiap hari posting video bertelanjang dada memainkan wayang yang menurutku narsis banget, langsung aku unfollow. Sori mbah, pulsa dataku boros.
Yang paling aneh itu memang Instagram. Untuk mendapat follower ribuan nggak harus jadi orang hebat. Banyak yang modal utamanya cuman kamera jahat. Kiamat sudah dekat.
Mereka-mereka yang posting karya, followernya kalah telak dengan hanya yang pamer muka. Ada yang cantik beneran, tapi banyak yang kamera jahat atau polesan. Yo wis lah, nggak papa, manusiawi. Lanjutkan.
Ya begitulah..
Sekarang ini banyak orang pinter, tapi sedikit yang bijak. Ngomong kesehatan tapi tidak dengan dimensi sosial. Ngomong agama tidak dengan dimensi budaya. Pinter kesehatan tapi tidak paham sosial. Pinter agama tapi buta soal budaya.
-Robbi Gandamana-

Tidak ada komentar:

Posting Komentar