Pandemi membuat kehidupan jadi hambar. Sosial distancing membuat kita mati gaya. Kalau dulu bertemu bertatap muka lebih baik daripada via medsos. Sekarang malah dianjurkan sebaliknya. Leyeh-leyeh di rumah lebih utama daripada kegiatan pul kumpul di luar rumah.
Sekolah tapi nggak hadir di kelas, tapi cukup belajar di rumah. Awalnya memang fun, tapi seminggu dua minggu baru terasa hambar. Seperti orang yang bertahun- tahun pacaran jarak jauh. Semua interaksi hanya lewat layar henpon. Setelah itu ternyata nikahnya sama orang lain.
Padahal sekolah yang asyik itu pergaulan sosialnya. Nongkrong di kantin, ngrasani guru, sekali-kali mbolos, pulang sekolah keluyuran. Itu yang membuatku semangat sekolah. Selain itu kebanyakan cuman omong kosong. Hafalan rumus-rumus mata pelajaran eksak itu cuman membuat rambutku rontok. Boros rai.
Belajar di rumah itu juga ngrepoti orang tua. Apalagi jenis orang kaya yang berani bayar mahal sekolah vaforit (ejaannya salah ya? so what?) dengan keinginan anaknya yang masih SD itu bisa pandai hanya dengan belajar di sekolah. Ortu nggak mau campur tangan dengan urusan belajar. Tiap pagi anaknya didrop di sekolah dan pulangnya dijemput. Begitu tiap hari. Pokok tahunya beres.
Ketika anaknya nggak jadi pandai, sekolah dan gurunya yang disalahkan, "Disekolahkan di SD favorit kok nggak jadi pinter!? Favorit fak yu, matane!"
Saat pandemi begini merekalah yang paling sengsara. Tiap hari uring- uringan karena nggak siap atau nggak rela jadi asisten guru anaknya. Di grup WA sekolah, gurunya dimarahi terus. Wis mbayar larang malah didadekno asisten. Fesbuk jadi terbengkalai. Nggak sempat ngeksis di IG.
Pandemi memang bikin keki. Banyak kegiatan yang terpaksa dilakukan rumah. Reuni pun via video conference. Nggak asyik blas. Nggak bisa nyeletuk. Gak iso jundu-junduan. Nggak bisa pamer tas Hermes, juga gadget canggih keluaran terbaru limited edition yang hanya ada dua di dunia. Karena ternyata itu produk gagal.😁
Yang bikin tengsin itu nggak ada angin nggak ada hujan tiba-tiba ngajak video call. Ya'opo rek, tangi turu rai sik nggilap berminyak, dijak ngobrol. Apalagi setelah itu di-screenshot dan di-share di medsos. Ditonton wong sak endonesah. Padahal pas iku rai koyok mendol kecemplung jelantah. Rembes jaya.
Aku kasihan sama mereka-mereka yang biasa foto profil pakai kamera jahat. Itu khan njeglek banget dengan foto hasil screenshot di video call. Konco nang fesbuk sing gak pernah ngerti wajah asline khan iso semaput. Dobollll.😅
Sekarang pameran lukisan juga dari rumah. Karya lukisan diposting di instagram terus dikasih hastag 'pameran dari rumah'. Bingung aku. Terus apa bedanya dengan postingan gambar atau lukisan sebelum pandemi. Berarti sejak punya akun fesbuk aku sudah berpameran dari rumah.
Yang hambar lagi itu konser musik di rumah. Bagaimana pun hebatnya permainan para musisinya, tetap saja feel-nya nggak dapat. Terutama penonton. Nggak ada suit-suit, tanpa tepuk tangan, nggak ada jeritan histeris dari fans cewek, tanpa siraman air dari mobil damkar untuk penonton yang kepanasan. Nggak ada adegan aparat nggebuki penonton yang rusuh.
Nonton konser di rumah itu nggak jauh beda dengan nyimak video klip di YouTube. Nggak ada chemistry antar musisi dan penonton. Tapi bagus juga sih. Di saat seperti ini masih nekad konser dari rumah, itu menandakan dia musisi militan. Bermusik nggak cuman karena urusan perut tapi lebih pada soal vitamin jiwa. Salut Ndes.
Begitulah, aturan jaga jarak ini memang menyebalkan. Pandemi membuat kehidupan sosial jadi hambarwati. Tapi apa boleh buat, kalau itu yang terbaik yo sing sabar ae Ndes. Mugi-mugi pandemi enggal minggat. Aamiin.
Ya sudah itu saja.
-Robbi Gandamana-
Tidak ada komentar:
Posting Komentar