Kamis, 28 September 2017

Jambul 12 Helai



Nggak jarang saya menjumpai sesama artworker yang nggak mau berkarya kalau tidak ada uangnya. Berkarya kok nunggu orderan atau lomba. Tapi no problem, itu hak mereka. Mereka belum memasuki tahap betapa asyiknya mewarnai dunia. Betapa indah dan nikmatnya berbagi.

Sekali-sekali memberi gratisan pada teman itu perlu (tapi jangan menawarkan diri, bisa benjut jaya kau nak). Seorang ilustrator harus punya pengalaman menggambar gratis temannya atau siapa saja karena simpati. Disamping jam terbang jadi semakin tinggi, Itu juga yang membangun mental. Berkaryanya digerakan oleh hati, bukan oleh materi. Dan itu yang membuatnya jadi legend.

Setidaknya buatlah dirimu berarti bagi kehidupan sekitarmu. Jadilah manusia Sunnah yang kehadirannya diharapkan orang banyak. Atau kalau bisa jadi manusia Wajib, kehadiranmu penting bagi orang lain. Jangan jadi manusia Haram, kehadiranmu malah bikin kisruh.

Nggak perlu ikut-ikutan ngeshare status orang "Menggambar itu profesi, hormati profesi orang dengan tidak minta digambar gratis". Statement itu 100 % benar, tapi itu juga yang membuat tidak nyaman orang yang pernah kamu gambar gratis. Yang ngeshare status seperti itu biasanya tukang gambar kemaren sore. Nggak yakin-yakin amat kalau Tuhan pasti ngasih balasan yang berlipat. Nggak ada yang sia-sia.

Memang kadang tersiksa dengan harapan orang yang minta digambar gratisan itu. Isuk awan bengi ditagih. Gratisan tapi dikongkon cepet, setelah jadi minta revisi. Swemprul. Tapi gak popo, namanya juga nggak paham. Ayat soal profesi belum sampai ke dia. Babah wis, jarno.

****
Kalau kita berkunjung ke Panti Jompo atau Rumah Sakit di bangsal khusus pasien jompo. Kita akan menjumpai Parade Wong Legrek. Sekumpulan manusia usia senja yang nggak berdaya. Dulu berbibir seksi, sekarang ndoweh plus ngileran. Dulu rambut lebat berkilau sekarang full uban, botak, krowak di sana sini, tumo pun menghampiri.

Saat muda membanggakan tatto ular naga, pas wis tuwek dadi uler keket. Nggak perduli kamu buruh pabrik, tentara, cover boy, atau apa pun, kalau sudah tua pendengaran jadi berkurang, ngomong nggak jelas, pikun melanda, ndlahom total. Tubuh kurus tinggal tulang sama riyak. Saat batuk, untune katut metu. Gak iso ngaceng pisan. Perfect! mbuwak byuk.

Kadang beruntung orang yang mati muda, karena kalau tidak, dia pasti akan sampai di masa tua. Masa dimana kegagahan lenyap, kecantikan menyublim, ketegasan menghilang, keperkasaan memudar. Dulu wajahnya kiyut abis, tapi saat tua mirip Orangutan --> kantung mata melorot akut, bibir ndower, rambut jambul cuman 12 helai, wetenge mblendung, kulit kasar bersisik.

Saat tua nanti, orang kembali jadi bayi--> pakai pampers, kencing plus pup di celana. Tiap hari kecirit, celananya lengket. Meludahpun nggak ada tenaga. Maunya meludah, tapi yang terjadi malah ngiler. Cwape dwech.

Begitulah sodara sebangsa dan setanah air. Tua itu pasti, siap menghadapi itu pilihan. Mulai persiapkan dari sekarang, pola hidup sehat. Tanyakan pada dokter atau instruktur senammu, aku gak eruh.

Saya tidak sedang menakut-nakuti anda semua, tapi itulah kenyataannya. Makanya sebelum jadi tua dan tidak berguna, sebisa mungkin jadilah orang yang berarti. Sering-seringlah berbagi. Warnai dunia. Berkarya jangan nunggu orderan dan lomba. Atau kalau bisa, berbuat sesuatu bukan karena eksistensi, pokoknya berbuat baik saja (ini level tingkat tinggi yang bisa begini).

Ingat pepatah klasik : Gajah mati meninggalkan gading, harimau mati meninggalkan belang, manusia mati meninggalkan nama. Perbuatann baik maupun buruk seseorang akan tetap dikenang meskipun seseorang telah tiada.

Banyak orang paham nikmat dan indahnya berbagi saat sudah jompo. Ketika tubuh mulai legrek, disenggol pundake jantunge rontok. Ketika materi sudah tidak berarti lagi. Karena kekayaannya tidak akan pernah mengembalikan masa mudanya, tidak bisa membeli kebahagiaannya yang dulu. Tobat kebanyakan telat, janji nggak akan main wanita lagi, tapi itu diucapkan saat usia sudah 80 tahun. Wadoh.

Jangan andalkan kegagahan dan kecantikanmu untuk menyombongkan diri. Semua itu nggak bisa diandalkan. Puncak kegagahan/kecantikan manusia itu saat umur 35 tahunan. Setelah melewati umur itu, mata mulai buram, pakai kaca mata minus (atau plus) bergaya Ebiet G, Ade atau Betty La Fea.

Jangan berharap banyak pada operasi plastik. Operasi plastik hanya menunda sebentar. Itu juga sangat berisiko. Nggak sekali aku lihat seorang bencong yang mengamen di Trafic Light, suntikan solikin di hidung atau dagunya malah membuat wajahnya jadi kayak celengan Bagong.

Wis rek, tulisane tambah suwe tambah mulek koyok entut. Ojok percoyo tulisan iki. Ini untuk menghibur dan menyemangati diri saya sendiri.


-Robbi Gandamana-

Minggu, 24 September 2017

Paluaritphobia adalah Produk Doktrin Orba




Komunisme, sebuah ideologi yang membuat bangsa ini phobia. Orde Baru keparat yang telah berhasil menjenjali jiwa-jiwa labil dengan kisah horor PKI yang dilebih-lebihkan. Akibatnya tega membantai orang yang diduga simpatisan PKI, hanya karena ikutan jadi anggota organisasi yang berafiliasi ke PKI, tanpa pernah membunuh siapa pun. Apes.

Sampai sekarang orang begitu berhati-hati jangan sampai ketahuan kalau dia komunis. Saat nonton film G30S PKI di depan pacarnya mengutuk PKI, "Komunis keparat!" Eh, ndilalah si pacar nyeletuk, "Aku lebih suka komunisme daripada kapitalisme, mas." Si pria langsung meraih jemari si pacar, "Kalau begitu kita sama dik.."

Sebenarnya komunisme datang untuk membendung Kapitalisme yang menindas kaum buruh. Nggak heran kalau petinggi PKI dulu ada beberapa yang lulusan pesantren, bahkan anak Kyai. Mereka berjuang membela kaum cilik atau Proletar. Tapi karena fanatisme buta, mereka menghalalkan pembunuhan bagi siapa saja yang menghalangi perjuangan.

Seandainya PKI tidak melakukan makar atau pemberontakan, bisa jadi partai ini tidak terlarang dan eksis sampai sekarang. PKI adalah kambing hitam yang tepat buat Soeharto untuk mengahancurkan musuh-musuhnya dan mengambil alih kekuasaan, melengserkan Soekarno dan mengibarkan bendera Orba, Orde Bajingan.

Semua ideologi bisa kejam apabila dijadikan sebuah gerakan makar. Mau PKI, DI/TII, atau gerakan yang lain, sama saja, mereka pasti membunuh jika dihalangi. Bahkan ISIS yang katanya membela Islam itu tega membunuh wanita dan anak-anak. Jihad membela Islam tapi kok hobinya gonta-ganti istri, kenta-kentu ae. Islam cap opo iku.

Komunis bukan berarti ateis, dan ateis tidak berarti komunis. Komunis itu percaya Tuhan, tapi ideologinya bertabrakan dengan ajaran agama. Menginginkan semuanya sama rata. Nggak ada kepemilikan pribadi, semua milik bersama. Itu nggak Sunnatulloh, melawan hukum alam.

Nggak ada kehidupan di mana semua penghuninya kaya. Itu utopia namanya. Pastilah ada yang kere. Jika ada pemenang pasti ada pecundang. Some born to win, some born to lose. itu alamiah. Jika melawan kodrat alam, kehidupan bakal kacau.

Jadi komunisme itu isapan jempol. Tetap Pancasila is the best. Dan nggak usah khilafah, Pancasila sudah khilafah. Sila yang lima itu sudah Islam banget. Sila-sila di dalam Pancasila itu sumbernya dari Al Qur'an juga.

Tapi orang tidak berhak melarang orang lain menjadi komunis. Selama itu jadi pemahaman pribadi, monggo saja. Mau ateis, komunis, mbois, itu urusan pribadinya dengan Tuhannya. Yang dilarang itu mendirikan partai politik yang berideologi komunis.

Jika kamu punya band, silakan saja pakai sistem komunis, dimana semua hasil jerih payah selama ngeband adalah milik bersama. Asal tidak istri jadi milik bersama. Komunisme hanya bisa diterapkan di lingkup kecil. Dan komunis bukan berarti PKI. Komunis itu sebuah ideologi, sedangkan PKI itu partai politik yang berideologi komunis.

Sudah nggak zaman komunisme dijadikan ideologi bangsa. Ndeso. Kalau ada yang paranoid dengan kebangkitan PKI (paluaritphobia) itu pasti orang jadul yang sudah kena doktrin Soeharto. Atau anak alay yang baru kenal agama salah berguru pada Ustadz modal terjemahan Depag.

Isu komunis dihembuskan untuk menggoyang pemerintah, agar citra pemerintah buruk di mata rakyatnya. Apalagi menjelang Pemilu 2019. Dipastikan itu adalah kerjaan lawan politik Jokowi. Itulah politik, mencitrakan dirinya baik dengan memperburuk citra orang lain. Terlihat benar dengan cara menyalahkan orang. Wis tau.

Paham khan? Dibaca sekali lagi.

-Robbi Gandamana-

Jumat, 15 September 2017

Jangan Jadi Dokter Mbokneancok



Kasus meninggalnya bayi Debora di RS Mitra Keluarga Kalideres semakin membuat rakyat jelata semakin sinis pada Rumah Sakit, bahwa orang miskin dilarang sakit. Karena tidak mampu bayar uang muka, pihak Rumah Sakit menolak memberikan pertolongan pengobatan yang seharusnya dilakukan pada si bayi.

Uang selalu jadi hal pertama yang dibicarakan saat pasien akan masuk RS. Walau nggak semua Rumah Sakit itu perusahaan (baca sendiri jenis-jenis Rumah Sakit di Wikipedia :) ), tapi semua nggak jauh dari soal bisnis, laba, uang. Harusnya menyangkut nyawa manusia, uang jadi hal terakhir yang diomongkan. Beri pertolongan maksimal, baru bicara uang.

Bagaimana bisa petugas RS mengabaikan nyawa manusia hanya karena takut tidak ada yang menanggung biaya pengobatan. Takut resiko potong gaji jika korban meninggal dan tidak ada pihak yang menanggung biaya si korban tadi, padahal sudah ditangani pakai peralatan dan obat yang tidak murah. Nyawa yang tidak ternilai dengan uang itu dikalahkan dengan administrasi.

Kalau sudah begitu, Rumah Sakit disebut gagal di sebut Rumah Sakit. Rumah sakit adalah tempat penyembuhan. Jangan sampai urusan nurani, akhlak dan kasih sayang dirusak oleh uang. Kesalahan orang modern adalah tidak melibatkan Tuhan saat memutuskan sebuah keputusan. Mereka nggak nggak yakin-yakin amat bahwa Tuhan itu Maha Tanggung Jawab. Dia pasti membalas setiap perbuatan baik, sekecil apap pun itu.

Terlalu sibuk dengan urusan duniawi (uang) membuat tumpul hati nurani. Nggak ada lagi pengabdian. Yang ada adalah peristiwa dagang, kapitalisme. Peristiwa kemesraan (sosial antara pasien dan dokter menjadi hal langkah. Padahal salah satu sumber kesembuhan pasien adalah kemesraan itu. Pasien sudah kesakitan, mumet ndase mikir biaya, eh doktere raine burek terus.

BPJS memang membantu, tapi tidak semua rumah sakit menerima BPJS. Kasus yang menimpa bayi Debora itu karena Rumah Sakit Mitra Keluarga Kalideres tidak menerima BPJS. Orang tua Debora memilih Rumah Sakit tersebut karena dikejar waktu, cari yang terdekat, si bayi sudah kritis.

Dan BPJS itu sebenarnya nggak gratis-gratis amat. Itu urunan, subsidi silang. Itu gratis setengah hati. Kalau memang gratis ya nggak urunan, nggak mbayar tiap bulan. Tapi ojok ngomong sopo-sopo yo, cukup awake dewe sing eruh. Yo wis lah Alhamdulillah, daripada nggak ada BPJS.

Kebanyakan Rumah Sakit di negeri ini kapitalis. Jika ada pasien kecelakaan datang  ke UGD, yang pertama dilakukan petugas Rumah Sakit adalah mencari orang yang mau bertanggung jawab, tanda tangan (menanggung biaya). Kalau tidak ada yang tanda tangan, jangan harap si pasien tadi akan dilayani dengan baik, walaupun sudah sekarat berdarah-darah melek merem mau mati.

Dalam soal ini, kita bisa belajar dari Malaysia. Keselamatan pasien (manusia) di atas segalanya. Di sana Rumah Sakitnya memperbolehkan pasien yang tidak mampu membayar biaya pengobatan dengan cara dicicil. Kalau di Indonesia, jika uang kurang atau belum bisa mbayar maka pasien disandera sampai bisa melunasi. T:T

Maka wajar kalau warga Indonesia di perbatasan lebih memilih berobat ke Rumah Sakit Malaysia daripada di Rumah Sakit Indonesia. Selain nggak ribet kakean cangkem, peralatan lebih canggih dan biaya bisa dicicil.

Sori, saya bukan pecinta Malaysia, saya cinta mati Indonesia. Tapi selalu ada sisi positif yang bisa kita tiru dari Malaysia. Malaysia bisa begitu karena makmur dan manajemennya baik.

Guru, ustadz dan dokter adalah sebuah pekerjaan yang melayani hamba Tuhan. Jangan sampai pekerjaan-pekerjaan tadi dikapitalisasi. Dokter dibayar bukan karena menyembuhkan pasien. Pasien membayar dokter itu karena mengganti biaya obat, peralatan, dan waktu si dokter yang dipakai saat proses menyembuhkan pasien.

Dokter itu pekerjaan yang paling mulia karena menolong orang sakit. Tapi jangan pernah dikapitalisasi. Itu yang membuat dokter jadi mbokneancok. Dalam mengobati pasien hendaknya tidak berpikir uang, karena uang pasti datang. Berpikirnya akhlak dan kasih sayang.

Kesembuhan bukan milik dokter. Dokter adalah petugas ikhtiar, orang yang dengan ilmu mengupayakan pengobatan. Sembuh dan sakit itu milik Tuhan. Jadi kesembuhan nggak selalu lewat dokter. Bisa lewat apa saja. Divonis dokter nggak bisa sembuh bukan berarti nggak ada harapan sembuh. Masih ada keajaiban, sugesti, dan seterusnya. Dan dokter yang terbaik adalah diri kita sendiri. Dan para dokter itu cuman asisten kesehatan kita.

Yang paling paham terhadap dirimu adalah kamu sendiri. Kapan saat makan, kapan saat berhenti. Orang sekarang menggunakan lidah hanya untuk fungsi kuliner, tidak untuk memahami itu cocok untuk tubuhnya atau tidak. Tubuh kita bermasalah karena kita terlalu cuek pada diri. Sudah tahu punya riwayat penyakit darah tinggi tapi makan daging kambing berlebihan. Ingin sehat tapi tidak menerapkan cara hidup sehat.

Wis ngene ae.

-Robbi Gandamana-

Jumat, 08 September 2017

Belajar dari Tragedi Rohingya




Etnis muslim Rohingya sedang apes total, jadi korban genosida penguasa Myanmar. Umat muslim Indonesia pun ngamuk. Karena orang islam adalah saudara orang islam yang lain. Kalau ada orang Islam yang nggak ngamuk, dia termasuk golongan Islam bahlul bin ndlahom.

Tapi kebanyakan cuman ngamuk, bingung mau melakukan tindakan apa. Saking bingungnya Borobudur pun akan dikepung. Aku gak paham maksude opo. Mungkin di sana akan ada acara misuh berjamaah, melampiaskan kemarahan. Bahlul!

Mengepung Borobudur itu salah sasaran. Itu bentuk persekusi pada tempat ibadah agama Budha, juga menyamakan umat Budha di sini dengan umat Budha Myanmar yang membantai etnis Rohingya. Yang bermasalah itu pelakunya (oknum) bukan agamanya. Apalagi Borobudur tidak hanya milik umat Budha.

Tapi syukurlah aksi di Borobudur batal! dialihkan ke masjid An Nur, Sawitan, Kabupaten Magelang. Acaranya shalat Jum'at disambung dengan doa bersama dan penggalangan dana. Lumayanlah efek dari tragedi Rohingya, umat Islam jadi bersatu, kompak Ndes.

Yang nggak ikut aksi nggak usah minder. Minimal sedekah empati. Lha wong sedekah uang nggak mampu, sedekah tenaga juga nggak bisa. Akhirnya hanya bisa berdoa, di fesbuk pula. Mungkin hukumnya Fardhu Kifayah, kewajiban jadi gugur kalau sudah ada yang mewakili (melakukan tindakan nyata). Aku gak paham agama, tanyakan Ustadzmu.

Dari zaman neolitikum ya seperti itu. Ketika ada bencana, banyak orang yang sibuk empati, tapi tidak berbuat apa-apa. Gak popo, lha wong isone cuman ngomong. Kalau semua menyerang, yang jaga gawang siapa?

Ada cerita seorang pedagang cina yang sakit keras, dijenguk keluarganya di Rumah Sakit. Dijenguk nggak jadi senang, tapi malah panik, "May Ling ada,  Lu Ping San ada,  Tan Tjep Nho ada,  Che Bo Khan ada, Cwi Lan Tseng ada, Mhe Kho Kwok juga ada, terus yang jaga toko siapa???"

Manusia itu jenisnya bermacam-macam. Menurut Cak Nun ada 4 jenis manusia : pencetus, pembangun, pemelihara dan pendobrak. Pencetus ini kerjanya cuman ngomong, ngasih ide tapi nggak pernah merealisasikan. Pembangun kerjanya merealisasikan ide yang baik. Pemelihara itu memelihara 'bangunan' yang sudah ada. Kalau pendobrak itu jenis manusia pemberontak, nggak gampang puas dengan 'bangunan' yang sudah ada. Catet!

Jadi, nggak papa kalau bisanya hanya ngomong. Memang jenisnya manusia pencetus kok, bisanya cuman ngomong. Mari ngomong terus turu.Tangi turu ngomong maneh.

Dari tragedi Rohingya ini, kita dapat pelajaran berharga. Ekstrimis Budha di Myanmar adalah cermin kaum aliran kaku intoleran di negeri ini. Kaum yang suka nggak terima kalau ada agama atau aliran yang tidak sesuai dengan ideologinya. Aliran sesat pun disematkan, boleh dibunuh, dibakar rumahnya dan diusir dari tanahnya sendiri.

Apa yang terjadi pada etnis Rohingya mirip dengan nasibnya umat Syiah, Ahmadiyah, Gafatar dulu. Mereka dipersekusi total, dibakar rumahnya, diusir dan dihinakan oleh mereka yang merasa agamanya paling benar. Padahal yang membuat para agamis merasa benar itu lebih banyak karena keyakinan daripada kenyataan. Yakin Tuhan ada, tapi nyatanya nggak pernah melihat Tuhan. Hanya iman yang membuat kita yakin Tuhan itu ada.

Jadi istilah 'No Pic Hoax' itu nggak selalu benar. Kita tidak pernah melihat fotonya Tuhan. Bahkan Rasulullah juga nggak pernah kita lihat gambarnya, kita hanya dikasih tahu ciri-cirinya. Tapi dengan keimanan yang ada di dalam hati, kita tetap meyakininya. Dan itu tidak menjadikan agama Islam hoax. Awas kalau berani bilang agama Islam hoax, pelimu ilang.

Malah sekarang banyak foto hoax yang beredar. Ada seorang teman yang pagi-pagi berfoto di atas genteng dengan bekgron sunrise di pagi hari pakai kostum pendaki gunung. Setelaj jadi, fotonya dikasih caption "Asyiknya menikmati sunrise di gunung Bromo". T:T

Rasul tidak ingin digambar karena tidak mau dikultuskan, dijadikan poster, ditempel di kamar disandingkan dengan poster Metallica atau artis Korea. Rasulullah itu itu intan permata kok disandingkan dengan Metallica yang cuman batu cadas atau artis Korea yang cuman upil itu.

Semua orang yang beragama itu sebenarnya masih 'sesat'. Lha wong doanya, "Ya Tuhan tunjukan kami jalan yang lurus." Kalau sudah merasa lurus, nggak perlu ikut pengajian atau majelis keagamaan. Karena orang datang ke pengajian itu orang yang merasa masih sesat, sehingga butuh petunjuk ke jalan yang lurus.

Jadi nggak usah nuding-nuding sesat penganut agama lain. Ayat "Hanya Islam agama yang diterima oleh Allah" itu untuk pemahaman kita, tidak untuk diumbar-umbar kepada penganut agama lain. Ngomong begitu hanya pantas di lingkungan intern, sesama muslim.

Pasti lah semua penganut agama merasa benar dengan agamanya dan menganggap sesat agama lain. Sunni menganggap sesat Syiah. Syiah pun menganggap sesat Sunni. Begitu juga dengan agama lainnya. Butuh keluasan hati untuk menerima perbedaan. Selama tidak ada pemaksaan dan tindakan dekstruktif monggo saja beragama menurut keyakinan masing-masing.

Kaum ekstrimis Budha di Myanmar  adalah mereka yang menolak perbedaan. Mereka hanya ingin ada agama Budha di Myanmar. Bagi mereka Islam itu agama sesat yang mengancam  ideologi dan budaya Myanmar. Ruang gerak mereka dipersempit, cari makan susah. Mereka tidak diakui sebagai warga negara walaupun sudah menetap di sana berabad-abad lalu.

Ketakutan Myanmar berkiblat pada sejarah bangsa Nusantara tempo doeloe, dimana agama Budha adalah mayoritas. Ketika Islam datang, keadaan pun terbalik, Islam menjadi agama mayoritas di Nusantara. Salahe sopo.

Mbak Retno sudah menemui Asu Kyi minta agar segera melakukan tindakan yang diperlukan untuk menghentikan konflik dengan tidak menggunakan cara kekerasan. Tapi rupanya Asu Kyi lebih menyelamatkan karier politiknya daripada menyelamatkan etnis Rohingya.

Bahkan Asu Kyi meminta pemerintah Indonesia untuk tidak ikut ngurusi urusan Myanmar. Bantuan kemanusiaan pun belum disalurkan karena belum mendapat ijin dari otoritas Myanmar. Juga Tim Pencara Fakta dari PBB pun mrongos jaya, dilarang masuk ke TKP. Oala Su Su.

Sudah saatnya hadiah Nobel untuk Asu Kyi dibatalkan, diganti hadiah Monel yang dibeli di pasar rombeng.

Sudah, itu saja. Zuukkk.


-Robbi Gandamana-



Senin, 04 September 2017

Berjilbab Itu untuk Menutupi Kecantikan? yang Benar Saja!



Membaca postingan soal jilbab di sebuah grup fesbuk, sebut saja Muslim Jos, kepala saya jadi cenut-cenut. Postingan tersebut menyebutkan bahwa berjilbab itu fungsinya untuk menutupi kecantikan wanita. What!?

Jadi kalau bude atau mbokde yang sudah uzur, yang mukanya jelek, nggak wajib jilbaban? Ingat, nggak semua wanita di dunia ini cantik. Banyak juga yang mblendes. Apakah yang masuk kategori jelek (hayo ngacung) nggak wajib berjilbab?

Gile lu Ndro. Orang yang wajahnya jelek bersusah payah agar terlihat cantik, kok ini malah nggak boleh cantik. Emane rek.

Saya nggak anti jilbab, cuman kok rasanya kurang pas kalau tujuan berjilbab itu menutupi kecantikan. Suami mana yang nggak galau kalau istrinya ijin berjilbab agar tidak terlihat cantik. "Oala dik dik, raimu iku pas-pasan, gak ayu-ayu banget, kok malah ate kok ilangno ayune, " kata si suami sambil tepok jidat.

Justru banyak wanita berjilbab yang jadi terlihat cantik. Karena ternyata jilbab bisa juga untuk menutupi kekurangan, sori. Apa karena rambut tipis mberodol akibat salah shampo atau rambut kriwul kayak dakron susah ngurusnya (hayo ngaku). Tapi itu no problem.

Yang aku tahu jilbab itu berfungsi  untuk menutupi dan melindungi keindahan wanita yang berpotensi membangkitkan syawat lelaki. Jadi apa pun yang ada di diri wanita yang berpotensi bikin pria ngaceng, wajib ditutup. Nggak perduli kamu cantik atau tidak.

Cantik itu pasti indah, tapi wajah cantik itu tidak pasti membangkitkan nafsu syahwat. Hanya pria kelainan seks yang langsung 'greng' hanya dengan melihat wajah cantik. Yang pasti membangkitkan syahwat itu bodi dan alat seksual wanita. Bukak titik jozzzz.

Dan jilbab itu nggak cuman menutupi. Ditutup tapi kalau bodi dibalut dengan ketat ya sama saja Bude, bikin ngiler lelaki. Karena itu yang seharusnya dijilbabi. Kalau wajah dan rambutnya sih nggak ngacengable. Walau ada memang cewek bermake up dan bergincu menor plus gaya bicara yang mendesah-ndesah sok sexy. Itu yang membuat sebagian pria bergetar pelinya.

Iman juga butuh proses dan nggak bisa distandarisasi. Butuh keluasan hati untuk memaklumi kalau taraf  berhijabnya masih jilboob (bahkan yang tidak berjibab). Yang penting ada kemauan untuk terus meningkatkan level imannya, Insya Alloh melbu surgo. Aamiin.

Juga nggak perlu mempermasalahkan jilbab modis, trendy atau gaul. Karena Jilbab gaul itu bisa menarik minat para muslimah untuk berjilbab. Dan itu juga memperkaya jilbab. Nggak sekedar jilbab, tapi ada usaha untuk memperindah. Manusia itu makhluk yang berbudaya. Dulu kursi hanya berupa potongan kayu yang dipotong-potong. Sekarang kursi diukir, dicat, dibentuk sedemikian rupa agar terlihat indah.

Baguslah kalau kamu ingin mempertahankan jilbab oldschool (syar'i ) sampai titik darah penghabisan, tapi nggak perlu memaksa orang lain agar jadi seperti dirimu dan nggak perlu juga mengejek mereka karena memakai jilbab trendy dan gaul.

Islam itu soal kemajuan, lha kok malah mundur ke belakang kembali ke abad 7 masehi. Teknologi tekstil dan industri fashion terus berkembang. Dulu kain cuman dijahit sederhana sekedar untuk menutupi badan, sekarang didesain sedemikian rupa. Nggak cuman sekedar fungsi, tapi memperhatikan keindahannya juga, karena manusia butuh keindahan.

Tuhan Maha indah dan mencintai keindahan. Manusia adalah pengejawantahan dari Tuhan, karena itulah manusia juga suka dan butuh keindahan. Semua tergantung niat dan tujuannya. Selama tidak bertujuan pamer, boleh saja. Tampil rapi dan enak dipandang mata di depan orang lain itu juga ibadah. Karena itu juga menyenangkan orang khan.

Tidak semua keindahan membangkitkan syawat. Menurutku jilbab yang indah tidak membuat pria onani. Jadi nggak masalah mau jilbab syar'i, jilbab gahul, jilbab gajul, yang penting tingkah laku di masyarakat baik. Ada dan siap saat orang lain membutukan pertolongan.

Sudahlah, nggak perlu mendiskreditkan kostum orang. Sudah jilbaban masih saja dicari-cari kesalahannya. Banyak anak Kyai atau Ulama yang malah tidak berjilbab. Lihat saja Najwa Shihab, Yenny Wahid, juga putrinya Cak Nun. Bagi mereka lebih penting pakai pakaian yang terhormat daripada berjilbab tapi berbusana ketat.

Saya nggak ngomong baju ketat itu tidak terhormat lho ya. Tapi menonjolkan susu montok dan bokong semok itu bisa diartikan permisif pada semua lelaki untuk menikmati. Itu bisa mengundang pikiran mesum mampir di otak lelaki, yang akhirnya dilanjut dengan melakuken hal yang buken-buken di kamar mandi. Sabun mana sabun.

Monggo saja kalau memilih untuk jadi sexy, itu urusan pribadi wanita dengan hidup dan Tuhannya (jika berTuhan).  Sexy is not a crime. Tapi sebenarnya cewek sexy lebih bisa merusak karier lelaki. Walau sexy nggak selalu cewek yang berbaju ketat atau berbaju minim. Semua bisa sexy, tergantung imajinasi si lelaki. Cewek yang berjilbab syar'i pun bisa sangat sexy. Ojok salah Jum.

Kapasitas manusia untuk bisanya hanya mengajak atau mengingatkan, tidak memerintah atau memaksakan. Begitu juga dengan Qurasih Shihab, Gus Dur atau Cak Nun, mereka tidak bisa memaksakan putrinya untuk berjilbab. Hidayah 100 % kuasa Allah. Lha wong sekelas Nabi Luth saja gagal mengajak istrinya beriman kok. Juga Nabi Nuh pada anaknya. Sudah tahu kisahnya khan? Itu Pelajaran Agama Islam anak SD.

Wis ah, soal jilbab cukup sampai sini saja. Untuk lebih detailnya tanyakan ustadz anda masing-masing. Saya bukan ustadz. Saya cuman memberdayakan akal pikiran saya. Di zaman ini semakin banyak muslim yang pikirannya keseleo karena tidak menggunakan akal dengan benar. Ada yang seolah-olah benar tapi dengan cara menyalahkan orang lain.

Islam adalah agama yang aqliyah, sangat mengutamakan akal. Akal Itulah yang membedakan manusia dengan hewan. Seberapa hebat sistem nilai yang terkadung di Al Qur'an tidak ada gunanya bila tanpa menggunakan akal. Al Qur'an akan sia-sia jika disodorkan ke kambing, lha wong kambing nggak dikarunia akal, adanya cuman otak.

Ingat kata Ustadz Nganu, "Afala ta'qilun afala tatafakkarun. Apakah kamu tidak menggunakan akalmu? Apakah engkau tidak berpikir?"

Jadi, alat utama untuk berIslam itu bukan Al Qur'an, tapi akal. Islam itu sistem nilai. Al Qur'an itu cuman menghantarkan Islam, bukan Islam itu sendiri. Ibarat seseorang pria yang jatuh cinta pada seorang cewek. Si pria memberikan bunga pada si cewek sebagai tanda cinta. Cinta tidak terletak pada bunganya. Bunga itu cuman menghantarkan cinta si pria.

Kalau anda tidak paham dengan tulisan saya ini, kemungkinan besar anda tidak menggunakan akal anda dengan benar. So, gunakan akalmu! Jangan melakukan sesuatu tanpa pemahaman.

(C) Robbi Gandamana, 25 Agustus 2017