Negara asing saat ini sedang cengengesan sambil tepuk tangan lihat situasi di negeri ini. Rakyatnya terpecah belah, gegeran terus, gampang diprovokasi. Sepertinya terkena radiasi dari peperangan antar mahkluk tak kasat mata di negeri antah berantah. Kebingungan melanda, hlolak hlolok berjamaah.
Rakyat (yg mayoritas muslim ini) 'kaget', nggak terima, purek, galau karena ada seorang non muslim jadi gubernur di Jakarta, kota paling vital di negeri ini. Seandainya tidak di Jakarta, pasti nggak selebay ini reaksinya.
Seandainya Basuki jadi bupati di pulau Sempu atau Gubernur selain Jakarta, nggak bakalan ada 'kegaduhan' yang terjadi beberapa tahun ini.
Puncaknya ketika Basuki kena kasus al maido alias al ngenyek, keseleo lidah dan didakwa menistakan kitab suci. Apesss. Di tempat dan waktu yg salah,juga orang yang 'salah' pula, kata-kata bisa sangat berbahaya. Kuatno atimu Bas..
Aku juga nggak yakin, seandainya Basuki dipenjara, lengser dari posisinya sebagai gubernur, apakah umat muslim akan jadi tenang, rukun sesama saudara sebangsa sesama muslim atau non muslim?? Muslim sekarang hobinya cari gara-gara sesama muslim dan atau non muslim. Lha wong orang yang sudah shalat pun masih saja diteriaki "bid'ah!"
Sepertinya kita sedang mengalami 'puber kedua', sedang suka over acting. Diejek sedikit, reaksinya luar biasa. Di jaman Orba jarang sesama muslim nuding-nuding : "bid'ah!". "sesat!", "jahanam!", "laknatulloh!". Setelah Orba lengser, umat pengapling surga bermunculan dimana-mana.
Jangan salah, aku nggak pro Orba, tapi di jaman itu hubungan antar madzhab, sekte, adem-adem saja. Hubungan antar Syiah dan Sunni tak ada masalah. Malah nggak sedikit umat Sunni yg ngefan berat Ayatollah Khomeini dedengkot Syiah.
Sekarang ABG yg level agamanya PAUD dgn lantangnya memaki-maki Syiah, padahal wawasan soal Syiah cuman dari tulisan di meme yang gak jelas muasalnya. Bahkan pada Kyai sepuh pun berani misuhi.
Kadang-kadang perlu juga anak-anak itu diajari tasawuf, ilmu hakikat alias ilmu batin, nggak syariat tok ae. Biar luas dan 'selesai' hatinya. Nggak ngurusi ibadah orang lain, Karena ibadah itu urusan pribadi manusia dengan Tuhannya.
Ada kyai ceramah di gereja, rame. Padahal sebenarnya malah tepat sasaran. Pengajian selama ini khan menyuruh shalat pada orang yang sudah shalat tiap hari. Menyuruh berhaji pada orang yg sudah berhaji. Kalau di gereja khan mengenalkan Islam pada orang yg belum tahu Islam. Siapa tahu mereka dapat hidayah. Tapi iki rahasia lho, ojok sampek eruh wong Kristen.
Kyai kalau tarafnya sudah hakikat, mempertimbangkan sesuatunya dari segi hakikat bukan dari yang tampak, mementingkan isi daripada bungkus. Opo bedane Masjid sama Gereja, sama-sama dibangun pakai semen, batu bata dan seterusnya.
Ingat urut-urutan level keimanan : syariat, thariqat, hakikat dan makrifat. Kebanyakan kita ini masih taraf syariat. Jadi kalau lihat kyai yang seperti melenceng dari fiqih, kita langsung rame-rame membully. Padahal fiqih itu semacam pagar, pagar yg membentengi umat agar tidak terperosok ke lembah maksiat. Seperti seorang guru TK yg mengajak muridnya ke pantai, untuk menjaga agar muridnya tidak hanyut tenggelam di laut, maka si guru memagari pantainya. Pagar itu lah yg disebut fiqih.
Padahal dalam hidup sebenarnya kita perlu juga sekali-kali 'tenggelam' dan 'hanyut'. Karena pendewasaan diri terbentuk dari hal-hal seperti itu. Dan kyai sangat sangat paham itu. Kita yang masih taraf syariat ini belum nyampai ilmunya.
Jadi nggak usah reseh kalau ada Kyai yang shalat di gereja dan atau lainnya. Itu urusan pribadi dia dengan Tuhannya. Yang salah itu yang mengaplot dan ngeshare di medsos. Dibaca oleh kaum awam yg terbiasa dgn ilmu syariat dan terbiasa berguru pada ulama syariat pula. Akhirnya gaduh lah suasana, kyai pun dimaki, dibully oleh anak ingusan yang ilmu agamanya masih level PAUD.
Syekh Siti Jenar dihukum oleh Walisanga bukan karena sesat, tapi karena terlalu kenceng mengajarkan tasawuf pada umat yang syariatnya belum mateng. Bahaya, bisa membuat goyah imannya. Karena ilmu hakikat sebenarnya tidak bisa sembarangan diajarkan atau disebarkan pada umat. Harus bertahap, sedikit-sedikit dulu biar nggak kaget. Nek kaget iso semaput, opname nang rumah sakit.
Kalau ada umat yang suka bikin gaduh teriak "sesat!" itu diduga karena berhenti belajar. Ayat-ayat dihafal persis seperti aslinya, jika ada yang tak sama dengan hafalannya diteriaki "sesat!" "Jahanam!".
Tapi jujur, aku salut pada perjuangan mereka membela agama (katanya sih), sampek direwangi jalan kaki ke Monas. Banyak dari mereka yang masih anak-anak. Duh, Kak Seto kemungkinan nangis bombay sambil gulung-gulung.
Fanatik pada agama, berani mati demi ideologi itu keren. Tapi kalau model fanatik seperti banteng yang asal seruduk, itu bisa benjut jaya. Agama mengajarkan untuk tidak berlebih-lebihan. Puasa itu bagus, tapi kalau sakit dan memaksa diri berpuasa itu nggak bagus bahkan haram hukumnya. Haji itu bagus, tapi kalau sudah tuwek, ompong, rodok pikun jgn memaksa utk berhaji. Kalau nekad dan mati..Itu sama saja bunuh diri!
Apalagi buanyak orang yang mendadak ustadz, nyetatus di medsos dgn kata-kata yang sebenarnya hanya untuk diketahui oleh umat Islam saja jangan sampai terbaca oleh umat lain. Misal : "hanya agama Islam yang diterima di sisi-Nya. Agama yg lain masuk neraka!"
Kata-kata itu sebenarnya ada 'aurat'nya juga. Nggak semua kebenaran (yang kita anut) bisa kita suarakan di depan umum, terbaca oleh umat lain. Tentu saja itu bikin 'panas' umat lain. Akhirnya bibit permusuhan pun tumbuh. Coba saja jika temanmu yang Kristen menyanyi di depanmu : "Hanya Yesus yang sanggup menolongmu, Muhammad nggak sanggup..!". Kepalamu bakal keluar asap saking panasnya.
****
Bicara soal gubernur kafir (begitu julukan yang disematkan oleh kaum Nganu)yg kesandung kasus al maido tadi, memang harus hati-hati. Salah ngomong langsung dituding Anti Islam, munafik, liberal, sekuler..oala ampun boss.
Ustadz Syuaibzz Bin Khoqyah (embuh sopo iku) tak bosan-bosannya mengingatkan, "Haram hukumnya dipimpin oleh pemimpin non muslim..," membuatku ingat pitutur simbah.
Simbah sering ngomong soal pemimpin. Pemimpin itu banyak macamnya, Gubernur atau Presiden itu bukan pemimpin umat. Gubernur itu petugas administrasi nomer 1 di wilayah provinsi, sedang presiden adalah petugas admin nomer 1 di wilayah nasional.
Gubernur dan presiden itu buruhnya rakyat. mereka dibayar rakyat untuk ngurusi negara. Rakyat adalah juragannya negara. Jadi mereka bukan pemimpin umat. Pemimpin umat itu tidak dibayar, karena itu pekerjaan Tuhan. Sudah dicontohkan oleh Buya Hamka ketika menjabat ketua MUI 1975 - 1980, beliau menolak menerima gaji. Karena memang ulama itu bukan profesi. Kerjan ulama itu berdakwah, melayani umat.
Tapi MUI itu pun juga bukan pemimpin umat. Itu kumpulan ulama yang mendedikasikan hidupnya utk melayani umat. Ada yang memang diangkat jadi ulama oleh umat, tapi ada juga yang memproklamirkan dirinya sendiri sebagai ulama. Ra popo..
Umat Islam sendiri tak pernah benar-benar mencari pemimpin umat (seperti Paus pada agama Khatolik). Karena tiap golongan (madzhab, sekte dan sejenisnya) sibuk dengan dirinya. Bahkan tidak mau berbaur dengan yang lain golongan. Sampai harus ada Parade Tauhid, karena tiap pemimpin Islam males (gengsi) bersatu. Tauhid kok dibikin pawai, oalaa..hanya ada di negeri ini.
Tapi itu memang sudah digariskan, bahwa Islam akan terpecah menjadi 73 golongan dan cuman 1 golongan yang diterima Allah. Ketika itu terjadi, kiamat akan tiba.
Sepertinya memang sudah mencapai 73 golongan, tinggal nunggu tiupan terompet tanda kiamat dari malaikat Israfil yg sempat check sound kemarin (ingat fenomena suara ganjil di langit beberapa waktu lalu).
Konyolnya ada satu golongan yang ngeklaim bahwa golongannya yang bakal diterima di sisi Allah. Golongan ini sukanya menuding orang yg tak sepaham : "sesat!" Jahanam!". Tapi no problem, lebih baik pede daripada minder..ya khan?
Kupikir bangsa ini sudah pluralis sejak dulu. Berbagai macam suku, ras, agama, aliran, adat budaya, setan, jin, gendruwo bisa hidup rukun dalam harmoni sehingga dikagumi oleh bangsa-bangsa Arab.
Kita malah kagum sama Arab yang tak pernah akur, perang terusssss. Warna kulitnya sama, bahasanya sama, raine mirip-mirip, rambute kriting kabeh, adat dan budayanya relatif sama, agamanya juga kebanyakan Islam..tapi gampang sekali perang meletus. Senggol bacok.
Saya muslim, nggak begitu setuju dengan sistem Demokrasi yang dianut negeri ini (juga nggak tahu solusi penggantinya :)) tapi juga nggak yakin dengan sistem Khilafah. Karena khilafah memakai hukum Islam yang cuman untuk umat muslim. Bagaimana dengan Bali, Papua, Dayak, atau suku lain yang mayoritas non muslim. Betapa egoisnya...
Menurutku hukum syariah buat diri pribadi saja, nggak usah jadi hukum negara kalau ingin negeri ini tetap Bhineka Tunggal Ika.
Kalau sudah begini, saya merindukan kepemimpinan model Sunan Kalijaga. Walisanga yang berdakwah dengan pendekatan kultural. Walau ulama tapi tetap jadi orang Jawa, kostumnya asli budaya negeri ini. Menjadi ulama tapi tidak bergamis dan berserban. Karena beliau lahir dan diperintahkan jadi orang Jawa, menghormati dan menghargai budaya negeri sendiri. Seperti Rasulullah yang bergamis, berserban karena menghargai dan menghormati budaya Arab. Gamis itu bukan karangan Nabi. Dan itulah itiba' Rasul yg sejati : menjadi diri sendiri tapi sesuai tuntunan syar'i.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar