Kamis, 23 Januari 2020

Antara Kerajaan Fiktif, Martabat, dan Hilangnya Pijakan Kebenaran Sejarah


Keraton Aung Sejagat (sumber foto : Twitter/PasienKabur).


Iki serius rek.
Timbulnya kerajaan-kerajaan fiktif (asline yo nggak fiktif, walau tidak diakui pemerintah. Kalau fiktif berarti hoax) yang akhir-akhir ini memang terkesan konyol dan ngawur. Tapi bagaimana pun konyolnya, maksud mereka baik dan mulia banget. Tentu saja kalau memang terindikasi penipuan (merugikan orang) ya wajib difogging alias dimusnahkan.
Kerajaan-kerajaan itu bermunculan bisa jadi karena kerinduan akan kejayaan Nusantara tempo doeloe. Atau nggak percaya dengan harapan yang sudah ada. Negara yang ada sekarang sudah semakin menjauh dari kejayaan. Malah semakin dalam jatuh ke cengkeraman Buto Terong. Aset-aset sumber daya alam banyak yang dipegang Asing. Kita disisain ampasnya.
Pembangunan infrasrutktur selama ini memang berhasil mendongkrak perekonomian rakyat. Makanan berlimpah. Rakyat makin hari makin doyan makan. Tapi jangan konyol mengukur kejayaan berdasarkan perut kenyang. Memangnya babi. Buat apa perut kenyang kalau disetir Asing. Ndase dijundu meneng ae. Natuna diobok-obok malah stay cool.
Bisa jadi kemunculan kerajaan-kerajaan itu karena nggak percaya lagi pada isapan jempol soal demokrasi. Dimana suara terbanyak yang jadi pemenangnya, diktator mayoritas. Nggak percaya pada Pemilu, pada hukumnya, pada pejabatnya, politisinya, dan juga pada pemimpinnya.
Asyiknya sistem kerajaan itu, rajanya memang pilihan rakyat berdasar pada kontribusi si raja pada rakyatnya. Dipilih yang paling disegani dan mumpuni dalam hal memimpin, Bukan orang yang mencalonkan diri atau ngemis-ngemis untuk jadi pemimpin.
Tentu saja untuk kasus Keraton Agung Sejagat (KAS) itu jelas beda. KAS ini semacam MLM tipu-tipu.  Sejak awal rajanya memang lihai memanfaatkan orang bodoh yang mudah ditipu. Totok Raharjo dijadikan raja karena  para downline (pengikut) berharap kembalian berlipat dari uang yang telah disetorkan.
Jadi calon pemimpin yang baik dan pantas dipilih itu yang dicalonkan, didorong-dorong pantatnya agar mau maju jadi pemimpin. Bukan yang ngemis-ngemis minta dijadikan pemimpin. Kalau ada calon pemimpin yang seperti itu mending jangan dipilih. Karena itu pasti bisnis, cari laba. Kepemimpinan baginya adalah karier, bukan pengabdian.
Munculnya kerajaan-kerajaan tadi juga memicu kita membuka-buka lagi buku sejarah. Kita tahu statement Sunda Empire cukup membuat kita melongo. Di antarannya karena mereka ngeklaim kalau sistem pemerintahan dunia itu dikendalikan di Bandung yang juga sebagai Mercusuar Dunia bla bla bla..wot de fak.
Kita sudah mulai kehilangan pijakan kebenaran soal sejarah negeri ini. Simpang siur informasi sejarah yang beredar di dunia maya cukup membuat orang mumet. Karena terdapat banyak versi. Tokoh-tokoh budaya atau tokoh yang lain saling mengemukakan pendapat yang berbeda. Soal Majapahit, soal Sriwijaya, atau soal sejarah yang lain.
Candi Borobudur yang diklaim Fahmi Basya, seorang Matematikawan, sebagai peninggalan Nabi Sulaiman saja membuat kita bertanya-nyata. Ini beneran? Karena dijabarkan dengan meyakinkan dan dilengkapi dengan dalil-dalil. Argumen yang cukup meyakinkan yang membuat orang awam ingin bedah otak.
Herman Sinung Janutama juga pernah ngeklaim dalam bukunya kalau Kerajaan Majapahit adalah Kesultanan Islam. Dia punya bukti-bukti yang kuat untuk menjelaskan itu. Herman Sinung sendiri menolak pemahaman H.J. De Graaf, sejarahwan Belanda, soal orang Jawa dan budayanya.
Juga ketika Prof. Arysio Santos dari Brazil menyatakan lokasi Atlantis (negeri yang masyhur tempo doeloe) terletak di Indonesia, bangsa ini geger. Banyak dari kita nangis bombay karena terharu plus bangga. Tapi banyak juga yang mencemooh, terutama arkeolog.
Yang cukup bikin jengah adalah statetmen Ridwan Saidi, budayawan Betawi, yang menyebut Kerajaan Sriwijaya adalah fiktif. Statement itu tentu saja membuat kepala para sejarawan mengepulkan asap. Panas.
Bagus kalau statement para tokoh budaya atau tokoh lainnya tadi berdasar pada penelitian yang mendalam seperti yang dilakukan Peter Carey, sejarahwan Inggris yang mempelajari dengan sangat detail sejarah Perang Jawa (pangeran Diponegoro). Konyol kalau sejarah ditulis hanya berdasarkan asumsi atau kutipan buku sejarah versi sejarawan kolonial, apalagi dari blogspot.
Mana bisa obyektif kalau sejarah ditulis oleh penjajah tentang jajahannya. Bisa jadi banyak bukti peninggalan kedahsyatan masa lampau bangsa kita yang disembuyikan. Karena sejarah ditulis oleh pemenang atau yang ingin menang sendiri.
Aku sendiri monggo-monggo saja kalau ada orang yang ngeklaim dirinya raja.  Gak masalah. Selama masyarakat disekitarnya oke-oke saja.  Biarkan saja selama nggak ngisruh, nggak makar, mengakui kedaulatan NKRI, nggak ada yang komplain. Malah memperkaya budaya kita yang sudah sangat beragam ini. Lumayan jadi obyek wisata yang istagramable.
Bagiku kerajaan-kerajaan fiktif itu adalah parodi dari  kerajaan resmi yang ada dan juga negara ini yang martabatnya mulai luntur. Masih saja stay cool saat dipecundangi Asing. Jadi menyikapi mereka nggak perlu anti dan dibully, tapi cukup diwaspadai. Atau malah digunggung, "Come on, make my day!"
-Robbi Gandamana-

Tidak ada komentar:

Posting Komentar