Jumat, 30 Desember 2016

Pelajaran dari 'Bidannya Yesus' yang Perlu Kita Bijaki

Umpama film India, umat Nasrani di Indonesia saat ini adalah protagonisnya dan antagonisnya adalah para pengapling surga dan petinggi-petingginya. Dituding-tuding "kafir!", disakiti perasaanya dengan fatwa haram pakai atribut agamanya (yang malah merusak kerukunan antara umat). Dan sweeping seenaknya sehingga mengganggu ketentraman ibadah.
Sayangnya, kenapa harus 'menyerang' balik, melaporkan si Habib sebagai penista agama. Malah bikin runyam berkepanjangan. Rungokno ae omongane si Habib itu sak nyangkem-nyangkeme. Kalau sudah saling membalas, nggak akan ada habisnya. Mending kembali ke ajaran kasih yang anda anut, yang katanya 'jika ditendang pipi kananmu, berikan pipi kirimu'.
Ngalah bukan berarti kalah khan. Tenang ae Jek, badut pasti berlalu. Masih banyak orang yang waras, yang masih berpegang teguh pada prinsip Bhineka Tunggal Ika. Negeri ini nggak butuh Ormas aliran keras, yang dibutuhkan adalah orang cerdas yang tentu saja waras.
Sudah rahasia umum di sebuah pengajian, atau ceramah agama, ustadz kadang keseleo lidah, ngrasani agama lain (walaupun agama melarang). Manusia tidak ada yang sempurna, kalau memang harus ngrasani, pastikan yang dengar dan lihat cuman jamaah di pengajian tersebut. Jadi masalah, ketika sindiran itu direkam, diposting, didengar, dilihat, dikonsumsi publik.
Kemarin guyonan si Habib jadi runyam karena pidionya dishare di Medsos. Umat agama yang disindir, melihat pidionya, jadi terlihat konyol dan tentu saja dongkol. Jadi bukan soal sindir menyindir semata, tapi lebih pada soal etika bermedsos : jangan posting sesuatu yang berpotensi gaduh dan permusuhan SARA.
Ungkapan 'Bidannya Yesus siapa?' itu memang menyinggung. Tapi bagi saya, itu kurang greget kalau jadi alasan somasi (walau itu tindakan yang melecehkan juga sih). Kalau anda pernah bergaul dengan para bajingan kampung, pasti tahu yang saya maksud. Itu guyonan orang yang sense of humornya standar, ada yang lebih 'mbokneancok' dari itu.
Akhirnya orang dengan mudah menebak kalau somasi tadi cuman tindakan balas dendam (atas apa yang terjadi pada Basuki). Kalau sudah saling balas membalas begini, konyol jadinya. Bisa semakin tebal tembok pemisah antar Islam dan Kristen. Come on bro, cukup mereka saja yang gemblung, kalian jangan ketularan.
Kalau cuman omongan, mending tutup kuping rapat-rapat. Kalau berupa tindakan, sweeping yang dekstrutif, itu harus ditindaklanjuti. Tenang saja, penganut aliran kolot itu minoritas. Jangan dipikir itu Islam, itu semacam sekte atau madzhab.
Menghina bikinan Tuhan (kitab suci atau apa pun) maka urusannya langsung dengan Tuhan. Nggak dibela pun Tuhan akan menurunkan azabnya. Anda marah dan menuntut si penista itu bagus. Tapi harus cerdas, lihat sikon. Ada sesuatu yang lebih besar dan penting daripada ngikuti permainan mereka...pikiren dewe. Hidup kalian lebih asyik daripada mereka yang mabuk agama.
Lebay kalau ada pemikiran, baca surat Al Ikhlas akan disomasi umat Nasrani (karena di surat itu disebutkan Tuhan tidak beranak dan diperanakan). Itu bahasa asli kitab suci yang serius, bukan olok-olok. Yang dilontarkan si Habib adalah olok-olok. Pahami nuansa dan peristiwanya.
Sori, saya bukan Habiber, Ahoker, Aguser, Jokower, Prabower, atau siapa saja. Sejak jaman Agresi Militer Belanda, saya Golput, menempuh jalan sunyi, berharap pikiran jernih, gak burek koyok atimu yang tiap hari emosi (benci) membaca postingan yang menyudutkan jagoanmu.
---Ojok melok-melok Golput lho yo, tak kaplok ndasmu koen..huwehehehe guyon mas---
Sori yo, tulisan ini cuman asumsi, mengevaluasi sesuatu yang menurutku nggak beres. Benar atau nggak, gak ngurus. Yang penting berani beropini. Maka sering saya minta, jadikan tulisan saya sekedar wacana, jangan dimasukan ke hati sebagai kebenaran.
Mending sekarang hentikan benci membenci. Usahakan otak tetap dingin. Kebencian yang terus menerus (berlebihan) berpotensi menutupi hati dan pikiran. Akhire pikiran dan tindakan jadi nggak cerdas, ngawur. Nulis status ngawur, posting berita ngawur, aplot gambar ngawur, bikin analogi ngawur, foto profil ngawur (foto profil kok watu akik. Mbok ojok jujur banget nek raimu koyok akik : ireng nggilap).
Jadi sumber utama segala kegaduhan adalah tidak bisa menggunakan Medsos dengan cerdas. Ada kata yang seharusnya yang berpotensi 'perang', nekat dijadikan status. Begitu juga dengan gambar atau pidio. Aurat iku gak cuman susune wong wedok. Kata, gambar dan pidio pun ada auratnya juga. Postingan yang menyulut perang itu lebih aurat dari pelimu.
Basuki dilaporkan sebagai penista agama. Biasa ae, lha wong sudah lama diincar. Begitu melakukan kesalahan, langsung di-blow up. Apalagi umat mudah diprovokasi, hanya dengan kata sakti 'bela Islam', langsung bereaksi. Tapi sisi positifnya, umat muslim kumpul dan doa bersama. Tercipta suasana haru, mewek, dan banyak lahir kisah hikmah.
Basuki memang salah, gak iso njogo cangkem, nyinggung hal yang sensitif. Tapi doi bicara fakta, berdasar pengalamannya ketika berpolitik di Belitung. Lawannya sering menggunakan ayat Al Maidah sebagai alat politik untuk menjegal Basuki dengan menakut-nakuti umat, "Milih pemimpin non muslim, jahannam!"
Saya nggak menganggap Gubernur itu pemimpin umat. Ini soal tafsir, madzhab, bukan agama. Gubernur itu petugas admin nomer 1 di wilayah provinsi. Dia dibayar rakyat untuk ngurusi admin di wilayah provinsi. Jadi babunya rakyat. Pemimpin umat itu nggak dibayar, karena itu pekerjaan Tuhan.
Pemimpin umat itu siapa saja yang kamu anggap pantas jadi imammu, ulamamu, kyaimu yang sudah jelas asal usul nasab dan track record-nya. MUI bukan pemimpin umat, mereka cuman kumpulan ulama yang mendedikasikan hidupnya untuk melayani umat bla bla bla bla sudah pernah aku tulis, males nulis maneh.
Sudahlah, ada yang lebih penting daripada ngurusi guyonan standar seperti "Bidannya Yesus siapa?", "Dulu Yesus lahir pakai BPJS nggak?" bla bla bla bla bla.
Wis ah.
(c) Robbi Gandamana, 30 Desember 2016.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar