Bon tagihan Rumah Makan Malau (sumber foto : Facebook/Evhany Tobing). |
Kasus warung dengan harga bajingan terjadi lagi. Makan dua ekor ayam dihargai delapan ratus ribu. Gila men. Uang segitu di tempatku bisa bikin usaha peternakan ayam.
Baru kali ini harga daging ayam kampung lebih mahal dari ayam kampus. Eh, tapi ayam kampus iku tarife piro rek? Nek eruh, inbox yo.
Harga segitu wajar kalau rumah makannya di tengah gurun Danakil, Ethiopia sana. Lha ini TeKaPe-nya di Rumah Makan biasa, Rumah Makan Napidanar Malau di tepi jalinsum Medan-Sindikalang, Sumut. Di negeri sempalan surga. Makanan melimpah. Kaya miskin bahagia. Rakyatnya asyik sendiri, persetan pemerintah.
Kalau kita sedang krisis pangan seperti yang pernah melanda negara Sudan, wajarlah harga makanan selangit. Atau saat kasus Holocaust zaman perang dunia kedua, seorang Yahudi makan sekerat roti mbayarnya pakai cincin emas.
Untungnya si pembeli di Rumah Makan Malau tadi bawa uang cash sebesar itu ---orang Endonesyah itu sesial apapun masih merasa untung---. Kalau aku pasti ninggal KTP. Kelasku kelas angkringan, masuk restoran bisa pingsan. Bahaya, salah pakane iso mati.
Kok ya masih ada warung yang etika dagangnya ndeso. Mikirnya sesaat. Yang penting hari ini berhasil morotin pembeli, nggak ada urusan jika esok hari si pembeli tidak akan balik lagi. Jelas nggak mungkin kembali. Naudzubillah. Walaupun itu rumah makan the last on earth.
Soal dagang memang kita perlu belajar dari orang Tionghoa. Laba nggak seberapa nggak masalah, asal ajeg. Konsumen nggak kapok belanja lagi. Dan malah jadi pelanggan. Serta ngasih tahu ke orang lain. Jadi nggak perlu pasang iklan.
Banyak kelakuan warung pribumi yang dianggap sepele tapi sebenarnya menyebalkan : gak siap susuk. Saat belanja pagi pakai uang limapuluh ribu biasanya nggak ada kembaliannya. Malah ditawari kerupuk atau permen sebagai ganti kembalian. Etos dagang yang payah.
Ini bukan soal rasis atau membela etnis Tionghoa, tapi begitulah kenyataannya. Sportif boss.
Dari hasil telusuranku di dunia antah berantah, sebenarnya nggak sekali ini Rumah Makan Malau "mentung" pembelinya. Sebelumnya sudah banyak yang jadi korban. Yang terakhir ini yang berani berontak, sekaligus direkam pakai hape dan diviralkan. Rumah Makan Malau pun kondang tanpa pasang iklan. Sip, papi bangga sama kamu nak.
Berita menyebar cepat sampai ke telinga sang Bupati. Beliau pun merapat ke TeKaPe. Dan pemilik warung pun minta maaf. Tapi nasi sudah menjadi bubur. Imej sudah terlanjur buruk, susah untuk kembali seperti semula. Sering-sering aja bagi-bagi makan gratis ke Yayasan Anak Yatim.
Kasus seperti itu jamak terjadi di warung daerah wisata atau tempat transit kayak terminal atau stasiun. Warung yang tanpa daftar harga biasanya sepi. Konsumennya takut "dipentung". Lihat paha ayam gorengnya seperti ada label harga lima puluh ribu rupiah. Kalau pun ada yang mampir biasanya cuman tanya tempat mangkal bis, atau beli antimo.
Di Malioboro sudah beberapa kali aku dipentung. Minum es dawet di pinggir jalan yang biasanya berharga lima ribu jadi sepuluh ribu. Mau protes nggak tega, raine melas, mungkin dia lagi butuh duit. Dan minumannya juga sudah masuk perut. Lagian lapo se mbelani duwik sepuluhewu sampek direwangi gelut, ngisin-ngisini. Turis kere.
Di daerah wisata nggak cuman warungnya yang suka mentung, kadang parkirnya juga mbeling. Kemaren saat liburan Tahun Baru parkir di belakang Mall Malioboro tarifnya lima ribu. Itu sepeda motor, kalau mobil dua kali lipatnya. Jaga parkir seminggu bisa untuk biaya Umroh.
Kapitalis melanda kota-kota. Warung-warung baru sekarang ada yang terjangkiti kapitalisme. Dulu di warung, orang makan dulu sekenyangnya setelah itu baru bayar. Sekarang banyak warung sebelum makan sudah bayar di kasir. Kapitalisme membuat orang tidak saling percaya.
Warung bermunculan dimana-mana. Bisnis kuliner sedang booming. Badokan all the way. Wong Endonesyah lagi nggendengi badokan. Bahkan saat pengajian usai yang diingat bukan soal ceramah Ustadznya tapi suguhannya.
Apalagi ini era Medsos. Dimana hasrat untuk pamer begitu menggebu. Semua dipamerkan tak terkecuali kuliner. Berburu kuliner pun tujuan keduanya untuk dipamerkan. Makan rame-rame di rumah makan belum lengkap kalau belum diposting. Tapi gak popo. Masyarakat dunia memang sedang sakit. Terkena radiasi, efek dari peperangan di dunia lain.
Kasus Rumah Malau ini pelajaran bagi pedagang yang suka mentung. Ini era Medsos. Semua bisa direkam dan diviralkan. Ingin cepat kaya boleh saja. Tapi jangan gegabah pakai cara tolol, mentung konsumen. Nggak jadi kaya, tapi malah kere forever. Fak yu.
- Robbi Gandamana -
Tidak ada komentar:
Posting Komentar