Selasa, 19 Mei 2020

Tuhan Nggak Ngurusi Piala



Kuamati di Fesbuk semakin hari semakin banyak penulis. Dan rata-rata tulisane apik. Sip lah. Kudoakan jadi penulis andal. Minimal nggak jadi buzzer, iku wis apik.
Nggak masalah walau hanya nulis di Fesbuk. Jangan dipikir kalau tulisan sudah di-publish di media berita itu sudah jaminan bagus. Enggak. Akeh sing mblendes. Bahkan yang sudah dinobatkan sebagai 'the best' sekalipun. Itu cuman soal nasib baik. Trust me.
Terus saja nulis. Sukur-sukur kalau menginspirasi, bisa menggerakan orang untuk berbuat baik. Bermanfaat bagi banyak orang. Yang penting tidak dimanfaatkan.
Ingat kata Ustadz Sueb (embuh sopo iku), sebaik-baik manusia adalah yang paling bermanfaat. Tapi kalau memang belum bisa bermanfaat yo gak popo, minimal nggak ngisruh.
Hirarki tertinggi itu bukan kuasa, kaya, kuat dan pintar, tapi manfaat. Sekarang ini banyak orang geer pada dirinya sendiri karena sudah kaya, pintar, berkuasa dan kuat. Padahal kaya, pintar, kuasa dan kuat itu masih bahan mentah. Masih harus diolah lagi agar jadi bermanfaat.
Makanya jangan bangga dulu kalau sudah kaya, berkuasa, pintar dan kuat. Bahkan jangan nggaya kalau sudah dinobatkan jadi juara.
Juara itu putusan juri yang hanya segelintir orang. Biarlah publik yang menilai kamu pantas jadi juara atau tidak. Aku sendiri nggak percaya blas pada juri Indonesia dalam urusan gambar menggambar bla bla bla off the record.
Aku punya piala saat ikut-ikutan lomba dulu, tapi sama sekali tidak aku rawat, buat apa. Aku ikut kompetisi karena urusannya butuh uang, bukan piala. Piala is my ass. Kalau mau, di toko olah raga banyak sekali.
Baguslah kalau kamu jadi juara, sarjana, rektor. Kariermu meningkat. Tapi ingat, semua itu belum prestasi. Prestasi itu kalau gelarmu, kesarjanaanmu, kerektoranmu bermanfaat bagi banyak orang. Nggak cuman bermanfaat bagi dirimu sendiri.
Kalau ada orang diangkat jadi lurah, camat, menteri, atau jabatan apapun, jangan kasih selamat dulu. Kasih ucapan selamat kalau kerjanya sudah kelar, beres dan menghasilkan sesuatu yang bermanfaat.
Tuhan nggak ngurusi pialamu, sertifikatmu, pangkat dan jabatanmu. Jadi jangan kecil hati kalau kamu nobody. Karena yang dinilai Tuhan itu seberapa besar manfaatmu pada orang lain.
Banyak orang hebat di negeri ini. Kita nggak kekurangan pakar dan ilmuwan. Sayangnya mereka lebih memilih menetap di luar negeri. Karena lab dan dana risetnya di sana sangat oke. Soal itu sudah ada yang menanggung. 
Ada paguyubannya, Ikatan Ilmuwan Indonesia Internasional (I-4). Sudah ratusan penemuan yang dipatenkan oleh mereka.
Baguslah kalau sudah mempatenkan penemuan yang bermanfaat. Cuman sayangnya di negerinya sendiri penemuan itu kurang ada gaungnya. Banjir masih saja melanda kota-kota, padahal kita punya pakar tata kota yang andal diakui dunia, tapi memilih hidup di luar negeri. Sori, tidak aku sebutkan namanya. Bukan takut disomasi, tapi lupa namanya.
Banyak dari pakar itu yang jadi dosen di kampus top Amrik. Wong endonesah ngajari bule memang membanggakan, tapi lebih membanggakan lagi kalau berjuang membasmi kebodohan bangsa sendiri. Ikut membantu negara bangkit dari keterpurukan ekonomi.
Aku salut pada Hasanain Juaini, bukan ilmuwan sih, tapi seorang Tuan Guru (Kyai) di Lombok. Dia dulu adalah guru di Malaysia. Ketika mengurus sesuatu di kantor imigrasi Malaysia, dia melihat banyak kerumunan pekerja kasar Indonesia yang bermasalah. Dia pun memutuskan pulang ke Indonesia.
Hasanain berpikir, buat apa mencerdaskan bangsa lain kalau di negerinya sendiri banyak orang bodoh. Dia pun mendirikan pondok pesantren di lombok yang dananya di dapat dari swadaya pribadi dan bantuan dari teman-temannya di luar negeri.
Kapan-kapan Hasanain Juaini perlu diangkat jadi Menteri Pendidikan. Ketoke bakalan asyik.
Dunia pendidikan di negeri ini terkesan bingung. Gonta-ganti kurikulum berulang kali. Pendidikan berbasis budaya, berbasis karakter, berbasis kompetensi, dan banyak lagi. Mbok sekali-sekali dicoba pendidikan berbasis manfaat. Karena apa pun keberhasilan akademik, tidak bisa disebut berhasil kalau tidak bermanfaat bagi orang lain.
Maka cobalah untuk bermanfaat. Dengan cara yang kamu bisa. Nggak masalah kalau cuman lewat medsos. Medsos iku saiki sak taprok, akeh pol. Postingannya bisa tulisan, cuitan, gambar, video, dan rekaman suara.
Sing penting nggak menyebarkan kebaikan dengan video colongan. Wis colongan, judule kisruh : "Cak Nun Memarahi Habib Rizieq". Koyok Habib Rizieq iku ponakane Cak Nun ae.
Nek iso Instagram ojok di-private. Dengan Instagram kamu punya kesempatan menggembirakan dan menginspirasi orang. Yang ambigu itu yang sering posting ayat-ayat tapi di-private. Niatnya syiar agama tapi kok hanya pada temannya sendiri. Gak popo di-private nek postingane cuman narsis. Kamera jahat rules!
Aku sendiri nggak akan follow akun yang di-private, kecuali aku kenal akrab di dunia nyata. Setelah di-follow ternyata postingannya cuman narsis pakai kamera jahat. Nyesel. Ampun mbokde.
Embuh rek. Sakjane sik akeh sing ate tak tulis, cuman aku lali.
-Robbi Gandamana-

Tidak ada komentar:

Posting Komentar