Pancasila sebagai ideologi dan filsafat bangsa Indonesia memang top markotop adanya. Pancasila nggak akan bisa dipisahkan dari bangsa Indonesia. Jangan harap bisa menghancurken atau menggantikennya dengan ideologi yang buken-buken, lha wong sudah tertanem di hati yang paling dalem.
Ormas atau siapa pun yang tidak mau mengakui dan atau melecehkan Pancasila, ya wajar kalau dibubarkan. Masih mending dibubarkan, seharusnya ditangkapi, ndase dikaploki mubeng.
Ormas Aliran Keras itu kayak hama, merusak para tunas bangsa agar berpaling dari Pancasila. Kalau nggak segera disemprot insektisida, maka negeri ini akan banyak melahirkan generasi ndlahom. Generasi yang tidak bisa membedakan mana agama, mana Tuhan, berTuhan tapi menyembah agama.
Karena ndlahom, mikirnya jadi sejengkal. Tidak mau menghormati bendera merah putih. Dipikirnya menghormati itu sama dengan menyembah. Bendera itu khan lambang negara yang telah disepakati bersama. Jadi bukan soal menghormati bendera, tapi menghormati kesepakatan bersama sebagai warga negara. Sama kayak muslim yang mencium batu hajar aswad. Jadi, bukan soal mencium batu, tapi itu refleksi kecintaan pada Rasulullah yang pernah mencium batu tersebut.
Pancasila adalah pengejawantahan dari bangsa Indonesia. Rakyat Indonesia adalah Pancasila itu sendiri, bahkan mereka lebih dari Pancasila. Mereka belajar dari kehidupan. Hakikatnya Pancasila itu lebih dulu ada sebelum Indonesia berdiri. Rakyat tidak paham teori (ilmunya) tapi mereka mampu melaksanakan. Kita yang lulusan kampus diajari Pancasila tapi ogah-ogahan mengamalkannya.
Menurut Cak Nun, ilmu lahirnya dari kehidupan. Munculnya teori, pengetahuan dan ilmu itu asalnya dari kehidupan. Kehidupan dulu, baru ada ilmu. Begitu juga dengan Pancasila, lahirnya Pancasila itu dari bangsa Indonesia. Kelima sila dalam Pancasila itu adalah rumusan singkat dari kehidupan sosial budaya bangsa Indonesia.
Jadi, para ilmuwan lulusan kampus jangan sok ngajari rakyat soal Pancasila. Yang perlu dikasih tahu soal Pancasila adalah kita kita kaum terpelajar lulusan kampus, golongan menengah ke atas yang sudah kesusupan ideologi dari Barat atau Arab, yang mulai kehilangan keIndonesiaanya.
Juga jangan ngomong (ngajari) soal agama, toleransi, pluralisme, segala macam pada rakyat Indonesia. Mereka tidak butuh Ideologi. Yang ngomong ideologi itu orang-orang di atas, para pemimpin, supaya mereka bisa menata dirinya di depan rakyat.
Orang Indonesia itu sejak lahir sudah bisa plural. Jangankan jadi manusia, jadi Tengu saja bisa hidup dan punya harga diri. Mereka bisa hidup dengan hanya bawa sulak di lampu merah. Mereka sangat kreatif, daya survive-nya sangat tinggi. Diinjak sampai gepeng pun masih bisa hidup dan bahagia.
Garuda jadi lambang negara itu karena para perintis kemerdekaan ingin meningkatkan harkat dan martabat diri bangsa. Kalau si Garuda sendiri tidak pernah merasa dirinya Garuda. Karena bangsa Indonesia lebih besar dari Garuda. Sehebat-hebat burung Garuda tidak berani menjadi emprit. Kalau rakyat Indonesia bisa jadi Garuda, jadi Emprit silakan, jadi Kadal nggak masalah. Mereka bisa hidup dengan segala penjajahan dan penindasan. Ada apa saja atau tidak ada apa saja, nggak masalah bagi rakyat Indonesia.
Bangsa Indonesia adalah bangsa yang menjunjung tinggi budaya leluhur. Walau sering ketutupan budaya-budaya dari luar. Tapi itu sementara, mereka akan tetap kembali jadi Indonesia. Pernah lama dijajah Belanda, tapi tidak lantas jadi keBelanda-Belandaan. Ngomongnya tetap pakai bahasa Jawa, nggak berubah jadi Belanda. Budayanya tetap nggak berubah. Malah Belanda yang jatuh cinta sama Indonesia. Orang Indonesia sendiri nggak ingat dengan Belanda.
Rakyat Indonesia itu hidupnya semau-mau mereka. Nggak perduli apakah negara ini Republik, Monarki, atau apa saja. Mereka juga nggak paham. Lha wong hidupnya tanpa pemahaman, hidup begitu saja. Pokoke urip.
Siapa pun presiden yang terpilih, nggak ada pengaruhnya bagi rakyat. Bahkan jika negeri ini hancur pun mereka gak ada urusan. Mereka tetap nguli, bakul di pasar, berburu rongsokan, nyolo kodok, mbecak, pokoknya ubet dengan ekonominya sendiri. Tidak bergantung pada negara. Negara tanpa masyarakat, nggak bisa jadi negara. Tapi masyarakat tanpa negara, tetap akan jadi masyarakat.
Mereka datang ke bilik suara, nggak ada urusannya dengan Pemilu. Urusannya karena sungkan sama pak RT dan para tetangga, Pemilu lima tahun sekali kok nggak nyoblos, sungkan bosss.
Jangan terlalu yakin kalau presiden yang terpilih itu benar-benar pilihan rakyat dari hati yang terdalam. Mereka itu milih semau-mau mereka. Pokoknya yang paling populer, itu lah yang dipilih. Cobalah bertanya pada simbok bakul di pasar, juru kunci kuburan, tukang sapu, tukang becak, "Kenapa sampeyan dulu milih si Anu jadi Presiden?" Jawabannya bisa jadi akan seperti ini : "Emangnya gue pikirin..!"
Jadi kesimpulannya, bangsa Indonesia dengan ideologi Pancasila-nya nggak bisa dirubah berdasar fakta sejarah yang panjang. Jika sekarang ada yang menggilai budaya K-Pop, J- Rock, Metal, Rasta, itu hanya ketutupan sementara. Mereka akan tetap kembali jadi orang Indonesia. Nggak bisa di-Arab-kan ataupun di-Barat-kan. Pancasila harga mati.
Wis ah.
-Robbi Gandamana-
*Thanks Simbah atas ilmunya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar