Selasa, 24 Januari 2017

Antara Habib dan Paimo


Ngene lho rek,
Dari dulu saya males debat agama. Bukan karena apa, tapi karena takut ketahuan gobloknya. Setiap komen di tulisanku kebanyakan saya komen 'sipss', 'oyee', 'boleehh', 'masuukk', 'yess', mantapss', 'joss gandoss' dan jawaban lain yang singkat, padat dan..salah.
Lha wong sama-sama umat (awam) kok debat agama. Para Kyai Sepuh yang ahli agama saja menghindari debat semacam itu. Karena memang tak akan ada ujungnya dan melahirkan bibit permusuhan. Kalau kita nekat debat, itu jadi semacam goblok bersatu saling mengoblokan.
Agama tidak bisa diperdebatkan. Jalani keyakinanmu dan aku menjalani keyakinanku. Pilih ulama yang cocok menurut pikiran dan hatimu. Setelah itu jalani keyakinan itu, persetan dengan penilaian orang.
Apalagi yang ndebat itu orang yang nggak paham kata (bahasa). Tidak bisa membedakan kata 'dakwah' dan 'perang'. Kalau dakwah ya dakwah, perang ya perang. Dakwah bisa dengan cara halus atau cara tegas (keras). Kalau perang yang harus tegas, keras, bisa jadi malah kasar dan brutal karena berhadapan frontal dengan musuh yang beringas.
Jadi harus empan papan. Dakwah bisa dengan cara halus atau cara keras. Pada diri sendiri harus keras, tapi pada orang lain harus halus. Kalau berdakwah dengan keras pada orang lain (main pentung) orang akan jadi nggak simpati dan lari dari Islam. Nggak heran kalau banyak yang Islamophobia.
Kalau ada orang dipentungi gara-gara warungnya buka di bulan puasa, itu bukan dakwah, itu kriminal. Kalau kamu mendukung dakwah seperti itu, otakmu harus kamu periksa ulang. Kalau saya nggak masalah warung terbuka lebar saat bulan puasa. Karena tidak semua orang puasa. Dan semakin banyak godaan, semakin baik kwalitas puasanya. Pernah puasa senin kemis nggak sih?
Nabi Muhammad SAW memang panglima perang, tapi dalam berdakwah di masyarakat tidak dengan mengacung-ngacungkan pedang atau pentungan. Dikit-dikit main pentung, mentungnya pakai teriak 'Allahu Akbar!' pula. Orang tersesat kok dipentungi, tidak ditunjukan jalan yang benar.
Jadi pesanku, bedakan dengan cerdas antara dakwah dan perang, okey??? Tosss!
Ulama yang benar menurutku ulama yang benar-benar mengimplementasikan Rahmatan Lil Alamin (rahmat bagi seluruh alam). Mereka dihormati, disegani dan dicintai oleh semua umat, nggak cuman umat Islam. Saat meninggalnya, nggak cuman umat muslim yang kehilangan, berziarah ke makamnya dan khusyu mendoakan.
---Sopo sing ngomong kalau berdoa untuk non muslim atau sebaliknya, tidak akan diterima doanya. Orang tua Rasulullah bukan muslim, tapi beliau tetap mendoakannya---
Kalau ada ulama yang membuat umat non muslim merasa nggak nyaman, nggak tenang dengan sepak terjangnya, dia gagal sebagai ulama bahkan gagal sebagai seorang mukmin. Karena mukmin itu mengamankan, menyelamatkan dan menentramkan.
Bagiku ulama itu harusnya nggak cuma lihai dakwah, tapi juga paham adat dan budaya di mana dia berdakwah. Berkaca pada cara dakwah Sunan kalijaga yang mengenalkan Islam dengan pendekatan kultural. Tidak mengkafir-kafirkan atau mensyirik-syirikan adat dan budaya setempat, karena itu menyakiti hati manusia yang ujungnya menimbulkan keributan, perang.
Ulama berani mengkritik pemerintah itu sipss. Tapi jangan cuman mengkritik, beri juga solusi dan dibarengi dengan perbuatan kongkrit untuk negara tercintahh. Seperti sosok Gus Dur, Buya Hamka, Cak Nur (Nurcholish Madjid), Cak Nun dan para kyai sepuh NU maupun Muhammadiyah.
Anda bisa googling sendiri bagaimana kiprah para ulama yang saya sebutkan di atas dalam mengkritisi pemerintah (aku males nulis). Bagimanana Cak Nun yang mengkritisi rezim Soeharto, tapi Cak Nun malah dijadikan guru ngaji oleh Soeharto. Itu lah ulama jenis pawang yang nggak cuman berani mengkritisi, tapi juga bisa mendamaikan kedua belah pihak yang bertikai.
Walupun keturunan Nabi (Habib), tapi kalau sepak terjangnya bikin keributan, melecehkan suku dan ras tertentu, ya nggak pantas disebut ulama. Dan malah merusak citra Habib lain yang berdakwah dengan swejuk.
Dan konyolnya pengikutnya selalu membangga-banggakan doi dan Ormasnya karena sering turun langsung menolong korban bencana alam. Oalaa, Paimo juga sering ikut begituan. Cuman Paimo nggak terkenal dan tidak pakai label Islam. Dan Paimo tidak pilih-pilih orang dan tempat.
Bagus lah kalau jadi sukarelawan di Palestina, Aceh atau daerah lain yang mayoritas penduduknya muslim. Tapi kenapa saat Papua terjadi bencana kelaparan kok nggak ada yang jadi sukarelawan? Apa karena masyarakatnya non muslim, terus tidak ada unsur jihadnya?
Ah sudahlah, be careful with who you choose to believe!
(c) Robbi Gandamana, 23 Januari 2017

Minggu, 22 Januari 2017

Gerakan Bela Ulama? Ulama yang Mana?

Repot juga kalau berhadapan orang yang berprinsip 'pokoknya'. "Pokoknya kalau dia pasti saya bela!", "Pokoknya dia yang benar! lainnya salah!". Walaupun terbukti berbuat salah, tetap saja dibela mati-matian.
Hal seperti itu banyak terjadi saat ini. Kita tahu bahwa umat Muslim sangat menghormati, menyanjung bahkan sampai ada yang 'menyembah' ulama. Ketika ada yang mengkritisi ulama, dituduh benci ulama atau anti ulama. Ya'opo se rek, mengkritisi kok nggak boleh.
Lha wong ulama sekelas Bukhari Muslim aja boleh dikritisi, apalagi MUI. Yang salah itu mencela ulama dengan sebutan : onta gembrot, kadal bintit, muka gepeng, kecoa bunting, dan pisuhan lain khas Kasino Warkop DKI.
Lagian yang disorot itu adalah OKNUM ulama, bukan semua ulama. Dikritisi karena si oknum tindak tanduknya menimbulkan polemik (kericuhan) di masyarakat. Makanya jangan dibiasakan nggebyah uyah alias generalisasi bin pukul rata.
Repot juga kalau mengkritisi ulama terus dicap Anti Ulama. Jangankan mengkritisi, mencela pun boleh jika dalam keadaan teraniaya. Ingat : "Jangan berkata kotor kecuali dalam keadaan teraniaya." Teraniaya nggak selalu soal fisik, tapi juga psikis. Kalau dilecehkan, dicap suku kafir yang pantas masuk neraka, ya silakan misuh : "Jancok!"
---Ingat, jancok bukan suatu kedzaliman, justru jancok ditujukan untuk kedzaliman---
Apa ya perlu ulama disertifikasi. Karena label 'ulama' itu luhur banget. Kalau belum bisa jaga diri lebih baik jangan melabeli diri dengan 'ulama', 'ustadz' dan semacamnya. Karena ada yang melabeli dirinya sendiri dengan gelar-gelar tadi. Ada juga yang otomatis dapat gelar 'ustadz' setelah ceramah di tipi.
Ulama adalah pewaris Nabi, tapi mereka manusia biasa yang bisa salah. Dan mereka bukan Nabi. Nabi pun tak luput dari kesalahan. Bahkan Nabi Musa 'nggak lulus' saat diuji Nabi Khidir. Rasullullah pun pernah ditegur Allah. Tapi jangan bandingkan kesalahan Nabi dengan kesalahan kita. Mungkin kalau salahnya Nabi bagi kita itu bukan kesalahan. Nabi memang hebat, tapi tidak ada Nabi yang sakti, hanya mujizat Tuhan yang membuat mereka seolah-olah sakti.
Oke lah, tiap ulama punya peran di masyarakat. Saya tidak menyangkal itu. Ada ulama yang mengajarkan bisnis, sedekah berharap kembalian. Ada ulama syariat yang pangsa pasarnya kita ini yang taraf imannya masih ndlahom. Dan ada juga ulama hakikat yang perlu perenungan mendalam untuk memahami isi dakwahnya.
Tapi saya lebih respect pada ulama yang tidak menunjukan eksistensinya di dumay atau media mainstream. Tapi terus berdakwah secara senyap menyebarkan kebaikan, kegembiraan, serta membesarkan hati umat. Jika pun ada yang bermedsos ; cuitannya swejuk, cerdas dan mencerahkan.
Kalau seorang ulama menimbulkan kegaduhan, menyinggung suatu agama, suku, ras tertentu, ya wajar jika dibully habis-habisan, ditolak kedatangannya, bahkan nyawanya jadi target pembunuhan. Itu adalah buah dari perbuatannya. Dan saya TIDAK AKAN maju sejengkal pun untuk membela ulama seperti itu.
Sempat beredar meme : "Gerakan Bela Ulama bla bla bla...". Maksudnya ulama yang mana yang mau dibela??? Saya nggak mau membela ulama yang bikin kacau negeri ini. No way!
Lagian ulama sejati tidak suka dibela, hidup dan matinya hanya untukNya. Jadi jika harus mati di jalanNya, dia akan sangat ikhlas. Ulama sejati tidak memaksa umatnya untuk taat pada dirinya. Karena hanya Rasulullah dan Allah lah yang pantas ditaati. Ulama hanya membawa, menyebarkan ajaran Rasullullah. Hakikatnya, umat taat tidak pada ulama, tapi pada Rasulullah dan Allah, lewat wacana yang disampaikan ulama.
Menurutku meme tadi beresiko terjadi kegaduhan bahkan perpecahan antar umat. Karena bisa dijadikan 'alat' untuk memuluskan suatu misi oleh suatu kelompok tertentu. Tahu khan, umat muslim di negeri ini guampang disetir, guampang simpati dan guampang percaya ; hanya karena ada label 'Islam' mereka akan membela habis-habisan.
Jangkrik bosss...
Ada lagi oknum ulama yang 'ngartis' di Medsos. Tapi cuitannya malah menyinggung kaum tertentu. Buru-buru bikin status mencerdaskan, eh malah menyulut api peperangan yang berujung perpecahan. Agama tidak melarang perbedaan, tapi perpecahan.
Pewaris Nabi kok bikin kacau, ya'opo se rek. Nabi Muhammad wajahnya tersenyum (nggak cuman bibirnya), lha yang itu wajahnya bikin bad mood. Nabi mencari sisi baik orang lain dan didoakan masuk surga, lha yang itu mencari-cari kesalahan orang dan meneriakinya "Jahannam!", "kafir!", "Laknatulloh!"
MUI dikritisi karena kurang perhitungan dalam mengeluarkan fatwa. Seperti kemarin, fatwa haram memakai atribut Natal. Fatwa kok malah merusak hubungan antar umat beragama. Fatwa itu turun karena ada keluhan dari masyarakat adanya pemaksaan pemakaian atribut Natal oleh oknum pengusaha pada karyawannya. Tapi yang difatwa haram kok atributnya? kok bukan pemaksanya?
Bagiku oke saja, pakai atribut Natal. Karena atribut itu tidak ada agamanya. Apakah kalau pakai baju Sinterklas, terus otomatis Kristen? Basuki yang agamanya Kristen, pakai kopiah nggak otomatis jadi Muslim kok. Soal syirik atau tidak itu tergantung pada niat dan konsep pemakainya.
Rakyat Indonesia bukan santri TPA. Seorang muslim tentu saja nalurinya mencari sesuatu yang halal. Nggak perlu dikasih label '100% halal' pun mereka juga tahu kalau teh botol itu halal. Jadi harusnya yang dilabeli itu makanan yang haram saja (labelnya '100% haram). Label '100% halal' cocoknya di negara yang mayoritas non muslim : Amrik.
Dan yang pasti, semua orang bisa bikin fatwa!
(c) Robbi Gandamana, 18 Januari 2017

Rabu, 18 Januari 2017

Jangkrik Bossss...!



Emosi juga lihat pidio di yutup, kaum ndlahom membully Kyai, ketika tahu putri sang Kyai tidak berhijab. "Piye kuwi Kyai liberal, anake wadon kok ora dikon nganggo jilbab, edan ya'e," kurang lebih begitu ucap bocah gemblung yang diduga dari Boyolali.
Itu lah manusia, gampang terseret ikutan membully. Mudah sinis, mudah menolak atau menerima segala hal yang datang. Kenapa nggak ambil saja sisi baiknya yang membuat kita lebih baik menjadi manusia.
Kalau ilmu agama pas-pasan, no problem, minimal jadi manusia yang tidak melukai hati orang saja itu sudah lumayan. Daripada kamu Islam, tapi mempertahankan Islam dengan melukai sesama manusia.
Islam itu mengamankan semua orang, membuat semua orang merasa nyaman, maka namanya Islam, nama alatnya Iman, pelakunya Mukmin, doanya Amin.
Kalau ke orang lain, carilah baiknya walaupun dia bajingan. Kalau ke diri sendiri cari buruknya. Jangan sampai menuding orang lain dengan sebutan kafir, munafik dan sejenisnya. Nyawango raimu dewe, opo uripmu wis bener. Lebih baik kita kafirkan diri kita sendiri, dengan begitu kita jadi rendah hati.
Harusnya kita berkaca pada kisah para Nabi tempo doeloe. Tuhan sudah ngasih yurisprudensi, bagaimana Nabi Nuh yang gagal mengajak putranya untuk beriman pada Tuhan. Nabi Luth dikhianati istrinya yang ternyata doyan sesama jenis. Rasulullah pun tidak mampu mengIslamkan pamannya yang mengasuh beliau sejak kecil.
Sekelas Nabi saja tidak sanggup membelokan keimanan anaknya sendiri, apalagi kita yang cuma manusia biasa.
Hidayah itu kuasa Tuhan. Hanya Dia yang mampu memberikan hidayah pada manusia. Tugas manusia cuman mengajak, mengajarkan kebaikan, tapi tidak memaksakan.
Apalagi anak itu hakikatnya bukan anak ortunya. Jadi ingat petuah Kahlil Gibran :
"Anak-anakmu bukanlah anak-anakmu. Mereka adalah anak-anak kehidupan yang rindu akan dirinya sendiri. Mereka dilahirkan melalui engkau tapi bukan darimu. Meskipun mereka ada bersamamu tapi mereka bukan milikmu. Pada mereka engkau dapat memberikan cintamu, tapi bukan pikiranmu. Karena mereka memiliki pikiran mereka sendiri. Engkau bisa menjadi seperti mereka, tapi jangan coba menjadikan mereka sepertimu............"
Boleh saja berjilbab karena takut sama bapaknya atau sungkan sama temannya. Kadang perlu juga memaksakan diri sendiri untuk berhijab. Tapi sebenarnya kalau berjilbab karena alasan selain karena kesadaran pribadi, itu 'penipuan', bisa jadi malah munafik karena merekayasa kesan (agar terkesan alim).
Maka ambigu kalau ada Perda wajib jilbab. Berjilbab atau tidak itu urusan moral umat, urusan pribadi mereka dengan Tuhannya. Wah, jadi ingat Perda larangan perempuan duduk mengangkang saat dibonceng sepeda motor. Repot kalau semua ada Perdanya, aparat sudah banyak urusan, ngapain ngurusi urusan pribadi orang. Cwape dwech.
Ada juga orang alim yang konyol, saat lihat cewek sexy (nggak berjilbab) langsung melengos, "Cuih!". Itu karena dia melihat orang lain dengan memakai standar dirinya. Iman tidak bisa distandarisasi. Lagian lelaki mana sih yang tidak suka dengan keindahan wanita. Ulama yang paling alim pun kagum dengan keindahan wanita.
Tiap manusia berperang dengan dirinya. Dan ulama lebih bisa memenangkan perang yang ada di dalam hati. Bisa jaga diri, tidak seperti kita yang langsung melotot lihat paha mulus, "Bukak titik jossss!". Dan semakin tinggi tingkat spiritualitas seseorang, semakin memahami betapa cantiknya wanita.
Jadi, nggak usah sinis pada cewek yang berjilbab tapi bajunya ketat (jilboob), atau yang tidak berjilbab, bahkan yang berpakaian minim. Berprasangka baik saja, hormati mereka dalam menjalani proses imannya. Nggak ada manusia yang langsung alim 100%. Bahkan yang alim pun nggak bisa stabil imannya.
Kita terbiasa berpikir tidak pada koordinat yang pas. Mengagung-agungkan Arab dengan sistem Kilafahnya. Kita ingin seperti mereka, memakai hukum syariah, memaksa perempuan pakai jilbab, padahal putri Arab, Deena Abdulaziz Al-Saud malah tidak berhijab. Bahkan hobinya pakai rok mini. Oh yesss..Oh No.
Percayalah negerimu itu jauh lebih hebat sepuluh kali lipat dari Arab. Sebelum Nabi diturunkan di sana, Arab adalah negeri Barbar. Nabi diturunkan di sana karena akhlaknya tidak tertolong. Mubazir kalau diturunkan di Nusantara yang punya keluhuran budi luar biasa. Dan Islam datang ke Nusantara melegitimasi itu, keluhuran budi yang Islami.
Pengertian Islami itu bukan hanya untuk orang Islam. Islami itu perilaku yang berkarakter Islam : sopan, berbudi pekerti, murah senyum, ringan tangan dan seterusnya. Jadi jangan kaget kalau negara yang paling Islami itu bukan Arab.
Wah, kayaknya bahasan sudah melebar-lebar. Intinya nggak usah ngurusi kehidupan orang, berbuat baik saja sebisa mungkin (kalau belum bisa memberantas kemungkaran, no prolem, minimal tidak menambah kerusakan). Ada 4 jurusan berbuat baik: berbuat baik setinggi-tingginya itu angkatan udara, sedalam-dalamnya itu angkatan laut, seluas-luasnya itu angkatan darat. Kalau kepolisian, sebanyak-banyaknya. Jangkrik bossss..!!
Wis ah...zuukk mariii.
*Kaum ndlahom = kumpulan manusia gemblung yang sok tahu (termasuk saya).
(c) Robbi Gandamana, 13 Januari 2017

Senin, 09 Januari 2017

Tulisan Goblok yang Mencerdaskan


Menulis dengan kaidah bahasa yang benar itu memang baik dan perlu. Tapi, kalau nulis di dumay ya nggak penting Mblo! Bahkan mubazir kalau dipaksakan. Waktu akan habis untuk mikir ejaan EYD-nya, karena nulis yang asyik itu mengalir tanpa beban, alami, otentik. Tulisan seperti itu lah yang biasanya rame sambutannya (tergantung isi dan tema-nya juga sih).
Jadi menurutku, (dalam konteks menulis di dumay) fanatik pada kaidah bahasa itu nggak perlu. Yang penting tulisan enak dibaca dan kickass! Pokoke bagaimana caranya tulisanmu jadi semacam alat pacu jantung yang membangunkan jiwa-jiwa yang mati suri.
Di dumay, orang lebih suka tulisan yang 'nyentrik', yang lain dari yang ditemui di dunia nyata. Orang lebih memilih tulisan cerdas (walaupun bahasanya ancur minah) daripada tulisan yang sesuai EYD tapi tanpa 'isi' . Yang penting itu isinya, bukan bahasanya.
Hati kita selalu menggiring kita mencari sesuatu yang tidak pernah bosan untuk terus membacanya, menelusurinya, mengikutinya. Di sekolah, di kampus, di kantor sudah dicekoki tulisan tertib sesuai EYD, lha kok di Medsos disuguhi itu juga. Ampuunn bossss, cukupp!! *melambaikan tangan*.
Saya sendiri nggak perduli dengan kaidah bahasa yang benar. Yang penting enak dibaca, dan tentu saja tidak menyinggung SARA. Dan jadikan menulis itu bukan urusan eksistensi tapi lebih pada menyebarkan kebaikan, kegembiraan melalui huruf dan kata.
Sori kalau saya lebih banyak menggunakan bahasa kampung daripada bahasa kampus. Itu karena segment pembacaku adalah koboi, anak kampung, bajingan. Dan sudah terbukti bahasa kampung lebih diterima daripada bahasa kampus, karena Lebih membumi.
Menurutku, kalau mau menulis (di dumay), menulislah seotentik mungkin. Nggak harus belajar kaidah menulis dulu. Nanti otomatis akan belajar dengan sendirinya. Karena pasti di tengah jalan akan menemukan berbagai kesulitan bahasa yang akhirnya mau nggak mau harus belajar ilmunya.
Di dumay, banyak tulisan hebat dengan kaidah bahasa yang benar tapi sepi sambutan. Sedang tulisan bergaya 'goblok', anti mainstream, malah lebih rame sambutannya. Dan aku belajar dari hal-hal seperti itu, bagaimana tulisan goblok tapi bisa membuka pikiran, yang akhirnya membuka pori-pori kecerdasan.
Itulah yang kulakukan, menulis dengan konten cerdas tapi dengan cara yang goblok. Dengan kata lain, tulisan cerdas yang ditulis oleh orang goblok.
----Ingat, kalau kamu bisa mengambil hikmah dari omongan ustadzzz atau kyai, itu wajar. Tapi kalau kamu bisa menangkap atau mengambil hikmah dari bualan seorang pembual, itu keren!---
Kayaknya tulisan yang diminati saat ini yang seperti itu, ditulis dengan gaya 'goblok'. Seandainya aku seorang penerbit, aku akan mencari penulis yang sangat serius tapi dengan gaya 'goblok' seperti itu (walau aku sendiri nggak ingin membukukan tulisan goblokku). Tulisan serius dengan kaidah bahasa yang tertib it's boring dude!
Tulisan tertib hanya cocok untuk dokumen resmi atau buku-buku resmi, selain itu pliss dwech ach. Mungkin itu alasan orang yang fanatik pada kaidah bahasa, karena terobsesi membukukan tulisannya, ingin populer. Itu oke juga, walau aku nggak mau seperti itu.
Bangga karena tulisannya dibukukan itu oke. Tapi lebih oke lagi kalau tulisan dibaca dan bisa menginspirasi jutaan orang. Banyak orang yang sudah membukukan tulisannya, tapi ya sekedar tulisan di atas kertas yang tidak 'bernyawa'.
Jadi saranku, bukukan tulisanmu jika buku tersebut bisa sekelas Kitab Suci. Aku tantang kalian!! ....huwehehe guyon mas.
Mencari (membaca) artikel atau berita itu asyiknya yang membuat kita memeriksa ulang otak kita, "Ah mosok ngono se??". Jangan mencari artikel yang sama dengan keinginanmu, atau yang memperkuat pembenaranmu, yang membuatmu onani berkepanjangan, "Alhamdulillah, ternyata nggak cuman aku yang cinta Agus."
Apalagi orang itu terbiasa berpikir statis, tidak terbiasa berpikir dinamis. Misal soal kata kasar. Anggapan banyak orang, 'jancok' itu adalah kata kasar. Padahal saat ini bahasa yang kasar itu 'kafir', 'nyinyir', 'situ waras?'. Kalau cuman 'jancok', bagiku biasa saja. Jancok bisa jadi ungkapan kebencian, tapi bisa jadi alat kemesraan.
(Ungkapan 'situ waras?' itu kurang ajar banget, berani-beraninya meragukan kewarasan jiwa seseorang.)
Maka aku salut pada Seword.com yang berani menayangkan tulisanku "Antara Fatwa, Prasangka dan 'Mbokneancok'". Terbukti kalau Seword.com adalah portal yang nggak cuman cadas, tapi cerdas dan waras. Karena itu menunjukan Seword itu berhati luas, sangat moderat dan cara berpikirnya dinamis.
Kita tak pernah tahu niat dan tujuan orang berkata jancok. Siapa tahu dalam ucapan 'Jancok' seseorang terkandung 'Alhamdulillah', karena dia ngomong 'jancok' dalam rangka mensyukuri nikmat. Who knows.
Well, cukup saya akhiri di sini saja tulisan goblok ini. Saranku sekarang, abaikan teori nulis yang diajarkan dosenmu, redakturmu, Pimredmu, mentormu. Dumay itu dunia yang absurd, sangat berbeda dengan dunia nyata. Di fesbuk, orang yang tidak kenal dan tidak pernah bertatap muka, bisa mensupport tulisanmu gila-gilaan. Padahal teman dekatmu di rumah atau di kantor, biasa saja, bahkan cuek.
Jadi, buat apa fanatik pada kaidah bahasa yang benar, ini dumay Mblo!
Wis ah.
(c) Robbi Gandamana, 9 Januari 2017

'Mumet Ndase' karena Harga-Harga Naik!?

Sejak jaman neolithikum, kenaikan harga atau tarif selalu jadi polemik. Begitu juga dengan kenaikan tarif pajak kendaraan (atau biaya admin atau perpanjangan? Embuh wis, sulit cari berita yang valid) yang resmi diberlakukan hari ini, 6 Januari 2017.
Tanpa sosialisasi jauh-jauh hari, kenaikan itu tentu saja bikin semaput sebagian orang. Tapi sisi positifnya, Jika ada sosialisasi (jauh hari) pasti ada demo dimana-mana. Apalagi ini lagi panas-panasnya Pilgub, dipastikan akan 'digoreng', dijadikan alat politik.
Saat ini kesempatan emas buat pasukan Prabower untuk mengekspresikan hasrat dendam kesumat Pilpres tahun lalu. Waktu dan tempat kami persilakan, monggooo.
Tapi konyol kalau ngrasani pemerintah tanpa tahu alasan kongkritnya. Cuman mengandalkan referensi dari status fesbuk, situs kacangan atau TV yang kontra pemerintah. Tidak ada berita yang murni dari sana. Kebanyakan subyektif, berpihak dan ada kepentingan. Silakan ngrasani pemerintah kalau referensinya valid, kalau bisa dari ring 1.
----Ingat kata Stephen Hawking, "Musuhnya ilmu pengetahuan itu bukan kebodohan, tapi ilusi". Orang sekarang, ilmunya banyak didapat dari informasi literer atau kebenaran di atas kertas dan 'katanya'. Bisa jadi tu adalah ilusi. Jadi, tidak dari pengamatan dan pengalaman pribadi atau tidak melihat dan merasakan langsung.----
Nggak cuman Prabower, tentu saja semua orang (yang waras) kecewa jika tarif pajak dinaikan. Itu sifat dasar manusia. Tarif nggak naik saja males bayar, apalagi dinaikan. Tapi untungnya beban pajak itu hanya dibayar setahun sekali, nggak seperti bayar kredit motor yang tiap bulan. Nek wong Jowo mesti untung ae. Masio sekarat yo tetep untung.
Kenaikan tarif ini bukan soal siapa presidennya Mblo. Pilpres sudah berlalu. Seandainya Prabowo jadi presiden, bisa jadi akan melakukan kebijakan serupa. Karena ternyata selama 7 tahun tarif pajak kendaraan nggak pernah naik (kata mbak Sri Mulyani).
Kok sampai ditunda 7 tahun ya?, ya'opo se rek. Mari kita mundur ke belakang, siapa presiden 7 tahun lalu yang suka tebar pesona dan selalu jaga popularitas, nggak berani mengambil kebijakan yang nggak disukai rakyat?
Oalaa swemprul, lha wong presidennya bapake Agus. Presiden yang memanjakan rakyatnya dengan Bantuan Langsung Tunai dan kebijakan sejenis yang bikin rakyat males kerja, nggak kreatif, tangan nyadong nang pinggir embong.
Gara-gara bapaknya Agus, pemerintah saat ini kena efeknya. Rakyat kaget dengan akumulasi kenaikan tarif pajak tadi. Kalau sekarang naik 100% ya wajar, lha wong 7 tahun nggak pernah naik. Seandainya tiap tahun naik khan nggak begitu terasa bebannya.
Jokowi sendiri sudah 2 tahun memerintah. Selama masa itu kok nggak ada pikiran soal tarif se boss!?--isunya ternyata kebijakan tadi tanpa sepengetahuan Jokowi--Tapi kalau memang itu menjadikan sarana dan pelayanan jadi lebih baik, yo wis lah walau misuh dalam hati.
Jadi kalian pilih mana, pilih model kepemimpinan yang mencekoki rakyat dengan uang sehingga kamu bisa nyantai, nggak kreatif, tenguk-tenguk karo nyekeli manuk atau model kepemimpinan yang membangun sarana agar memudahkan kamu berkreatifitas, termotivasi untuk ikutan terjun melakukan suatu yang positif untuk diri dan negeri.
Jangan berharap saya akan menuliskan alasan kenapa pemerintah menaikan tarif pajak kendaraan atau mencaci kebijakan itu. Nggak rek, aku gak eruh. Saya nggak punya referensi yang akurat, dan juga nggak mau larut dalam kegalauan. Ojok ngersulo ae, banyak sekali kemungkinan dalam kehidupan.
Sori, saya bukan Jokower, Prabower atau SBY lover. Dari dulu saya tidak berpihak. Saya nggak mau jadi 'gemblung', membela mati-matian orang yang sama sekali tidak membelaku. I dont want to be a part of this sick society!
Dipikirnya kalau aku membela Basuki, terus aku Ahoker? Nggak! Aku hanya membela yang kuanggap benar, teraniaya. Mengkritisi sesuatu yang kuanggap mblendes.
Aku nggak perduli Jokowimu, Prabowomu, Ahokmu, Habibmu. Intinya saya meneladani Gus Dur yang menegakan keadilan, membela manusianya ; bukan membela agamanya, sukunya, rasnya, labelnya, gelarnya (presiden, gubernur dan lainnya).
Saya nggak masalah anda membela mati-matian jagoanmu, sampai rela ngemut bokonge. Yang jadi masalah ketika anda memaksakan orang lain harus sama dengan pilihanmu. Kalau nggak sama dianggap musuh, dibodoh-bodohkan, dicap munafik, imannya kurang, kafir, anti-Islam. Itu lah yang menyulut api peperangan, mbokneancok!
Saya menulis di sini (atau di mana pun) cuman ingin jadi 'pendingin' antara 2 kubu yang bertikai. Bosen lihat kalian 'perang' terus.
Kembali ke soal kenaikan tarif pajak kendaraan.
Prabower silakan mengkritisi kenaikan tarif tadi, asal tidak kebablasan, main fitnah (karena persaudaraan jauh lebih penting). Yang Jokower jangan sok menjelaskan kalau hanya mengandalkan referensi yang nggak jelas validitasnya, ketika diberondong pertanyaan malah gelagepan atau ngomong ngawur.
Saya nggak paham mekanisme kenaikan tarif pajak, maka saya nggak berani ngomentari itu.
Kenaikan tarif ini memang bikin mumet ndase, tapi yang saya tahu orang Indonesia itu tangguh, punya teknologi hidup yang dahsyat. Dikasih uang seratus ribu, "Cukup.", dikasih limapuluh ribu, "Yaa..cukup lah.", dikasih 25, "Yaa, dicukup-cukupkan."
Sekarang suasananya masih panas, ndas umep, marah, tapi seminggu 2 minggu dipastikan mereka akan lupa. Tenang saja..
***
Tenang saja..
dollar membumbung tinggi
harga bensin, tarif listrik, tarif pajak naik 100% lebih
rakyat Indonesia selalu siap!!!
mungkin seminggu dua minggu mereka sedih
tapi setelah itu..
kesedihan akan disulap menjadi ilmu
disulap menjadi hikmah
disulap menjadi revolusi diri
disulap menjadi optimisme melangkah ke depan..
Tenang saja..
orang Jepang mungkin sudah bunuh diri
tapi rakyat indonesia itu radikal revolusioner
mahir mengubah ampas menjadi jajanan gaul
jadi kambing pun bisa hidup dan punya harga diri
biar miskin asal gagah
Tenang saja..
rakyat Indonesia itu ahli ngirit
walau gagah perkasa dan elegan
nggak canggung bawa kotak bekal makan siang bergambar 'Dora'
mereka hanya malu kalau gadget ketinggalan jaman
kata Paimo : "gengsi harus dijunjung tinggi!!"
Tenang saja..
walau gaji pas-pasan
masih berani ngredit kendaraan baru
walau nggak punya uang
berani kawin dan punya anak lima
walau untuk makan saja susah
tapi masih bisa beli gadget yang paling canggih
Tenang saja..
pasti harga-harga bakalan naik semuanya
tapi rakyat indonesia nggak bisa dibuat sedih cuma karena hal yang remeh itu
konon indonesia adalah negara yang warganya banyak tertawa
berbanding terbalik dengan kondisi ekonominya
Tenang saja..
siapapun pemimpin yang terpilih
mau Jokowi atau Prabowo sama saja
nggak masalah sama sekali..
jangan dikira rakyat akan taat sama mereka
jangankan taat sama pemimpinnya
sama Tuhan saja nggak taat..!
Tenang saja...
Indonesia nggak bisa di-Arab-kan
Indonesia nggak bisa di-Barat-kan
Indonesia akan tetap menjadi Indonesia..
mungkin sekali waktu 'ketutupan'
ketutupan Jonru
ketutupan K-Pop
ketutupan Metallica
ketutupan Raimu
Tenang saja..
rakyat Indonesia itu bodoh
biar saja..
bodoh saja pinter ngakali
apalagi kalau pinter..
semua bisa diakali
apa sih yang nggak diakali di negeri ini?
Tenang saja..
silahkan Amerika ambil Freeport
ambil tambang yang lain untuk makan rakyatnya..
Tuhan maha kaya..
Indonesia itu disetting kaya olehTuhan
masih banyak kekayaan alam yang belum digali
Indonesia is the promised land
Tenang saja.........
***Puisi (nggedabrus) 'Tenang Saja..' saya ambil dari status fesbuk saya tahun 2014.
*Mumet ndase = pusing kepala = kepala pening = headache
(c) Robbi Gandamana, 6 Januari 2017

Bangsa yang Sulit Akur karena Budaya Ngawur


Ini masih soal ngawur mengawur, melanjutkan tulisan saya yang kemarin. Baca tulisan saya kemarin khan? kalau nggak ya anda termasuk orang yang merugi.
***
Sejak Medsos berjaya, buanyak kasus besar yang lahir dari status, cuitan atau postingan ngawur. Ini terjadi karena kedengkian sudah menutupi hati dan pikiran sehingga cara berpikir dan bertindak jadi ngawur. Apa itu karena mabuk politik, mabuk agama atau (bisa jadi) terkena radiasi dari perang antar makhluk tak kasat mata di alam ghaib.
----Berita politik yang terjadi saat ini adalah versi kedengkian antara 2 kubu yang bertikai. Tidak ada berita politik yang murni. Jadi jangan terlalu dimasukan di hati yang membuat kedengkianmu meningkat ke stadium lanjut----
Kalau kita mau sedikit menggunakan otak kiri agak ke tengah, sebenarnya banyak status (kata-kata) yang nggak beres berseliweran di Medsos. Seolah-olah benar tapi sebenarnya mblendes. Ngawur sudah jadi budaya. Demi membela jagoannya, cara ngawur pun dipakai. Karena budaya ngawur itu lah, negeri ini sulit akur. Ngawur bersatu, sulit diakurkan.
Saya bukan pakar bahasa, tapi yang saya tulis ini cuman asumsi yang mungkin bisa jadi bahan perenungan (atau malah menyesatkan?). Ini analisa awur-awuran, ngawur tapi pakai otak, berdasar pengalaman dan pengamatan (ingat, tiap manusia melakukan penelitian dalam hidupnya, sadar atau tidak sadar).
Ada sebuah sindiran : "Naik gunung 5 KM kuat, ke masjid yang berjarak 50 meter nggak kuat". Kalimat itu menganologikan sebuah kekuatan, okol. Sekilas memang benar, tapi kalau dipikir lagi ternyata salah. Kalimat tadi bukan soal kuat atau nggak kuat, tapi bicara soal iman. Walau jarak masjid dari rumah cuman 10 meter, tapi kalau lemah iman, nggak bakalan pergi ke masjid. Jadi orang pergi ke masjid bukan karena jaraknya, tapi lebih karena punya iman.
Tentu saja ungkapan 'naik gunung..' di atas tidak menimbulkan kegaduhan, tapi kebiasaan beranalogi ngawur kalau dibiarkan terus menerus akan menular ke ngawur-ngawur lain yang berpotensi gaduh.
Ada juga : "Sanggup bangun tengah malam untuk nonton bola, tapi nggak sanggup bangun tengah malam untuk shalat tahajjud'. Ungkapan ini tidak bicara soal kuat melek, tapi bicara soal iman. Walau kuat bangun malam, tapi kalau tak ada iman, hati nggak akan tergerak untuk shalat malam dan malah mbatin dengan sinis, "Tahajjud? diakali wong Arab."
Dulu saat bulan puasa pernah ada postingan hoax sebuah spanduk bertuliskan "Hormati Orang yang Tidak Puasa." Kaum ndlahom langsung mengkonsumsinya mentah-mentah. Karena otak tercemar oleh kedengkian, mereka pun bikin analogi ngawur: "Hormati orang yang main petasan" (petasan yang dibunyikan saat ada orang shalat di masjid).
Oalaa, sudah tertipu hoax, salah main analogi pula. Kalau yang namanya petasan jelas mengganggu, apalagi dibunyikan di dekat rumah ibadah, ya'opo se rek.
Sering saya baca ungkapan : "Betapa kecil dan tidak berartinya kita jika dibandingkan dengan jagat raya.", atau "Manusia hanya sebutir debu di alam jagat raya ini". Ungkapan ini baik sebagai pengingat diri agar tidak congkak. Cuman dari segi ilmu (koyok ngerti-ngertio ae) sebenarnya kurang tepat.
Tidak ada dikotomi besar kecil antara manusia dan jagat raya. Manusia memang diciptakan segitu. Dalam konteks besar kecil, membandingkan manusia harusnya dengan manusia. Membandingkan semut harus dengan semut. Semut ngamuk kalau dibilang kecil karena dibandingkan dengan gajah, "Cilik raimu!, aku memang diciptakan segini!"
Kalau memang ngawur, ngawurlah karena benar, seperti Sujiwo Tedjo yang mengkritik pemerintah menggunakan cerita ngawur, mencampuradukan kisah wayang dengan super hero Amrik. Ngawur (merusak pakem) tapi cerdas.
Silakan beranalogi kalau itu analogi yang cerdas dan mencerahkan. Karena analogi itu nggak seperti ibarat apalagi sinonim. Pahami substansi, esensi, peristiwa dan nuansa saat kata diucapkan.
Kemarin sempat ramai perang analogi menggunakan kata 'pakai' yang bikin mumet ndase. Banyak di antara analogi tadi yang ngawur jaya. Tapi saya nggak mau bahas soal itu, karena kita sudah lelah bermusuhan dengan berbagai hal, dari Pilpres, Pilgub sampai soal fatwa MUI. Wis cukup rek, mending urusono cicilan motormu sing durung lunas.
Jadi,.......saya kira...kita harus...mulai...mengkaji ulang.....mulai dari..diri kita....agar..lebih bijak..dalam....menulis..atau......menyebarkan berita (meniru pak Moerdiono, menteri zaman Orba, yang gaya bicaranya lamban sambil mata merem melek).
Oh iya, ngawur mengawur ini nggak cuman menjangkiti dumay. Di dunia nyata pun banyak terjadi.
Ada seorang boss pabrik kecil meminta buruhnya bekerja layaknya tentara yang selalu siap bertugas kapan pun dan di mana pun. Buruh pabrik kok disamakan dengan tentara, yang lebih terjamin kesejahteraannya karena dikontrak mati untuk negara. Bagus kalau itu jadi inisiatif pribadi, kerja bagai prajurit yang selalu siap tempur. Tapi kalau bossnya yang minta, itu namanya ditaktor. Gaji pas-pasan dipaksa kerja spartan.
Banyak cerita soal ngawur-mengawur lainnya, kalau anda jeli mengamati (kurang kerjaan) dan mau berpikir sedikit saja. Mulailah amati dirimu, temanmu, mbokdemu, mbahmu, keluargamu, bossmu, lingkunganmu..carilah sendiri, ojok nggolek enake tok ae. Aku kesel nulise, enak awakmu cuman moco tok.
Wis ah.
(c) Robbi Gandamana, 2 Januari 2017