Nggak ada maksud atau niatan melanggar anjuran pemerintah untuk tidak berkerumun, foto pul kumpul di atas ini spontanitas.
Pandemi tidak bisa menghapus begitu saja adat budaya yang sudah mengakar.
Setelah kami shalat ied (tentu dengan protokol kesehatan yang ketat) di masjid depan rumah, yang nggak mudik galau. Akhirnya pada keluar rumah, bermaaf-maafan dan dilanjut foto bareng.
Ini akan jadi sejarah, berlebaran di saat pandemi. Biasanya setelah shalat pada bubar jalan. Acara halal bihalal baru seminggu kemudian. Warganya banyak yang pulkam keluar kota.
Kami cuma warga perumahan ndeso pinggiran kota. Budaya srawungnya masih kuat. Dan juga terbawa euphoria lebaran. Jadi agak percuma kalau diceramahi soal pandemi. Kami sudah qatam.
Sori nggak ada maksud nggak ngajeni anjuran pemerintah. Tapi tidak mudah mengingkari adat budaya yang sudah jadi peradaban. Bisa sakaw men.
Tenang saja, pul kumpul ini terbatas hanya warga perumahan kami sendiri. Tidak ada orang luar. Dan masih menerapkan protokol kesehatan. Tentu saja.
Tapi bagaimanapun juga pada saatnya nanti kita akan berdamai dengan pandemi. Bukan menyerah kalah. Tapi menjalankan aktifitas seperti biasa dengan tetap menjalankan protokol kesehatan dengan ketat.
Ada saatnya kita ampun-ampun, nggak tahan lagi melakukan aktifitas hanya di dalam rumah selama berbulan-bulan. Yang malah lebih banyak di kasur ngglundang ngglundung. Nggarai weteng mblendung.
Negara juga nggak mungkin terus-terusan kasih bantuan. Apalagi ternyata bantuannya buat beli baju lebaran, malah ada yang buat beli burung murai demi memanjakan hobi.
Repot ngopeni kere manja. Terus-terusan disuplai juga nggak bagus. Menumbuhkan mental nyadong. Dadi males kerjo.
Kalau tidak berdamai kita akan menghadapi resiko krisis pangan dan stress karena terlalu lama di dalam rumah, nggak bisa piknik, ekonomi tercekik. Tapi berdamai juga sangat beresiko terpapar corona.
Pilihannya nggak ada yang asyik : keluwen, masuk rumah sakit jiwa, atau mati kena corona.
Tapi jangan panik. Kere kok panik. Wis kere, panik. Nggak ada alasan untuk panik kalau ikhtiar dan tawakal sudah maksimal.
Tahun-tahun ke depan kita akan berteman dengan kematian. Tapi ada banyak jalan untuk bertahan. Semua tergantung pada sikap, pilihan dan nasib. Wis sakarepmu.
Persiapkan diri. Kita nggak tahu siapa yang akan dipanggil Tuhan duluan. Aku atau kamu.
Kalau mau, tutupi saja telingamu rapat. Jika dipanggil Tuhan, kamu nggak akan dengar. Atau pelihara saja anjing di dalam rumah, malaikat yang akan mencabut nyawa nggak akan mau masuk rumahmu.😁
Sekian. Semoga menambah kepanikan dan paranoid. 😅
- Robbi Gandamana -
Ini akan jadi sejarah, berlebaran di saat pandemi. Biasanya setelah shalat pada bubar jalan. Acara halal bihalal baru seminggu kemudian. Warganya banyak yang pulkam keluar kota.
Kami cuma warga perumahan ndeso pinggiran kota. Budaya srawungnya masih kuat. Dan juga terbawa euphoria lebaran. Jadi agak percuma kalau diceramahi soal pandemi. Kami sudah qatam.
Sori nggak ada maksud nggak ngajeni anjuran pemerintah. Tapi tidak mudah mengingkari adat budaya yang sudah jadi peradaban. Bisa sakaw men.
Tenang saja, pul kumpul ini terbatas hanya warga perumahan kami sendiri. Tidak ada orang luar. Dan masih menerapkan protokol kesehatan. Tentu saja.
Tapi bagaimanapun juga pada saatnya nanti kita akan berdamai dengan pandemi. Bukan menyerah kalah. Tapi menjalankan aktifitas seperti biasa dengan tetap menjalankan protokol kesehatan dengan ketat.
Ada saatnya kita ampun-ampun, nggak tahan lagi melakukan aktifitas hanya di dalam rumah selama berbulan-bulan. Yang malah lebih banyak di kasur ngglundang ngglundung. Nggarai weteng mblendung.
Negara juga nggak mungkin terus-terusan kasih bantuan. Apalagi ternyata bantuannya buat beli baju lebaran, malah ada yang buat beli burung murai demi memanjakan hobi.
Repot ngopeni kere manja. Terus-terusan disuplai juga nggak bagus. Menumbuhkan mental nyadong. Dadi males kerjo.
Kalau tidak berdamai kita akan menghadapi resiko krisis pangan dan stress karena terlalu lama di dalam rumah, nggak bisa piknik, ekonomi tercekik. Tapi berdamai juga sangat beresiko terpapar corona.
Pilihannya nggak ada yang asyik : keluwen, masuk rumah sakit jiwa, atau mati kena corona.
Tapi jangan panik. Kere kok panik. Wis kere, panik. Nggak ada alasan untuk panik kalau ikhtiar dan tawakal sudah maksimal.
Tahun-tahun ke depan kita akan berteman dengan kematian. Tapi ada banyak jalan untuk bertahan. Semua tergantung pada sikap, pilihan dan nasib. Wis sakarepmu.
Persiapkan diri. Kita nggak tahu siapa yang akan dipanggil Tuhan duluan. Aku atau kamu.
Kalau mau, tutupi saja telingamu rapat. Jika dipanggil Tuhan, kamu nggak akan dengar. Atau pelihara saja anjing di dalam rumah, malaikat yang akan mencabut nyawa nggak akan mau masuk rumahmu.😁
Sekian. Semoga menambah kepanikan dan paranoid. 😅
- Robbi Gandamana -
Tidak ada komentar:
Posting Komentar