Minggu, 25 Desember 2016

Jancok, Buah Khuldi dan SNI


Ngene rek, sebenarnya soal jancok-menjancok sudah sering ku tulis (bukan di Seword sih), tapi berhubung masih ada yang kagetan (membaca tulisanku kemarin), maka perlu ditabok lagi pikirannya.
'Jancok' gagal disebut misuh kalau tidak (untuk) menyakiti seseorang. 'Jancok' itu cuman kata, terserah mau digunakan untuk menyakiti manusia atau untuk alat kemesraan, keakraban dan mencairkan kekakuan.
Menurut Sudjiwo Tejo : "Jancok merupakan simbol keakraban. Simbol kehangatan. Simbol kesantaian. Lebih-lebih di tengah khalayak ramai yang kian munafik, keakraban dan kehangatan serta santainya “jancok” kian diperlukan untuk menggeledah sekaligus membongkar kemunafikan itu. "
Jancok itu bukan kedzaliman, justru jancok dipakai untuk melawan kedzaliman. Ingat rumusnya : "Jangan berkata kasar, kecuali dalam keadaan teraniaya." Dipisuhi tuh sakitnya di sini, apalagi kalau nggak bisa (berani) mbales, karena yang misuhi Kopasus.
Rakyat negeri ini sudah terbiasa tidak dilindungi oleh negara sejak bayi, jadi nggak merasa teraniaya oleh negara yang dipenuhi pejabat bajingan, pencoleng, politikus rakus. "Teraniaya opo se? awakmu ae sing gak pandai bersyukur". Bangsa Indonesia itu bangsa sufi, sengsara adalah prestasi.
Betapa selama ini negara morotin, mempersulit dan merepoti rakyatnya. Pejabatnya suka makan uang negara (uang rakyat), urus ini itu dipersulit (banyak pungli), hutan digunduli untuk perkebunan yang ternyata banyak dikuasai oleh Asing, mempersilahkan Asing nguras kekayaan alam sampai ke dalam kerak bumi. Belum lagi Ormas-Ormasnya yang bermain sebagai Tuhan, sukanya nuding "sesat!"
---Berarti sekarang jika bertemu koruptor, silakan saja dipisuhi 'jancok'. Tapi kata ustadzzz, memaafkan itu lebih mulia lhooo. Wass, gak mulyo-mulyoan, koruptor jiancokkk!----
Kalau ada orang yang emosi, marah membaca tulisanku bukan karena ada 'jancok'nya, tapi nggak bisa menerima perbedaan (pendapat, pemikiran). Maka butuh sedikit keluasan hati untuk itu. Maklum aku cuman wong kampung, anda khan priyayi.....*sungkem*.
Semua pasti ada masa dan massa-nya sendiri. Sekarang aku hepi saja nulis status nggedabrus nggak jelas, menyesatkan. Tapi 2 tahun lagi bisa jadi aku akan malu kalau membaca lagi tulisan-tulisanku : "Uwasu, aku kok sok tahu yoo!?" Tapi untuk sekarang, aku harus menertawai dunia, pokoke asyik ae lah, I'm still very young!
Ingat ocehan lama : "Jika engkau tertawa, maka dunia akan tertawa denganmu. Jika engkau menangis, maka kau akan menangis sendirian." Mana ada orang yang mau diajak nangis.
Kembali ke soal "jancok".
Memang ada masa dimana 'jancok' belum boleh diucapkan. Karena saat itu masih masa perjuangan, ABG. Jadi masih harus diajari baris-berbaris, harus didiklat dulu. Tapi kalau kita yang secara fisik dan mental sudah mateng, sudah pasca dari hal-hal seperti itu.
Teringat kisah Adam yang dilarang makan buah larangan (Khuldi). Bukan berarti buah tadi dilarang, di surga tidak ada larangan, semua boleh dilakukan. Adam dilarang makan karena level manusianya masih belum memenuhi standar yang berlaku. Buah Khuldi untuk manusia level Cum Laude, Adam masih belajar jadi manusia, masa perjuangan.
Sepertinya nasibnya 'jancok' dan buah Khuldi itu sama, sama-sama larangan untuk mereka yang belum memenuhi syarat dan ketentuan yang berlaku, semacam SNI lah.
Kalau ada yang nggak bisa ngomong 'jancok', itu karena tidak bisa melepaskan doktrin yang membelenggunya sejak kecil. Semakin lama, semakin kuat pula doktrin itu tertanam di otak dan hati. Itu bagus juga. Karena sudah terlanjur jadi mindset di masyarakat bahwa 'jancok' itu ucapan yang kasar.
Jadi jangan kaget kalau ada tulisan atau kata 'jancok' singgah di berandamu. Biasa ae rek, karena kata tidak bisa diharamkan, yang diharamkan itu untuk niat dan tujuan apa kata digunakan.
***
Secara garis besar sebenarnya 'Jancok' (misuh) itu mirip Proposal :
Latar Belakang
Ada keadaan dimana kata 'jancok' terpaksa dipakai. Jika perkataan baik dan halus sudah tak lagi mempan maka dengan terpaksa dipisuhi. Atau keadaan dimana kita dalam keadaan teraniaya. Contoh seorang babu ditendang mukanya oleh juragannya dengan semena-mena. Si babu dipersilahkan misuhi si juragan.
Maksud dan tujuan
Semua ada alasannya. Ada akibat pasti ada sebab. Kalau alasan misuh karena merendahkan manusia itu jelas nggak bener. Contohnya : "cino jancok!" Misuh plus rasis. Sudah Cina, di-jancok-jancok-an...keterlaluan. Misuh kalau alasannya untuk keakraban, kemesraan dengan sahabat atau saudara itu nggak masalah.
Tempat dan Waktu
Misuh itu nggak sembarangan, ada tempat dan waktu tersendiri. Nggak bisa kamu misuhi khotib khotbah Jumat karena nggak suka khotbahnya: "Wis tau krungu cok! wis cukup, gak usah kakean cangkem, langsung sholat ae!" Bisa-bisa mulutmu perot ditampar malaikat.
Sasaran
Siapa yang akan dipisuhi, itu juga perlu dipikir. Pagi-pagi ketemu bosmu , "Ya'opo cok! kabare apik ta, ojok cengengesan ta lah.." Langsung wajahmu dipancal bossmu, raimu ngecap sepatu pantofel.
Biaya
Kalau mau misuh pikirkan juga biayanya. Berani misuhi Kopasus, kepalamu dikepruk popor senapan. Rahangmu menclek, nginap ICU. Kata dokter harus disambung kawat bendrat. Biayanya lumayan besar, terpaksa menyekolahkan SK PNS, itu kalau PNS, nek ora yo dodol omah, apesss.
Wis ah..Ojok percoyo!
(c) Robbi Gandamana, 21 Desember 2016

Tidak ada komentar:

Posting Komentar