Sabtu, 13 Mei 2017

Kita Sedang Sakit



Jangan Gampang Jatuh Cinta, Kagetan dan Nggumunan
Kelemahan bangsa Indonesia yang paling fatal adalah gampang jatuh cinta. Apalagi cintanya berlebihan, pikiran pun jadi dodol. Kalau sudah dodol, maunya minum air mineral tapi yang ditenggak karbol.

Kalau seorang Walikota memberi santunan pada tukang becak, Gubernur memberikan Umroh gratis pada para marbot, Presiden bagi-bagi hadiah itu wajar dan semestinya begitu. Mereka harus memprospek dirinya agar dipilih di Pemilu berikutnya. Agar tetap terjaga nama baiknya.

Jadi jangan kaget dan nggumun kalau ada Lurah, Camat atau Bupati membangun masjid atau sarana umum memakai dana pribadi. Mereka itu sebenarnya sedang 'kampanye'.

Memang lebih baik mencintai daripada membenci. Lebih baik berprasangka baik daripada curiga. Nggak semua hal baik yang dilakukan pemimpin rakyat itu sebuah pencitraan atau tebar pesona. Hanya Tuhan yang tahu, kalian jangan sok tahu.

Tapi memilih pemimpin harusnya bukan karena cinta atau benci. Bila karena dua hal itu, pilihan kita tidak akan berdasar pada pikiran yang jernih. Kalau sudah cinta, seandainya salah pun tetap dibela. Begitu juga kalau sudah benci, berbuat baik pun tetap dicela.

Banyak orang mewek gulung-gulung saat Ahok jadi dijebloskan ke penjara, kayak adegan di sinetron "Ratapan Anak Bombay". Meratapi pujaannya yang dijadikan tumbal kewarasan dan akal sehat anak bangsa yang dimabuk agama. Demo sampai larut malam mengganggu ketenangan publik. Itu semua karena cinta yang berlebihan.

Saya sendiri nggak sedih blas, lha lapo, wis tau. Saya sudah punya sistem imun, nggak kaget. Begitulah hukum yang berlaku di negeri ini. Vonis dijatuhkan berdasarkan pada kepentingan politik, besar kecilnya fulus dan atau tekanan publik. Begitu juga yang terjadi pada Ahok. Karena tekanan publik (mayoritas) begitu kuat, hakim pun cari selamat.

Kebencian mereka pada Gubernur Ahok yang non Muslim dan Cina, membuat mereka subyektif dalam menilai Ahok. Seandainya Ahok masuk Islam pun tetap akan dibenci. Ketika Ahok mengkritisi malah diartikan menghina, dianggap menistakan agama.

Penista agama itu kayak Salman Rushdie yang melecehkan Islam, Nabi Muhammad dan Al Qur'an lewat bukunya "The Satanic Verses". Kalau Ahok itu cuman mengkritisi politikus wedus yang menggunakan surat Al Maidah 51 sebagai alat untuk meraup suara rakyat, sasarannya adalah muslim yang masih ndlahom agama seperti saya.

Jujur Itu Aneh
Negara ini sedang sakit parah, karena terlalu lama berkubang dalam kecurangan. Hanya Tuhan yang sanggup menyembuhkan, karena kecurangan di negeri ini sudah jadi peradaban. Kalau sudah jadi peradaban, nggak bisa dirubah lagi. Nasi sudah jadi bubur. Apalagi buburnya sudah terlanjur basi. Anjing saja nggak doyan.

Hebatnya, walaupun negeri ini sakit, rakyatnya enjoy saja. Seperti tidak terjadi apa-apa. Kata Cak Nun, Indonesia adalah pasien yang tidak punya 3 pengetahuan : Tidak tahu sakitnya apa? Tidak tahu mau minta tolong siapa? Dan tidak tahu kalau dia sakit.

Karena bangsa ini sudah lama menggunakan 'produk gagal' yang penuh kecurangan yang tidak memihak rakyat dan lebih menguntungkan pembuat undang-undang, jangan berharap ada hakim yang benar-benar jujur.

Kalau kecurangan sudah jadi peradaban, maka tunggulah kehancurannya. Seperti kota Sodom dan Gomora yang dimusnahkan oleh Tuhan dari muka bumi karena seks bebas kaum homo dan lesbi yang sudah jadi peradaban.

Islam datang dalam keadaan asing, akan kembali pula dalam keadaan asing. Islam itu bukan hanya soal shalat, puasa, zakat dan seterusnya ; jujur itu juga Islam. Zaman sekarang orang jujur itu langka. Orang jujur biasanya dicap lugu, polos bahkan bodoh. Seperti kisah Paimo yang menjual HP miliknya di sebuah counter HP. Dia ditanya oleh pemilik counter, "Kenapa HP-nya dijual mas?" Paimo pun menjawab serius, "Karena kemarin kecemplung kolam mas."

Orang jujur di zaman sekarang itu kesepiaan, mereka jadi alien di lingkungan masyarakatnya. Dianggap aneh, antik, goblok dan nggak normal.

Di bidang apa pun hampir penuh dengan kecurangan, nggak jujur. Kalau ada celah untuk bisa curang, maka hal itu akan dilakukan. Di dunia kerja pun begitu. Jarang ada pengusaha jujur. Laporan pajak kebanyakan tipu-tipu. Banyak peraturan perusahaan yang dibuat untuk mencurangi pekerjanya.

Maka sebenarnya NKRI tidak harga mati. Banyak sistem di NKRI yang harus dibenahi. Yang pantas harga mati itu Pancasila dan Bhineka Tunggal Ika. Jangan sampai ideologi Pancasila diganti ideologi kacau yang diadopsi dari Arab atau Barat.

NKRI boleh berubah. Kalau memang jadi lebih baik, why not? Tapi tentu saja bukan Khilafah. Khilafah tidak cocok diterapkan di negara yang sangat beragam agama dan suku ini. Khilafah bukan syariat, itu sistem pemerintahan Arab setelah Rasulullah wafat. Tidak ada satu nash pun di Al Qur'an dan Hadits yang mengharuskan sistem pemerintahan khilafah.

Dan juga nggak perlu jadi negara Syariah. Pancasila itu sangat Syariah. Sila Ketuhanan yang maha Esa itu pengejawantahan dari Surat Al Ikhlash. Sila kedua sampai kelima juga sangat Islam. Coba dipelajari, saya bukan ustadz. Jangan sampai duduk mekangkang naik motor dikasih Perda. Kalau semua etika di masyarakat dikasih Perda, capek aparat ngurusnya. Itu urusan moral pribadi umat dengan hidupnya.

That's all.

(C) Robbi Gandamana, 14 Mei 2017




Tidak ada komentar:

Posting Komentar