Minggu, 11 Juni 2017

The Great Guy of Slamet




"Diakali wong Arab!" itu jawaban teman saya dulu, waktu saya tanya kenapa nggak puasa saat bulan puasa. Jawaban yang cukup singkat, padat dan..salah. Konyolnya, kalimat Itu lah yang selalu saya ingat tiap kali bulan puasa datang. Oala, semproel.

Puasa memang sengsara, disamping lapar juga capek kurang tidur. Jadi, jujur saja kalau tidak suka. Tapi berhubung puasa itu kewajiban dariNya, maka harus mau dan ikhlas menjalankannya. Allah mengayomi kita, Dia ingin kita belajar dan meneliti manfaat dan kedahsyatan puasa. Allah tidak pernah merepotkan hambaNya!

Kalau kita tidak suka puasa tapi tetap menjalankannya, itu hebat. Apa hebatnya melakukan perbuatan yang disukai. Kalau sudah suka, wajarlah kalau dilakukan. Jadi nggak papa kalau kita jujur bahwa kita nggak suka puasa, asal tetap ikhlas menjalankan. Karena letak kemuliaan itu melakukan sesuatu yang tidak sukai tapi tetap dilakukan dengan ikhlas karena tahu itu baik dan bermanfaat.

Jadi, jadikan puasa sebagai pembelajaran, pemahaman, pelatihan untuk kebaikan kita. Dan diakhir bulan Ramadhan kita semua akan takbir : "Allahu Akbar!", karena takjub dengan kemuliaan dan kedahsyatan Ramadhan, sekaligus terharu karena Ramadhan telah berlalu, sedangkan selama Ramadhan kita ogah-ogahan menjalankan puasa.

Tapi itu cuman intermezo, bukan itu yang akan saya bahas. Yang akan saya bahas sekarang adalah fenomena ustadz anyaran (ustadz dadakan) saat bulan Ramadhan.

Di bulan Ramadhan jadwal ustadz benar-benar padat. Nggak cuman ngisi kultum saat shalat Tarawih, Subuh pun juga ada kultumnya. Padahal jumlah ustadznya terbatas. Apalagi mereka jauh hari sudah di-booking di lain tempat. Walhasil ta'mir masjid kelimpungan. Lowongan ustadz pun dibuka lebar-lebar.

Bulan puasa adalah saat yang tepat bagi mereka yang ingin meniti karier sebagai ustadz. Walau ustadz dilarang untuk dijadikan profesi, tapi profesi ustadz sangat menjanjikan di akhirat nanti. Ngustadz itu pekerjaan Tuhan, melayani umat. Maka seorang ustadz dilarang pasang tarif. Dibayar untung, nggak dibayar jangan mutung, kayak lutung.

Dalam sikon seperti ini, semua orang dibolehkan tampil memberi kultum. Nggak perduli kamu rakyat jelata, tukang sapu, gondes, mrongos, cebol, hobbit, gembrot, kalau memang berani dan sanggup memberikan kultum, silahkan tampil. Itu lah demokrasi. Tapi tentu saja ada semacam kurator yang menyeleksi layak tidaknya seseorang jadi penceramah, kayak juri di acara Indonesia Mencari Zakat..eh Bakat.

Apalagi sebenarnya semua orang boleh ngustadz. Asal tidak menyombongkan diri ngeklaim dirinya Ustadz padahal ilmunya cuman didapat dari Al Qur'an terjemahan Depag. Dan pengajian itu sebenarnya bukan mengajari, tapi orang berkumpul mencari derajat yang lebih tinggi di hadapan Allah.

Di antara ustadz-ustadz anyaran tadi, ada satu orang yang paling menarik perhatian saya. Slamet namanya. Tongkrongannya sangat berkarakter, marketable kalau dijadikan bintang iklan obat tumo.

Face-nya Jawa abis, tapi busananya gamis. Orangnya alim, ngajinya fasih karena pernah mondok di sebuah pesantren kelas kampung. Nggak heran kalau dia tiap hari pakai baju Islami (walau busana tidak ada agamanya). Kalau saya yang pakai gamis atau baju taqwa, itu "penipuan" namanya. Lha wong nggak bisa ngaji, ilmu agama pas-pasan kok bergaya orang alim.

Slamet ini sejenis "suku Jawa terakhir", karena orangnya sangat njawani, sopan, sumeh dan supel dan ringan tangan. Beda dari kebanyakan orang Jawa sekarang yang sudah nggak njawani lagi. Dia sendiri adalah seorang marbot, penjaga sekaligus perawat Masjid. Sebuah profesi mulia yang tidak akan pernah dicita-citakan oleh anak TK seantero negeri ini. Di samping marbot , dia juga buruh tani, kerja serabutan, jadi penggali kubur pun siap.

Saat beliau tampil memberikan kultum, semua mata dan telinga tertuju padanya. Yang ngantuk langsung "pyar", yang lemes langsung bugar. Bukan karena konten ceramahnya yang menarik, bahkan sudah sering dibahas, normatif. Tapi cara penyajiannya yang apa adanya, autentik, lucu tapi tidak dibuat-buat. Walau tanpa teks, tapi ngomongnya lancar dan mengalir. Ada semacam faktor X yang membuat ceramahnya asyik untuk disimak.

Ada memang orang yang punya bakat terpendam seperti Slamet. Walau nggak berpendidikan tinggi, tapi pidatonya asyik, rileks, meyakinkan dan membumi. Bahasa yang dipakai bahasa rakyat, Jawa campur Indonesia. Yang membuat ceramahnya jadi hidup, segar dan konyol. Seperti saat dia bilang, "Ibadah niku patute nggih khidmat lan khusyu'. Dua-duanya niku kale." (Ibadah itu baiknya ya khidmat dan khusyu'. Dua-duanya itu dua). ???? Dua = kale; bahasa Jawa Kromo. Itu khan setingkat dengan : "kita harus selalu always".

Kadang kognitif itu nggak penting-penting amat. Yang penting hati Ustadz dan jamaahnya nyambung. Banyak ustadz yang lulusan kampus atau pondok pesantren mentereng tapi ceramahnya membosankan. Cara penyajiannya nggak asyik, apalagi terlalu banyak istilah Arab dan pakai bahasa kampus. Padahal yang dihadapi itu orang kampung yang nggak berpendidikan tinggi dan awam agama. Mereka cuman ndlahom mendengar ceramahnya.

Ada ustadz yang hobinya merekayasa kesan. Biar terkesan intelek, berilmu tinggi, orang kampung diceramahi pakai bahasa mentereng. Akhirnya ilmu yang disampaikan nggak nyampai, lha wong jamaahnya nggak paham.

Mungkin karena itu lah kenapa sopir Bus lebih mudah masuk surga daripada Ustadz. Karena saat si sopir bus menyetir busnya dengan cepat, penumpangnya pada berdoa khusyuk menyebut namaNya. Sedangkan saat Ustadz ceramah pakai bahasa yang mbulet bertele-tele, jamaahnya ngantuk, misuh dalam hati, dan sama sekali tidak ingat Tuhan. Guyon rek.

Kembali ke soal Slamet. Jika bakat ngustadznya Slamet diasah terus, nggak mimpi kalau dia bisa jadi Zainudin MZ berikutnya. Dia hanya terlalu lugu, polos dan ceplas-ceplos. Ayo Met, kamu bisa!!!!!

Ngomongin Slamet bakalan bisa berjilid-jilid, karena banyak sisi dari sepak terjangnya yang asyik untuk ditulis. Slamet itu jenis manusia yang one in million. Dia hidup apa adanya, nrimo ing pandum, menjauhi eksistensi dan popularitas. Sedangkan kita, hidupnya cuman acting, pamer dan segala macam urusan duniawi yang membuat diri kita lari dari kesejatian, sadar atau tidak.

Kita butuh lebih banyak orang seperti Slamet dalam kehidupan kita. Mereka bisa menjadi pengontrol, pembuka mata hati kita, agar tidak terlalu kerasan asyik masyuk dalam kehidupan dunia yang busuk ini. Karena semakin lama manusia itu lari dari dirinya. Ada yang jadi anjing, babi, bahkan ada yang jadi Buto Terong, Wewe Gombel dan banyak lagi.

Wis ah.

(C) Robbi Gandamana, 11 Juni 2017

Tidak ada komentar:

Posting Komentar