Rabu, 03 Mei 2017

Harusnya Pengakuan Rekor Prestasi Dari MURI Tidak Pada Karangan Bunga, Tapi Pada Ahok


Syukurlah, kiriman bunga yang membanjiri Balai Kota Jakarta akhirnya diakui MURI sebagai rekor karangan bunga terpanjang yang belum pernah didapatkan oleh seorang Gubernur atau pejabat negara. Soal karangan bunga tadi settingan atau tidak, hanya Tuhan yang tahu.
Saya sendiri nggak pernah bermimpi (berharap) dapat prestasi dari MURI. Buat apa? MURI itu lembaga yang belum pernah punya prestasi apa-apa, kok kita ingin dapat pengakuan prestasi dari mereka yang belum punya prestasi. Seseorang yang dapat gelar doktor, pastilah gelar itu hasil penilaian dari para doktor yang sudah mumpuni di bidangnya.
Saya seorang tukang gambar, banyak rekan sesama tukang gambar yang berharap prestasi dari MURI. Entah itu rekor menggambar tercepat, menggambar dengan kanvas terpanjang atau nggambar dengan peserta ribuan orang. Itu semua bagi saya bukan prestasi. Prestasi itu menghasilkan karya yang baik, bukan tercepat, terbesar, terbanyak.
Muri itu hanya menilai dari segi tercepat, terbanyak, tersantai, tapi tidak yang terbaik. Itu pembodohan. Banyak orang yang 'tertipu' oleh pretasi semu semacam itu. Rame-rame kumpul di tanah lapang melakukan hal tertentu agar mendapat selembar sertifikat konyol, rekor tergemblung se-Indonesia. Apalagi demi mendapatkan prestasi (rekor) itu harus menyetorkan sejumlah uang yang tidak sedikit.
Ada seorang yang mendaftarkan diri ke MURI agar dicatat prestasinya karena tiap malam pentas wayang selama 30 tahun di sebuah taman hiburan rakyat. Mereka pun dapat sertifikat rekor pentas wayang selama 30 tahun. Yang dinilai kok kwantitasnya, kwalitasnya donggg. Tapi okelah, mungkin prestasinya adalah istiqomah dalam melestarikan budaya wayang, soal efek positif dan kwalitasnya itu nomer kesekian. Yo wis lah.
Kalau kita kembalikan ke rekor karangan bunga untuk Ahok, seharusnya pemberian rekor itu untuk sebuah prestasi, bukan pada banyak dan panjangnya karangan bunga. Jadi, bukan pada karangan bunganya, tapi prestasi Ahok memenangkan hati pendukungnya yang salut atas kerja kerasnya selama jadi Gubernur.
Sampai sini, anda paham khan? Oke, kalau begitu saya lanjutkan.
Apalagi ternyata rekor itu diberikan karena adanya himbauan dari banyak pihak. Bukan murni dari hati yang dalam dari seorang Jaya Suprana. Jaya Suprana sendiri tidak sejalan dengan cara yang dipakai Ahok dalam mengurus Jakarta. Jaya Suprana juga mendukung FPI dan malah ingin berguru ke Rizieq Syihab.
Jadi saya nggak percaya kalau penganugerahan rekor karangan bunga tadi murni dari hati Jaya Suprana. Artinya MURI memberikan gelar itu jelas ada sesuatu yang menguntungkan MURI, apa itu nama baik atau lainnya, aku gak eruh, hanya MURI dan Tuhan yang tahu.
MURI itu adopsi dari etos kegembiraan orang Barat : Guinness Book of Record. Di sana tingkat kesejahteraan tinggi, maka urusan perut sudah terpenuhi. Mereka pun bisa melakukan hal yang neko-neko tanpa terbebani pikiran akan kelaparan. Bikin kompetisi yang nggak penting dan mubazir : kuat-kuatan makan cabe, lomba paling banyak dan cepat makan ayam goreng, dan lainnya. Lomba kok menyiksa diri. Makan ayam dengan cepat dan banyak itu bukan prestasi, tapi gemblung!
Kesimpulannya, jangan berharap pengakuan prestasi (rekor) dari MURI. Nggak penting! Begitu juga dengan karangan bunga untuk Ahok, yang dicatat sebagai prestasi (rekor) itu harusnya prestasi Ahok, satu-satunya Gubernur yang karena prestasinya memimpin rakyat Jakarta sehingga mendapatkan banyak simpati berupa kiriman bunga yang melimpah.
Melakukan sesuatu itu yang terbaik, bukan yang terpanjang, terpendek, dan ter ter lainnya. Kalau cuman panjang tok tapi begitu nempel langsung keluar, itu ejakulasi dini namanya.
That's all.
(C) Robbi Gandamana, 4 Mei 2017
*Daripada membahas soal kiriman bunga, mending baca tulisan saya di sini (klik saja)­. Dijamin mencerahkan dan mencerdaskan. Jangan membaca tulisan yang cuman menyajikan berita tapi tanpa ilmu. Mubazir!

Tidak ada komentar:

Posting Komentar