Pesan Emha Ainun Nadjib atau yang lebih dikenal sebagai Cak Nun di acara ILC (Indonesia Lawyers Club) TV One kemarin, 23 Mei 2017, adalah tamparan keras bagi saya, mungkin juga anda, mereka, semua yang begitu congkak, menyombongkan kebenaran.
Walau hanya berupa rekaman wawancara sekilas (tanpa kehadiran langsung di studio), tapi pitutur singkatnya sangat dahsyat, menyejukan, menenggelamkan semua retorika para tamu yang diundang di acara tersebut.
Beliau sebenarnya sudah berjanji tidak akan tampil lagi di media nasional sejak Reformasi, tapi mungkin karena pertimbangan sikon negeri ini yang ancur minah, kebencian dan permusuhan yang semakin ngeri, beliau akhirnya memutuskan tampil. Mungkin juga nggak tega hati sama TV One yang sudah bertahun-tahun nangis gulung-gulung minta Cak Nun tampil di acaranya.
Bagi yang alergi TV One (halo Jokower), tenang saja, di sana Cak Nun tidak berkapasitas memihak siapa pun, netral, beliau menempatkan dirinya sebagai bapak, sesepuh rakyat yang mengayomi. Tidak perduli anda kaum Bumi Datar, Bumi Ambyar, Bani Daster, Bani Taplak, atau apa pun, pesan beliau untuk siapapun.
Membaca pesan Cak Nun ini, anda harus melepaskan dulu label Ahoker, Anieser, Jokower, Prabower, kita semua saudara sebangsa. Ingat sebentar lagi bulan Ramadhan. Damai harga mati!
Oke langsung saja, mari kita simak, resapi dan amalkan nasehat beliau. Zuukkkk.
* Bagaimana anda melihat kondisi bangsa akhir-akhir ini?
Sampailah kita pada suatu keadaan sejarah dimana orang benar bermusuhan dengan orang benar. Orang mempertahankan kebenarannnya berbenturan dengan orang yang juga mempertahankan kebenarannya. Orang ini bisa kelompok, bisa Parpol, front, bisa apa pun. Pertentangan antara orang yang sama-sama yakin terhadap kebenarannya ini khan harus kita cari, kenapa kebenaran bisa mempertengkarkan manusia?
Saya melihat semua yang terjadi di Indonesia ini akhirnya menemukan, mungkin saya salah, tapi kebenaran tidak untuk dibawa keluar dari diri kita. Begitu kita keluar dari diri , yang kita bawa bukan kebenaran. Yang kita bawa adalah kebaikan, keindahan, kemuliaan, upaya-upaya untuk supaya nyaman satu sama lain (kita dengan semua orang di sekitar kita), kebijaksanaan, kearifan.
Jadi bukan kebenaran yang kita bawa keluar. Ibarat sebuah warung, kebenaran itu letaknya di dapur warung itu. Sekarang ini dapur-dapur warung itu dijadikan display utama. Dan masing-masing merasa benar.
Kita tidak akan pernah bisa selesai dengan pertengkaran, permusuhan, kebencian, dendam dan seterusnya, kalau kita saling menyombongkan kebenaran kita masing-masing.
Teori universalnya kebenaran itu ada 3 : benarnya diri sendiri, benarnya orang banyak dan benar yang sejati. Benarnya sendiri, kebenaran subyektif masing-masing orang atau kelompok. Benarnya orang banyak, ini kita elaborasi, kita cari, sampai akhirnya menemukan demokrasi, kesepakatan nasional, dan seterusnya. Tapi benarnya orang banyak tidak sama dengan benar yang sejati. Benar yang sejati ini sesuatu yang bersifat cakrawala yang harus kita tempuh berjalan ke sana terus-menerus yang mungkin ada hubungannya dengan Allah.
Allah menyatakan, "Kebenaran itu datangnya dariKu, manusia hanya dapat cipratannya dan menafsirkannya."
Terhadap tafsir kebenaran ini kita harus berhati-hati, karena saya menafsirkan kebenaran beda dengan anda menafsiran kebenaran. Saya tidak akan mempertengkarkan tafsir saya dengan tafsir anda. Yang harus keluar dari diri saya kepada anda adalah mencoba berusaha menggembirakan anda, membuat anda merasa nyaman dan aman. Tidak saya curi barang anda, tidak saya nista diri anda dan tidak saya bunuh nyawa anda.
* Adakah solusi untuk mengatasi masalah yang sedang dihadapi bangsa ini?
Kayaknya kita harus berhenti mencari, apalagi sampai menuding, membenci, ingin memusnahkan siapa yang salah. Karena bagi yang kita tuduh siapa yang salah itu bagi mereka kita yang salah. Jadi kalau boleh kita mulai belajar mencari apa yang salah dan apa yang benar. Yang salah bisa pada saya, bisa pada anda. Yang benar juga bisa pada saya, bisa pada anda.
Jadi kita mencari 'apa'nya bukan 'siapa'nya. Kita mempersoalkan nilai, bukan mempersoalkan manusia. Kalau sebagai manusia, sebagai sesama bangsa, kita wajib menerima semuanya. Kalau kita mempertengkarkan siapa yang salah siapa yang benar, itu nanti akhirnya yang terjadi bukan pembuktian mengenai kebenaran, yang terjadi adalah kalah menang secara kekuatan. Dan kalah menang secara kekuatan itu sebenarnya adalah tataran yang paling rendah dari manusia.
Manusia diciptakan tidak untuk mengalahkan orang lain, kecuali sepak bola, tinju, gobak sodor, itu kalah sama orang lain tidak apa-apa. Tapi kalau hidup ini, kita tidak mengalahkan siapa-siapa. Semua nilai, baik agama maupun pencariannya manusia sendiri, hidup adalah mengalahkan diri sendiri.
Jadi mohon maaf, saya tidak pernah ikut kompetisi kalah menang, apa Pilkada, Pilpres, Pildes. Karena saya sangat sibuk untuk berperang melawan diri sendiri agar tidak terlalu kalah pada sendiri. Itu juga sampai tua begini tidak pernah selesai selesai. Jadi saya tidak punya waktu untuk ikut kalah menang. Karena saya itu tidak akan pernah tega menang melawan orang. Dan saya juga tidak mau kalah! gila apa.
Maka saya hidup di tataran bukan kalah menang. Saya hidup di tataran : kita berlomba untuk saling mengamankan satu sama lain, berlomba untuk saling menyamankan satu sama lain, berlomba untuk saling menyumbang kearifan, kebijaksanaan. Supaya output dari kita itu bisa puzzling (menyatu) menjadi keseimbangan bersama (sosial).
Yang kita alami kita bersama di Indonesia akhir-akhir ini adalah ketidakseimbangan yang hampir komperehensif (menyeluruh di segala segi). Cara berpikir kita tidak seimbang, cinta kita juga tidak seimbang , hubungan antara hati dengan pikiran tidak seimbang, hubungan antara individu dengan masyarakat tidak seimbang, antara kelompok masyarakat dengan kelompok lain juga terdapat ketidakseimbangan, antara rakyat dan pemerintah juga penuh ketidakseimbangan, bahkan teknis pertimbangan perekonomian saja itu juga penuh dengan ketidakseimbangan.
Jadi menurut saya, daripada saya memamerkan dan menyombongkan kebenaran saya, anda nanti juga mempertahankan diri dengan memamerkan dan menyombongankan kebenaran anda, mending kita bekerja sama mencari kemungkinan untuk menciptakan keseimbangan nasional.
* Menurut anda, bagaimana cara yang pas menjaga keutuhan NKRI?
Kalau kita naik bis, rasa kita itu rasa bis, bukan rasa colt, bukan rasa kereta api. Jadi cara berpikirnya, cara berhitungnya ya bis, terutama sopirnya. Mau belok di perempatan, mau nyalib itu dia harus tahu besarnya bis. Jadi cara berpikir orang naik bis adalah cara berpikir bis. Kalau kita orang NKRI, sikap kita harus sikap NKRI. Cara berpikir kita harus cara berpikir NKRI, buka cara berpikir PDIP, Golkar, Nasdem, Hizbut Tahrir, atau apa pun.
Kalau anda berkuasa, anda justru yang paling berkewajiban untuk berpikir NKRI, bukan berpikir kariermu sebagai presiden, sebagai menteri. Tapi berpikir mempersembahkan seluruh jiwa raga kita ini untuk kepentingan utuhnya NKRI.
Berpikir NKRI itu misalnya, kalau kita berpikir NKRI, tidak ada kelompok Bhineka Tunggal Ika. Masak Bhineka tunggal Ika kelompok. Kalau kita mau unjuk rasa Bhineka Tunggal Ika ya semuanya kita ajak. Karena penduduk manusia, jin, iblis, setan, demit, segala macam itu ya Bhineka Tunggal Ika.
Anda jangan berpikir hanya manusia yang menghuni di Indonesia, ada banyak yang lain, dari masa silam maupun dari masa depan. Ada yang dari langit, ada yang dari homo sapiens, masih ada sisa-sisa semuanya itu yang jadi penduduk Indonesia. Jadi semua itu kita terima.
Bagaimana cara kita menerima semuanya (kalau memang Bhineka Tunggal Ika)? Satu-satunya jalan adalah kita harus punya kematangan, harus punya keluasan berpikir. Mau FPI, Hizbut Tahrir, Ahoker, mau siapa pun dituntut untuk memiliki kearifan, kebijaksanaan dan ilmu yang seluas-luasnya untuk saling mengapresiasi satu sama lain.
Kita tidak bisa meneruskan negara dimana yang satu merasa dirinya malaikat dan menuduh lainnya setan. Dan itu bukan hanya menuduh karena dia berkepentingan, dia yakin dia malaikat dan yang lain diyakini sebagai setan.
Jadi ini bukan Barata Yuda, ini Pandawa Yuda. Karena masing-masing merasa Pandawa, merasa Yudistira, merasa Bima, Arjuna, Nakula, Sadewa. Selama kita masih seperti itu, ya saya tidak akan ikut-ikut. Karena Indonesia sangat saya cintai.
****
Well, begitulah pitutur singkat Cak Nun (ternyata kalau ditulis panjang juga ya). Semoga kita semua tetap bisa menjaga diri agar tidak gampang terseret, terprovokasi oleh berita atau ajakan seseorang atau kelompok yang merusak, memecah belah NKRI. Mari kita sama-sama luaskan hati dan pikiran biar nggak ndlahom bin gemblung.
Ya sudah itu saja, trims. Mohon maaf lahir dan batin, selamat menjalankan ibadah puasa Ramadhan 1438 H. Keep the faith!
(C) Robbi Gandamana, 25 Mei 2017
Tidak ada komentar:
Posting Komentar