Jumat, 16 Desember 2016

Antara Fatwa, Prasangka dan Mbokneancok



Yo wis lah, anggap saja Basuki itu penista agama. Silakan ngamuk, njerit sampek ususmu metu. Yang penting ojok kebablasan. Kalau kebencianmu pada seseorang sudah menguasaimu maka pikiran dadi gak cerdas, rai tambah welek.

Sekarang banyak orang yang gayane koyok wong sakti. Bisa mendeteksi  atau tahu niat yang ada di dalam hati orang lain. Ada orang nangis dituduh air mata buaya. Senengane kok berprasangka buruk.

Ada Kyai membela Basuki, langsung dipertanyakan keIslamannya. "Wong Islam kok mbelani penista agama Islam?". Pokoknya yang beda dengannya langsung dicap Anti Islam. Beda kok nggak boleh. Mbelani menungso dituduh mbelani cino, kristen.

Jadi ingat Gus Dur yang membela siapa saja, nggak melihat ras, suku atau agamanya. Tapi orang selalu berprasangka, selalu melihat agamanya, rasnya, sukunya ; akhirnya menuduh Gus Dur pluralisme, padahal humanisme. Banyak muslim yg gagal jadi muslim karena hal itu. Karena muslim itu menjaga, melindungi, menentramkan sesama manusia, tidak mengancam, menghina, merendahkan, hanya karena beda agama, suku dan ras.

Sudah hobinya berprasangka buruk ditambah kesempitan hati dan pikiran pula. Dapat bantuan handuk ada gambar (seperti) salib, ditolak, dituduh kristenisasi (prasangka buruk lagi).
Padahal salib iku cuman kayu disilang. Bagi orang Kristen, itu simbol agama. Tapi bagiku ya cuman garis atau kayu disilang, tak berarti apa-apa. Kalo aku dikasih handuk gratis, nggak perduli gambar salib atau gambar setan, akan senang hati kuterima.

Muslim atau non muslim tidak bisa dilihat dari kostumnya. Semua tergantung pada niat. Walaupun pakai kaos metal gambare pentagram, ndas wedus, bukan berarti Satanisme. Apa kalau pakai kaos gambar Jack Daniel's terus dia adalah pemabuk? nggak juga. Jangankan mabuk, minum Equil saja nggak berani.

Pakai atribut agama lain (kostum natal) difatwa haram . Terus bagaimana dgn non Muslim di Aceh yg dipaksa pakai jilbab? Golek menange dewe ae arek-arek iki.

Umat Islam di negeri ini berkembang pesat, tapi hanya di wilayah syariat teknis. Buanyak orang jilbaban, berbaju taqwa, tapi pemahamannya kolot, gampang ngamuk, gampang diprovokasi (atas nama Islam). Apalagi ulamanya yg sedikit-sedikit haram, haram kok sedikit-sedikit.

---Kata simbah, di negeri yang mayoritas muslim ini harusnya label yang diperlukan adalah label haram. Seorang muslim otomatis akan selalu mengkonsumsi makanan yang halal. Kalau di Amrik sana mayoritas non muslim, mereka biasa mengkomsumsi makanan apa saja, jadi perlu label halal---

Jadi ingat saat gempa bumi Jogja dulu. Banyak yang menolak bantuan selimut dari Israel, karena mereka kolot : Israel itu Yahudi, musuh Islam. Padahal musuh Islam yg sesungguhnya itu bukan Yahudi, Kristen, Cino,..tapi KESEMPITAN, kesempitan pikiran maupun hati, gemblung total.

Orang yg luas hati dan pikirannya, menyikapi sesuatu dgn prasangka baik (walau saat tertentu waspada itu juga perlu). Dan juga nggak gampang 'masuk angin', gampang disetir, gampang dibelokan dgn ideologi-ideologi kacau.

Menolak bantuan handuk dari Yahudi, tapi lupa kalau tiap hari 'dibantu' Yahudi. Dengan fesbuk kita bisa dgn mudah berkomunikasi dan silaturahmi jarak jauh. Bisa ketemu teman lama saat masih PAUD, reuni. Dan yang asyik kita bisa cari uang, promosi bisnis.

Tapi dgn fesbuk pula kita jadi 'bintang porno'. Apa pun kita share di tembok ratapan (wall) tanpa filter, walaupun itu hal yg pribadi banget. Update status dari bangun pagi sampai menjelang tidur, artis medsos. Kecanduan medsos produktivitas pun merongos

Fesbuk pula yg membuat kita terbiasa jadi pengecut, kurang ajar, semprul!, beraninya teriak di Medsos. Arek cilik komen nang statusku : "Kamu waras?". Dengan rileksnya meng-kamu-kamu-kan  orang, dikira umurnya sepantaran.
Kita terbiasa melihat sesuatu dari yang  tampak luar. Ini kostumnya Islam, ini seragamnya orang Kristen. Padahal sama-sama terbuat dari kain, benang. Opo bedane mesjid karo gerejo, sama-sama terbuat dari semen, batu bata ditumpuk-tumpuk...

Masjid atau bukan masjid itu tergantung pada niatnya ke kiblat atau nggak, ke Allah atau nggak. Walaupun di sawah kalau hati ke kiblat, sawah akan jadi masjid. Semua tergantung pada niat dan tujuan. Tapi yo ojok korupsi terus niate buat umroh....itu bajingan.

Nggak sedikit ustadzzz yang mengkondisikan Islam sekarang seperti Islam jamannya Nabi di Arab jadul. Pada zaman itu antar umat agama (Yahudi, Nasrani dan Islam) saling 'mengintai'. Oke, bisa jadi di Arab sekarang kondisinya masih seperti itu, tapi tidak di negeri ini. Jarno ae wong Arab perang terus, diadudomba sama Amrik. Di sini gak usah ikut-ikutan.

Sebelum kemunculan aliran-aliran keras, negeri ini sangat swejuk dan damai. Oleh mereka, kearifan lokal ditabrakan dengan agama. Orang yang memdalami Jawa dituduh kejawen, musyrik! Oala, siapa bilang Jawa itu tidak Islam?

Kearifan Jawa sebenarnya sama dengan nilai-nilai Islam. 'Ngunduh wohing pakarti' itu sama dengan 'Faman ya'mal mitsqaala dzaratin khairay yarah..' (intinya, semua perbuatan pasti ada balasannya), dan banyak lagi contohnya, golekono dewe. Kearifan lokal Jawa sudah terbukti keluhurannya dan Islam datang melegetimasi itu.

Dengan kearifan lokal itulah orang Nusantara lama banyak yang lulus jadi manusia; waskita. Bisa hidup rukun dalam harmoni dgn berbagai macam manusia, jin, gendruwo, wewe gombel. Orang sekarang belum lulus jadi manusia sudah belajar agama.

Ormas-Ormas Islam itu sebenarnya tujuannya baik, memerangi kemaksyiatan. Tapi banyak yg nggk simpati karena caranya yg terlalu keras, main pentung. Merusak citra Islam yg lembut dan damai. Dakwah pada orang lain harusnya lemah lembut, yg keras itu pada diri sendiri. Juga, orang 'tersesat' kok malah dipentungi, tidak ditunjukan jalan yg benar.

Salutnya pada Ormas-Ormas itu, mereka selalu turun tangan terjun langsung ke musibah bencana. Itu keren, tapi lebih keren lagi kalau tidak pakai label, cap, merk, atribut, kostum, seragam. Mau berbuat baik, berbuat saja, nggak pakai nama agama, nama partai, nama organisasi, dsb..just hamba Tuhan.

Maka saya setuju banget kalau para stasiun tipi menolak memberitakan sukarelawan bencana yang memakai atribut partai atau Ormas.

Tetap semua kembali pada niat. Kegiatan amal diposting di Fesbuk niatnya ingin menginspirasi orang agar berbuat serupa, itu oke. Yang penting tidak untuk pencitraan. Karena pencitraan = pemalsuan = kriminal = mbokneancok.

Muslim sejati tidak memamerkan perbuatan baiknya, atau berbuat baik jangan sampai orang lain tahu. Atau kalau sudah level sufi, jangan sampai Tuhan tahu kalau kita berbuat baik (walau itu nggak mungkin), total ikhlas.

Saya nggedabrus ini tidak dalam rangka menertawai kekonyolan saudara semuslim, seperti lalat yang berpesta di atas borok orang lain. Saya nggak anti tokoh tertentu, nggak anti Ormas itu..nggak kabeh.

Sebenarnya kita ini sama kok. Jawa, Arab, Islam, Kristen, aku, kalian, Basuki, Habib, Joko, Mbah Ndimun, Slamet, Ormas garis keras, semuanya sama...sama-sama bingung aja.

Kalau nggak ingin bingung, jadi Atheis saja, karena mereka sudah berhenti mencari kebenaran agama (Tuhan).
Sekarang manusia hidup di era katanya, jarene. Jarene ulama iku, jarene kyai iki. Kalau muslim, kebenaran itu ada di Al Qur'an, Rasulullah (Qur'an berjalan) dan Allah. Kalau hadits masih boleh dikritisi. Omongan ulama, ustadz, kyai itu bukan kebenaran, itu tafsir. Jangankan ulamamu, Bukhari Muslim pun boleh dikritisi.

---Percoyo karepmu, gak percoyo urusanmu, karena tulisan ini juga bukan kebenaran---

Makane jangan sombong dengan madzhabmu, aliranmu, nuding-nuding "sesat!", membakar rumah dan mengusir dari tanahnya sendiri pada orang yang nggk sealiran dgnmu. Sama persis nasibnya dgn muslim Ronghiya yg dibantai, diusir dari negerinya karena minoritas dan berbeda keyakinan. Kelakuan rakyat Burma adalah gambaran diri mereka yg demi agama tega membunuh, padahal kalau demi manusia nggak akan tega.

Wis ah....Ideologi itu damai, tapi sejarah itu kejam!

(c) Robbi Gandamana, 16 Desember 2016

Tidak ada komentar:

Posting Komentar