Jumat, 30 Desember 2016

Pelajaran dari 'Bidannya Yesus' yang Perlu Kita Bijaki

Umpama film India, umat Nasrani di Indonesia saat ini adalah protagonisnya dan antagonisnya adalah para pengapling surga dan petinggi-petingginya. Dituding-tuding "kafir!", disakiti perasaanya dengan fatwa haram pakai atribut agamanya (yang malah merusak kerukunan antara umat). Dan sweeping seenaknya sehingga mengganggu ketentraman ibadah.
Sayangnya, kenapa harus 'menyerang' balik, melaporkan si Habib sebagai penista agama. Malah bikin runyam berkepanjangan. Rungokno ae omongane si Habib itu sak nyangkem-nyangkeme. Kalau sudah saling membalas, nggak akan ada habisnya. Mending kembali ke ajaran kasih yang anda anut, yang katanya 'jika ditendang pipi kananmu, berikan pipi kirimu'.
Ngalah bukan berarti kalah khan. Tenang ae Jek, badut pasti berlalu. Masih banyak orang yang waras, yang masih berpegang teguh pada prinsip Bhineka Tunggal Ika. Negeri ini nggak butuh Ormas aliran keras, yang dibutuhkan adalah orang cerdas yang tentu saja waras.
Sudah rahasia umum di sebuah pengajian, atau ceramah agama, ustadz kadang keseleo lidah, ngrasani agama lain (walaupun agama melarang). Manusia tidak ada yang sempurna, kalau memang harus ngrasani, pastikan yang dengar dan lihat cuman jamaah di pengajian tersebut. Jadi masalah, ketika sindiran itu direkam, diposting, didengar, dilihat, dikonsumsi publik.
Kemarin guyonan si Habib jadi runyam karena pidionya dishare di Medsos. Umat agama yang disindir, melihat pidionya, jadi terlihat konyol dan tentu saja dongkol. Jadi bukan soal sindir menyindir semata, tapi lebih pada soal etika bermedsos : jangan posting sesuatu yang berpotensi gaduh dan permusuhan SARA.
Ungkapan 'Bidannya Yesus siapa?' itu memang menyinggung. Tapi bagi saya, itu kurang greget kalau jadi alasan somasi (walau itu tindakan yang melecehkan juga sih). Kalau anda pernah bergaul dengan para bajingan kampung, pasti tahu yang saya maksud. Itu guyonan orang yang sense of humornya standar, ada yang lebih 'mbokneancok' dari itu.
Akhirnya orang dengan mudah menebak kalau somasi tadi cuman tindakan balas dendam (atas apa yang terjadi pada Basuki). Kalau sudah saling balas membalas begini, konyol jadinya. Bisa semakin tebal tembok pemisah antar Islam dan Kristen. Come on bro, cukup mereka saja yang gemblung, kalian jangan ketularan.
Kalau cuman omongan, mending tutup kuping rapat-rapat. Kalau berupa tindakan, sweeping yang dekstrutif, itu harus ditindaklanjuti. Tenang saja, penganut aliran kolot itu minoritas. Jangan dipikir itu Islam, itu semacam sekte atau madzhab.
Menghina bikinan Tuhan (kitab suci atau apa pun) maka urusannya langsung dengan Tuhan. Nggak dibela pun Tuhan akan menurunkan azabnya. Anda marah dan menuntut si penista itu bagus. Tapi harus cerdas, lihat sikon. Ada sesuatu yang lebih besar dan penting daripada ngikuti permainan mereka...pikiren dewe. Hidup kalian lebih asyik daripada mereka yang mabuk agama.
Lebay kalau ada pemikiran, baca surat Al Ikhlas akan disomasi umat Nasrani (karena di surat itu disebutkan Tuhan tidak beranak dan diperanakan). Itu bahasa asli kitab suci yang serius, bukan olok-olok. Yang dilontarkan si Habib adalah olok-olok. Pahami nuansa dan peristiwanya.
Sori, saya bukan Habiber, Ahoker, Aguser, Jokower, Prabower, atau siapa saja. Sejak jaman Agresi Militer Belanda, saya Golput, menempuh jalan sunyi, berharap pikiran jernih, gak burek koyok atimu yang tiap hari emosi (benci) membaca postingan yang menyudutkan jagoanmu.
---Ojok melok-melok Golput lho yo, tak kaplok ndasmu koen..huwehehehe guyon mas---
Sori yo, tulisan ini cuman asumsi, mengevaluasi sesuatu yang menurutku nggak beres. Benar atau nggak, gak ngurus. Yang penting berani beropini. Maka sering saya minta, jadikan tulisan saya sekedar wacana, jangan dimasukan ke hati sebagai kebenaran.
Mending sekarang hentikan benci membenci. Usahakan otak tetap dingin. Kebencian yang terus menerus (berlebihan) berpotensi menutupi hati dan pikiran. Akhire pikiran dan tindakan jadi nggak cerdas, ngawur. Nulis status ngawur, posting berita ngawur, aplot gambar ngawur, bikin analogi ngawur, foto profil ngawur (foto profil kok watu akik. Mbok ojok jujur banget nek raimu koyok akik : ireng nggilap).
Jadi sumber utama segala kegaduhan adalah tidak bisa menggunakan Medsos dengan cerdas. Ada kata yang seharusnya yang berpotensi 'perang', nekat dijadikan status. Begitu juga dengan gambar atau pidio. Aurat iku gak cuman susune wong wedok. Kata, gambar dan pidio pun ada auratnya juga. Postingan yang menyulut perang itu lebih aurat dari pelimu.
Basuki dilaporkan sebagai penista agama. Biasa ae, lha wong sudah lama diincar. Begitu melakukan kesalahan, langsung di-blow up. Apalagi umat mudah diprovokasi, hanya dengan kata sakti 'bela Islam', langsung bereaksi. Tapi sisi positifnya, umat muslim kumpul dan doa bersama. Tercipta suasana haru, mewek, dan banyak lahir kisah hikmah.
Basuki memang salah, gak iso njogo cangkem, nyinggung hal yang sensitif. Tapi doi bicara fakta, berdasar pengalamannya ketika berpolitik di Belitung. Lawannya sering menggunakan ayat Al Maidah sebagai alat politik untuk menjegal Basuki dengan menakut-nakuti umat, "Milih pemimpin non muslim, jahannam!"
Saya nggak menganggap Gubernur itu pemimpin umat. Ini soal tafsir, madzhab, bukan agama. Gubernur itu petugas admin nomer 1 di wilayah provinsi. Dia dibayar rakyat untuk ngurusi admin di wilayah provinsi. Jadi babunya rakyat. Pemimpin umat itu nggak dibayar, karena itu pekerjaan Tuhan.
Pemimpin umat itu siapa saja yang kamu anggap pantas jadi imammu, ulamamu, kyaimu yang sudah jelas asal usul nasab dan track record-nya. MUI bukan pemimpin umat, mereka cuman kumpulan ulama yang mendedikasikan hidupnya untuk melayani umat bla bla bla bla sudah pernah aku tulis, males nulis maneh.
Sudahlah, ada yang lebih penting daripada ngurusi guyonan standar seperti "Bidannya Yesus siapa?", "Dulu Yesus lahir pakai BPJS nggak?" bla bla bla bla bla.
Wis ah.
(c) Robbi Gandamana, 30 Desember 2016.

Minggu, 25 Desember 2016

Indonesia Darurat Pengapling Surga



Ya, negeri ini sedang darurat sweeping oleh para pengapling surga. Negeri yang swejuk ini jadi disharmoni sejak kedatangan aliran-aliran kolot yang berpotensi besar merusak prinsip Bhineka Tunggal Ika. Mereka ingin Islam yang murni seperti di jaman nabi, tanpa terkontaminasi adat budaya lokal maupun luar, dengan cara-cara yang nggak asyik blas, memaksa orang lain sepaham dengan mereka. Bila tak sepaham dicap sesat, "jahannam!"

Hidup tidak berjalan mundur. Seharusnya agama itu dinamis, luwes dan peka jaman. Dia bisa ditempatkan di jaman apa saja. Islam itu ada saatnya liberal (membebaskan) dan ada saatnya konservatif (kolot, tidak menerima ide-ide baru).

Semua ada tempat dan waktunya sendiri, kapan saatnya liberal dan kapan harus konservatif, semua harus empan papan. Tidak ada yang buruk, disebut buruk karena ditempatkan di tempat dan waktu yang salah.

Aliran-aliran ini menolak dan mencoba melenyapkan adat dan budaya leluhur yang tak ada tuntunannya dalam Islam. Dan menuduhnya sebagai kesyirikan, musyrik. Karena mereka belum tahu dan tak mau tahu budaya mereka sendiri. Dikiranya upacara adat itu adalah ritual dinamisme atau animisme.

Larung sesaji, Nyadran, Grebeg Maulid dan upacara adat yang lain, itu semua intinya adalah suatu bentuk penghormatan pada alam semesta dan rasa syukur pada Tuhan.

Repot juga kalau semua harus berdasar tuntunan, hidup nggak akan berkembang, jalan di tempat. Padahal sebenarnya banyak hal dalam hidup di jaman ini yang tak ada tuntunannya. Silakan saja lakukan, selama itu baik (bermanfaat), tidak ada larangannya, dan yang penting tidak jadi amalan wajib. Nglakoni monggo, ora nglakoni ora popo.

Jangan dikira benda mati itu mati. Ketika Rasulullah terkena panah di leher saat perang Uhud. Gunung Uhud marah, minta ijin menghancurkan musuh dengan batu-batunya. Tapi Nabi menolaknya, "Nggak usah Hud, aku sudah mendoakan mereka mendapatkan hidayah dan keturunan-keturunan mereka dijadikan pemimpin Islam. Tenang ae.."

Rasullulah saat itu juga ngomong pada umatnya, "Gunung Uhud mencintai kita dan kita mencintainya, "

Jadi jika manusia seme-mena (berperilaku merusak) pada gunung, pada laut, pada sungai atau alam, alam juga akan bersikap serupa. Bagaimana pun segala sesuatu yang tidak terjaga dan terawat dengan baik akan memberikan efek negatif pada pemiliknya. Males ngerawat rambut, ojok nyesel saat umur masih 25 tahun sudah jadi KGB, Kepala Gondrong Belakang. O_O

Orang Jawa sudah paham bagaimana menyikapi dan menghormati alam sebelum Islam datang. Orang Jawa itu memanusiakan manusia, alam, benda, bahkan hewan. Di Jawa ada budaya mitoni, selapan, dan lainnya. Itu tak ada hubungannya dengan makhluk ghaib, jin, gendruwo, tapi lebih pada memanusiakan si anak. Sebagai ekspresi cinta pada anak dan rasa syukur pada Tuhan.

Banyak upacara-upacara adat diadakan untuk menghormati alam sekaligus bersyukur (berdoa) atas berkah dan karuniaNya. Itu tidak untuk jin, gendruwo, wewe gombel, walau ada satu dua orang yang memang seperti itu, itu urusan mereka dengan hidupnya.

Tugas seorang muslim itu cuman mengingatkan, tidak memaksakan. Hidayah itu kuasa Allah. Ojok maneh raimu, Rasulullah saja tidak bisa mengIslamkan pamannya. Nabi itu mengajak, tidak memaksa. Nabi Nuh tidak bisa merubah anaknya yang mbalelo. Nabi Luth juga dikhianati istrinya, yang ternyata lesbon.

Islam yang paling indah itu Islamnya orang Indonesia. Di Arab sana tidak ada halal bihalal, kupatan, nyadran dan lainnya. Di negeri ini Islam dijadikan lebih indah. Seperti kursi yang tidak cuma berfungsi sebagai kursi saja, tapi diukir, dibentuk dengan indah. Tuhan suka keindahan dan manusia juga, karena manusia adalah pengejawantahan dari Tuhan.

---Maka konyol kalau manusia tidak boleh menggambar (makhluk hidup). Semua tergantung pada apa yang digambar, niat dan tujuannya. Pahami ayatnya, jangan cuman dibaca dan dihafal, teliti juga kebenaran ayat tersebut (lemah atau enggak)---

Semua tergantung pada niat dan konsepnya, tidak bisa begitu saja dibilang syirik. Syirik tidak bisa dinilai atau dilihat dari sesuatu yang tampak, tapi dari niat yang ada di dalam hati. Dan itu tidak bisa dilihat atau dideteksi.

Para pengapling surga ini menyikapi Al Quran seperti kitab hukum pidana yang kaku dan tekstual. Maka mereka jadi kolot. Ayat dihafal persis seperti aslinya, yang tak sama dengan hafalannya dituding sesat. Padahal sama secara subtansi dan esensi.

Karena cara berpikir yang kolot, semua harus berdasar tuntunan, akhirnya keindahan adat dan budaya di negeri ini dituding sebagai "bid'ah". Maulid Nabi yang sebenarnya sebuah bentuk refleksi dan ekspresi dari kecintaan pada Nabi, itu pun dibid'ahkan. Selamatan kematian 7 hari atau 100 hari juga bid'ah, karena itu ajaran Hindu.

Oala, Hindu juga mengajarkan berbuat baik, kalau begitu jangan berbuat baik, karena Hindu juga mengajarkan itu. Jadi terserah mau selamatan 7 harinya atau 8, 9, 10 sampai 100 harinya, silakan saja selama mampu mengadakan. Itu cuman patokan. Karena sebenarnya boleh memperingati dan mendoakan tiap hari untuk orang yang sudah meninggal.

Disamping tidak ada tuntunannya, mereka pikir kegiatan upacara tadi sia-sia dan pemborosan. Padahal dengan kegiatan tersebut semakin menumbuhkan rasa cinta pada negerinya, tercipta kebersamaan, guyub rukun dalam harmoni. Disebut pemborosan juga relatif. Karena itu adalah semacam pengorbanan. Kalau sudah cinta, nggak bisa disebut pengorbanan. Kalau masih disebut pengorbanan berarti nggak ikhlas, nggak cinta.

Disebut boros karena berlebihan. Bila kita mampu, itu tidak bisa disebut boros. Maka ritual adat budaya tadi tidak wajib, mampu diadakan, nggak mampu jangan lakukan. Tuhan itu tidak mau merepotkan hambanya. Agama Islam adalah agama yang ngirit. Tapi Tuhan senang kalau hambanya mereflesikan cinta padaNya dalam bentuk apa saja, asal tidak ada larangannya.

Kata bid'ah sempat jadi 'word of the year' akhir-akhir ini. Orang yang yang sudah shalat pun kadang masih dibid'ahkan, apalagi ritual adat. Fesbukan juga tidak ada tuntunannya Mblo. Bahkan Al Qur'an yang sekarang sebenarnya bid'ah kalau kita memakai pemahaman mereka. Di jaman nabi belum ada harakat (tanda baca). Huruf Arab itu aslinya 'gundul'.

Jadi kalau ada orang yang menuduh semua upacara adat di negeri ini syirik, itu karena mereka tidak mengenal budayanya sendiri. Sibuk beragama sampai lupa pada dirinya sendiri. Tahunya malah budaya Arab. Penampilannya Arab abis, bergamis, berserban, manggil ortunya 'abi' dan 'umi'. Manggil temannya 'akhwat', 'ukhti'. Sinis dengan panggilan 'bro' dan 'sist'.

Panggilan 'bro' dan 'sist' itu cuman trend, tak ada muatan ideologi. Sedang 'akhwat' dan 'ukhti' ada muatan ideologi, mereka mengira itu adalah Islam. Padahal kata atau panggilan itu tidak agamanya.

Islam itu bukan Arab tapi diturunkan di Arab. Bahasa Arab dipakai di Al Qur'an karena Al Qur'an lahir di tanah Arab. Al Qur'an itu hakikatnya bukan bukunya atau bahasanya. Buku dan bahasanya itu yang mengantarkan Al Qur'an---Nabi Muhammmad itu adalah Al Qur'an berjalan---. Ibarat pria memberikan cincin berlian pada wanita yang dicintainya. Cinta tidak terletak pada berliannya, tapi berlian lah yang mengantarkan cinta.

Maka agak lucu kalau kita memberikan nama anak dengan nama Arab, padahal asline wong Boyolali. Bahasa Arab itu cuman bahasa, bukan Islam itu sendiri. Oke, nama adalah doa, tapi doa bisa saja pakai bahasa Jawa atau Indonesia (kecuali shalat, itu dogma, mau nggak mau harus bahasa Arab). Tapi yo wis lah, minimal menunjukan kebanggaan sebagai muslim. Karena mindset kebanyakan orang, bahasa Arab itu pasti Islam. Harap maklum.

***

Bicara soal aliran-aliran keras bakalan bisa jadi berjilid-jilid buku. Intinya rakyat negeri ini ingin hidup tentram, damai dalam bersosial dan beragama tanpa intervensi, pemaksaan, diskriminatif. Jika masih saja aliran-aliran (Ormas) itu dibiarkan eksis, main sweeping seenaknya, merusak ketentraman ibadah umat beragama, maka sampai kapan pun negeri ini tetap akan mumet ndase.

Tapi bagaimanapun, mereka masih saudara semuslim. Saya tak ingin 'berperang' dengan mereka. Yang saya soroti adalah cara mereka menegakan agama yang nggak etis, main pentung, sweeping seenaknya. Indonesia bukan negara Islam. Disamping bikin gaduh juga merusak citra agama Islam yang lembut dan damai.

Gara-gara fenomena pengapling surga ini, saya jadi sungkan pakai kata 'kafir'. Kafir sekarang konotasinya adalah non muslim. Padahal sebenarnya bukan itu. Kapan-kapan dibahas, ini lagi sibuk.
Akankah negeri yang gampang bahagia ini (om telolet om) harus stress gara-gara ulah segelintir Ormas pengapling surga. Harus ada regulasi yang tegas untuk mengatasi itu. Itu tugas (PR) pemerintah, karena mereka dibayar rakyat untuk itu, aku males mikir.

Wis ah, semoga semua umat beragama di negeri ini bisa beribadah dengan tenang dan damai. Semoga ibadah kita semua diterima dan masuk ke dalam surgaNya. Hanya Iblis yang mengharapkan manusia masuk neraka.

(c) Robbi Gandamana, 24 Desember 2016

Jancok, Buah Khuldi dan SNI


Ngene rek, sebenarnya soal jancok-menjancok sudah sering ku tulis (bukan di Seword sih), tapi berhubung masih ada yang kagetan (membaca tulisanku kemarin), maka perlu ditabok lagi pikirannya.
'Jancok' gagal disebut misuh kalau tidak (untuk) menyakiti seseorang. 'Jancok' itu cuman kata, terserah mau digunakan untuk menyakiti manusia atau untuk alat kemesraan, keakraban dan mencairkan kekakuan.
Menurut Sudjiwo Tejo : "Jancok merupakan simbol keakraban. Simbol kehangatan. Simbol kesantaian. Lebih-lebih di tengah khalayak ramai yang kian munafik, keakraban dan kehangatan serta santainya “jancok” kian diperlukan untuk menggeledah sekaligus membongkar kemunafikan itu. "
Jancok itu bukan kedzaliman, justru jancok dipakai untuk melawan kedzaliman. Ingat rumusnya : "Jangan berkata kasar, kecuali dalam keadaan teraniaya." Dipisuhi tuh sakitnya di sini, apalagi kalau nggak bisa (berani) mbales, karena yang misuhi Kopasus.
Rakyat negeri ini sudah terbiasa tidak dilindungi oleh negara sejak bayi, jadi nggak merasa teraniaya oleh negara yang dipenuhi pejabat bajingan, pencoleng, politikus rakus. "Teraniaya opo se? awakmu ae sing gak pandai bersyukur". Bangsa Indonesia itu bangsa sufi, sengsara adalah prestasi.
Betapa selama ini negara morotin, mempersulit dan merepoti rakyatnya. Pejabatnya suka makan uang negara (uang rakyat), urus ini itu dipersulit (banyak pungli), hutan digunduli untuk perkebunan yang ternyata banyak dikuasai oleh Asing, mempersilahkan Asing nguras kekayaan alam sampai ke dalam kerak bumi. Belum lagi Ormas-Ormasnya yang bermain sebagai Tuhan, sukanya nuding "sesat!"
---Berarti sekarang jika bertemu koruptor, silakan saja dipisuhi 'jancok'. Tapi kata ustadzzz, memaafkan itu lebih mulia lhooo. Wass, gak mulyo-mulyoan, koruptor jiancokkk!----
Kalau ada orang yang emosi, marah membaca tulisanku bukan karena ada 'jancok'nya, tapi nggak bisa menerima perbedaan (pendapat, pemikiran). Maka butuh sedikit keluasan hati untuk itu. Maklum aku cuman wong kampung, anda khan priyayi.....*sungkem*.
Semua pasti ada masa dan massa-nya sendiri. Sekarang aku hepi saja nulis status nggedabrus nggak jelas, menyesatkan. Tapi 2 tahun lagi bisa jadi aku akan malu kalau membaca lagi tulisan-tulisanku : "Uwasu, aku kok sok tahu yoo!?" Tapi untuk sekarang, aku harus menertawai dunia, pokoke asyik ae lah, I'm still very young!
Ingat ocehan lama : "Jika engkau tertawa, maka dunia akan tertawa denganmu. Jika engkau menangis, maka kau akan menangis sendirian." Mana ada orang yang mau diajak nangis.
Kembali ke soal "jancok".
Memang ada masa dimana 'jancok' belum boleh diucapkan. Karena saat itu masih masa perjuangan, ABG. Jadi masih harus diajari baris-berbaris, harus didiklat dulu. Tapi kalau kita yang secara fisik dan mental sudah mateng, sudah pasca dari hal-hal seperti itu.
Teringat kisah Adam yang dilarang makan buah larangan (Khuldi). Bukan berarti buah tadi dilarang, di surga tidak ada larangan, semua boleh dilakukan. Adam dilarang makan karena level manusianya masih belum memenuhi standar yang berlaku. Buah Khuldi untuk manusia level Cum Laude, Adam masih belajar jadi manusia, masa perjuangan.
Sepertinya nasibnya 'jancok' dan buah Khuldi itu sama, sama-sama larangan untuk mereka yang belum memenuhi syarat dan ketentuan yang berlaku, semacam SNI lah.
Kalau ada yang nggak bisa ngomong 'jancok', itu karena tidak bisa melepaskan doktrin yang membelenggunya sejak kecil. Semakin lama, semakin kuat pula doktrin itu tertanam di otak dan hati. Itu bagus juga. Karena sudah terlanjur jadi mindset di masyarakat bahwa 'jancok' itu ucapan yang kasar.
Jadi jangan kaget kalau ada tulisan atau kata 'jancok' singgah di berandamu. Biasa ae rek, karena kata tidak bisa diharamkan, yang diharamkan itu untuk niat dan tujuan apa kata digunakan.
***
Secara garis besar sebenarnya 'Jancok' (misuh) itu mirip Proposal :
Latar Belakang
Ada keadaan dimana kata 'jancok' terpaksa dipakai. Jika perkataan baik dan halus sudah tak lagi mempan maka dengan terpaksa dipisuhi. Atau keadaan dimana kita dalam keadaan teraniaya. Contoh seorang babu ditendang mukanya oleh juragannya dengan semena-mena. Si babu dipersilahkan misuhi si juragan.
Maksud dan tujuan
Semua ada alasannya. Ada akibat pasti ada sebab. Kalau alasan misuh karena merendahkan manusia itu jelas nggak bener. Contohnya : "cino jancok!" Misuh plus rasis. Sudah Cina, di-jancok-jancok-an...keterlaluan. Misuh kalau alasannya untuk keakraban, kemesraan dengan sahabat atau saudara itu nggak masalah.
Tempat dan Waktu
Misuh itu nggak sembarangan, ada tempat dan waktu tersendiri. Nggak bisa kamu misuhi khotib khotbah Jumat karena nggak suka khotbahnya: "Wis tau krungu cok! wis cukup, gak usah kakean cangkem, langsung sholat ae!" Bisa-bisa mulutmu perot ditampar malaikat.
Sasaran
Siapa yang akan dipisuhi, itu juga perlu dipikir. Pagi-pagi ketemu bosmu , "Ya'opo cok! kabare apik ta, ojok cengengesan ta lah.." Langsung wajahmu dipancal bossmu, raimu ngecap sepatu pantofel.
Biaya
Kalau mau misuh pikirkan juga biayanya. Berani misuhi Kopasus, kepalamu dikepruk popor senapan. Rahangmu menclek, nginap ICU. Kata dokter harus disambung kawat bendrat. Biayanya lumayan besar, terpaksa menyekolahkan SK PNS, itu kalau PNS, nek ora yo dodol omah, apesss.
Wis ah..Ojok percoyo!
(c) Robbi Gandamana, 21 Desember 2016

Jumat, 16 Desember 2016

Antara Fatwa, Prasangka dan Mbokneancok



Yo wis lah, anggap saja Basuki itu penista agama. Silakan ngamuk, njerit sampek ususmu metu. Yang penting ojok kebablasan. Kalau kebencianmu pada seseorang sudah menguasaimu maka pikiran dadi gak cerdas, rai tambah welek.

Sekarang banyak orang yang gayane koyok wong sakti. Bisa mendeteksi  atau tahu niat yang ada di dalam hati orang lain. Ada orang nangis dituduh air mata buaya. Senengane kok berprasangka buruk.

Ada Kyai membela Basuki, langsung dipertanyakan keIslamannya. "Wong Islam kok mbelani penista agama Islam?". Pokoknya yang beda dengannya langsung dicap Anti Islam. Beda kok nggak boleh. Mbelani menungso dituduh mbelani cino, kristen.

Jadi ingat Gus Dur yang membela siapa saja, nggak melihat ras, suku atau agamanya. Tapi orang selalu berprasangka, selalu melihat agamanya, rasnya, sukunya ; akhirnya menuduh Gus Dur pluralisme, padahal humanisme. Banyak muslim yg gagal jadi muslim karena hal itu. Karena muslim itu menjaga, melindungi, menentramkan sesama manusia, tidak mengancam, menghina, merendahkan, hanya karena beda agama, suku dan ras.

Sudah hobinya berprasangka buruk ditambah kesempitan hati dan pikiran pula. Dapat bantuan handuk ada gambar (seperti) salib, ditolak, dituduh kristenisasi (prasangka buruk lagi).
Padahal salib iku cuman kayu disilang. Bagi orang Kristen, itu simbol agama. Tapi bagiku ya cuman garis atau kayu disilang, tak berarti apa-apa. Kalo aku dikasih handuk gratis, nggak perduli gambar salib atau gambar setan, akan senang hati kuterima.

Muslim atau non muslim tidak bisa dilihat dari kostumnya. Semua tergantung pada niat. Walaupun pakai kaos metal gambare pentagram, ndas wedus, bukan berarti Satanisme. Apa kalau pakai kaos gambar Jack Daniel's terus dia adalah pemabuk? nggak juga. Jangankan mabuk, minum Equil saja nggak berani.

Pakai atribut agama lain (kostum natal) difatwa haram . Terus bagaimana dgn non Muslim di Aceh yg dipaksa pakai jilbab? Golek menange dewe ae arek-arek iki.

Umat Islam di negeri ini berkembang pesat, tapi hanya di wilayah syariat teknis. Buanyak orang jilbaban, berbaju taqwa, tapi pemahamannya kolot, gampang ngamuk, gampang diprovokasi (atas nama Islam). Apalagi ulamanya yg sedikit-sedikit haram, haram kok sedikit-sedikit.

---Kata simbah, di negeri yang mayoritas muslim ini harusnya label yang diperlukan adalah label haram. Seorang muslim otomatis akan selalu mengkonsumsi makanan yang halal. Kalau di Amrik sana mayoritas non muslim, mereka biasa mengkomsumsi makanan apa saja, jadi perlu label halal---

Jadi ingat saat gempa bumi Jogja dulu. Banyak yang menolak bantuan selimut dari Israel, karena mereka kolot : Israel itu Yahudi, musuh Islam. Padahal musuh Islam yg sesungguhnya itu bukan Yahudi, Kristen, Cino,..tapi KESEMPITAN, kesempitan pikiran maupun hati, gemblung total.

Orang yg luas hati dan pikirannya, menyikapi sesuatu dgn prasangka baik (walau saat tertentu waspada itu juga perlu). Dan juga nggak gampang 'masuk angin', gampang disetir, gampang dibelokan dgn ideologi-ideologi kacau.

Menolak bantuan handuk dari Yahudi, tapi lupa kalau tiap hari 'dibantu' Yahudi. Dengan fesbuk kita bisa dgn mudah berkomunikasi dan silaturahmi jarak jauh. Bisa ketemu teman lama saat masih PAUD, reuni. Dan yang asyik kita bisa cari uang, promosi bisnis.

Tapi dgn fesbuk pula kita jadi 'bintang porno'. Apa pun kita share di tembok ratapan (wall) tanpa filter, walaupun itu hal yg pribadi banget. Update status dari bangun pagi sampai menjelang tidur, artis medsos. Kecanduan medsos produktivitas pun merongos

Fesbuk pula yg membuat kita terbiasa jadi pengecut, kurang ajar, semprul!, beraninya teriak di Medsos. Arek cilik komen nang statusku : "Kamu waras?". Dengan rileksnya meng-kamu-kamu-kan  orang, dikira umurnya sepantaran.
Kita terbiasa melihat sesuatu dari yang  tampak luar. Ini kostumnya Islam, ini seragamnya orang Kristen. Padahal sama-sama terbuat dari kain, benang. Opo bedane mesjid karo gerejo, sama-sama terbuat dari semen, batu bata ditumpuk-tumpuk...

Masjid atau bukan masjid itu tergantung pada niatnya ke kiblat atau nggak, ke Allah atau nggak. Walaupun di sawah kalau hati ke kiblat, sawah akan jadi masjid. Semua tergantung pada niat dan tujuan. Tapi yo ojok korupsi terus niate buat umroh....itu bajingan.

Nggak sedikit ustadzzz yang mengkondisikan Islam sekarang seperti Islam jamannya Nabi di Arab jadul. Pada zaman itu antar umat agama (Yahudi, Nasrani dan Islam) saling 'mengintai'. Oke, bisa jadi di Arab sekarang kondisinya masih seperti itu, tapi tidak di negeri ini. Jarno ae wong Arab perang terus, diadudomba sama Amrik. Di sini gak usah ikut-ikutan.

Sebelum kemunculan aliran-aliran keras, negeri ini sangat swejuk dan damai. Oleh mereka, kearifan lokal ditabrakan dengan agama. Orang yang memdalami Jawa dituduh kejawen, musyrik! Oala, siapa bilang Jawa itu tidak Islam?

Kearifan Jawa sebenarnya sama dengan nilai-nilai Islam. 'Ngunduh wohing pakarti' itu sama dengan 'Faman ya'mal mitsqaala dzaratin khairay yarah..' (intinya, semua perbuatan pasti ada balasannya), dan banyak lagi contohnya, golekono dewe. Kearifan lokal Jawa sudah terbukti keluhurannya dan Islam datang melegetimasi itu.

Dengan kearifan lokal itulah orang Nusantara lama banyak yang lulus jadi manusia; waskita. Bisa hidup rukun dalam harmoni dgn berbagai macam manusia, jin, gendruwo, wewe gombel. Orang sekarang belum lulus jadi manusia sudah belajar agama.

Ormas-Ormas Islam itu sebenarnya tujuannya baik, memerangi kemaksyiatan. Tapi banyak yg nggk simpati karena caranya yg terlalu keras, main pentung. Merusak citra Islam yg lembut dan damai. Dakwah pada orang lain harusnya lemah lembut, yg keras itu pada diri sendiri. Juga, orang 'tersesat' kok malah dipentungi, tidak ditunjukan jalan yg benar.

Salutnya pada Ormas-Ormas itu, mereka selalu turun tangan terjun langsung ke musibah bencana. Itu keren, tapi lebih keren lagi kalau tidak pakai label, cap, merk, atribut, kostum, seragam. Mau berbuat baik, berbuat saja, nggak pakai nama agama, nama partai, nama organisasi, dsb..just hamba Tuhan.

Maka saya setuju banget kalau para stasiun tipi menolak memberitakan sukarelawan bencana yang memakai atribut partai atau Ormas.

Tetap semua kembali pada niat. Kegiatan amal diposting di Fesbuk niatnya ingin menginspirasi orang agar berbuat serupa, itu oke. Yang penting tidak untuk pencitraan. Karena pencitraan = pemalsuan = kriminal = mbokneancok.

Muslim sejati tidak memamerkan perbuatan baiknya, atau berbuat baik jangan sampai orang lain tahu. Atau kalau sudah level sufi, jangan sampai Tuhan tahu kalau kita berbuat baik (walau itu nggak mungkin), total ikhlas.

Saya nggedabrus ini tidak dalam rangka menertawai kekonyolan saudara semuslim, seperti lalat yang berpesta di atas borok orang lain. Saya nggak anti tokoh tertentu, nggak anti Ormas itu..nggak kabeh.

Sebenarnya kita ini sama kok. Jawa, Arab, Islam, Kristen, aku, kalian, Basuki, Habib, Joko, Mbah Ndimun, Slamet, Ormas garis keras, semuanya sama...sama-sama bingung aja.

Kalau nggak ingin bingung, jadi Atheis saja, karena mereka sudah berhenti mencari kebenaran agama (Tuhan).
Sekarang manusia hidup di era katanya, jarene. Jarene ulama iku, jarene kyai iki. Kalau muslim, kebenaran itu ada di Al Qur'an, Rasulullah (Qur'an berjalan) dan Allah. Kalau hadits masih boleh dikritisi. Omongan ulama, ustadz, kyai itu bukan kebenaran, itu tafsir. Jangankan ulamamu, Bukhari Muslim pun boleh dikritisi.

---Percoyo karepmu, gak percoyo urusanmu, karena tulisan ini juga bukan kebenaran---

Makane jangan sombong dengan madzhabmu, aliranmu, nuding-nuding "sesat!", membakar rumah dan mengusir dari tanahnya sendiri pada orang yang nggk sealiran dgnmu. Sama persis nasibnya dgn muslim Ronghiya yg dibantai, diusir dari negerinya karena minoritas dan berbeda keyakinan. Kelakuan rakyat Burma adalah gambaran diri mereka yg demi agama tega membunuh, padahal kalau demi manusia nggak akan tega.

Wis ah....Ideologi itu damai, tapi sejarah itu kejam!

(c) Robbi Gandamana, 16 Desember 2016

Kamis, 01 Desember 2016

Antara Basuki, Pengapling Surga dan Check Sound Terompet

istimewa
Negara asing saat ini sedang cengengesan sambil tepuk tangan lihat situasi di negeri ini. Rakyatnya terpecah belah, gegeran terus, gampang diprovokasi. Sepertinya terkena radiasi dari peperangan antar mahkluk tak kasat mata di negeri antah berantah. Kebingungan melanda, hlolak hlolok berjamaah.

Rakyat (yg mayoritas muslim ini) 'kaget', nggak terima, purek, galau karena ada seorang non muslim jadi gubernur di Jakarta, kota paling vital di negeri ini. Seandainya tidak di Jakarta, pasti nggak selebay ini reaksinya.
Seandainya Basuki jadi bupati di pulau Sempu atau Gubernur selain Jakarta, nggak bakalan ada 'kegaduhan' yang terjadi beberapa tahun ini.

Puncaknya ketika Basuki kena kasus al maido alias al ngenyek, keseleo lidah dan didakwa menistakan kitab suci. Apesss. Di tempat dan waktu yg salah,juga orang yang 'salah' pula, kata-kata bisa sangat berbahaya. Kuatno atimu Bas..

Aku juga nggak yakin, seandainya Basuki dipenjara, lengser dari posisinya sebagai gubernur, apakah umat muslim akan jadi tenang, rukun sesama saudara sebangsa sesama muslim atau non muslim?? Muslim sekarang hobinya cari gara-gara sesama muslim dan atau non muslim. Lha wong orang yang sudah shalat pun masih saja diteriaki "bid'ah!"
Sepertinya kita sedang mengalami 'puber kedua', sedang suka over acting. Diejek sedikit, reaksinya luar biasa. Di jaman Orba jarang sesama muslim nuding-nuding : "bid'ah!". "sesat!", "jahanam!", "laknatulloh!". Setelah Orba lengser, umat pengapling surga bermunculan dimana-mana.

Jangan salah, aku nggak pro Orba, tapi di jaman itu hubungan antar madzhab, sekte, adem-adem saja. Hubungan antar Syiah dan Sunni tak ada masalah. Malah nggak sedikit umat Sunni yg ngefan berat Ayatollah Khomeini dedengkot Syiah.

Sekarang ABG yg level agamanya PAUD dgn lantangnya memaki-maki Syiah, padahal wawasan soal Syiah cuman dari tulisan di meme yang gak jelas muasalnya. Bahkan pada Kyai sepuh pun berani misuhi.

Kadang-kadang perlu juga anak-anak itu diajari tasawuf, ilmu hakikat alias ilmu batin, nggak syariat tok ae. Biar luas dan 'selesai' hatinya. Nggak ngurusi ibadah orang lain, Karena ibadah itu urusan pribadi manusia dengan Tuhannya.

Ada kyai ceramah di gereja, rame. Padahal sebenarnya malah tepat sasaran. Pengajian selama ini khan menyuruh shalat pada orang yang sudah shalat tiap hari. Menyuruh berhaji pada orang yg sudah berhaji. Kalau di gereja khan mengenalkan Islam pada orang yg belum tahu Islam. Siapa tahu mereka dapat hidayah. Tapi iki rahasia lho, ojok sampek eruh wong Kristen.

Kyai kalau tarafnya sudah hakikat, mempertimbangkan sesuatunya dari segi hakikat bukan dari yang tampak, mementingkan isi daripada bungkus. Opo bedane Masjid sama Gereja, sama-sama dibangun pakai semen, batu bata dan seterusnya.

Ingat urut-urutan level keimanan : syariat, thariqat, hakikat dan makrifat. Kebanyakan kita ini masih taraf syariat. Jadi kalau lihat kyai yang seperti melenceng dari fiqih, kita langsung rame-rame membully. Padahal fiqih itu semacam pagar, pagar yg membentengi umat agar tidak terperosok ke lembah maksiat. Seperti seorang guru TK yg mengajak muridnya ke pantai, untuk menjaga agar muridnya tidak hanyut tenggelam di laut, maka si guru memagari pantainya. Pagar itu lah yg disebut fiqih.

Padahal dalam hidup sebenarnya kita perlu juga sekali-kali 'tenggelam' dan 'hanyut'. Karena pendewasaan diri terbentuk dari hal-hal seperti itu. Dan kyai sangat sangat paham itu. Kita yang masih taraf syariat ini belum nyampai ilmunya.

Jadi nggak usah reseh kalau ada Kyai yang shalat di gereja dan atau lainnya. Itu urusan pribadi dia dengan Tuhannya. Yang salah itu yang mengaplot dan ngeshare di medsos. Dibaca oleh kaum awam yg terbiasa dgn ilmu syariat dan terbiasa berguru pada ulama syariat pula. Akhirnya gaduh lah suasana, kyai pun dimaki, dibully oleh anak ingusan yang ilmu agamanya masih level PAUD.

Syekh Siti Jenar dihukum oleh Walisanga bukan karena sesat, tapi karena terlalu kenceng mengajarkan tasawuf pada umat yang syariatnya belum mateng. Bahaya, bisa membuat goyah imannya. Karena ilmu hakikat sebenarnya tidak bisa sembarangan diajarkan atau disebarkan pada umat. Harus bertahap, sedikit-sedikit dulu biar nggak kaget. Nek kaget iso semaput, opname nang rumah sakit.

Kalau ada umat yang suka bikin gaduh teriak "sesat!" itu diduga karena berhenti belajar. Ayat-ayat dihafal persis seperti aslinya, jika ada yang tak sama dengan hafalannya diteriaki "sesat!" "Jahanam!".

Tapi jujur, aku salut pada perjuangan mereka membela agama (katanya sih), sampek direwangi jalan kaki ke Monas. Banyak dari mereka yang masih anak-anak. Duh, Kak Seto kemungkinan nangis bombay sambil gulung-gulung.

Fanatik pada agama, berani mati demi ideologi itu keren. Tapi kalau model fanatik seperti banteng yang asal seruduk, itu bisa benjut jaya. Agama mengajarkan untuk tidak berlebih-lebihan. Puasa itu bagus, tapi kalau sakit dan memaksa diri berpuasa itu nggak bagus bahkan haram hukumnya. Haji itu bagus, tapi kalau sudah tuwek, ompong, rodok pikun jgn memaksa utk berhaji. Kalau nekad dan mati..Itu sama saja bunuh diri!

Apalagi buanyak orang yang mendadak ustadz, nyetatus di medsos dgn kata-kata yang sebenarnya hanya untuk diketahui oleh umat Islam saja jangan sampai terbaca oleh umat lain. Misal : "hanya agama Islam yang diterima di sisi-Nya. Agama yg lain masuk neraka!"

Kata-kata itu sebenarnya ada 'aurat'nya juga. Nggak semua kebenaran (yang kita anut) bisa kita suarakan di depan umum, terbaca oleh umat lain. Tentu saja itu bikin 'panas' umat lain. Akhirnya bibit permusuhan pun tumbuh. Coba saja jika temanmu yang Kristen menyanyi di depanmu : "Hanya Yesus yang sanggup menolongmu, Muhammad nggak sanggup..!". Kepalamu bakal keluar asap saking panasnya.

****
Bicara soal gubernur kafir (begitu julukan yang disematkan oleh kaum Nganu)yg kesandung kasus al maido tadi, memang harus hati-hati. Salah ngomong langsung dituding Anti Islam, munafik, liberal, sekuler..oala ampun boss.
Ustadz Syuaibzz Bin Khoqyah (embuh sopo iku) tak bosan-bosannya mengingatkan, "Haram hukumnya dipimpin oleh pemimpin non muslim..," membuatku ingat pitutur simbah.

Simbah sering ngomong soal pemimpin. Pemimpin itu banyak macamnya, Gubernur atau Presiden itu bukan pemimpin umat. Gubernur itu petugas administrasi nomer 1 di wilayah provinsi, sedang presiden adalah petugas admin nomer 1 di wilayah nasional.

Gubernur dan presiden itu buruhnya rakyat. mereka dibayar rakyat untuk ngurusi negara. Rakyat adalah juragannya negara. Jadi mereka bukan pemimpin umat. Pemimpin umat itu tidak dibayar, karena itu pekerjaan Tuhan. Sudah dicontohkan oleh Buya Hamka ketika menjabat ketua MUI 1975 - 1980, beliau menolak menerima gaji. Karena memang ulama itu bukan profesi. Kerjan ulama itu berdakwah, melayani umat.

Tapi MUI itu pun juga bukan pemimpin umat. Itu kumpulan ulama yang mendedikasikan hidupnya utk melayani umat. Ada yang memang diangkat jadi ulama oleh umat, tapi ada juga yang memproklamirkan dirinya sendiri sebagai ulama. Ra popo..

Umat Islam sendiri tak pernah benar-benar mencari pemimpin umat (seperti Paus pada agama Khatolik). Karena tiap golongan (madzhab, sekte dan sejenisnya) sibuk dengan dirinya. Bahkan tidak mau berbaur dengan yang lain golongan. Sampai harus ada Parade Tauhid, karena tiap pemimpin Islam males (gengsi) bersatu. Tauhid kok dibikin pawai, oalaa..hanya ada di negeri ini.

Tapi itu memang sudah digariskan, bahwa Islam akan terpecah menjadi 73 golongan dan cuman 1 golongan yang diterima Allah. Ketika itu terjadi, kiamat akan tiba.

Sepertinya memang sudah mencapai 73 golongan, tinggal nunggu tiupan terompet tanda kiamat dari malaikat Israfil yg sempat check sound kemarin (ingat fenomena suara ganjil di langit beberapa waktu lalu).

Konyolnya ada satu golongan yang ngeklaim bahwa golongannya yang bakal diterima di sisi Allah. Golongan ini sukanya menuding orang yg tak sepaham : "sesat!" Jahanam!". Tapi no problem, lebih baik pede daripada minder..ya khan?

Kupikir bangsa ini sudah pluralis sejak dulu. Berbagai macam suku, ras, agama, aliran, adat budaya, setan, jin, gendruwo bisa hidup rukun dalam harmoni sehingga dikagumi oleh bangsa-bangsa Arab.
Kita malah kagum sama Arab yang tak pernah akur, perang terusssss. Warna kulitnya sama, bahasanya sama, raine mirip-mirip, rambute kriting kabeh, adat dan budayanya relatif sama, agamanya juga kebanyakan Islam..tapi gampang sekali perang meletus. Senggol bacok.

Saya muslim, nggak begitu setuju dengan sistem Demokrasi yang dianut negeri ini (juga nggak tahu solusi penggantinya :)) tapi juga nggak yakin dengan sistem Khilafah. Karena khilafah memakai hukum Islam yang cuman untuk umat muslim. Bagaimana dengan Bali, Papua, Dayak, atau suku lain yang mayoritas non muslim. Betapa egoisnya...
Menurutku hukum syariah buat diri pribadi saja, nggak usah jadi hukum negara kalau ingin negeri ini tetap Bhineka Tunggal Ika.

Kalau sudah begini, saya merindukan kepemimpinan model Sunan Kalijaga. Walisanga yang berdakwah dengan pendekatan kultural. Walau ulama tapi tetap jadi orang Jawa, kostumnya asli budaya negeri ini. Menjadi ulama tapi tidak bergamis dan berserban. Karena beliau lahir dan diperintahkan jadi orang Jawa, menghormati dan menghargai budaya negeri sendiri. Seperti Rasulullah yang bergamis, berserban karena menghargai dan menghormati budaya Arab. Gamis itu bukan karangan Nabi. Dan itulah itiba' Rasul yg sejati : menjadi diri sendiri tapi sesuai tuntunan syar'i.