Kasus meninggalnya bayi Debora di RS Mitra Keluarga Kalideres semakin membuat rakyat jelata semakin sinis pada Rumah Sakit, bahwa orang miskin dilarang sakit. Karena tidak mampu bayar uang muka, pihak Rumah Sakit menolak memberikan pertolongan pengobatan yang seharusnya dilakukan pada si bayi.
Uang selalu jadi hal pertama yang dibicarakan saat pasien akan masuk RS. Walau nggak semua Rumah Sakit itu perusahaan (baca sendiri jenis-jenis Rumah Sakit di Wikipedia :) ), tapi semua nggak jauh dari soal bisnis, laba, uang. Harusnya menyangkut nyawa manusia, uang jadi hal terakhir yang diomongkan. Beri pertolongan maksimal, baru bicara uang.
Bagaimana bisa petugas RS mengabaikan nyawa manusia hanya karena takut tidak ada yang menanggung biaya pengobatan. Takut resiko potong gaji jika korban meninggal dan tidak ada pihak yang menanggung biaya si korban tadi, padahal sudah ditangani pakai peralatan dan obat yang tidak murah. Nyawa yang tidak ternilai dengan uang itu dikalahkan dengan administrasi.
Kalau sudah begitu, Rumah Sakit disebut gagal di sebut Rumah Sakit. Rumah sakit adalah tempat penyembuhan. Jangan sampai urusan nurani, akhlak dan kasih sayang dirusak oleh uang. Kesalahan orang modern adalah tidak melibatkan Tuhan saat memutuskan sebuah keputusan. Mereka nggak nggak yakin-yakin amat bahwa Tuhan itu Maha Tanggung Jawab. Dia pasti membalas setiap perbuatan baik, sekecil apap pun itu.
Terlalu sibuk dengan urusan duniawi (uang) membuat tumpul hati nurani. Nggak ada lagi pengabdian. Yang ada adalah peristiwa dagang, kapitalisme. Peristiwa kemesraan (sosial antara pasien dan dokter menjadi hal langkah. Padahal salah satu sumber kesembuhan pasien adalah kemesraan itu. Pasien sudah kesakitan, mumet ndase mikir biaya, eh doktere raine burek terus.
BPJS memang membantu, tapi tidak semua rumah sakit menerima BPJS. Kasus yang menimpa bayi Debora itu karena Rumah Sakit Mitra Keluarga Kalideres tidak menerima BPJS. Orang tua Debora memilih Rumah Sakit tersebut karena dikejar waktu, cari yang terdekat, si bayi sudah kritis.
Dan BPJS itu sebenarnya nggak gratis-gratis amat. Itu urunan, subsidi silang. Itu gratis setengah hati. Kalau memang gratis ya nggak urunan, nggak mbayar tiap bulan. Tapi ojok ngomong sopo-sopo yo, cukup awake dewe sing eruh. Yo wis lah Alhamdulillah, daripada nggak ada BPJS.
Kebanyakan Rumah Sakit di negeri ini kapitalis. Jika ada pasien kecelakaan datang ke UGD, yang pertama dilakukan petugas Rumah Sakit adalah mencari orang yang mau bertanggung jawab, tanda tangan (menanggung biaya). Kalau tidak ada yang tanda tangan, jangan harap si pasien tadi akan dilayani dengan baik, walaupun sudah sekarat berdarah-darah melek merem mau mati.
Dalam soal ini, kita bisa belajar dari Malaysia. Keselamatan pasien (manusia) di atas segalanya. Di sana Rumah Sakitnya memperbolehkan pasien yang tidak mampu membayar biaya pengobatan dengan cara dicicil. Kalau di Indonesia, jika uang kurang atau belum bisa mbayar maka pasien disandera sampai bisa melunasi. T:T
Maka wajar kalau warga Indonesia di perbatasan lebih memilih berobat ke Rumah Sakit Malaysia daripada di Rumah Sakit Indonesia. Selain nggak ribet kakean cangkem, peralatan lebih canggih dan biaya bisa dicicil.
Sori, saya bukan pecinta Malaysia, saya cinta mati Indonesia. Tapi selalu ada sisi positif yang bisa kita tiru dari Malaysia. Malaysia bisa begitu karena makmur dan manajemennya baik.
Guru, ustadz dan dokter adalah sebuah pekerjaan yang melayani hamba Tuhan. Jangan sampai pekerjaan-pekerjaan tadi dikapitalisasi. Dokter dibayar bukan karena menyembuhkan pasien. Pasien membayar dokter itu karena mengganti biaya obat, peralatan, dan waktu si dokter yang dipakai saat proses menyembuhkan pasien.
Dokter itu pekerjaan yang paling mulia karena menolong orang sakit. Tapi jangan pernah dikapitalisasi. Itu yang membuat dokter jadi mbokneancok. Dalam mengobati pasien hendaknya tidak berpikir uang, karena uang pasti datang. Berpikirnya akhlak dan kasih sayang.
Kesembuhan bukan milik dokter. Dokter adalah petugas ikhtiar, orang yang dengan ilmu mengupayakan pengobatan. Sembuh dan sakit itu milik Tuhan. Jadi kesembuhan nggak selalu lewat dokter. Bisa lewat apa saja. Divonis dokter nggak bisa sembuh bukan berarti nggak ada harapan sembuh. Masih ada keajaiban, sugesti, dan seterusnya. Dan dokter yang terbaik adalah diri kita sendiri. Dan para dokter itu cuman asisten kesehatan kita.
Yang paling paham terhadap dirimu adalah kamu sendiri. Kapan saat makan, kapan saat berhenti. Orang sekarang menggunakan lidah hanya untuk fungsi kuliner, tidak untuk memahami itu cocok untuk tubuhnya atau tidak. Tubuh kita bermasalah karena kita terlalu cuek pada diri. Sudah tahu punya riwayat penyakit darah tinggi tapi makan daging kambing berlebihan. Ingin sehat tapi tidak menerapkan cara hidup sehat.
Wis ngene ae.
-Robbi Gandamana-
Tidak ada komentar:
Posting Komentar