Repot juga kalau berhadapan orang yang berprinsip 'pokoknya'. "Pokoknya kalau dia pasti saya bela!", "Pokoknya dia yang benar! lainnya salah!". Walaupun terbukti berbuat salah, tetap saja dibela mati-matian.
Hal seperti itu banyak terjadi saat ini. Kita tahu bahwa umat Muslim sangat menghormati, menyanjung bahkan sampai ada yang 'menyembah' ulama. Ketika ada yang mengkritisi ulama, dituduh benci ulama atau anti ulama. Ya'opo se rek, mengkritisi kok nggak boleh.
Lha wong ulama sekelas Bukhari Muslim aja boleh dikritisi, apalagi MUI. Yang salah itu mencela ulama dengan sebutan : onta gembrot, kadal bintit, muka gepeng, kecoa bunting, dan pisuhan lain khas Kasino Warkop DKI.
Lagian yang disorot itu adalah OKNUM ulama, bukan semua ulama. Dikritisi karena si oknum tindak tanduknya menimbulkan polemik (kericuhan) di masyarakat. Makanya jangan dibiasakan nggebyah uyah alias generalisasi bin pukul rata.
Repot juga kalau mengkritisi ulama terus dicap Anti Ulama. Jangankan mengkritisi, mencela pun boleh jika dalam keadaan teraniaya. Ingat : "Jangan berkata kotor kecuali dalam keadaan teraniaya." Teraniaya nggak selalu soal fisik, tapi juga psikis. Kalau dilecehkan, dicap suku kafir yang pantas masuk neraka, ya silakan misuh : "Jancok!"
---Ingat, jancok bukan suatu kedzaliman, justru jancok ditujukan untuk kedzaliman---
Apa ya perlu ulama disertifikasi. Karena label 'ulama' itu luhur banget. Kalau belum bisa jaga diri lebih baik jangan melabeli diri dengan 'ulama', 'ustadz' dan semacamnya. Karena ada yang melabeli dirinya sendiri dengan gelar-gelar tadi. Ada juga yang otomatis dapat gelar 'ustadz' setelah ceramah di tipi.
Ulama adalah pewaris Nabi, tapi mereka manusia biasa yang bisa salah. Dan mereka bukan Nabi. Nabi pun tak luput dari kesalahan. Bahkan Nabi Musa 'nggak lulus' saat diuji Nabi Khidir. Rasullullah pun pernah ditegur Allah. Tapi jangan bandingkan kesalahan Nabi dengan kesalahan kita. Mungkin kalau salahnya Nabi bagi kita itu bukan kesalahan. Nabi memang hebat, tapi tidak ada Nabi yang sakti, hanya mujizat Tuhan yang membuat mereka seolah-olah sakti.
Oke lah, tiap ulama punya peran di masyarakat. Saya tidak menyangkal itu. Ada ulama yang mengajarkan bisnis, sedekah berharap kembalian. Ada ulama syariat yang pangsa pasarnya kita ini yang taraf imannya masih ndlahom. Dan ada juga ulama hakikat yang perlu perenungan mendalam untuk memahami isi dakwahnya.
Tapi saya lebih respect pada ulama yang tidak menunjukan eksistensinya di dumay atau media mainstream. Tapi terus berdakwah secara senyap menyebarkan kebaikan, kegembiraan, serta membesarkan hati umat. Jika pun ada yang bermedsos ; cuitannya swejuk, cerdas dan mencerahkan.
Kalau seorang ulama menimbulkan kegaduhan, menyinggung suatu agama, suku, ras tertentu, ya wajar jika dibully habis-habisan, ditolak kedatangannya, bahkan nyawanya jadi target pembunuhan. Itu adalah buah dari perbuatannya. Dan saya TIDAK AKAN maju sejengkal pun untuk membela ulama seperti itu.
Sempat beredar meme : "Gerakan Bela Ulama bla bla bla...". Maksudnya ulama yang mana yang mau dibela??? Saya nggak mau membela ulama yang bikin kacau negeri ini. No way!
Lagian ulama sejati tidak suka dibela, hidup dan matinya hanya untukNya. Jadi jika harus mati di jalanNya, dia akan sangat ikhlas. Ulama sejati tidak memaksa umatnya untuk taat pada dirinya. Karena hanya Rasulullah dan Allah lah yang pantas ditaati. Ulama hanya membawa, menyebarkan ajaran Rasullullah. Hakikatnya, umat taat tidak pada ulama, tapi pada Rasulullah dan Allah, lewat wacana yang disampaikan ulama.
Menurutku meme tadi beresiko terjadi kegaduhan bahkan perpecahan antar umat. Karena bisa dijadikan 'alat' untuk memuluskan suatu misi oleh suatu kelompok tertentu. Tahu khan, umat muslim di negeri ini guampang disetir, guampang simpati dan guampang percaya ; hanya karena ada label 'Islam' mereka akan membela habis-habisan.
Jangkrik bosss...
Ada lagi oknum ulama yang 'ngartis' di Medsos. Tapi cuitannya malah menyinggung kaum tertentu. Buru-buru bikin status mencerdaskan, eh malah menyulut api peperangan yang berujung perpecahan. Agama tidak melarang perbedaan, tapi perpecahan.
Pewaris Nabi kok bikin kacau, ya'opo se rek. Nabi Muhammad wajahnya tersenyum (nggak cuman bibirnya), lha yang itu wajahnya bikin bad mood. Nabi mencari sisi baik orang lain dan didoakan masuk surga, lha yang itu mencari-cari kesalahan orang dan meneriakinya "Jahannam!", "kafir!", "Laknatulloh!"
MUI dikritisi karena kurang perhitungan dalam mengeluarkan fatwa. Seperti kemarin, fatwa haram memakai atribut Natal. Fatwa kok malah merusak hubungan antar umat beragama. Fatwa itu turun karena ada keluhan dari masyarakat adanya pemaksaan pemakaian atribut Natal oleh oknum pengusaha pada karyawannya. Tapi yang difatwa haram kok atributnya? kok bukan pemaksanya?
Bagiku oke saja, pakai atribut Natal. Karena atribut itu tidak ada agamanya. Apakah kalau pakai baju Sinterklas, terus otomatis Kristen? Basuki yang agamanya Kristen, pakai kopiah nggak otomatis jadi Muslim kok. Soal syirik atau tidak itu tergantung pada niat dan konsep pemakainya.
Rakyat Indonesia bukan santri TPA. Seorang muslim tentu saja nalurinya mencari sesuatu yang halal. Nggak perlu dikasih label '100% halal' pun mereka juga tahu kalau teh botol itu halal. Jadi harusnya yang dilabeli itu makanan yang haram saja (labelnya '100% haram). Label '100% halal' cocoknya di negara yang mayoritas non muslim : Amrik.
Dan yang pasti, semua orang bisa bikin fatwa!
(c) Robbi Gandamana, 18 Januari 2017
Tidak ada komentar:
Posting Komentar