Senin, 09 Januari 2017

Bangsa yang Sulit Akur karena Budaya Ngawur


Ini masih soal ngawur mengawur, melanjutkan tulisan saya yang kemarin. Baca tulisan saya kemarin khan? kalau nggak ya anda termasuk orang yang merugi.
***
Sejak Medsos berjaya, buanyak kasus besar yang lahir dari status, cuitan atau postingan ngawur. Ini terjadi karena kedengkian sudah menutupi hati dan pikiran sehingga cara berpikir dan bertindak jadi ngawur. Apa itu karena mabuk politik, mabuk agama atau (bisa jadi) terkena radiasi dari perang antar makhluk tak kasat mata di alam ghaib.
----Berita politik yang terjadi saat ini adalah versi kedengkian antara 2 kubu yang bertikai. Tidak ada berita politik yang murni. Jadi jangan terlalu dimasukan di hati yang membuat kedengkianmu meningkat ke stadium lanjut----
Kalau kita mau sedikit menggunakan otak kiri agak ke tengah, sebenarnya banyak status (kata-kata) yang nggak beres berseliweran di Medsos. Seolah-olah benar tapi sebenarnya mblendes. Ngawur sudah jadi budaya. Demi membela jagoannya, cara ngawur pun dipakai. Karena budaya ngawur itu lah, negeri ini sulit akur. Ngawur bersatu, sulit diakurkan.
Saya bukan pakar bahasa, tapi yang saya tulis ini cuman asumsi yang mungkin bisa jadi bahan perenungan (atau malah menyesatkan?). Ini analisa awur-awuran, ngawur tapi pakai otak, berdasar pengalaman dan pengamatan (ingat, tiap manusia melakukan penelitian dalam hidupnya, sadar atau tidak sadar).
Ada sebuah sindiran : "Naik gunung 5 KM kuat, ke masjid yang berjarak 50 meter nggak kuat". Kalimat itu menganologikan sebuah kekuatan, okol. Sekilas memang benar, tapi kalau dipikir lagi ternyata salah. Kalimat tadi bukan soal kuat atau nggak kuat, tapi bicara soal iman. Walau jarak masjid dari rumah cuman 10 meter, tapi kalau lemah iman, nggak bakalan pergi ke masjid. Jadi orang pergi ke masjid bukan karena jaraknya, tapi lebih karena punya iman.
Tentu saja ungkapan 'naik gunung..' di atas tidak menimbulkan kegaduhan, tapi kebiasaan beranalogi ngawur kalau dibiarkan terus menerus akan menular ke ngawur-ngawur lain yang berpotensi gaduh.
Ada juga : "Sanggup bangun tengah malam untuk nonton bola, tapi nggak sanggup bangun tengah malam untuk shalat tahajjud'. Ungkapan ini tidak bicara soal kuat melek, tapi bicara soal iman. Walau kuat bangun malam, tapi kalau tak ada iman, hati nggak akan tergerak untuk shalat malam dan malah mbatin dengan sinis, "Tahajjud? diakali wong Arab."
Dulu saat bulan puasa pernah ada postingan hoax sebuah spanduk bertuliskan "Hormati Orang yang Tidak Puasa." Kaum ndlahom langsung mengkonsumsinya mentah-mentah. Karena otak tercemar oleh kedengkian, mereka pun bikin analogi ngawur: "Hormati orang yang main petasan" (petasan yang dibunyikan saat ada orang shalat di masjid).
Oalaa, sudah tertipu hoax, salah main analogi pula. Kalau yang namanya petasan jelas mengganggu, apalagi dibunyikan di dekat rumah ibadah, ya'opo se rek.
Sering saya baca ungkapan : "Betapa kecil dan tidak berartinya kita jika dibandingkan dengan jagat raya.", atau "Manusia hanya sebutir debu di alam jagat raya ini". Ungkapan ini baik sebagai pengingat diri agar tidak congkak. Cuman dari segi ilmu (koyok ngerti-ngertio ae) sebenarnya kurang tepat.
Tidak ada dikotomi besar kecil antara manusia dan jagat raya. Manusia memang diciptakan segitu. Dalam konteks besar kecil, membandingkan manusia harusnya dengan manusia. Membandingkan semut harus dengan semut. Semut ngamuk kalau dibilang kecil karena dibandingkan dengan gajah, "Cilik raimu!, aku memang diciptakan segini!"
Kalau memang ngawur, ngawurlah karena benar, seperti Sujiwo Tedjo yang mengkritik pemerintah menggunakan cerita ngawur, mencampuradukan kisah wayang dengan super hero Amrik. Ngawur (merusak pakem) tapi cerdas.
Silakan beranalogi kalau itu analogi yang cerdas dan mencerahkan. Karena analogi itu nggak seperti ibarat apalagi sinonim. Pahami substansi, esensi, peristiwa dan nuansa saat kata diucapkan.
Kemarin sempat ramai perang analogi menggunakan kata 'pakai' yang bikin mumet ndase. Banyak di antara analogi tadi yang ngawur jaya. Tapi saya nggak mau bahas soal itu, karena kita sudah lelah bermusuhan dengan berbagai hal, dari Pilpres, Pilgub sampai soal fatwa MUI. Wis cukup rek, mending urusono cicilan motormu sing durung lunas.
Jadi,.......saya kira...kita harus...mulai...mengkaji ulang.....mulai dari..diri kita....agar..lebih bijak..dalam....menulis..atau......menyebarkan berita (meniru pak Moerdiono, menteri zaman Orba, yang gaya bicaranya lamban sambil mata merem melek).
Oh iya, ngawur mengawur ini nggak cuman menjangkiti dumay. Di dunia nyata pun banyak terjadi.
Ada seorang boss pabrik kecil meminta buruhnya bekerja layaknya tentara yang selalu siap bertugas kapan pun dan di mana pun. Buruh pabrik kok disamakan dengan tentara, yang lebih terjamin kesejahteraannya karena dikontrak mati untuk negara. Bagus kalau itu jadi inisiatif pribadi, kerja bagai prajurit yang selalu siap tempur. Tapi kalau bossnya yang minta, itu namanya ditaktor. Gaji pas-pasan dipaksa kerja spartan.
Banyak cerita soal ngawur-mengawur lainnya, kalau anda jeli mengamati (kurang kerjaan) dan mau berpikir sedikit saja. Mulailah amati dirimu, temanmu, mbokdemu, mbahmu, keluargamu, bossmu, lingkunganmu..carilah sendiri, ojok nggolek enake tok ae. Aku kesel nulise, enak awakmu cuman moco tok.
Wis ah.
(c) Robbi Gandamana, 2 Januari 2017

Tidak ada komentar:

Posting Komentar