Selasa, 24 Januari 2017

Antara Habib dan Paimo


Ngene lho rek,
Dari dulu saya males debat agama. Bukan karena apa, tapi karena takut ketahuan gobloknya. Setiap komen di tulisanku kebanyakan saya komen 'sipss', 'oyee', 'boleehh', 'masuukk', 'yess', mantapss', 'joss gandoss' dan jawaban lain yang singkat, padat dan..salah.
Lha wong sama-sama umat (awam) kok debat agama. Para Kyai Sepuh yang ahli agama saja menghindari debat semacam itu. Karena memang tak akan ada ujungnya dan melahirkan bibit permusuhan. Kalau kita nekat debat, itu jadi semacam goblok bersatu saling mengoblokan.
Agama tidak bisa diperdebatkan. Jalani keyakinanmu dan aku menjalani keyakinanku. Pilih ulama yang cocok menurut pikiran dan hatimu. Setelah itu jalani keyakinan itu, persetan dengan penilaian orang.
Apalagi yang ndebat itu orang yang nggak paham kata (bahasa). Tidak bisa membedakan kata 'dakwah' dan 'perang'. Kalau dakwah ya dakwah, perang ya perang. Dakwah bisa dengan cara halus atau cara tegas (keras). Kalau perang yang harus tegas, keras, bisa jadi malah kasar dan brutal karena berhadapan frontal dengan musuh yang beringas.
Jadi harus empan papan. Dakwah bisa dengan cara halus atau cara keras. Pada diri sendiri harus keras, tapi pada orang lain harus halus. Kalau berdakwah dengan keras pada orang lain (main pentung) orang akan jadi nggak simpati dan lari dari Islam. Nggak heran kalau banyak yang Islamophobia.
Kalau ada orang dipentungi gara-gara warungnya buka di bulan puasa, itu bukan dakwah, itu kriminal. Kalau kamu mendukung dakwah seperti itu, otakmu harus kamu periksa ulang. Kalau saya nggak masalah warung terbuka lebar saat bulan puasa. Karena tidak semua orang puasa. Dan semakin banyak godaan, semakin baik kwalitas puasanya. Pernah puasa senin kemis nggak sih?
Nabi Muhammad SAW memang panglima perang, tapi dalam berdakwah di masyarakat tidak dengan mengacung-ngacungkan pedang atau pentungan. Dikit-dikit main pentung, mentungnya pakai teriak 'Allahu Akbar!' pula. Orang tersesat kok dipentungi, tidak ditunjukan jalan yang benar.
Jadi pesanku, bedakan dengan cerdas antara dakwah dan perang, okey??? Tosss!
Ulama yang benar menurutku ulama yang benar-benar mengimplementasikan Rahmatan Lil Alamin (rahmat bagi seluruh alam). Mereka dihormati, disegani dan dicintai oleh semua umat, nggak cuman umat Islam. Saat meninggalnya, nggak cuman umat muslim yang kehilangan, berziarah ke makamnya dan khusyu mendoakan.
---Sopo sing ngomong kalau berdoa untuk non muslim atau sebaliknya, tidak akan diterima doanya. Orang tua Rasulullah bukan muslim, tapi beliau tetap mendoakannya---
Kalau ada ulama yang membuat umat non muslim merasa nggak nyaman, nggak tenang dengan sepak terjangnya, dia gagal sebagai ulama bahkan gagal sebagai seorang mukmin. Karena mukmin itu mengamankan, menyelamatkan dan menentramkan.
Bagiku ulama itu harusnya nggak cuma lihai dakwah, tapi juga paham adat dan budaya di mana dia berdakwah. Berkaca pada cara dakwah Sunan kalijaga yang mengenalkan Islam dengan pendekatan kultural. Tidak mengkafir-kafirkan atau mensyirik-syirikan adat dan budaya setempat, karena itu menyakiti hati manusia yang ujungnya menimbulkan keributan, perang.
Ulama berani mengkritik pemerintah itu sipss. Tapi jangan cuman mengkritik, beri juga solusi dan dibarengi dengan perbuatan kongkrit untuk negara tercintahh. Seperti sosok Gus Dur, Buya Hamka, Cak Nur (Nurcholish Madjid), Cak Nun dan para kyai sepuh NU maupun Muhammadiyah.
Anda bisa googling sendiri bagaimana kiprah para ulama yang saya sebutkan di atas dalam mengkritisi pemerintah (aku males nulis). Bagimanana Cak Nun yang mengkritisi rezim Soeharto, tapi Cak Nun malah dijadikan guru ngaji oleh Soeharto. Itu lah ulama jenis pawang yang nggak cuman berani mengkritisi, tapi juga bisa mendamaikan kedua belah pihak yang bertikai.
Walupun keturunan Nabi (Habib), tapi kalau sepak terjangnya bikin keributan, melecehkan suku dan ras tertentu, ya nggak pantas disebut ulama. Dan malah merusak citra Habib lain yang berdakwah dengan swejuk.
Dan konyolnya pengikutnya selalu membangga-banggakan doi dan Ormasnya karena sering turun langsung menolong korban bencana alam. Oalaa, Paimo juga sering ikut begituan. Cuman Paimo nggak terkenal dan tidak pakai label Islam. Dan Paimo tidak pilih-pilih orang dan tempat.
Bagus lah kalau jadi sukarelawan di Palestina, Aceh atau daerah lain yang mayoritas penduduknya muslim. Tapi kenapa saat Papua terjadi bencana kelaparan kok nggak ada yang jadi sukarelawan? Apa karena masyarakatnya non muslim, terus tidak ada unsur jihadnya?
Ah sudahlah, be careful with who you choose to believe!
(c) Robbi Gandamana, 23 Januari 2017

Tidak ada komentar:

Posting Komentar