Minggu, 12 Januari 2020

Perempuan Lebih Greget Kalau Menulis Soal Perkosaan?


Apa cuma aku yang merasa kalau tulisan kasus perkosaan itu akan lebih nylekit dan kick ass kalau yang nulis perempuan atau feminis (perempuan yang menuntut kesetaraan gender dan persamaan hak). Bahasanya benar-benar greget. Seolah-olah dia adalah korbannya. "Hukum seberat-beratnya dan rendam penisnya di air cabe!"
Apakah karena fakta sejarah yang panjang kalau perempuan sedjak doeloe kala selalu ditindas lelaki, dijadikan obyek pelumas eh pemuas lelaki?  
Kita tahu, sejak dulu di belahan manapun di bumi ini, perempuan dianggap makhluk lemah yang nggak cakap bekerja dan berkarya. Urusannya nggak jauh-jauh dari dapur dan kamar tidur : masak, momong anak dan melayani suami. Bahkan di Arab dulu malu kalau punya bayi perempuan. Ketika tahu yang lahir perempuan, langsung dikubur hidup-hidup.
Tapi nggak selalu karena "dendam" lama. Mungkin lebih pada karena perempuan lebih peka perasaannya. Lihat saja ketika kasus Reinhard Sinaga mencuat, dimana yang jadi korban perkosaannya adalah lelaki, mereka juga bereaksi sama --> mengutuk keras pelaku dengan bahasa yang cadas. \m/
Premis mereka masih sama, bahwa perkosaan terjadi bukan karena si korban berbusana seksi, tapi pelaku yang gagal mengendalikan hasrat seks. Seorang nenek yang bodinya sudah kendor jaya pun bisa jadi korban perkosaan. Bahkan kalau sudah parah, nggak perduli lubang wanita atau lubang kambing betina.
Feminis selalu lebih lantang kalau bicara soal gender. Jangan berani-berani menyela kalau nggak mau harimu jadi neraka. Babak belur dibully feminis militan. Sampek raimu burek, mati gaya.
Aku pernah nggambar kartun seorang suami yang dongkol total melihat istrinya seharian di depan kompi fesbukan --dulu fesbukan masih pakai kompi-- sampai lupa ngurus rumah dan anak. Si suami ini menendang meja dimana kompi itu berada, sehingga morat-marit dan istrinya ikut jatuh. Reaksi para feminis sungguh diluar dugaan. Aku dikutuk habis-habisan.
Reaksiku tentu saja rileks seperti biasa. Komennya kubalas "sipss", "massukk", "boleehh". Tapi lama-lama aku nggak tahan. Akhirnya larut dalam perdebatan tak berunjung. Walau aku sudah posting Wonder Woman memukul penjahat lelaki, sebagai pembanding, tetap mereka nggak mau terima. Aku salah opo???
Intinya jangan posting gambar seorang pria menyakiti wanita secara fisik. Walau itu kartun (guyon) yang hiperbola, nggak terjadi di dunia nyata.
Pernah aku melontarkan kalimat--> kodrat utama perempuan diciptakan adalah untuk kepentingan regenerasi. Itu pun juga dimarahi. Bingung aku. Kalimat sing bener dan sopan opo yo. Karena memang hanya wanita yang bisa melahirkan. Kalau lelaki direkayasa bisa melahirkan itu memperkosa fakta. Tapi tetep saja aku menyerah dibully feminis.
Pokoknya kalau sama perempuan sekarang itu jangan macam-macam. Terutama feminis militan. Seorang komandan yang ditakuti anak buahnya pun kadang kalau di rumah diperintah istrinya. Disuruh masuk rumah karena nongkong sampai larut malam di luar rumah. Anaknya yang disuruh nyusul, "Pak, dikongkon Ibuk mulih! Turu, sesuk upacara!"
Woala, di kantor merintah anak buah, di rumah diperintah istri.
Feminis itu banyak macamnya. Ada yang taat (agama), semi taat dan bandel. Feminis yang bandel nggak terima ketika dikasih tahu ustadz kalau penghuni neraka kebanyakan wanita. Mereka menganggap hadits ini misoginis (benci wanita). Akhire ustate angkat tangan.
Tapi ustadznya sendiri nggak konsisten. Menggembor-nggemborkan jargon "jagalah hati" tapi poligami. Itu khan berarti hatinya mendua tidak fokus satu hati, pada istrinya.  
Karena si Ustadz terus-terusan dibully karena poligami ---feminis itu anti-poligami---, seorang feminis senior  yang terkenal bijak kasihan juga sama si ustadz. Dia pun berusaha mendinginkan suasana, " Sudah jangan diurusi. Si ustadz sudah benar kok. Dia khan bilangnya jagalah hati bukan jagalah peli."
Besoknya si ustadz buru-buru meralat : "Jagalah hati dan peli."
Ajurrrr Jummm.

-Robbi Gandamana-

Tidak ada komentar:

Posting Komentar