Senin, 29 Juni 2020

Ketika Anak "Dikarbit" Orang Tua




Aku sih asyik asyik saja dengan aturan baru Pendaftaran Peserta Didik Baru (PPDB) jalur zonasi bahwa calon murid yang usianya lebih tua lebih diprioritaskan diterima dari yang usia muda. Karena sekarang ini banyak anak yang masih bayi tapi sudah didaftarkan masuk SD.
Berharap anak cepat besar itu wajar, tapi yo ojok kebangetan. Umur belum genap 6 tahun sudah didaftarkan ke SD. Yang repot gurunya.
Pas si anak kebelet pup, gurunya yang ngurusi segala sesuatunya. Anak seumuran segitu jangankan cebok, makai celana sendiri saja belum bisa beres. Iso-iso peline kecepit resleting.
Banyak orang tua yang gak kanten (boso endonesane opo rek), kepingin anake ndang lulus, ndang kerjo. Anak pun dikarbit habis-habisan. Salah satunya dengan diikutkan program ngebut (akselerasi) agar cepat segera menyelesaikan studi.
Bagiku program akselerasi tak lebih dari bisnis sampingan terselubung pihak sekolah. SPP-nya mahal cuk. Anak ndlahom pun kalau ortunya berduit  bisa masuk program ini. Semua bisa diatur. Ojok ngomong sopo-sopo yo.
koleksi pribadi
Kalau memang pihak sekolah berniat mencari bibit unggul, jangan kotori niat baik itu dengan bisnis. Kalau memang prestasinya luar biasa, otomatis masukan ke program akselerasi. Biaya SPP-nya sama dengan yang tidak masuk akselerasi. Ojok kabeh-kabeh dibisnis. Taek kon iku..huwehehe guyon mas.
Memang bangga punya anak abege yang sudah jadi mahasiswa. Itu bisa jadi indikasi kalau si ortu berhasil mendidik anak. Tapi dosennya yang pusing, karena mengajar anak kecil.
Menghadapi anak yang mentalnya masih labil itu riskan. Dikritik sedikit saja nangis. Mahasiswa seniornya juga mumet ketika mau ngospek (untungnya sekarang dihapus). Nggak tega memplonco anak kecil.
Lebih baik biarkan anak menikmati proses masa kecilnya. Karena itu tidak akan pernah terulang. Ortu jangan merenggut masa indah anak dengan memaksanya belajar keras demi memenuhi obsesi si ortu.
Banyak ortu yang terobsesi seperti itu. Anaknya dipaksa pandai. Semua kursus berbagai bidang studi diborong habis. Masa-masa bermain anaknya pun terbengkalai. Dan anaknya pun lelah secara fisik dan mental. Dadi rodok mengong.
Hidup nggak semata mengejar prestasi. Buat apa pandai tapi kalau jiwanya kering. Koyok Michael Jackson (MJ). Di usia dewasanya malah mainnya sama anak kecil. Membangun kebun binatang, taman bermain anak-anak, dan sejenisnya untuk menghadirkan kembali masa kecilnya yang dulu hilang.
FYI, saat masih anak-anak, MJ digembleng keras oleh bapaknya untuk dijadikan penyanyi. Dia bersama kakak-kakaknya disatukan bapaknya dalam kelompok vokal Jakson 5. Tiap hari kerjanya menyonyo eh menyanyi terus. Sampai nggak sempat lagi main gobak sodor, bentengan, jumpritan dan permainan anak-anak lainnya.  
Secara prestasi MJ memang sukses besar, tapi secara jiwa dia merasakan kekeringan yang luar biasa. Kaya tapi kalau jiwanya sakit ya apa asyiknya.
Hidup itu cari bahagia. Berhasil menjual jutaan kopi album tapi nggak bahagia, apa enaknya. Sik mending raimu. Kerjo serabutan tapi ngopi karo ngerokok lancar. Bendino cengengesan nongkrong nang wedangan. Hidup tanpa beban. Nikmat mana lagi kau yang dustakan.
Kembali ke soal umur.
Umur memang tidak boleh disia-siakan, tapi juga jangan dipaksakan. Apa pun itu harus disesuaikan dengan umur, mental, dan fisiknya. Konsumsi anak balita beda dengan konsumsi anak remaja, apalagi dewasa.
Anak SD tentu belum saatnya diajarkan secara detail soal reproduksi manusia. Yang repot gurunya, "Ketika anunya pria ketemu anunya wanita..saat nganu itulah..anunya pria mengeluarkan anu...akhirnya jadilah nganu... ".
Tapi sakarepmu rek. Nggak masalah anak dikarbit kalau memang otak si anak bisa ngejar dan mentalnya juga oke. Tapi kalau tidak begitu, anakmu iso gendeng.
Anak jangan dipaksa cerdas. Sak madyo ae. Bagus kalau otaknya cerdas, prestasinya selangit. Tapi sebenarnya dalam pergaulan sehari-hari kognitif itu nggak penting-penting amat. Yang penting hatinya nyambung.
Justru orang kampus yang terlalu cerdas itu omongannya sulit nyambung dengan orang kampung. Lha ya'opo, tukang nduduk sumur dijak mbahas rumus pitagoras.
Wis ah, ojok percoyo. Eh, regane karbit piro yo saiki?
-Robbi Gandamana-

Kamis, 25 Juni 2020

Biar Miskin Asal Gagah (Sisi Baik Soekarno yang Jarang Diketahui Orang)

istimewa

Sejarah ditulis  oleh pemenang. Riwayat sejarah seorang tokoh yang dikalahkan oleh penguasa berikutnya dipastikan tidak sepenuhnya valid. Begitu juga dengan Soekarno yang dilengserkan Soeharto, kisah sisi baiknya jarang dikisahkan. Tahunya kebanyakan orang cuman : Soekarno itu seorang proklamator.
Aku tidak sedang menjelek-jelekan Soeharto. Semua orang yang pernah dan sedang memimpin bangsa ini itu orang hebat. Soale aku gak iso koyok ngono iku. Tapi hanya ada dua pemimpin besar di Indonesia. Mereka adalah Soekarno dan Soeharto. Terutama Soekarno.
Kebesarannya terbukti dengan masih banyaknya rakyat yang ngoleksi posternya, menjadikan wajahnya sebagai desain kaos yang masih laku sampai sekarang, meneladani budi baiknya dan juga masih banyak orang yang memperingati haul Soekarno yang ke 50, tanggal 21 Juni kemarin.
Dari soal nasionalisme, kepemimpinan, keberaniannya menentang kolonialis dan imperialis, kesederhanaannya dan soal wanita, Soekarno nggak ada tandingannya. 
Soekarno lah yang terbesar. Walau sudah jadi presiden, budaya hidupnya tidak berubah. Tetap sama saat belum jadi presiden. Dikenal sebagai presiden yang tongpes alias kantong kempes, bokek jaya.
Pernah suatu kali Soekarno hutang pada TD. Pardede, seorang pengusaha tekstil asal Sumut yang dermawan, hanya untuk bayar kos anaknya, Guntur Soekarno Putra.
Sebelum jadi presiden pun sering hutang pada sopir taksi, Pak Arif, yang sering mengantarnya rapat dengan tokoh-tokoh nasional saat itu. Yang akhirnya Pak Arif  ini jadi sopir pribadi presiden Soekarno.
Soekarno kalau makan nggak mau pakai sendok garpu, seringnya pakai jari saja. Dia bisa sarapan satu meja dengan ajudannya atau juga menterinya kalau pas di istana saat acara non formal . Sambil mendengar usulan atau masukan tidak resmi dari bawahannya itu. Lauknya juga sederhana, sayur lodeh, ikan asin, dan sambal.
Pernah suatu kali saat sarapan bareng dengan Soekarno, para pengawal pribadinya makan dengan sendok garpu. Soekarno pun tanya, "Siapa yang ngajari kalian makan pakai sendok garpu?" Mereka pun sungkan, dan segera menyisihkan sendok garpunya.
Soekarno bisa sangat akrab dengan pengawal pribadi atau juga menteri-menterinya. Dia suka kepo tanya soal keluarga. Bahkan Menpen saat itu, Mayjen Achmadi, yang saat itu masih jomblo pun "diperintah" untuk segera menikah.
Achmadi tinggal tunjuk perempuan mana yang disukai dan Soekarno yang akan meminangnya. Tapi ketika Achmadi menginginkan Megawati (anak Soekarno) yang jadi istrinya, Soekarno kaget. Permintaan tersebut tidak bisa dipenuhi oleh Soekarno. Bukan karena apa, tapi Megawati saat itu belum lulus SMA.  
Jenderal Polisi Hoegeng (Kapolri saat itu) yang sering dipanggil di istana juga akrab dengan Soekarno. Soekarno heran dengan nama Hoegeng, kok bukan Soegeng. Soekarno berkelakar kalau nama Soekarno lebih bagus daripada Hoegeng. Hoegeng pun nyeletuk, "Tukang kebon saya namanya juga Soekarno.." Soekarno pun ngakak.
Soekarno bisa tertawa ngakak saat ngobrol sama bawahannya. Walaupun akrab dengan bawahan tapi kewibawaan Soekarno nggak luntur. Bisa jadi Soekarno sangat pandai menempatkan antara feminis dan maskulin. Kapan waktunya rileks dan kapan harus tegas. jadi nggak mendelik terus, pelit senyum.
Berbanding terbalik dengan Soeharto yang selalu jaga jarak dengan bawahannya. Kumpul hanya saat rapat atau acara kenegaraan. Dan jarang tertawa. Dia juga nggak mungkin bisa sarapan satu meja dengan ajudan saat acara non formal. Karena Soeharto priyayi Jawa. Yang harus menjaga agar jangan terlalu akrab dengan bawahan.
Kesederhanaan Soekarno memang top markotop. Dia nggak mau beli baju atau celana kalau belum rusak bener. Apalagi kalau dia suka modelnya. Tetap akan dipakai walau sudah ditambal sulam sampek nyunyut.
Pernah saat pidato di depan rakyat, Soekarno tidak menyadari kalau tambalan celana bagian belakang terkelupas. Setelah pidato selesai. Pengawal pribadinya pun segera ngasih tahu.
Aku membayangkan mungkin saat itu terjadi dialoq seperti ini :
Pengawal : "Pak Presiden, celonone sampeyan bolong, ketok sempake.."
Soekarno : "Wadoh...Untung aku ora nggawe sempak.."

Huwehehehe guyon rek.
Soekarno juga seorang penyayang binatang sejati. Dia nggak tega melihat binatang dikurung di dalam sangkar. Pernah ada utusan dari Maluku yang datang ke istana membawa burung Kakatua Raja untuk diberikan pada Soekarno. Setelah burung diterima Soekarno, si utusan malah diminta melepaskan burung tersebut dari sangkarnya.
Soekarno benar-benar menjunjung tinggi sebuah kemerdekaan  bahkan sejak dalam pikiran. Kalau manusia tidak suka dikekang, pasti burung pun seperti itu.
Jadi kalau kalian memang seorang penyayang binatang sejati, lepaskan burung peliharaanmu sekarang juga. Biarkan mereka bebas merdeka di alam raya.
Jangankan pada burung, pada cacing pun dia perduli. Pernah saat jalan-jalan di areal persawahan, di tengah jalan tidak sengaja Soekarno melihat cacing yang kepanasan. Rupanya cacing yang nyeberang kesiangan. Soekarno pun memerintahkan pengawalnya menyelamatkan si cacing. Eh ternyata Pengawalnya jijik sama cacing. Akhirnya Soekarno sendiri yang mengambil cacing tersebut dan melemparnya ke tengah sawah.
Rasa belas kasih yang tinggi tumbuh dari pengalaman penderitaan yang panjang. Itulah yang dialami Soekarno yang berkali-kali di buang ke luar pulau dan melihat sendiri penderitaan rakyat di masa penjajahan.
Dan itu juga yang menjadikannya seorang nasionalis sejati yang rela babak belur demi kemerdekaan dan kedaulatan negerinya. Yang mengajarkan rakyatnya agar tidak minder jadi bangsa Indonesia. Nggak heran kalau Soekarno nekad membangun Monas di saat ekonomi rakyat terpuruk. Menurutnya negeri ini harus punya bangunan yang ikonik yang bisa dibanggakan.
Karena martabat dan rasa percaya diri yang  kuat itulah, Soekarno berani menggertak Presiden Eisenhower, presiden Amrik yang nggak tepat waktu saat mengadakan pertemuan dengan Soekarno di gedung putih. "Kami adalah bangsa yang mudah memberi maaf. Tapi tidak untuk disepelekan.." kata Soekarno.
Mangkane dadi uwong ojok minderan rek. Biar miskin asal gagah.
Wis ah.
- Robbi Gandamana -
(Disarikan dari buku "Tertawa Bareng Bung Besar" oleh Eddie Ellison, berbagai sumber lainnya dan interpretasi pribadi)

Kita Sedang Memasuki Era Gowes


Setelah sebelumnya gila tanaman, gila ikan (Louhan dan sejenisnya), gila batu akik, dan juga gila burung, sekarang negeri ini sedang memasuki era gila sepeda.
Toko sepeda laris manis diserbu goweser pemula. Bahkan rela antri sebelum tokonya buka. Mungkin ada yang malamnya tidur di depan toko agar dapat nomor antrian pertama. Itu salah satu tips klasik agar tidak telat.
Gila sepeda ini sepertinya  efek dari pandemi Covid 19, dimana kesadaran akan hidup sehat meningkat pesat.  Jangankan sakit panas, orang pilek saja jarang sekali sekarang. Ketika ada yang bersin-bersin langsung dikucilkan.
Paimo yang dulunya paling males bangun pagi, sekarang sejak subuh sudah nggowes. Walau jarak yang ditempuh nggak nyampai satu putaran lapangan bola. Gak popo, yang penting ngeksisnya.
Yang membuat aku salut pada para goweser itu semangatnya. Totalitas tinggi. Saat nggowes mereka memakai atribut lengkap kayak atlet profesional.  Dari kaos gowes, sarung tangan, kaca mata, sampai helm khusus buat nggowes. Komplit plit. Padahal kalau naik sepeda motor males banget pakai helm.
Aku sendiri juga mulai ikut-ikutan nggowes. Walau cuman iseng. Sudah tiga hari ini. Perutku jadi agak six pack. Bahaya iki, iso tambah akeh penggemare (howeekkk). 😁
Tentu saja aku nggak setotal mereka yang pakai aksesoris lengkap. Mau nggowes atau tidak, kostumku sama : kaos, celana panjang atau pendek jeans dan sandal. That's all.
Aku sih nggak ada rencana untuk beli helm gowes. No way. Nggak ada razia khan? Dulu di tahun 80an ada razia, tapi bukan razia helm melainkan razia peneng. Peneng atau stiker yang ditempelkan di sepeda adalah bukti telah membayar pajak. Dulu sepeda gowes pun dipajaki, karena termasuk barang mewah di saat itu. Keree.
Tapi bagus juga sih kalau pakai helm. Helm itu khan berguna melindungi tempurung otak dari benturan. Kalau kamu memang takut gegar otak atau ndlahom, memang baiknya pakai helm. Kalau bisa yang full face. Pasti aman jaya.
Aku sendiri nggak ada rencana ndelosor dari sepeda (sombong). Andai jatuh di aspal pun gigi tetap rompal kalau pakai helm sepeda seperti itu. Dijamin. Lagian treknya juga di jalanan mulus. Aku nggak akan bersepeda di daerah pegunungan. Lha lapo, ate belajar gendeng ta. Uripku gak selonggar iku.
Sepedaku sepeda standar orang kantoran, bukan jenis sepeda MTB (Mountain Bike). Dan itu pun dikasih orang sebagai rasa terimakasih karena telah kugambar. Wasyik yo, nggambar dikasih sepeda. Merknya lumayanlah dan kondisinya 95 %, muluss. Ojok ngomong sopo-sopo.
Mangkane nek digambar iku ojok cumak suwun ae huwehehehe...guyon Ndes, sumpah.
Fenomena gila sepeda ini lumayan membuat usaha sepeda bergairah. Toko sepeda yang dulunya sepi nyenyet, sekarang jadi kayak pasar kaget. Ada yang beli sepeda baru, tukar tambah, atau sekedar lihat-lihat dan cek harga. Baru bisa beli kalau celengan bagong sudah penuh.
Sebenarnya ada sepeda gowes kredit. Tapi nggowes itu khan kebutuhan kesekian, nggak penting-penting amat lah. Lha lapo se, mbelani nggowes iso gak mangan. Kreditan motor sing winginane ae durung beres.
Maraknya orang bersepeda juga membuka peluang baru bagi para maling untuk beraksi. Mereka yang biasanya maling motor atau barang kelas berat lainnya jadi beralih ke sepeda gowes. Malingnya juga relatif lebih mudah. Tinggal ditaruh di jok belakang motor dan wuzz, kabur. Kiro-kiro ngono lah, aku gak tau maling sepeda.
Makanya hati-hati bagi ortu yang punya anak kecil yang hobi nggowes. Kasih tahu anaknya, nggowesnya jangan jauh-jauh, Karena sudah ada kasus anak kecil yang dirampas sepedanya oleh begal nggak profesional (beraninya sama anak kecil).
Namanya anak kecil, diancam pakai kepalan tangan saja langsung lemes. Apalagi yang ngancam rupane koyok gendruwo. Durung ngancam wis dikekno.
Wis ah, selamat bernggowes ria. Stay health and stay strong. Asam urat kumat, mangano orong-orong. 😅🙏
-Robbi Gandamana-

Senin, 15 Juni 2020

Hambarnya Kehidupan di Masa Pandemi






Pandemi membuat kehidupan jadi hambar. Sosial distancing membuat kita mati gaya. Kalau dulu bertemu bertatap muka lebih baik daripada via medsos. Sekarang malah dianjurkan sebaliknya. Leyeh-leyeh di rumah lebih utama daripada kegiatan pul kumpul di luar rumah.
Sekolah tapi nggak hadir di kelas, tapi cukup belajar di rumah. Awalnya memang fun, tapi seminggu dua minggu baru terasa hambar.  Seperti orang yang bertahun- tahun pacaran jarak jauh. Semua interaksi hanya lewat layar henpon. Setelah itu ternyata nikahnya sama orang lain.
Padahal sekolah yang asyik itu pergaulan sosialnya. Nongkrong di kantin, ngrasani guru, sekali-kali mbolos, pulang sekolah keluyuran. Itu yang membuatku semangat sekolah. Selain itu kebanyakan cuman omong kosong. Hafalan rumus-rumus mata pelajaran eksak itu cuman membuat rambutku rontok. Boros rai.
Belajar di rumah itu juga ngrepoti orang tua. Apalagi jenis orang kaya yang berani bayar mahal sekolah vaforit (ejaannya salah ya? so what?) dengan keinginan anaknya yang masih SD itu bisa pandai hanya dengan belajar di sekolah. Ortu nggak mau campur tangan dengan urusan belajar. Tiap pagi anaknya didrop di sekolah dan pulangnya dijemput. Begitu tiap hari. Pokok tahunya beres.
Ketika anaknya nggak jadi pandai, sekolah dan gurunya yang disalahkan, "Disekolahkan di SD favorit kok nggak jadi pinter!? Favorit fak yu, matane!"
Saat pandemi begini merekalah yang paling sengsara. Tiap hari uring- uringan karena nggak siap atau nggak rela jadi asisten guru anaknya. Di grup WA sekolah, gurunya dimarahi terus. Wis mbayar larang malah didadekno asisten. Fesbuk jadi terbengkalai. Nggak sempat ngeksis di IG.
Pandemi memang bikin keki. Banyak kegiatan yang terpaksa dilakukan rumah. Reuni pun via video conference. Nggak asyik blas. Nggak bisa nyeletuk. Gak iso jundu-junduan. Nggak bisa pamer tas Hermes, juga gadget canggih keluaran terbaru limited edition yang hanya ada dua di dunia. Karena ternyata itu produk gagal.😁
Yang bikin tengsin itu nggak ada angin nggak ada hujan tiba-tiba ngajak video call. Ya'opo rek, tangi turu rai sik nggilap berminyak, dijak ngobrol.  Apalagi setelah itu di-screenshot dan di-share di medsos. Ditonton wong sak endonesah. Padahal pas iku rai koyok mendol kecemplung jelantah. Rembes jaya.
Aku kasihan sama mereka-mereka yang biasa foto profil pakai kamera jahat. Itu khan njeglek banget dengan foto hasil screenshot di video call. Konco nang fesbuk sing gak pernah ngerti wajah asline khan iso semaput. Dobollll.😅
Sekarang pameran lukisan juga dari rumah. Karya lukisan diposting di instagram terus dikasih hastag 'pameran dari rumah'. Bingung aku. Terus apa bedanya dengan postingan gambar atau lukisan sebelum pandemi. Berarti sejak punya akun fesbuk aku sudah berpameran dari rumah.
Yang hambar lagi itu konser musik di rumah. Bagaimana pun hebatnya permainan para musisinya, tetap saja  feel-nya nggak dapat. Terutama penonton. Nggak ada suit-suit, tanpa tepuk tangan, nggak ada jeritan histeris dari fans cewek, tanpa siraman air dari mobil damkar untuk penonton yang kepanasan. Nggak ada adegan aparat nggebuki penonton yang rusuh.
Nonton konser di rumah itu nggak jauh beda dengan nyimak video klip di YouTube. Nggak ada chemistry antar musisi dan penonton. Tapi bagus juga sih. Di saat seperti ini masih nekad konser dari rumah, itu menandakan dia musisi militan. Bermusik nggak cuman karena urusan perut tapi lebih pada soal vitamin jiwa. Salut Ndes.
Begitulah, aturan jaga jarak ini memang menyebalkan. Pandemi membuat kehidupan sosial jadi hambarwati. Tapi apa boleh buat, kalau itu yang terbaik yo sing sabar ae Ndes. Mugi-mugi pandemi enggal minggat. Aamiin.
Ya sudah itu saja.
-Robbi Gandamana-

Belajar Menanam pada Cak Num


Tulisan ini sudah aku tulis di akun IG-ku. Tapi karena di sana dibatasi jumlah hurufnya, jadi aku putuskan menulis versi expanded-nya di sini.

Jadi begini, selama ini Cak Nun (atau Mbah Nun monggo saja) telah mengajarkan kita menanam. Bagaimana selama ini  beliau menanamkan kebaikan, kesadaran, kewaspadaan,  semangat, kebesaran dan keluasan hati pada generasi muda. 
Cak Nun mengajarkan alternatif cara hidup yang asyik, baik, dan indah. Yang membuat hidup kita jadi lebih ringan.

Karena tugas manusia itu memang menanam. Nggak ada kewajiban panen. Soal panen atau enggak itu urusan Tuhan. Urusan manusia cuman berusaha. Soal nanti sukses atau tidak, Tuhanlah yang berhak menentukan.

Menanam kebaikan jangan pernah berharap dibalas kebaikan. Nothing to lose saja. Apalagi sama orang endonesyah yang sangat pandai ngirit itu. Dikasih ucapan "terimakasih" itu sudah sangat bagus. Jangan berharap ditraktir apalagi dikasih bingkisan. Ojok sampek. Gelo kon engkok.

Jadi, manusia itu tidak diwajibkan sukses. Sukses  ya Alhamdulillah, nggak sukses yo gak popo. Kate lapo kon. Kewajiban kita cuman berjalan di jalan yang lurus sesuai dengan perintahNya. Sekali-kali ngepot yo gak popo. Kadang yo off road.

Kita cuman manusia yang bisa salah. Tuhan tidak menuntut di luar batas kemampuan hambaNya. Tapi manusia juga diwajibkan berusaha keras tetap berada di jalanNya. Ojok nggampangno.

Di alam kubur kita nggak ditanya seberapa besar kekayaanmu, seberapa banyak titel dan jabatanmu, tapi seberapa tekun ibadahmu, seberapa kesungguhanmu mencintaiNya.

Ojok terlalu yakin hidupmu bakalan sukses besar secara materi. Tapi juga jangan pesimis.

Ada orang terobsesi sukses yang namanya dikasih embel-embel 'harus sukses', 'pasti sukses', atau lainnya. Biasanya untuk nama akun medsos. Misalnya Paimo Harus Sukses, Sanusi Pasti kaya, atau Gimo Wajib Sukses. Itu sebenarnya nggak etis. Yang memastikan sukses atau tidaknya manusia itu Tuhan.

Karena Tuhan bukan pegawaimu yang bisa seenaknya disuruh-suruh. Dalam soal nasib, posisi manusia itu bukan di 'pasti' tapi di 'Insya Allah', kalau Tuhan mengijinkan.

Lebih baik nggak usah bercita-cita. Apa asyiknya bercita-cita terus kesampaian. Yang asyik itu nggak bercita-cita tapi diam-diam Tuhan ngasih. Obsesi yang terlalu tinggi itu membunuhmu. Ketika obsesimu kandas, kamu bisa stres, minder dan bunuh diri.

Lakukan saja dengan sungguh-sungguh apa yang menjadi passion-mu selama ini. Sampai kamu jadi master. Saat itulah uang yang akan mengejarmu. Dan kamu pun terpaksa kaya.

Jangan sampai diperalat oleh uang. Manusialah yang harusnya memperalat uang. Derajat manusia itu lebih tinggi daripada uang.  

Manusia wajib mentakaburi dunia. Karena dunia itu kecil. Manusia harus lebih besar dari dunia. Kalau ada masalah pelik, kamu harus lebih besar dari masalahmu itu. Biar nggak pusing kepala.

Makanya dunia yang harus kita mainkan. Jangan sampai dunia yang mempermainkan kita. Kalau nggak sombong pada dunia, manusia bakalan jadi budak dunia. Sudah kaya raya masih saja korupsi. Sudah punya istri dua masih ingin tambah lagi. Padahal siji ae angel openane.

Begitulah. Ada beberapa poin yang pernah aku singgung di tulisan-tulisanku terdahulu. Cuman dulu nggak mendetail.

Ingat, jangan percaya begitu saja tulisan ini.

- Robbi Gandamana -

Minggu, 07 Juni 2020

New Normal itu Tidak Berdamai dengan Covid 19

gambar disediakan oleh health.grid.id



Oke, new normal memang sangat beresiko, tapi terus-terusan mendekam di rumah juga bikin stres, uring-uringan, gendeng jaya.

Istilah 'berdamai dengan corona' memang terkesan cemen. Padahal damai di sini bukan karena putus asa. Bukan juga kayak damai dengan aparat saat ditilang. Tapi berdamai dengan ketakutan.

Waspada oke, takut jangan. Tanamkan kewaspadaan, jangan ketakutan. Stop membuat berita yang malah menyebarkan ketakutan.

Kalau sudah khatam dengan  protokol kesehatan, paham betul pencegahannya, aktifitas di luar rumah pun bisa aman dari corona.  Kita bukan beruang kutub yang bisa berhibernasi. Kita cuman manusia yang tiap hari harus makan. Puasa pun pakai sahur dan berbuka.

Kita harusnya sudah pasca dari teori atau pengetahuan soal corona. Jadi harusnya dengan new normal ini kita sudah siap lahir bathin dan Insya Alloh bisa terhindar dari corona. Dengan begitu kegiatan ekonomi bisa berjalan normal.

Virus covid 19 memang bahaya, tapi perekonomian negara bangkrut juga bahaya. Sangat berpotensi chaos. Kebangkrutan ekonomi adalah kematian terbesar. Sama ngerinya dengan virus covidatul jahannam ini.

Ada memang freelancer yang kerjanya di rumah terus. Tapi bukan berarti nggak pernah keluar rumah. Mereka sekali- sekali juga keluyuran, nongkrong, piknik, nyantai di luar rumah. Nek gak ngono yo iso gendeng. Hanya Rapunzel yang tahan bertahun- tahun tidak keluar rumah.

Memang, resiko terburuk dari new normal adalah pasien corona akan membludak dan rumah sakit akan kolaps. Makanya negara perlu melakuken semacam mobilisasi umum, perekrutan tenaga medis besar-besaran, mumpung banyak pengangguran karena PHK bla bla bla sudah aku tulis kemarin, males mbaleni. Silahkan dicek di sini.

Saatnya tenaga medis dikontrak mati seperti tentara. Tenaga medis memang harus siap mati tertular penyakit. Kalau nggak siap begitu, ojok dadi tenaga medis. Siapapun yang mangkir atau lari dari tugas di masa pandemi ini akan dianggap desertir. Dipecat dengan tidak hormat.  Seperti yang dilakukan  oleh Bupati Ogan Ilir kemarin yang memecat 109 tenaga medis karena reseh, demo minta kenaikan gaji.

Mau nggak mau kita harus memulai beraktifitas. Nuruti takut mati, kita hanya akan jadi pecundang profesional.

Sori buat para tenaga medis, kerja anda-anda ke depan mungkin akan bertambah berat. Tapi semoga enggak. Semoga pasiennya menurun dan segera ditemukan vaksinnya. Indonesia harusnya mampu menciptakan vaksin sendiri. Setidaknya itu kata Siti Fadilah (mantan Menkes).

Oh iya, menurutku ada baiknya Siti Fadilah dibebaskan. Karena dia punya kemampuan yang dibutuhkan di masa pandemi ini.  Dia pernah sukses menangani wabah flu burung. Toh sekarang banyak napi yang lebih serem dibebaskan karena alasan pandemi. Dan pembebasan napi-napi tersebut malah menambah keresahan masyarakat.

Jadi nggak ada ruginya kalau Siti Fadilah dibebaskan (kecuali mereka yang terancam proyeknya bla bla bla). Bisa jadi malah memperkuat barisan. Yang jelas, maling pun bisa jadi pahlawan kalau dia ikut menyelamatkan negara dalam melawan musuh.

Kembali ke soal new normal...

Ketakutan akan terjangkit corona memang wajar, tapi bukan berarti menyerah oleh ketakutan itu.
Begini, di jalanan banyak orang yang mati karena kecelakaan sepeda motor. Tapi tidak terus membuat kita jadi takut naik kendaraan. Kita hanya jadi lebih safety dengan pakai helm dan menaati rambu lalu lintas. Serta membawa surat-surat penting (sekarang uang damainya mahal men).

Begitu kira-kira kalau virus dianalogikan dengan motor dalam konteks meningkatkan kewaspadaan daripada ketakutan.

Kadang kita salah koordinat dalam beranalogi. Menganalogikan virus covid 19 dengan singa hanya karena sama-sama berbahaya. Itu kurang tepat menurutku. Walau ada benarnya. Memang sama-sama
menakutkan dan mematikan. Tapi ingat, virus itu tidak kasat mata.

Dijebloskan di satu ruang dengan pasien corona dan  satu kandang dengan singa itu beda resiko keselamatannya. Kalau imun kita kuat dan atau sudah menjalankan protokol kesehatan dengan benar, kita  akan selamat dari virus.

Lain hal jika kita di kandang singa. Tanpa senjata dan kemampuan pawang, dipastikan kita bakal dedel duel dikrokoti singa. Kecuali singanya jinak atau ompong.

Yang salah kaprah itu meme bergambar bumi pakai masker. Justru bumi itu sekarang sedang bahagia. Kalau bumi itu manusia, dia pasti membuang maskernya. Di masa pandemi ini oksigen melimpah, polusi udara berkurang karena aktifitas manusia  dibatasi oleh kebijakan karantina atau lockdown. Jadi bumi sekarang ini sedang disehatkan oleh corona.

Wis ah. Sori kalau opiniku mungkin payah secara intelek. Tapi kalau nggak begitu itu bukan aku. Pokoknya sekarang kita lakukan apa yang harus dilakukan, biar semesta yang melakukan seleksi alam. Bosan terpenjara oleh corona. No more ndekem.

-Robbi Gandamana-