Jumat, 05 Mei 2017

Cak Nun, Kyai Yang Ideal Bagi Generasi Millinneal


Iki serius rek.
Seandainya aku jatuh cinta pada seorang pria, mungkin aku jatuh cinta pada Cak Nun (bukan dalam artian fisik, aku bukan hombreng).
Cak Nun adalah contoh ideal Kyai yang mumpuni. Ngomong agama oke, ngomong politik sip, ngomong budaya joss gandoss, ngomong opo ae asyik. Ngelawak sangat bisa, ngomong serius juga luar biasa. Dan yang paling mbois itu sepak terjangnya selaras dengan omongannya.
Cak Nun bukan bagian dari kelompok apa pun, netral. Beliau sangat otentik dan berdaulat atas dirinya sendiri. Bukan NU, Muhammadiyah, apalagi LDII atau MTA. Tapi beliau bisa merangkul dan menerima semuanya. Tidak menuding-nuding madzhab dan atau agama lain "Kafir!", "Jahannam!"
Cak Nun sanggup meniadakan dirinya. Artinya dia nggak kemaruk popularitas. Pernah beberapa kali nulis dengan nama samaran Joko Umbaran. Ada kelompok teater mementaskan naskah dramanya Cak Nun tanpa tahu itu karya Cak Nun, karena inisial penulisnya Joko Umbaran.
Menurutnya, jangan sampai melakukan sesuatu hal itu tujuannya popularitas, eksistensi, apalagi materi. Pokoknya melakukan sesuatu yang terbaik. Kalau mencari akhirat pasti dapat dunia. Maka dari itu Cak Nun tidak perduli dengan tarif tiap kali dia diundang tampil. Nggak kayak Ustadz sekarang yang pasang tarif. Ustadz dijadikan profesi.
Tuhan bukan saingannya uang. Hakikatnya Tuhan lah yang membuat uang. Kalau kamu cari Tuhan, maka akan dimudahkan mendapatkan uang dengan halal. Manusia itu derajatnya lebih tinggi dari uang. Jangan sampai ditaklukan oleh uang. Uang yang seharusnya kita taklukan. Makane sekali-sekali duwik iku dipisuhi, "Jiancok koen wik!"
Cak Nun bisa saja beli mobil mewah, rumah mewah, poligami dengan banyak istri, tapi itu semua tidak dilakukannya. Beliau hidup secara miskin, dari dulu budayanya ya seperti. Pakaiannya, kendaraannya, gayanya, cara hidupnya nggak berubah blas. Maka beliau dengan mudah berbaur dengan segala macam golongan. Dari golongan wedus sampai golongan iwak lohan.
Cak Nun tidak bercita-cita. Pokoknya lakukan saja sesuatunya dengan baik dan sungguh-sungguh, maka Tuhan pasti akan ngasih. Apa hebatnya bercita-cita terus mendapatkan yang dicita-citakannya. Yang hebat itu tidak bercita-cita tapi diam-diam Tuhan ngasih.
Sejak awal Reformasi, Cak Nun nggak mau lagi tampil di media nasional, beliau memutuskan untuk keliling Shalawatan, mencerdaskan, membesarkan hati, dan menghibur rakyat dengan kelompok musik Kyai Kanjeng. Menurutnya Reformasi itu ReformASU. Karena memang nggak murni Reformasi. Tokoh-tokoh yang dulu ikut meneriakan Reformasi ternyata ngincer jabatan, posisi, lahan basah. Maka beliau tidak mau jadi bagian dari kumpulan politikus busuk itu.
Generasi millennial banyak yang mencemooh Cak Nun sebagai Ustadz yang nggak laku. Maklum, mereka nggak tahu sepak terjang Cak Nun sejak awal. Ngertinya kalau Ustadz nggak sering muncul di TV itu nggak hebat. Cak Nun itu Ustadznya Ustadz, Kyainya Kyai. Orang sekarang baru hafal Al Qur'an terjemahan Depag (Google translate), sudah berani ngeklaim dirinya Ustadz.
Zaman sekarang, Ulama itu kayak artis yang funky dan trendy. Ulama kok kolektor barang mewah, apalagi itu diaplot (pamer) di medsos. Oke Ulama boleh kaya, tapi sebisa-bisanya tetap hidup secara miskin (sederhana). Seorang ulama harusnya bisa berpakaian yang sama dengan pakaian umatnya yang paling miskin. Ulama itu panutan umat. Nggak cuman nyuruh umatnya hidup sederhana tapi dia sendiri ngoleksi barang mewah.
Kendaraan mewah jangan disamakan dengan kuda milik Rasulullah yang hebat (istimewa). Rasulullah panglima perang, tentu butuh kuda yang hebat. Dan juga jangan nggaya niru Nabi Sulaiman sang Nabi miliuner itu. Nabi Sulaiman sebenarnya lebih memilih ilmu (kebijaksanaan) daripada harta, tapi Tuhan ngotot ngasih harta plus ilmu. Salahe sopo.
Sekarang banyak Ulama yang gemar demo. Ikutan teriak-teriak dengan bahasa yang menyakitkan orang lain. Hidup itu tidak cuman soal baik dan benar, tapi juga pantas dan tidak pantas. Ini soal etika. Pantes nggak se Ulama teriak-teriak memakai bahasa kasar yang menyakitkan hati manusia. Sampeyan iku Ulama, Rocker, opo kuning?
Paham nggak? nggak khan...aku dewe yo bingung.
Generasi Millennial yang mulai dikepung oleh ideologi kacau, radikalisme dari Arab maupun Barat membutuhkan figur panutan yang bukan dari golongan atau kelompok mana pun. Menurut saya, Cak Nun adalah figur yang sangat tepat untuk itu. Dalam pengajiannya, tak hanya muslim saja yang hadir, tapi non muslim pun banyak. Bahkan mungkin jin pun suka dengan pitutur Cak Nun yang mencerahkan dan membuka pori-pori kecerdasan itu.
Wis ah.
(C) Robbi Gandamana, 5 Mei 2017

Tidak ada komentar:

Posting Komentar