Selasa, 20 Juni 2017

Kapitalisme Pendidikan di Negeri Ini




Saat ini para ortu yang akan menguliahkan anaknya di Perguruan Tinggi Negeri (PTN) mumet ndase! Apalagi PTN yang punya nama besar. Duit puluhan juta harus disiapkan. Jumlah uang yang besar untuk ukuran rakyat jelata yang pendapatannya pas-pasan. Apesnya, kebanyakan dari mereka yang akan kuliah itu golongan pas-pasan.

Kapitalisme melanda dunia kampus. Lha ya'opo, semua keperluan pendidikan kok dibebankan ke rakyat. Biaya pembangunan kampus dan peralatan pendidikan dibebankan kepada mahasiswa (rakyat). Gaji para dosen dan para stafnya diambil dari dana APBN (uang rakyat). Dan juga gedung PTN didirikan di atas tanah negara yang sesungguhnya milik rakyat.

Ketika ada yang menyinggung soal biaya yang fantastis itu, malah dicemooh, "Uripo nang alas, nang kono serba gratis!" Wadoh. Sepertinya di negeri ini tidak berlaku logika apa pun. Seharusnya marah tapi tidak marah, seharusnya bereaksi tapi tidak bereaksi, seharusnya kesakitan tapi malah cengengesan, seharusnya protes tapi memaklumi. Itu aneh bin ajaib.

Nggak heran kalau banyak anak lulusan SMA yang tidak meneruskan kuliah. Ortunya angkat tangan dengan biaya masuk kuliah yang fantastis. Padahal banyak dari mereka yang berotak cerdas, punya potensi yang dibutuhkan bagi negeri ini.

Kita adalah bangsa yang membunuh potensi rakyatnya sendiri. Tugas negara adalah mencerdaskan rakyatnya, tidak perduli kere atau kaya, semua berhak mendapatkan pendidikan. Tugas sekolah itu mencerdaskan. Jadi tidak pilih-pilih, baik yang miskin atau kaya, yang bodoh atau pintar. Anak masuk SD tujuannya agar bisa membaca, lha kok syarat masuknya harus sudah bisa membaca.

Negara yang butuh rakyat, bukan rakyat yang butuh negara. Negara harusnya yang "menjemput bola", bukan rakyat yang ngemis mengajukan proposal. Masyarakat tanpa negara, tetap bisa jadi masyarakat. Tapi negara tanpa masyarakat nggak bisa jadi negara. Jerman adalah contoh yang  bagus, bagaimana di negara itu pendidikan digratiskan sampai perguruan tinggi. Jerman tidak sekaya negeri ini, tapi sangat cerdas me-manage negerinya.

Nggak cuman masuk kuliah, masuk SMPN dan SMAN yang layak, rakyat terpaksa memecah celengan Bagong dan menguras habis isinya. Karena sekolah (yang layak) dijual mahal. Coba rasakan aura mereka yang menerima wali calon murid saat wawancara penerimaan siswa baru. Ketika bertanya soal kesanggupan bayar biaya pembangunan, matanya begitu "ngaceng", ada semacam kelaparan yang parah akan uang.

Ada memang sekolah gratis, tapi kacangan! Sarana dan fasilitasnya apa adanya, pokoknya sekedar sekolah. Kalau nggak terpaksa, nggak mau ortu yang menyekolahkan anaknya di sana. Walau ada juga yang sebenarnya mampu, tapi tetap menyekolahkan anaknya di sekolah gratisan.

Harusnya menyekolahkan anak di sekolah yang bagus adalah indikator gengsi. Tapi kenyataannya, Indikator gengsi rakyat indonesia  itu gadget canggih atau kendaraan. Mereka sama sekali nggak malu kalau anaknya sekolah di sekolah gratis, tapi malu kalau nggak bergadget canggih atau kendaraan bagus.

Maka jangan heran kalau ada orang yang lebih memilih ngredit motor baru, daripada pusing membayar biaya masuk kuliah anaknya. Nggak malu anaknya nggak kuliah, asal punya motor baru. Bagus kalau untuk keperluan wiraswasta, tapi ini cuman buat nggaya keliling kampung cengengesan unjuk gigi.

Ada komentar sinis, "lapo kuliah, paling nek lulus nasibe podo karo sing gak kuliah, dadi buruh." Oala. Kewajiban manusia itu berusaha, soal sukses atau tidak itu urusan Tuhan. Tugas manusia itu menanam, soal panen atau tidak, biar Tuhan yang memutuskan. Yang dinilai Tuhan itu usahanya, bukan suksesnya. Kaya (materi) pun tidak berarti sukses.

Harusnya orang tua adalah tumbal buat anaknya. Demi pendidikan yang baik buat anak, orang tua harus berani gembel, hidup secara miskin. Berikan anak pendidikan yang baik, juga kenangan masa kecil yang baik yang hanya terjadi sekali dalam hidup mereka. Itulah pengabdian. Tapi yang banyak terjadi, ortunya kemana-mana nenteng gadget canggih tapi anaknya sekolah di sekolah negeri ndeso burek gratisan nggak jelas.

Lain perkara kalau sudah berusaha tapi tidak diterima di sekolah yang baik, itu bisa dimaklumi. Ada banyak hal yang membuat anak gagal diterima di sekolah yang baik. Misal sistem poin yang menurutku konyol. Anak yang ortunya guru otomatis poinnya (nilainya) bertambah. Poin itu harusnya sebuah prestasi, bukan karena anaknya seorang guru, walikota, camat, dan lainnya. Itu diskriminasi. Mau guru, buruh, tentara, petani, pemulung, semua punya peran dalam kehidupan bernegara.

Saat ajaran baru, selalu ada fenomena menarik yang selalu terulang. Ada yang kesulitan biaya karena miskin, tapi ada yang mampu tapi pura-pura kere dengan ikutan program Gakin (warga miskin). Ada juga orang kaya yang mampu menyekolahkan anaknya di sekolah bagus, tapi nilai anaknya pas-pasan, akhirnya lewat jalan belakang  menyetorkan sejumlah uang agar anaknya tidak dieliminasi.

Itulah sisi kusut dunia pendidikan di negeri ini, yang sepertinya sulit untuk dibenahi, karena sudah mendarah daging. Beruntunglah pemimpin negeri ini, karena rakyatnya sangat manut (atau cuek?). Untuk mengejar selembar gelar sarjana, disuruh bayar berpuluh-puluh juta pun sanggup. Sekolah dijual mahal tapi tetap laris terbeli, salut!

Wis ah, matur nuwun.

(C) Robbi Gandamana, 20 Juni 2017

Sabtu, 17 Juni 2017

Cak Nun : Khilafah adalah Jalan Satu-satunya



Yang saya tulis ini adalah pemikiran Cak Nun. Ini semacam reportase dari salah satu pengajian Cak Nun, Sinau Bareng di Polresta Malang, 7 Mei 2017. Saya olah kembali dari bahasa ucapan menjadi bahasa tulisan. Ada beberapa penambahan dan pengurangan seperlunya dari saya agar enak dibaca dan gampang dimengerti tanpa mengubah arti dan maksud dari pemikiran beliau.

Ada yang menarik dari pitutur Cak Nun, soal khilafah. Saya kaget ketika Cak Nun ditanya apakah beliau setuju khilafah. Beliau menjawab sangat setuju, karena khilafah adalah satu-satunya jalan dalam kehidupan. Tapi Cak Nun tidak mau memaksakan harus dilabeli khilafah. Karena sebenarnya NKRI itu sudah khilafah. Nggak jadi kaget.

Menurut Cak Nun, khilafah itu sistem yang alamiah, taat kepada Allah. Semua yang ada di dalam badan kita itu khilafah. Detak jantung itu khilafah. Semua yang ada di alam itu juga khilafah. Angin berhembus, ayam berkokok itu khilafah, tapi tidak perlu disebut khilafah. Hewan itu taat sama Allah, mereka tidak pernah salah karena tidak dikaruniai akal pikiran seperti manusia.

Ada 2 macam khilafah, ada khilafah yang makro, menyeluruh dan ada khilafah yang sekedar kemampuan manusia. Allah tidak menagih melebihi kadar kemampuan manusia. Untuk jadi orang islam yang baik, tidak mesti hafal Al Qur'an, tidak harus menguasai semua dimensi ilmu Islam. Nggak masalah kalau tahunya masih surat Al Fatihah, yang penting hidupmu benar, penuh kasih sayang, menghormati tamu, ringan tangan menolong orang lain.

Keinginan untuk bersatu membentuk suatu negara itu juga khilafah. Jadi tanpa diresmikan negara khilafah pun, NKRI sudah khilafah. Buat apa memaksakan negara khilafah seolah-olah bangsa Indonesia tidak taat sama Allah. Bahwa tingkat ketaatan manusia berbeda-beda, itu lumrah, tidak ada muslim yang ketaatannya 100%. Sudah umroh sepuluh kali pun tetap bisa tersesat.

Bahwa bentuknya NKRI, apakah NKRI itu bertentangan dengan khilafah? Apakah Pancasila bertentangan dengan Islam? Tidak. Pancasila lahir atas sumbangan nilai-nilai dan ilmu Islam. Bagaimana para perumus Pancasila dulu tahu "Ketuhanan yang Maha Esa" kalau tidak dari Allah sendiri lewat Al Qur'an (surat Al Ikhlas). Begitu juga dengan sila-sila yang lain, semua sudah memenuhi kriteria Islam.

Tidak perduli namanya NKRI atau apa, yang penting sudah memehuhi kriteria Islam. Bahkan secara substansial negara Indonesia itu adalah negara Islam. Satu contohnya adalah pada saat acara Halal Bi Halal, non muslim nggak cuman ikutan, tapi juga ikut urunan. Tapi secara formal tidak perlu menyebutnya negara Islam. Sungkan rek.

Jadi, negara ini secara substansial sudah khilafah. Jangan diresmikan secara formal. Yang penting perbuatannya sudah khilafah. Mau disebut ayam atau tidak, yang penting berkokoknya. Tidak perduli namanya gula atau apa, yang penting rasanya manis. Yang penting itu manisnya, bukan gulanya.

Khilafah itu bisa dengan akal (punya kesadaran untuk mengabdi pada Allah) dan bisa khilafah begitu saja, seperti alam semesta yang taat, mengabdi, bertasbih padaNya. Jadi seandainya tidak ada Hizbut Tahrir, tidak ada PKS, bahkan tidak ada NKRI pun khilafah itu sudah ada sejak Allah menciptakan kehidupan di dunia.

Boleh saja khilafah dijadikan sistem nilai dalam sebuah negara, asal harus dimulai dari nol. Lha wong negara ini sudah berdiri selama 72 tahun. Pancasila sudah final, disepakati sebagai falsafah bangsa. Kalau diganti negara khilafah, maka harus mengubah Pancasila, UUD 45, DPR, MPR dan seterusnya.

Kita punya saudara sebangsa yang berbeda keyakinan, beda sejarah, beda latar belakang. Jika dipaksakan khilafah pasti akan terjadi benturan, permusuhan dan pertumpahan darah. Itu tidak sesuai dengan Islam yang Rahmatan Lil Alamin : menjamin semua keamanan semua umat manusia di sekitarnya. Jangan sampai ada nyawa yang terancam, jangan sampai ada harta yang dicuri, jangan sampai ada martabat yang dinista.

Jadi, jangan jadikan khilafah sebagai alat politik dan memaksakan negara bersistem khilafah. Itu namanya radikal. Radikal itu memaksakan sesuatu paham atau keyakinan pada orang lain agar sama dengan keinginan si pemaksa atau kelompok tertentu.

Sistem Khilafah tidak bisa diwujudkan kecuali dengan menumpahkan darah saudara sebangsa. Maka, terimalah NKRI dengan segala kehebatan dan kekurangannya. Hidup tidak berlangsung berdasar keinginanmu, tapi berdasar harusnya begitu. Hiduplah berdasarkan yang punya hidup dan kehidupan, Allah.

Trims.

-Robbi Gandamana-

*Trims Simbah atas ilmunya.

Selasa, 13 Juni 2017

Jokowi Memang Asyik, Tapi Tetap Perlu Dikritik (Antara Jokowi dan Cak Nun)



Kalau bicara tentang pencapaian Jokowi, nggak perlu diragukan lagi. Banyak sekali pencapaiannya. Anda pasti lebih tahu daripada saya. Maaf, saya bukan pengamat pembangunan.

Lihat saja pembangunan SPBU di Kabupaten Puncak, Papua. Premium yang semula berharga Rp 50.000 per liter sekarang turun jadi 6.500 per liter. Kelihatannya memang sepele, tapi dampaknya sangat terasa. Hal-hal kecil seperti itu kalau tidak diurusi bisa jadi pemicu kecemburuan sosial antara rakyat Papua dengan propinsi lain yang sudah lama tersentuh pembangunan.

Juga pembangunan jalur kereta api pertama kali di Kalimantan, Sulawesi dan Papua Barat. Daya angkut KA jauh lebih bagus dibanding Bus. Diharapkan dengan adanya KA, laju pertumbuhan ekonomi akan lebih terdongkrak. Setidaknya orang luar Jawa nggak nggumun melihat KA. Ingat cerita Kasino Warkop DKI tentang temannya orang Ambon yang takjub lihat KA, "Aih ada besi merayap! Merayap sudah begini kencang, bagaimana kalau berdiri???"

Banyak pencapaian Jokowi yang memang dibutuhkan oleh rakyat, anda bisa tanyakan mbah Google, karena jujur saja saya malas menyertakan referensi. Tapi Jokowi bukanlah Nabi, tidak semua kebijakannya cocok, diterima dan disetujui oleh rakyat. Apa soal reklamasi Teluk Benoa, soal kenaikan tarif TDL, atau soal apa pun.

Fanatik boleh, buta jangan. Jika sudah mendukung Jokowi, maka menganggap Jokowi 100% benar, sedangkan Prabowo 100% salah. Begitu juga jika mendukung Prabowo. Tidak ada manusia yang lebih unggul, kekurangan manusia yang satu adalah kelebihan manusia yang lain, begitu sebaliknya. Fanatik buta membuat orang jadi "kerdil". Karena menutup diri pada ilmu atau kebaikan hanya karena ilmu dan kebaikan itu dibawa oleh orang yang dibenci, atau bukan dari kelompoknya.

Pemerintah harus selalu membuka pintu kritik lebar-lebar. Mengkritik itu halal bahkan wajib jika memang diperlukan. Yang dilarang itu fitnah, menghasut, provokasi dan hatespeech. Tapi yang sering terjadi, ketika seseorang mengkritik orang lain langsung dianggap hater oleh pendukung orang yang dikritik.

Terhadap negara, rakyat diharapkan perduli pada persoalan (polemik) yang ada. Jangan terlalu cuek pada negara. Pasif itu mendorong orang jadi apatisme. Sifat apatis menjadikan orang tidak punya jiwa patriot, militansi, perjuangan untuk mengubah keburukan menjadi kebaikan.

Selama kritikan itu membangun, silakan saja. Seorang presiden dilarang alergi kritik. Bahkan kritikan sepahit apapun tetap harus diterima, presiden harus berjiwa besar. Tingkat intelektual rakyat tidak bisa distandarisasi. Ada yang mengkritik pakai data, tapi banyak juga yang asal kritik. Apalagi kritik tidak diharuskan pakai solusi.

Jadi, siapa pun yang mengkritik presiden, pendukungnya harus legowo. Saya percaya presiden Jokowi pasti legowo. Kritik adalah bentuk keperdulian pada negara, mereka mengkritik karena cintanya yang sangat pada NKRI. Siapa pun yang mengkritik harus kita sikapi dan prasangkabaiki dengan luas hati.

Begitu juga dengan Cak Nun, seorang tokoh budaya yang sering mengkritik Jokowi. Cak Nun melakukan itu karena sangat mencintai negerinya. Orang sekaliber Cak Nun sangat layak mengkritik pemerintah. Cak Nun adalah sesepuh, tidak hanya di antara jamaahnya, tapi bagi bangsa ini. Para pejabat penting, petinggi partai, petinggi Ormas, dan orang penting lainnya pernah sowan ke Cak Nun, minta nasehat dan petunjuk dari beliau.

Cak Nun bukan bagian dari pemerintahan, bukan dari Parpol apa pun, bukan dari Ormas apa pun dan juga bukan bagian dari sekte atau madzhab apa pun. Jadi bisa melihat masalah dengan lebih jernih, karena berada di luar lingkaran.

Sedikit tentang Cak Nun :

Di masa mudanya Cak Nun adalah aktivis pembela rakyat (sampai sekarang). Beliaulah yang memperjuangkan jilbab di perusahaan-perusahaan yang melarang pekerjanya berjilbab saat bekerja. Di zaman itu perempuan berjilbab bisa dihitung dengan jari, tapi Cak Nun dengan pede-nya mementaskan drama kolosal "Lautan Jilbab". Dan perempuan berjilbab sekarang sama sekali tidak tahu siapa yang telah memperjuangkan mereka.

Cak Nun adalah tokoh reformasi yang dilupakan bangsa ini. Bersama Nurcholis Madjid, Amien Rais dan para aktivis pemuda, menggulingkan Soeharto. Tapi yang dikenal sebagai tokoh reformasi cuman Amien Rais, yang lainnya terlupakan.

Di masa itu Cak Nun berani "menabrak" semua aturan rezim Soeharto yang kolot dan kejam. Ajaibnya Cak Nun malah dijadikan guru ngaji oleh Soeharto. Pemahaman Islam Soeharto pun mengalami konversi dari Islam Jawa (Kejawen) ke Jawa Islam.

Cak Nun tahu persis alasan Soehato mau turun (21 Mei 1998). Bahkan istilah "gak patheken" yang diucapkan di pidato pengunduran diri Soeharto : "Nggak jadi presiden gak patheken!", itu didapat dari Cak Nun. Soeharto turun bukan karena gerakan mahasiswa, tapi nggak tega hatinya melihat rakyat mulai menjarah. Kalau cuman gerakan mahasiwa, kecil! Soeharto punya pasukan militer yang setia. Sekali perintah, gerombolan mahasiswa pasti musnah.

Maaf, saya tidak pro Soeharto atau Rezim Orba. Saya kisahkan ini agar anda yang mantan aktivis mahasiswa '98 jangan geer. Soeharto lengser bukan karena Student Power, tidak seperti yang anda baca di berita-berita mainstream tentang lengsernya Soeharto.

Setelah Soeharto lengser, Cak Nun malah menjauh dari peta politik dan urusan kepemimpinan di negeri ini. Beliau sadar, ternyata para tokoh atau aktivis reformasi tidak 100 % bertujuan reformasi. Kebanyakan cuma ngincar jabatan, ladang basah untuk diri dan partainya. Sekarang kesibukan Cak Nun cuman keliling shalawatan membesarkan hati dan mencerdaskan rakyat.

Kalau Cak Nun mau, beliau bisa jadi orang penting di pemerintahan. Tapi itu tidak dilakukannya. Beliau punya banyak umat yang fanatik yang kalau Cak Nun mau bisa digerakan untuk kepentingan beliau. Tapi itu juga ditepisnya, malah Cak Nun melarang jamaahnya untuk taat dan membela beliau.

Cak Nun lah yang membujuk Gus Dur agar mau jadi presiden menggantikan Habibie. Karena saat itu jika Megawati yang naik, partai hijau pasti galau. Tapi jika Habibie yang naik, partai merah nggak rela. Kuatir masyarakat akan terpecah, maka presiden yang naik harus dari kalangan ulama, bukan dari partai politik. Cak Nun pula lah yang membujuk Gus Dur untuk meninggalkan istana saat di-impeachment oleh MPR.

Maaf kalau out of topic, cerita soal Cak Nun ini saya kisahkan kembali untuk para pendukung Jokowi yang membenci Cak Nun hanya karena seringnya Cak Nun mengkritik pemerintah. Cak Nun bukanlah anak kemaren sore. Beliau sangat paham apa yang dilakukannya.

Cak Nun mengkritik itu pasti karena alasan dan dasar yang kuat. Beliau punya pengalaman panjang, wawasan yang luas dan pengetahuan yang mendalam di bidangnya. Walau pendidikan terakhirnya cuman semester 1 Fakultas Ekonomi UGM, tapi otaknya nggak kalah dengan profesor. Bahkan para profesor minder bila bersanding dengan Cak Nun dalam satu majelis ilmu.

Jadi, mengkritik itu bukan berarti membenci. Malah sebaliknya, mengkritik itu dalam rangka perduli, tidak rela melihat bangsa ini terus-terusan menderita. Dan hidup itu lebih banyak yang tidak kita setujui daripada setujunya. Maka butuh keluasan hati untuk menyikapi ketidaksetujuan itu. Benar kita relatif, tidak ada sesuatu di dunia ini yang betul-betul benar. Hanya Tuhan yang pasti benar.

Akhir kata, Jokowi memang hebat, tapi itu tidak berarti apa-apa tanpa pendukung yang hebat. Maka, jadilah Jokower yang punya keluasan hati dan bermartabat. Terimalah semua kritik pada presiden Jokowi dengan lapang dada dan legowo.

Iya sudah itu saja, trims.

(C) Robbi Gandamana, 14 Juni 2017

Minggu, 11 Juni 2017

The Great Guy of Slamet




"Diakali wong Arab!" itu jawaban teman saya dulu, waktu saya tanya kenapa nggak puasa saat bulan puasa. Jawaban yang cukup singkat, padat dan..salah. Konyolnya, kalimat Itu lah yang selalu saya ingat tiap kali bulan puasa datang. Oala, semproel.

Puasa memang sengsara, disamping lapar juga capek kurang tidur. Jadi, jujur saja kalau tidak suka. Tapi berhubung puasa itu kewajiban dariNya, maka harus mau dan ikhlas menjalankannya. Allah mengayomi kita, Dia ingin kita belajar dan meneliti manfaat dan kedahsyatan puasa. Allah tidak pernah merepotkan hambaNya!

Kalau kita tidak suka puasa tapi tetap menjalankannya, itu hebat. Apa hebatnya melakukan perbuatan yang disukai. Kalau sudah suka, wajarlah kalau dilakukan. Jadi nggak papa kalau kita jujur bahwa kita nggak suka puasa, asal tetap ikhlas menjalankan. Karena letak kemuliaan itu melakukan sesuatu yang tidak sukai tapi tetap dilakukan dengan ikhlas karena tahu itu baik dan bermanfaat.

Jadi, jadikan puasa sebagai pembelajaran, pemahaman, pelatihan untuk kebaikan kita. Dan diakhir bulan Ramadhan kita semua akan takbir : "Allahu Akbar!", karena takjub dengan kemuliaan dan kedahsyatan Ramadhan, sekaligus terharu karena Ramadhan telah berlalu, sedangkan selama Ramadhan kita ogah-ogahan menjalankan puasa.

Tapi itu cuman intermezo, bukan itu yang akan saya bahas. Yang akan saya bahas sekarang adalah fenomena ustadz anyaran (ustadz dadakan) saat bulan Ramadhan.

Di bulan Ramadhan jadwal ustadz benar-benar padat. Nggak cuman ngisi kultum saat shalat Tarawih, Subuh pun juga ada kultumnya. Padahal jumlah ustadznya terbatas. Apalagi mereka jauh hari sudah di-booking di lain tempat. Walhasil ta'mir masjid kelimpungan. Lowongan ustadz pun dibuka lebar-lebar.

Bulan puasa adalah saat yang tepat bagi mereka yang ingin meniti karier sebagai ustadz. Walau ustadz dilarang untuk dijadikan profesi, tapi profesi ustadz sangat menjanjikan di akhirat nanti. Ngustadz itu pekerjaan Tuhan, melayani umat. Maka seorang ustadz dilarang pasang tarif. Dibayar untung, nggak dibayar jangan mutung, kayak lutung.

Dalam sikon seperti ini, semua orang dibolehkan tampil memberi kultum. Nggak perduli kamu rakyat jelata, tukang sapu, gondes, mrongos, cebol, hobbit, gembrot, kalau memang berani dan sanggup memberikan kultum, silahkan tampil. Itu lah demokrasi. Tapi tentu saja ada semacam kurator yang menyeleksi layak tidaknya seseorang jadi penceramah, kayak juri di acara Indonesia Mencari Zakat..eh Bakat.

Apalagi sebenarnya semua orang boleh ngustadz. Asal tidak menyombongkan diri ngeklaim dirinya Ustadz padahal ilmunya cuman didapat dari Al Qur'an terjemahan Depag. Dan pengajian itu sebenarnya bukan mengajari, tapi orang berkumpul mencari derajat yang lebih tinggi di hadapan Allah.

Di antara ustadz-ustadz anyaran tadi, ada satu orang yang paling menarik perhatian saya. Slamet namanya. Tongkrongannya sangat berkarakter, marketable kalau dijadikan bintang iklan obat tumo.

Face-nya Jawa abis, tapi busananya gamis. Orangnya alim, ngajinya fasih karena pernah mondok di sebuah pesantren kelas kampung. Nggak heran kalau dia tiap hari pakai baju Islami (walau busana tidak ada agamanya). Kalau saya yang pakai gamis atau baju taqwa, itu "penipuan" namanya. Lha wong nggak bisa ngaji, ilmu agama pas-pasan kok bergaya orang alim.

Slamet ini sejenis "suku Jawa terakhir", karena orangnya sangat njawani, sopan, sumeh dan supel dan ringan tangan. Beda dari kebanyakan orang Jawa sekarang yang sudah nggak njawani lagi. Dia sendiri adalah seorang marbot, penjaga sekaligus perawat Masjid. Sebuah profesi mulia yang tidak akan pernah dicita-citakan oleh anak TK seantero negeri ini. Di samping marbot , dia juga buruh tani, kerja serabutan, jadi penggali kubur pun siap.

Saat beliau tampil memberikan kultum, semua mata dan telinga tertuju padanya. Yang ngantuk langsung "pyar", yang lemes langsung bugar. Bukan karena konten ceramahnya yang menarik, bahkan sudah sering dibahas, normatif. Tapi cara penyajiannya yang apa adanya, autentik, lucu tapi tidak dibuat-buat. Walau tanpa teks, tapi ngomongnya lancar dan mengalir. Ada semacam faktor X yang membuat ceramahnya asyik untuk disimak.

Ada memang orang yang punya bakat terpendam seperti Slamet. Walau nggak berpendidikan tinggi, tapi pidatonya asyik, rileks, meyakinkan dan membumi. Bahasa yang dipakai bahasa rakyat, Jawa campur Indonesia. Yang membuat ceramahnya jadi hidup, segar dan konyol. Seperti saat dia bilang, "Ibadah niku patute nggih khidmat lan khusyu'. Dua-duanya niku kale." (Ibadah itu baiknya ya khidmat dan khusyu'. Dua-duanya itu dua). ???? Dua = kale; bahasa Jawa Kromo. Itu khan setingkat dengan : "kita harus selalu always".

Kadang kognitif itu nggak penting-penting amat. Yang penting hati Ustadz dan jamaahnya nyambung. Banyak ustadz yang lulusan kampus atau pondok pesantren mentereng tapi ceramahnya membosankan. Cara penyajiannya nggak asyik, apalagi terlalu banyak istilah Arab dan pakai bahasa kampus. Padahal yang dihadapi itu orang kampung yang nggak berpendidikan tinggi dan awam agama. Mereka cuman ndlahom mendengar ceramahnya.

Ada ustadz yang hobinya merekayasa kesan. Biar terkesan intelek, berilmu tinggi, orang kampung diceramahi pakai bahasa mentereng. Akhirnya ilmu yang disampaikan nggak nyampai, lha wong jamaahnya nggak paham.

Mungkin karena itu lah kenapa sopir Bus lebih mudah masuk surga daripada Ustadz. Karena saat si sopir bus menyetir busnya dengan cepat, penumpangnya pada berdoa khusyuk menyebut namaNya. Sedangkan saat Ustadz ceramah pakai bahasa yang mbulet bertele-tele, jamaahnya ngantuk, misuh dalam hati, dan sama sekali tidak ingat Tuhan. Guyon rek.

Kembali ke soal Slamet. Jika bakat ngustadznya Slamet diasah terus, nggak mimpi kalau dia bisa jadi Zainudin MZ berikutnya. Dia hanya terlalu lugu, polos dan ceplas-ceplos. Ayo Met, kamu bisa!!!!!

Ngomongin Slamet bakalan bisa berjilid-jilid, karena banyak sisi dari sepak terjangnya yang asyik untuk ditulis. Slamet itu jenis manusia yang one in million. Dia hidup apa adanya, nrimo ing pandum, menjauhi eksistensi dan popularitas. Sedangkan kita, hidupnya cuman acting, pamer dan segala macam urusan duniawi yang membuat diri kita lari dari kesejatian, sadar atau tidak.

Kita butuh lebih banyak orang seperti Slamet dalam kehidupan kita. Mereka bisa menjadi pengontrol, pembuka mata hati kita, agar tidak terlalu kerasan asyik masyuk dalam kehidupan dunia yang busuk ini. Karena semakin lama manusia itu lari dari dirinya. Ada yang jadi anjing, babi, bahkan ada yang jadi Buto Terong, Wewe Gombel dan banyak lagi.

Wis ah.

(C) Robbi Gandamana, 11 Juni 2017

Kamis, 08 Juni 2017

Selamat Hari Kasih Sayang Islam



Ternyata Islam punya semacam Hari Kasih Sayang. Tentu saja kasih sayang dalam arti yang universal, bukan kasih sayang ala Valentine Day.
Hari Kasih Sayang di sini adalah mengenang Fathu Mekkah (pembebasan kota Mekkah) yang diabadikan dalam Al Quran sebagai Fathan Mubina (kemenangan yang nyata), tanggal 10 Ramadhan tahun 8 H. Pasukan Islam dari Madinah berhasil merebut kembali kota Mekkah.
Saat itu ribuan tawanan musuh diberi pengampunan oleh Rasulullah, "Wahai manusia, hari ini bukan hari pembantaian, melainkan hari ini adalah hari kasih sayang, dan kalian semua merdeka kembali ke keluarga kalian masing‑masing."
Pokoknya tidak ada yang boleh ngasah pedang, dipersilahkan kembali ke istrinya masing-masing, kentu-kentu kono sakarepmu. Perang sudah berakhir.
Tentu saja pasukan Islam langsung purik mendengar pidato Rasulullah. Sudah capek-capek mempertaruhkan nyawa, dihinakan, dinistakan bertahun-tahun, lha kok saat kemenangan sudah diraih, disuruh membebaskannya. Ciyus??? enelan???
Apalagi ternyata masih ada perintah lagi. Rasulullah memerintahkan pampasan perang, harta benda termasuk unta, dibagikan kepada para tawanan. Pasukan Islam sendiri nggak kebagian apa-apa. Akibatnya pasukan Islam pun protes keras.
Melihat pasukan Islam galau, Rasulullah pun bertanya, "Sudah berapa lama kalian bersahabat denganku? Selama kalian bersahabat denganku, apakah menurut hati kalian aku ini mencintai kalian atau tidak mencintai kalian? Kalian memilih mendapatkan unta ataukah memilih cintaku kepada kalian?"
Mereka pun terharu, nangis bombay, karena cinta Rasulullah pada mereka begitu besar, sama sekali tidak sebanding dengan pampasan perang, unta, harta benda yang dibagikan pada para tawanan.
Lewat kejadian ini Rasulullah memperlihatkan pada umatnya tentang kemenangan yang sejati. Yaitu kemenangan mengalahkan diri sendiri. Mengalahkan nafsu duniawi. Beliau menunjukan pada kita bahwa Islam adalah agama kasih. Dengan kesabaran dan keikhlasan yang luar biasa rela memaafkan musuh yang telah melecehkan, menghina, bahkan membunuh keluarga mereka.
Karena hakikatnya manusia diciptakan tidak untuk mengalahkan manusia lain, tapi mengalahkan diri sendiri. Dalam perang antar manusia, permainan, olah raga, boleh menang (atau kalah). Tapi di luar itu, tiap hari manusia sebisa mungkin menang berperang melawan dirinya.
Btw, apa yang sudah dicontohkan Rasulullah di atas sebenarnya sudah lama dikenal dan diamalkan oleh orang Jawa dengan falsafahnya "menang tanpo ngasorake" (menang tanpa merendahkan) sebelum Islam hadir di bumi Nusantara. Makanya Islam tidak di turunkan di Nusantara. Karena pemahaman (filosofi) hidupnya sudah mateng. Rugi kalau diturunkan di Jawa.
Kembali ke soal Hari Kasih Sayang.
Menurutku momentum Fathu Mekkah ini layak dijadikan hari besar Islam. Untuk mengenang keikhlasan, kesabaran dan kebesaran jiwa Rasulullah dalam memperlakukan musuh-musuh Islam. Daripada Hari Ayah, Hari Anak, Hari Om, Hari Tante, Hari Ponaan, nggak penting-penting amat, yang sepertinya nggak ada akar filosofi, nilai, hikmah yang bisa jadi alasan yang kuat kenapa dijadikan hari besar.
Mungkin namanya bukan Hari Kasih Sayang Islam, embuh opo terserah. Kalau Hari Kasih Sayang takutnya disalah-artikan jadi kayak Valentine Day. Lha wong Hari Ibu saja diartikan seperti Mother's Day-nya Amrik kok. Padahal Hari Ibu itu mengenang Kongres Perempuan Indonesia di Jogja 22-25 Desember 1928. Kongres yang dimaksudkan untuk meningkatkan hak-hak perempuan di bidang pendidikan dan pernikahan.
Ya sudah itu saja, matur nuwun.
(C) Robbi Gandamana, 8 Juni 2017
*Ojok ngomong sopo-sopo yo, tulisan ini terinspirasi dari bukunya Cak Nun : "Jejak Tinju Sang Kyai".

Senin, 05 Juni 2017

Antara Afi dan Generasi Copy Paste


Kasihan juga sama Afi Nihaya Paradisa, anak muda yang sedang berproses dibully habis-habisan, api semangat kreatifnya dipadamkan paksa. Tulisannya yang berjudul ''Belas Kasih dalam Agama Kita'' disebut-sebut menjiplak tulisan Mita Handayani yang berjudul "Agama Kasih" (ingin tahu isi tulisannya tanyakan Mbah Google).
Lapo se rek membesar-besarkan kasus plagiariasme Afi. Lha wong tulisan Afi itu sebenarnya cuman status fesbuk yang panjang. Sebuah opini yang ditulis di Medsos. Bukan karya tulis yang dipublish di situs opini, media, bukan karya tulis yang dilombakan, juga bukan karya tulis yang akan dibukukan.
Status fesbuk is status fesbuk. Belum ada UU Hak Cipta untuk sebuah status fesbuk. Makanya orang dengan santainya copy paste tulisan orang tanpa menyertakan nama penulis asli. Secara hukum nggak salah, tapi salah menurut etika, moral dan akhlak.
Jadi, bagi yang ray gedhek, ray kapoor, gak duwe isin, silakan saja copy paste tulisanku dan inisial penulisnya ganti namamu. Tapi maringono tak kaplok ndasmu, huwehehe guyon mas.
Mungkin Afi terinspirasi oleh tulisan Mita, tapi sayang dia belum pandai 'menggoreng' ide orang. Plagiat dan terinspirasi itu beda. Kalau terinspirasi itu ada upaya mengembangkan ide orang lain (tulisan atau omongan) yang sudah ada. Bagaimana memilih diksi yang cocok buat "kaum wedus" yang alergi baca tulisan panjang penuh bahasa kampus, bagaimana caranya tulisan bisa jadi kickass, lebih enak dibaca, lebih asyik disimak, orgasme total full joss duerr.
Sadar atau tidak, banyak kasus plagiarisme di medsos. Banyak tulisan opini, kisah motivasi atau artikel apa pun yang dicopy paste tanpa menyertakan penulis aslinya. Itu dilakukan oleh para durjana medsos yang ngebet populer, haus panggung, ingin terlihat bijak, alim, intelek, sok yes. Kalau sekarang tulisan Afi dipermasalahkan, itu karena Afi sudah ngetop dan pastilah ada gerombolan haters yang pikirannya nggak sejalan dengan apa yang telah ditulis Afi.
Ingat, semakin ngetop seseorang, semakin banyak asu yang menggonggong.
Dulu penulis humor Mukidi tidak dianggap plagiarisme karena mengembangkan ide yang sudah ada. Humor Mukidi itu sebenarnya humor lama yang didaur ulang. Saya tahu karena pernah jadi penulis humor di harian "Meteng Pos" selama kurang lebih 10 tahun. Jarang ada tulisan humor yang benar-benar orisinil, kebanyakan daur ulang.
Jadi kesimpulannya, saya nggak kaget kalau anak seusia Afi menulis status yang sebenarnya sudah pernah ditulis orang lain. Yang penting dia sadar kesalahannya. Masanya masih panjang, nggak perlu mewek berlarut-larut. Kata Kai Hansen, "Time is short to cry, long enough to try."
Orang nyetatus hasil copy paste tanpa inisial penulis asli itu sudah jamak di medsos. Disamping nggak ada UU Hak Cipta, di medsos orang begitu santainya menepiskan unggah ungguh, nggak punya apresiasi, nggak punya empati, bahkan nggak punya harga diri. Angel aturane.
Apalagi ternyata cuman satu saja tulisan Afi yang diduga plagiat . Banyak tulisan (status) Afi yang lain yang memang jos gandos buat seumuran dia. Buat apa membesar-besarkan satu kesalahan sehingga melupakan seratus kebaikan yang lain. Bagiku yang lebih penting adalah lewat status-status Afi, banyak orang yang telah tercerahkan, terinspirasi, membuka pori-pori kecerdasan pada jiwa-jiwa yang impoten toleransi, keberagaman, kewarasan.
Bagus dan perlu share kebaikan dan kewarasan, tapi tetap hargai orang yang sudah repot-repot nulis. Ada sebuah page di fesbuk yang saya blokir. Page yang kere kreatifitas. Postingannya cuman copy paste tulisan orang. Seolah-olah itu adalah tulisan page itu sendiri. Inisialku selalu dihapus walaupun menyertakan linknya, tapi nylempit di pojokan, terabaikan. Sorry, this river no sorry fo you! (Maaf, kali ini tak ada maaf bagimu).
*****
Pernah beberapa kali saya menuliskan pemikiran-pemikiran Cak Nun yang dahsyat jaya. Mengumpulkan puzzle puzzle pemikiran beliau yang berserakan di berbagai sumber, dari ceramahnya, pengajiannya, maupun buku karya beliau. Saya susun kembali satu persatu berdasarkan pada kesamaan tema. Eh lha kok mereka dengan santainya copy paste satu dua alinea dari tulisanku tadi dan diakhir tulisan inisialnya bukan saya, tapi Emha Ainun Nadjib.
Sungguh terwelu.
Pernah dulu tulisanku ada yang pakai inisial penulis Mohammad Jaelani. Anake sopo iku, kok wani-wanine ngeklaim tulisane uwong. Saat aku tanyakan ke Mbah Google, ternyata ada banyak sekali Jaelani di jagad raya ini. Oala Ni Niii, yo wis lah, gak popo..ikhlas itu pedih jendral. Susah memang ngasih pengertian pada Generasi Copy Paste yang haus popularitas itu.
Saya sih ikhlas ikhlas saja kalau sudah terlanjur begitu, mereka belum paham arti kata 'menghargai'. Mungkin belum paham etika tulis menulis, karena nggak etis copy paste tulisan tanpa menyertakan inisial penulis dan ngomong dalam hati, "Paling penulisne yo ikhlas, tenang ae." Bukan hak kamu bilang seperti itu. Itu 100% haknya yang nulis.
Ibarat seorang sopir yang mengendarai mobil bersama bossnya. Di tengah jalan srempetan dengan mobil lain, sehingga spionnya pecah. Terus si sopir cengengesan ngomong ke boss, "Tenang boss, spion murah kok, ikhlaskan saja ya?". Bukan haknya sopir bilang begitu. Walaupun akhirnya si boss demi menjaga imej bilang, "Sudah nggak papa, besok kita ganti yang baru." Tapi dalam hatinya misuh : "J....a....n....c....o....k....!"
Wis ah.
(C) Robbi Gandamana, 6 Juni 2017
Poso poso ojok misuh rek. Aku gak misuh lho, sing misuh si boss iku kok. Oh iya, ini tulisan saya yang banyak dicopy paste dimana-mana tanpa mencantumkan nama saya sebagai penulis, klik di sini dan di sini.