Jumat, 03 November 2017

Mario Kemeruh (Kita Butuh Sengsara)


Dalam hidup manusia, tidak ada yang selama hidupnya bahagia terus atau terus-terusan susah. Hidup itu dinamis, roda kehidupan terus berputar, kadang sengsara kadang bahagia.
Syarat utama bahagia adalah merasakan sakit atau sengsara. Untuk meraih bahagia pastilah bersakit-sakit dulu. Kalau nggak mau sengsara ya jangan bercita-cita bahagia.
Yang paling diperlukan manusia adalah (punya banyak pengalaman) sengsara. Karena pendewasaan hidup itu tercipta dari kesengsaraan. Tanpa sengsara orang tidak akan pernah dewasa bla bla bla bla..ini soal sederhana, anda pasti lebih paham daripada saya. Nek diterusno aku iso dadi Mario Kemeruh.
Yang jelas manusia tidak akan lepas dari apa yang namanya sengsara. Sengsara itu pasti, bersabar itu pilihan. Tapi orang kaya yang kelihatannya selalu bahagia belum tentu bahagia. Akeh koncoku sing koyok ngono iku. Saat menepi dipojokan, curhat soal tagihan kredit mobil yang nunggak, tentang istri yang hedonis yang suka menguras uang suaminya, dan seterusnya.
Kaya tidak menjamin bahagia. Justru yang terlalu kaya itu yang mudah susah. Nggak tahan banting. Ada masalah sedikit bunuh diri. Banyak dari mereka yang kawin cerai dengan rileksnya karena tidak tahan sengsara (cobaan). Mereka mengamalkan quotes payah : "Lebih baik berakhir pahit daripada merasakan pahit yang tiada akhir."
Padahal pernikahan itu lebih banyak pahitnya daripada manisnya--> harus menghidupi anak istri, menyekolahkan, menikahkan, mendidiknya dengan benar, dan buanyak lagi yang lainnya. Itulah jihad yang sesungguhnya.Jadi nggak harus pergi perang ke Aghanistan atau Palestina. Berani mati itu hebat, tapi lebih hebat lagi berani hidup : menghidupi anak istri dengan kerja keras yang halal.
Makanya tujuan pernikahan itu sosial bukan biologis. Kalau nikahnya hanya karena gak iso nahan ngaceng, alamat nggak nyampai dua tahun rumah tangga bakalan remuk. Trust me.
Kembali ke soal sengsara. Bagi orang yang sudah memasuki dunia batin, sengsara itu nggak ada. Sengsara itu kebahagiaan yang menyamar. Bahagia dan sengsara itu sama saja, bagai dua sisi mata uang yang sama. Sengsara bisa dibuat bahagia dengan mudah, karena apa pun kejadian yang menimpa manusia itu ada sisi lucunya. Jadi kenapa nggak kau tertawakan saja kesedihanmu.
Bahagia itu sederhana. Keluar rumah melihat langit dengan mendung pun itu bisa membuat bahagia. Banyak cara dan jalan keluar dari rasa sedih. Nggak malah lari ke minuman oplosan, drug atau yang paling parah bunuh diri.
Pernah di suatu waktu, saat ndas mumet karena bokek total, aku dipertemukan oleh Tuhan dengan seseorang yang jos gandoss, yang membuatku semangat lagi. Orang yang hatinya sudah selesai. Asal Tuhan tidak marah, dia ikhlas dan bahagia dengan nasibnya.
Dia adalah seorang tukang sapu yang nggak minder dengan profesinya. Nggak canggung berkumpul dengan teman-temannya yang sukses saat reuni. Teman-temannya pada memperlihatkan gadgetnya yang canggih, dia rileks mengeluarkan hengpon jadulnya yang sudah krowak di sana-sini karena sering dibanting anaknya.
---Sukses menurut ukuran orang awam adalah jadi PNS, pejabat atau pengusaha. Bagi si tukang sapu ini, sukses adalah bahagia dan ikhlas menerima takdirNya. Buat apa jadi PNS kalau lewat jalur nyogok. Itu bukan prestasi, itu aib! Jadi berbahagialah kalian yang cuman buruh pabrik tapi bersih dari 'aib' ----
Ngomong soal prestasi, tiap-tiap orang itu beda dalam mendefiniskan prestasi. Bagi si tukang sapu, sebulan tidak ngutang itu sudah prestasi baginya (untuk saat itu, hari esok harus ditingkatkan). Dia telah menemukan makna hidupnya. Bahwa apa yang yang telah digariskan Tuhan pada nasibnya itu punya arti. Semua ada alasannya, Tuhan memberikan yang terbaik bagi umatNya.
Kenapa dia ditakdirkan jadi tukang sapu? kenapa ada orang yang dilahirkan cacat? kenapa Tuhan tidak menciptakan hambanya semuanya kaya dan sukses? Kenapa kok ada yang miskin dan susah hidup? Semua punya arti dalam kehidupan. Jadi, temukan arti hidupmu agar tidak terus-terusan mewek dan meratap pada 'wall' fesbuk.
Tapi bergaya parlente itu nggak masalah asal bertujuan untuk menyemangati hidup, misalnya sekali-sekali makan di rumah makan makanan bule. Bukan karena social climber, seperti buruh pabrik yang memaksakan diri bergadget canggih keluaran baru.


Robbi Gandamana, 4 November 2017

Tidak ada komentar:

Posting Komentar