Selasa, 20 Juni 2017

Kapitalisme Pendidikan di Negeri Ini




Saat ini para ortu yang akan menguliahkan anaknya di Perguruan Tinggi Negeri (PTN) mumet ndase! Apalagi PTN yang punya nama besar. Duit puluhan juta harus disiapkan. Jumlah uang yang besar untuk ukuran rakyat jelata yang pendapatannya pas-pasan. Apesnya, kebanyakan dari mereka yang akan kuliah itu golongan pas-pasan.

Kapitalisme melanda dunia kampus. Lha ya'opo, semua keperluan pendidikan kok dibebankan ke rakyat. Biaya pembangunan kampus dan peralatan pendidikan dibebankan kepada mahasiswa (rakyat). Gaji para dosen dan para stafnya diambil dari dana APBN (uang rakyat). Dan juga gedung PTN didirikan di atas tanah negara yang sesungguhnya milik rakyat.

Ketika ada yang menyinggung soal biaya yang fantastis itu, malah dicemooh, "Uripo nang alas, nang kono serba gratis!" Wadoh. Sepertinya di negeri ini tidak berlaku logika apa pun. Seharusnya marah tapi tidak marah, seharusnya bereaksi tapi tidak bereaksi, seharusnya kesakitan tapi malah cengengesan, seharusnya protes tapi memaklumi. Itu aneh bin ajaib.

Nggak heran kalau banyak anak lulusan SMA yang tidak meneruskan kuliah. Ortunya angkat tangan dengan biaya masuk kuliah yang fantastis. Padahal banyak dari mereka yang berotak cerdas, punya potensi yang dibutuhkan bagi negeri ini.

Kita adalah bangsa yang membunuh potensi rakyatnya sendiri. Tugas negara adalah mencerdaskan rakyatnya, tidak perduli kere atau kaya, semua berhak mendapatkan pendidikan. Tugas sekolah itu mencerdaskan. Jadi tidak pilih-pilih, baik yang miskin atau kaya, yang bodoh atau pintar. Anak masuk SD tujuannya agar bisa membaca, lha kok syarat masuknya harus sudah bisa membaca.

Negara yang butuh rakyat, bukan rakyat yang butuh negara. Negara harusnya yang "menjemput bola", bukan rakyat yang ngemis mengajukan proposal. Masyarakat tanpa negara, tetap bisa jadi masyarakat. Tapi negara tanpa masyarakat nggak bisa jadi negara. Jerman adalah contoh yang  bagus, bagaimana di negara itu pendidikan digratiskan sampai perguruan tinggi. Jerman tidak sekaya negeri ini, tapi sangat cerdas me-manage negerinya.

Nggak cuman masuk kuliah, masuk SMPN dan SMAN yang layak, rakyat terpaksa memecah celengan Bagong dan menguras habis isinya. Karena sekolah (yang layak) dijual mahal. Coba rasakan aura mereka yang menerima wali calon murid saat wawancara penerimaan siswa baru. Ketika bertanya soal kesanggupan bayar biaya pembangunan, matanya begitu "ngaceng", ada semacam kelaparan yang parah akan uang.

Ada memang sekolah gratis, tapi kacangan! Sarana dan fasilitasnya apa adanya, pokoknya sekedar sekolah. Kalau nggak terpaksa, nggak mau ortu yang menyekolahkan anaknya di sana. Walau ada juga yang sebenarnya mampu, tapi tetap menyekolahkan anaknya di sekolah gratisan.

Harusnya menyekolahkan anak di sekolah yang bagus adalah indikator gengsi. Tapi kenyataannya, Indikator gengsi rakyat indonesia  itu gadget canggih atau kendaraan. Mereka sama sekali nggak malu kalau anaknya sekolah di sekolah gratis, tapi malu kalau nggak bergadget canggih atau kendaraan bagus.

Maka jangan heran kalau ada orang yang lebih memilih ngredit motor baru, daripada pusing membayar biaya masuk kuliah anaknya. Nggak malu anaknya nggak kuliah, asal punya motor baru. Bagus kalau untuk keperluan wiraswasta, tapi ini cuman buat nggaya keliling kampung cengengesan unjuk gigi.

Ada komentar sinis, "lapo kuliah, paling nek lulus nasibe podo karo sing gak kuliah, dadi buruh." Oala. Kewajiban manusia itu berusaha, soal sukses atau tidak itu urusan Tuhan. Tugas manusia itu menanam, soal panen atau tidak, biar Tuhan yang memutuskan. Yang dinilai Tuhan itu usahanya, bukan suksesnya. Kaya (materi) pun tidak berarti sukses.

Harusnya orang tua adalah tumbal buat anaknya. Demi pendidikan yang baik buat anak, orang tua harus berani gembel, hidup secara miskin. Berikan anak pendidikan yang baik, juga kenangan masa kecil yang baik yang hanya terjadi sekali dalam hidup mereka. Itulah pengabdian. Tapi yang banyak terjadi, ortunya kemana-mana nenteng gadget canggih tapi anaknya sekolah di sekolah negeri ndeso burek gratisan nggak jelas.

Lain perkara kalau sudah berusaha tapi tidak diterima di sekolah yang baik, itu bisa dimaklumi. Ada banyak hal yang membuat anak gagal diterima di sekolah yang baik. Misal sistem poin yang menurutku konyol. Anak yang ortunya guru otomatis poinnya (nilainya) bertambah. Poin itu harusnya sebuah prestasi, bukan karena anaknya seorang guru, walikota, camat, dan lainnya. Itu diskriminasi. Mau guru, buruh, tentara, petani, pemulung, semua punya peran dalam kehidupan bernegara.

Saat ajaran baru, selalu ada fenomena menarik yang selalu terulang. Ada yang kesulitan biaya karena miskin, tapi ada yang mampu tapi pura-pura kere dengan ikutan program Gakin (warga miskin). Ada juga orang kaya yang mampu menyekolahkan anaknya di sekolah bagus, tapi nilai anaknya pas-pasan, akhirnya lewat jalan belakang  menyetorkan sejumlah uang agar anaknya tidak dieliminasi.

Itulah sisi kusut dunia pendidikan di negeri ini, yang sepertinya sulit untuk dibenahi, karena sudah mendarah daging. Beruntunglah pemimpin negeri ini, karena rakyatnya sangat manut (atau cuek?). Untuk mengejar selembar gelar sarjana, disuruh bayar berpuluh-puluh juta pun sanggup. Sekolah dijual mahal tapi tetap laris terbeli, salut!

Wis ah, matur nuwun.

(C) Robbi Gandamana, 20 Juni 2017

Tidak ada komentar:

Posting Komentar