Kasihan juga sama Afi Nihaya Paradisa, anak muda yang sedang berproses dibully habis-habisan, api semangat kreatifnya dipadamkan paksa. Tulisannya yang berjudul ''Belas Kasih dalam Agama Kita'' disebut-sebut menjiplak tulisan Mita Handayani yang berjudul "Agama Kasih" (ingin tahu isi tulisannya tanyakan Mbah Google).
Lapo se rek membesar-besarkan kasus plagiariasme Afi. Lha wong tulisan Afi itu sebenarnya cuman status fesbuk yang panjang. Sebuah opini yang ditulis di Medsos. Bukan karya tulis yang dipublish di situs opini, media, bukan karya tulis yang dilombakan, juga bukan karya tulis yang akan dibukukan.
Status fesbuk is status fesbuk. Belum ada UU Hak Cipta untuk sebuah status fesbuk. Makanya orang dengan santainya copy paste tulisan orang tanpa menyertakan nama penulis asli. Secara hukum nggak salah, tapi salah menurut etika, moral dan akhlak.
Jadi, bagi yang ray gedhek, ray kapoor, gak duwe isin, silakan saja copy paste tulisanku dan inisial penulisnya ganti namamu. Tapi maringono tak kaplok ndasmu, huwehehe guyon mas.
Mungkin Afi terinspirasi oleh tulisan Mita, tapi sayang dia belum pandai 'menggoreng' ide orang. Plagiat dan terinspirasi itu beda. Kalau terinspirasi itu ada upaya mengembangkan ide orang lain (tulisan atau omongan) yang sudah ada. Bagaimana memilih diksi yang cocok buat "kaum wedus" yang alergi baca tulisan panjang penuh bahasa kampus, bagaimana caranya tulisan bisa jadi kickass, lebih enak dibaca, lebih asyik disimak, orgasme total full joss duerr.
Sadar atau tidak, banyak kasus plagiarisme di medsos. Banyak tulisan opini, kisah motivasi atau artikel apa pun yang dicopy paste tanpa menyertakan penulis aslinya. Itu dilakukan oleh para durjana medsos yang ngebet populer, haus panggung, ingin terlihat bijak, alim, intelek, sok yes. Kalau sekarang tulisan Afi dipermasalahkan, itu karena Afi sudah ngetop dan pastilah ada gerombolan haters yang pikirannya nggak sejalan dengan apa yang telah ditulis Afi.
Ingat, semakin ngetop seseorang, semakin banyak asu yang menggonggong.
Dulu penulis humor Mukidi tidak dianggap plagiarisme karena mengembangkan ide yang sudah ada. Humor Mukidi itu sebenarnya humor lama yang didaur ulang. Saya tahu karena pernah jadi penulis humor di harian "Meteng Pos" selama kurang lebih 10 tahun. Jarang ada tulisan humor yang benar-benar orisinil, kebanyakan daur ulang.
Jadi kesimpulannya, saya nggak kaget kalau anak seusia Afi menulis status yang sebenarnya sudah pernah ditulis orang lain. Yang penting dia sadar kesalahannya. Masanya masih panjang, nggak perlu mewek berlarut-larut. Kata Kai Hansen, "Time is short to cry, long enough to try."
Orang nyetatus hasil copy paste tanpa inisial penulis asli itu sudah jamak di medsos. Disamping nggak ada UU Hak Cipta, di medsos orang begitu santainya menepiskan unggah ungguh, nggak punya apresiasi, nggak punya empati, bahkan nggak punya harga diri. Angel aturane.
Apalagi ternyata cuman satu saja tulisan Afi yang diduga plagiat . Banyak tulisan (status) Afi yang lain yang memang jos gandos buat seumuran dia. Buat apa membesar-besarkan satu kesalahan sehingga melupakan seratus kebaikan yang lain. Bagiku yang lebih penting adalah lewat status-status Afi, banyak orang yang telah tercerahkan, terinspirasi, membuka pori-pori kecerdasan pada jiwa-jiwa yang impoten toleransi, keberagaman, kewarasan.
Bagus dan perlu share kebaikan dan kewarasan, tapi tetap hargai orang yang sudah repot-repot nulis. Ada sebuah page di fesbuk yang saya blokir. Page yang kere kreatifitas. Postingannya cuman copy paste tulisan orang. Seolah-olah itu adalah tulisan page itu sendiri. Inisialku selalu dihapus walaupun menyertakan linknya, tapi nylempit di pojokan, terabaikan. Sorry, this river no sorry fo you! (Maaf, kali ini tak ada maaf bagimu).
*****
Pernah beberapa kali saya menuliskan pemikiran-pemikiran Cak Nun yang dahsyat jaya. Mengumpulkan puzzle puzzle pemikiran beliau yang berserakan di berbagai sumber, dari ceramahnya, pengajiannya, maupun buku karya beliau. Saya susun kembali satu persatu berdasarkan pada kesamaan tema. Eh lha kok mereka dengan santainya copy paste satu dua alinea dari tulisanku tadi dan diakhir tulisan inisialnya bukan saya, tapi Emha Ainun Nadjib.
Pernah beberapa kali saya menuliskan pemikiran-pemikiran Cak Nun yang dahsyat jaya. Mengumpulkan puzzle puzzle pemikiran beliau yang berserakan di berbagai sumber, dari ceramahnya, pengajiannya, maupun buku karya beliau. Saya susun kembali satu persatu berdasarkan pada kesamaan tema. Eh lha kok mereka dengan santainya copy paste satu dua alinea dari tulisanku tadi dan diakhir tulisan inisialnya bukan saya, tapi Emha Ainun Nadjib.
Sungguh terwelu.
Pernah dulu tulisanku ada yang pakai inisial penulis Mohammad Jaelani. Anake sopo iku, kok wani-wanine ngeklaim tulisane uwong. Saat aku tanyakan ke Mbah Google, ternyata ada banyak sekali Jaelani di jagad raya ini. Oala Ni Niii, yo wis lah, gak popo..ikhlas itu pedih jendral. Susah memang ngasih pengertian pada Generasi Copy Paste yang haus popularitas itu.
Saya sih ikhlas ikhlas saja kalau sudah terlanjur begitu, mereka belum paham arti kata 'menghargai'. Mungkin belum paham etika tulis menulis, karena nggak etis copy paste tulisan tanpa menyertakan inisial penulis dan ngomong dalam hati, "Paling penulisne yo ikhlas, tenang ae." Bukan hak kamu bilang seperti itu. Itu 100% haknya yang nulis.
Ibarat seorang sopir yang mengendarai mobil bersama bossnya. Di tengah jalan srempetan dengan mobil lain, sehingga spionnya pecah. Terus si sopir cengengesan ngomong ke boss, "Tenang boss, spion murah kok, ikhlaskan saja ya?". Bukan haknya sopir bilang begitu. Walaupun akhirnya si boss demi menjaga imej bilang, "Sudah nggak papa, besok kita ganti yang baru." Tapi dalam hatinya misuh : "J....a....n....c....o....k....!"
Wis ah.
(C) Robbi Gandamana, 6 Juni 2017
Poso poso ojok misuh rek. Aku gak misuh lho, sing misuh si boss iku kok. Oh iya, ini tulisan saya yang banyak dicopy paste dimana-mana tanpa mencantumkan nama saya sebagai penulis, klik di sini dan di sini.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar