Jumat, 30 Desember 2016

Pelajaran dari 'Bidannya Yesus' yang Perlu Kita Bijaki

Umpama film India, umat Nasrani di Indonesia saat ini adalah protagonisnya dan antagonisnya adalah para pengapling surga dan petinggi-petingginya. Dituding-tuding "kafir!", disakiti perasaanya dengan fatwa haram pakai atribut agamanya (yang malah merusak kerukunan antara umat). Dan sweeping seenaknya sehingga mengganggu ketentraman ibadah.
Sayangnya, kenapa harus 'menyerang' balik, melaporkan si Habib sebagai penista agama. Malah bikin runyam berkepanjangan. Rungokno ae omongane si Habib itu sak nyangkem-nyangkeme. Kalau sudah saling membalas, nggak akan ada habisnya. Mending kembali ke ajaran kasih yang anda anut, yang katanya 'jika ditendang pipi kananmu, berikan pipi kirimu'.
Ngalah bukan berarti kalah khan. Tenang ae Jek, badut pasti berlalu. Masih banyak orang yang waras, yang masih berpegang teguh pada prinsip Bhineka Tunggal Ika. Negeri ini nggak butuh Ormas aliran keras, yang dibutuhkan adalah orang cerdas yang tentu saja waras.
Sudah rahasia umum di sebuah pengajian, atau ceramah agama, ustadz kadang keseleo lidah, ngrasani agama lain (walaupun agama melarang). Manusia tidak ada yang sempurna, kalau memang harus ngrasani, pastikan yang dengar dan lihat cuman jamaah di pengajian tersebut. Jadi masalah, ketika sindiran itu direkam, diposting, didengar, dilihat, dikonsumsi publik.
Kemarin guyonan si Habib jadi runyam karena pidionya dishare di Medsos. Umat agama yang disindir, melihat pidionya, jadi terlihat konyol dan tentu saja dongkol. Jadi bukan soal sindir menyindir semata, tapi lebih pada soal etika bermedsos : jangan posting sesuatu yang berpotensi gaduh dan permusuhan SARA.
Ungkapan 'Bidannya Yesus siapa?' itu memang menyinggung. Tapi bagi saya, itu kurang greget kalau jadi alasan somasi (walau itu tindakan yang melecehkan juga sih). Kalau anda pernah bergaul dengan para bajingan kampung, pasti tahu yang saya maksud. Itu guyonan orang yang sense of humornya standar, ada yang lebih 'mbokneancok' dari itu.
Akhirnya orang dengan mudah menebak kalau somasi tadi cuman tindakan balas dendam (atas apa yang terjadi pada Basuki). Kalau sudah saling balas membalas begini, konyol jadinya. Bisa semakin tebal tembok pemisah antar Islam dan Kristen. Come on bro, cukup mereka saja yang gemblung, kalian jangan ketularan.
Kalau cuman omongan, mending tutup kuping rapat-rapat. Kalau berupa tindakan, sweeping yang dekstrutif, itu harus ditindaklanjuti. Tenang saja, penganut aliran kolot itu minoritas. Jangan dipikir itu Islam, itu semacam sekte atau madzhab.
Menghina bikinan Tuhan (kitab suci atau apa pun) maka urusannya langsung dengan Tuhan. Nggak dibela pun Tuhan akan menurunkan azabnya. Anda marah dan menuntut si penista itu bagus. Tapi harus cerdas, lihat sikon. Ada sesuatu yang lebih besar dan penting daripada ngikuti permainan mereka...pikiren dewe. Hidup kalian lebih asyik daripada mereka yang mabuk agama.
Lebay kalau ada pemikiran, baca surat Al Ikhlas akan disomasi umat Nasrani (karena di surat itu disebutkan Tuhan tidak beranak dan diperanakan). Itu bahasa asli kitab suci yang serius, bukan olok-olok. Yang dilontarkan si Habib adalah olok-olok. Pahami nuansa dan peristiwanya.
Sori, saya bukan Habiber, Ahoker, Aguser, Jokower, Prabower, atau siapa saja. Sejak jaman Agresi Militer Belanda, saya Golput, menempuh jalan sunyi, berharap pikiran jernih, gak burek koyok atimu yang tiap hari emosi (benci) membaca postingan yang menyudutkan jagoanmu.
---Ojok melok-melok Golput lho yo, tak kaplok ndasmu koen..huwehehehe guyon mas---
Sori yo, tulisan ini cuman asumsi, mengevaluasi sesuatu yang menurutku nggak beres. Benar atau nggak, gak ngurus. Yang penting berani beropini. Maka sering saya minta, jadikan tulisan saya sekedar wacana, jangan dimasukan ke hati sebagai kebenaran.
Mending sekarang hentikan benci membenci. Usahakan otak tetap dingin. Kebencian yang terus menerus (berlebihan) berpotensi menutupi hati dan pikiran. Akhire pikiran dan tindakan jadi nggak cerdas, ngawur. Nulis status ngawur, posting berita ngawur, aplot gambar ngawur, bikin analogi ngawur, foto profil ngawur (foto profil kok watu akik. Mbok ojok jujur banget nek raimu koyok akik : ireng nggilap).
Jadi sumber utama segala kegaduhan adalah tidak bisa menggunakan Medsos dengan cerdas. Ada kata yang seharusnya yang berpotensi 'perang', nekat dijadikan status. Begitu juga dengan gambar atau pidio. Aurat iku gak cuman susune wong wedok. Kata, gambar dan pidio pun ada auratnya juga. Postingan yang menyulut perang itu lebih aurat dari pelimu.
Basuki dilaporkan sebagai penista agama. Biasa ae, lha wong sudah lama diincar. Begitu melakukan kesalahan, langsung di-blow up. Apalagi umat mudah diprovokasi, hanya dengan kata sakti 'bela Islam', langsung bereaksi. Tapi sisi positifnya, umat muslim kumpul dan doa bersama. Tercipta suasana haru, mewek, dan banyak lahir kisah hikmah.
Basuki memang salah, gak iso njogo cangkem, nyinggung hal yang sensitif. Tapi doi bicara fakta, berdasar pengalamannya ketika berpolitik di Belitung. Lawannya sering menggunakan ayat Al Maidah sebagai alat politik untuk menjegal Basuki dengan menakut-nakuti umat, "Milih pemimpin non muslim, jahannam!"
Saya nggak menganggap Gubernur itu pemimpin umat. Ini soal tafsir, madzhab, bukan agama. Gubernur itu petugas admin nomer 1 di wilayah provinsi. Dia dibayar rakyat untuk ngurusi admin di wilayah provinsi. Jadi babunya rakyat. Pemimpin umat itu nggak dibayar, karena itu pekerjaan Tuhan.
Pemimpin umat itu siapa saja yang kamu anggap pantas jadi imammu, ulamamu, kyaimu yang sudah jelas asal usul nasab dan track record-nya. MUI bukan pemimpin umat, mereka cuman kumpulan ulama yang mendedikasikan hidupnya untuk melayani umat bla bla bla bla sudah pernah aku tulis, males nulis maneh.
Sudahlah, ada yang lebih penting daripada ngurusi guyonan standar seperti "Bidannya Yesus siapa?", "Dulu Yesus lahir pakai BPJS nggak?" bla bla bla bla bla.
Wis ah.
(c) Robbi Gandamana, 30 Desember 2016.

Minggu, 25 Desember 2016

Indonesia Darurat Pengapling Surga



Ya, negeri ini sedang darurat sweeping oleh para pengapling surga. Negeri yang swejuk ini jadi disharmoni sejak kedatangan aliran-aliran kolot yang berpotensi besar merusak prinsip Bhineka Tunggal Ika. Mereka ingin Islam yang murni seperti di jaman nabi, tanpa terkontaminasi adat budaya lokal maupun luar, dengan cara-cara yang nggak asyik blas, memaksa orang lain sepaham dengan mereka. Bila tak sepaham dicap sesat, "jahannam!"

Hidup tidak berjalan mundur. Seharusnya agama itu dinamis, luwes dan peka jaman. Dia bisa ditempatkan di jaman apa saja. Islam itu ada saatnya liberal (membebaskan) dan ada saatnya konservatif (kolot, tidak menerima ide-ide baru).

Semua ada tempat dan waktunya sendiri, kapan saatnya liberal dan kapan harus konservatif, semua harus empan papan. Tidak ada yang buruk, disebut buruk karena ditempatkan di tempat dan waktu yang salah.

Aliran-aliran ini menolak dan mencoba melenyapkan adat dan budaya leluhur yang tak ada tuntunannya dalam Islam. Dan menuduhnya sebagai kesyirikan, musyrik. Karena mereka belum tahu dan tak mau tahu budaya mereka sendiri. Dikiranya upacara adat itu adalah ritual dinamisme atau animisme.

Larung sesaji, Nyadran, Grebeg Maulid dan upacara adat yang lain, itu semua intinya adalah suatu bentuk penghormatan pada alam semesta dan rasa syukur pada Tuhan.

Repot juga kalau semua harus berdasar tuntunan, hidup nggak akan berkembang, jalan di tempat. Padahal sebenarnya banyak hal dalam hidup di jaman ini yang tak ada tuntunannya. Silakan saja lakukan, selama itu baik (bermanfaat), tidak ada larangannya, dan yang penting tidak jadi amalan wajib. Nglakoni monggo, ora nglakoni ora popo.

Jangan dikira benda mati itu mati. Ketika Rasulullah terkena panah di leher saat perang Uhud. Gunung Uhud marah, minta ijin menghancurkan musuh dengan batu-batunya. Tapi Nabi menolaknya, "Nggak usah Hud, aku sudah mendoakan mereka mendapatkan hidayah dan keturunan-keturunan mereka dijadikan pemimpin Islam. Tenang ae.."

Rasullulah saat itu juga ngomong pada umatnya, "Gunung Uhud mencintai kita dan kita mencintainya, "

Jadi jika manusia seme-mena (berperilaku merusak) pada gunung, pada laut, pada sungai atau alam, alam juga akan bersikap serupa. Bagaimana pun segala sesuatu yang tidak terjaga dan terawat dengan baik akan memberikan efek negatif pada pemiliknya. Males ngerawat rambut, ojok nyesel saat umur masih 25 tahun sudah jadi KGB, Kepala Gondrong Belakang. O_O

Orang Jawa sudah paham bagaimana menyikapi dan menghormati alam sebelum Islam datang. Orang Jawa itu memanusiakan manusia, alam, benda, bahkan hewan. Di Jawa ada budaya mitoni, selapan, dan lainnya. Itu tak ada hubungannya dengan makhluk ghaib, jin, gendruwo, tapi lebih pada memanusiakan si anak. Sebagai ekspresi cinta pada anak dan rasa syukur pada Tuhan.

Banyak upacara-upacara adat diadakan untuk menghormati alam sekaligus bersyukur (berdoa) atas berkah dan karuniaNya. Itu tidak untuk jin, gendruwo, wewe gombel, walau ada satu dua orang yang memang seperti itu, itu urusan mereka dengan hidupnya.

Tugas seorang muslim itu cuman mengingatkan, tidak memaksakan. Hidayah itu kuasa Allah. Ojok maneh raimu, Rasulullah saja tidak bisa mengIslamkan pamannya. Nabi itu mengajak, tidak memaksa. Nabi Nuh tidak bisa merubah anaknya yang mbalelo. Nabi Luth juga dikhianati istrinya, yang ternyata lesbon.

Islam yang paling indah itu Islamnya orang Indonesia. Di Arab sana tidak ada halal bihalal, kupatan, nyadran dan lainnya. Di negeri ini Islam dijadikan lebih indah. Seperti kursi yang tidak cuma berfungsi sebagai kursi saja, tapi diukir, dibentuk dengan indah. Tuhan suka keindahan dan manusia juga, karena manusia adalah pengejawantahan dari Tuhan.

---Maka konyol kalau manusia tidak boleh menggambar (makhluk hidup). Semua tergantung pada apa yang digambar, niat dan tujuannya. Pahami ayatnya, jangan cuman dibaca dan dihafal, teliti juga kebenaran ayat tersebut (lemah atau enggak)---

Semua tergantung pada niat dan konsepnya, tidak bisa begitu saja dibilang syirik. Syirik tidak bisa dinilai atau dilihat dari sesuatu yang tampak, tapi dari niat yang ada di dalam hati. Dan itu tidak bisa dilihat atau dideteksi.

Para pengapling surga ini menyikapi Al Quran seperti kitab hukum pidana yang kaku dan tekstual. Maka mereka jadi kolot. Ayat dihafal persis seperti aslinya, yang tak sama dengan hafalannya dituding sesat. Padahal sama secara subtansi dan esensi.

Karena cara berpikir yang kolot, semua harus berdasar tuntunan, akhirnya keindahan adat dan budaya di negeri ini dituding sebagai "bid'ah". Maulid Nabi yang sebenarnya sebuah bentuk refleksi dan ekspresi dari kecintaan pada Nabi, itu pun dibid'ahkan. Selamatan kematian 7 hari atau 100 hari juga bid'ah, karena itu ajaran Hindu.

Oala, Hindu juga mengajarkan berbuat baik, kalau begitu jangan berbuat baik, karena Hindu juga mengajarkan itu. Jadi terserah mau selamatan 7 harinya atau 8, 9, 10 sampai 100 harinya, silakan saja selama mampu mengadakan. Itu cuman patokan. Karena sebenarnya boleh memperingati dan mendoakan tiap hari untuk orang yang sudah meninggal.

Disamping tidak ada tuntunannya, mereka pikir kegiatan upacara tadi sia-sia dan pemborosan. Padahal dengan kegiatan tersebut semakin menumbuhkan rasa cinta pada negerinya, tercipta kebersamaan, guyub rukun dalam harmoni. Disebut pemborosan juga relatif. Karena itu adalah semacam pengorbanan. Kalau sudah cinta, nggak bisa disebut pengorbanan. Kalau masih disebut pengorbanan berarti nggak ikhlas, nggak cinta.

Disebut boros karena berlebihan. Bila kita mampu, itu tidak bisa disebut boros. Maka ritual adat budaya tadi tidak wajib, mampu diadakan, nggak mampu jangan lakukan. Tuhan itu tidak mau merepotkan hambanya. Agama Islam adalah agama yang ngirit. Tapi Tuhan senang kalau hambanya mereflesikan cinta padaNya dalam bentuk apa saja, asal tidak ada larangannya.

Kata bid'ah sempat jadi 'word of the year' akhir-akhir ini. Orang yang yang sudah shalat pun kadang masih dibid'ahkan, apalagi ritual adat. Fesbukan juga tidak ada tuntunannya Mblo. Bahkan Al Qur'an yang sekarang sebenarnya bid'ah kalau kita memakai pemahaman mereka. Di jaman nabi belum ada harakat (tanda baca). Huruf Arab itu aslinya 'gundul'.

Jadi kalau ada orang yang menuduh semua upacara adat di negeri ini syirik, itu karena mereka tidak mengenal budayanya sendiri. Sibuk beragama sampai lupa pada dirinya sendiri. Tahunya malah budaya Arab. Penampilannya Arab abis, bergamis, berserban, manggil ortunya 'abi' dan 'umi'. Manggil temannya 'akhwat', 'ukhti'. Sinis dengan panggilan 'bro' dan 'sist'.

Panggilan 'bro' dan 'sist' itu cuman trend, tak ada muatan ideologi. Sedang 'akhwat' dan 'ukhti' ada muatan ideologi, mereka mengira itu adalah Islam. Padahal kata atau panggilan itu tidak agamanya.

Islam itu bukan Arab tapi diturunkan di Arab. Bahasa Arab dipakai di Al Qur'an karena Al Qur'an lahir di tanah Arab. Al Qur'an itu hakikatnya bukan bukunya atau bahasanya. Buku dan bahasanya itu yang mengantarkan Al Qur'an---Nabi Muhammmad itu adalah Al Qur'an berjalan---. Ibarat pria memberikan cincin berlian pada wanita yang dicintainya. Cinta tidak terletak pada berliannya, tapi berlian lah yang mengantarkan cinta.

Maka agak lucu kalau kita memberikan nama anak dengan nama Arab, padahal asline wong Boyolali. Bahasa Arab itu cuman bahasa, bukan Islam itu sendiri. Oke, nama adalah doa, tapi doa bisa saja pakai bahasa Jawa atau Indonesia (kecuali shalat, itu dogma, mau nggak mau harus bahasa Arab). Tapi yo wis lah, minimal menunjukan kebanggaan sebagai muslim. Karena mindset kebanyakan orang, bahasa Arab itu pasti Islam. Harap maklum.

***

Bicara soal aliran-aliran keras bakalan bisa jadi berjilid-jilid buku. Intinya rakyat negeri ini ingin hidup tentram, damai dalam bersosial dan beragama tanpa intervensi, pemaksaan, diskriminatif. Jika masih saja aliran-aliran (Ormas) itu dibiarkan eksis, main sweeping seenaknya, merusak ketentraman ibadah umat beragama, maka sampai kapan pun negeri ini tetap akan mumet ndase.

Tapi bagaimanapun, mereka masih saudara semuslim. Saya tak ingin 'berperang' dengan mereka. Yang saya soroti adalah cara mereka menegakan agama yang nggak etis, main pentung, sweeping seenaknya. Indonesia bukan negara Islam. Disamping bikin gaduh juga merusak citra agama Islam yang lembut dan damai.

Gara-gara fenomena pengapling surga ini, saya jadi sungkan pakai kata 'kafir'. Kafir sekarang konotasinya adalah non muslim. Padahal sebenarnya bukan itu. Kapan-kapan dibahas, ini lagi sibuk.
Akankah negeri yang gampang bahagia ini (om telolet om) harus stress gara-gara ulah segelintir Ormas pengapling surga. Harus ada regulasi yang tegas untuk mengatasi itu. Itu tugas (PR) pemerintah, karena mereka dibayar rakyat untuk itu, aku males mikir.

Wis ah, semoga semua umat beragama di negeri ini bisa beribadah dengan tenang dan damai. Semoga ibadah kita semua diterima dan masuk ke dalam surgaNya. Hanya Iblis yang mengharapkan manusia masuk neraka.

(c) Robbi Gandamana, 24 Desember 2016

Jancok, Buah Khuldi dan SNI


Ngene rek, sebenarnya soal jancok-menjancok sudah sering ku tulis (bukan di Seword sih), tapi berhubung masih ada yang kagetan (membaca tulisanku kemarin), maka perlu ditabok lagi pikirannya.
'Jancok' gagal disebut misuh kalau tidak (untuk) menyakiti seseorang. 'Jancok' itu cuman kata, terserah mau digunakan untuk menyakiti manusia atau untuk alat kemesraan, keakraban dan mencairkan kekakuan.
Menurut Sudjiwo Tejo : "Jancok merupakan simbol keakraban. Simbol kehangatan. Simbol kesantaian. Lebih-lebih di tengah khalayak ramai yang kian munafik, keakraban dan kehangatan serta santainya “jancok” kian diperlukan untuk menggeledah sekaligus membongkar kemunafikan itu. "
Jancok itu bukan kedzaliman, justru jancok dipakai untuk melawan kedzaliman. Ingat rumusnya : "Jangan berkata kasar, kecuali dalam keadaan teraniaya." Dipisuhi tuh sakitnya di sini, apalagi kalau nggak bisa (berani) mbales, karena yang misuhi Kopasus.
Rakyat negeri ini sudah terbiasa tidak dilindungi oleh negara sejak bayi, jadi nggak merasa teraniaya oleh negara yang dipenuhi pejabat bajingan, pencoleng, politikus rakus. "Teraniaya opo se? awakmu ae sing gak pandai bersyukur". Bangsa Indonesia itu bangsa sufi, sengsara adalah prestasi.
Betapa selama ini negara morotin, mempersulit dan merepoti rakyatnya. Pejabatnya suka makan uang negara (uang rakyat), urus ini itu dipersulit (banyak pungli), hutan digunduli untuk perkebunan yang ternyata banyak dikuasai oleh Asing, mempersilahkan Asing nguras kekayaan alam sampai ke dalam kerak bumi. Belum lagi Ormas-Ormasnya yang bermain sebagai Tuhan, sukanya nuding "sesat!"
---Berarti sekarang jika bertemu koruptor, silakan saja dipisuhi 'jancok'. Tapi kata ustadzzz, memaafkan itu lebih mulia lhooo. Wass, gak mulyo-mulyoan, koruptor jiancokkk!----
Kalau ada orang yang emosi, marah membaca tulisanku bukan karena ada 'jancok'nya, tapi nggak bisa menerima perbedaan (pendapat, pemikiran). Maka butuh sedikit keluasan hati untuk itu. Maklum aku cuman wong kampung, anda khan priyayi.....*sungkem*.
Semua pasti ada masa dan massa-nya sendiri. Sekarang aku hepi saja nulis status nggedabrus nggak jelas, menyesatkan. Tapi 2 tahun lagi bisa jadi aku akan malu kalau membaca lagi tulisan-tulisanku : "Uwasu, aku kok sok tahu yoo!?" Tapi untuk sekarang, aku harus menertawai dunia, pokoke asyik ae lah, I'm still very young!
Ingat ocehan lama : "Jika engkau tertawa, maka dunia akan tertawa denganmu. Jika engkau menangis, maka kau akan menangis sendirian." Mana ada orang yang mau diajak nangis.
Kembali ke soal "jancok".
Memang ada masa dimana 'jancok' belum boleh diucapkan. Karena saat itu masih masa perjuangan, ABG. Jadi masih harus diajari baris-berbaris, harus didiklat dulu. Tapi kalau kita yang secara fisik dan mental sudah mateng, sudah pasca dari hal-hal seperti itu.
Teringat kisah Adam yang dilarang makan buah larangan (Khuldi). Bukan berarti buah tadi dilarang, di surga tidak ada larangan, semua boleh dilakukan. Adam dilarang makan karena level manusianya masih belum memenuhi standar yang berlaku. Buah Khuldi untuk manusia level Cum Laude, Adam masih belajar jadi manusia, masa perjuangan.
Sepertinya nasibnya 'jancok' dan buah Khuldi itu sama, sama-sama larangan untuk mereka yang belum memenuhi syarat dan ketentuan yang berlaku, semacam SNI lah.
Kalau ada yang nggak bisa ngomong 'jancok', itu karena tidak bisa melepaskan doktrin yang membelenggunya sejak kecil. Semakin lama, semakin kuat pula doktrin itu tertanam di otak dan hati. Itu bagus juga. Karena sudah terlanjur jadi mindset di masyarakat bahwa 'jancok' itu ucapan yang kasar.
Jadi jangan kaget kalau ada tulisan atau kata 'jancok' singgah di berandamu. Biasa ae rek, karena kata tidak bisa diharamkan, yang diharamkan itu untuk niat dan tujuan apa kata digunakan.
***
Secara garis besar sebenarnya 'Jancok' (misuh) itu mirip Proposal :
Latar Belakang
Ada keadaan dimana kata 'jancok' terpaksa dipakai. Jika perkataan baik dan halus sudah tak lagi mempan maka dengan terpaksa dipisuhi. Atau keadaan dimana kita dalam keadaan teraniaya. Contoh seorang babu ditendang mukanya oleh juragannya dengan semena-mena. Si babu dipersilahkan misuhi si juragan.
Maksud dan tujuan
Semua ada alasannya. Ada akibat pasti ada sebab. Kalau alasan misuh karena merendahkan manusia itu jelas nggak bener. Contohnya : "cino jancok!" Misuh plus rasis. Sudah Cina, di-jancok-jancok-an...keterlaluan. Misuh kalau alasannya untuk keakraban, kemesraan dengan sahabat atau saudara itu nggak masalah.
Tempat dan Waktu
Misuh itu nggak sembarangan, ada tempat dan waktu tersendiri. Nggak bisa kamu misuhi khotib khotbah Jumat karena nggak suka khotbahnya: "Wis tau krungu cok! wis cukup, gak usah kakean cangkem, langsung sholat ae!" Bisa-bisa mulutmu perot ditampar malaikat.
Sasaran
Siapa yang akan dipisuhi, itu juga perlu dipikir. Pagi-pagi ketemu bosmu , "Ya'opo cok! kabare apik ta, ojok cengengesan ta lah.." Langsung wajahmu dipancal bossmu, raimu ngecap sepatu pantofel.
Biaya
Kalau mau misuh pikirkan juga biayanya. Berani misuhi Kopasus, kepalamu dikepruk popor senapan. Rahangmu menclek, nginap ICU. Kata dokter harus disambung kawat bendrat. Biayanya lumayan besar, terpaksa menyekolahkan SK PNS, itu kalau PNS, nek ora yo dodol omah, apesss.
Wis ah..Ojok percoyo!
(c) Robbi Gandamana, 21 Desember 2016

Jumat, 16 Desember 2016

Antara Fatwa, Prasangka dan Mbokneancok



Yo wis lah, anggap saja Basuki itu penista agama. Silakan ngamuk, njerit sampek ususmu metu. Yang penting ojok kebablasan. Kalau kebencianmu pada seseorang sudah menguasaimu maka pikiran dadi gak cerdas, rai tambah welek.

Sekarang banyak orang yang gayane koyok wong sakti. Bisa mendeteksi  atau tahu niat yang ada di dalam hati orang lain. Ada orang nangis dituduh air mata buaya. Senengane kok berprasangka buruk.

Ada Kyai membela Basuki, langsung dipertanyakan keIslamannya. "Wong Islam kok mbelani penista agama Islam?". Pokoknya yang beda dengannya langsung dicap Anti Islam. Beda kok nggak boleh. Mbelani menungso dituduh mbelani cino, kristen.

Jadi ingat Gus Dur yang membela siapa saja, nggak melihat ras, suku atau agamanya. Tapi orang selalu berprasangka, selalu melihat agamanya, rasnya, sukunya ; akhirnya menuduh Gus Dur pluralisme, padahal humanisme. Banyak muslim yg gagal jadi muslim karena hal itu. Karena muslim itu menjaga, melindungi, menentramkan sesama manusia, tidak mengancam, menghina, merendahkan, hanya karena beda agama, suku dan ras.

Sudah hobinya berprasangka buruk ditambah kesempitan hati dan pikiran pula. Dapat bantuan handuk ada gambar (seperti) salib, ditolak, dituduh kristenisasi (prasangka buruk lagi).
Padahal salib iku cuman kayu disilang. Bagi orang Kristen, itu simbol agama. Tapi bagiku ya cuman garis atau kayu disilang, tak berarti apa-apa. Kalo aku dikasih handuk gratis, nggak perduli gambar salib atau gambar setan, akan senang hati kuterima.

Muslim atau non muslim tidak bisa dilihat dari kostumnya. Semua tergantung pada niat. Walaupun pakai kaos metal gambare pentagram, ndas wedus, bukan berarti Satanisme. Apa kalau pakai kaos gambar Jack Daniel's terus dia adalah pemabuk? nggak juga. Jangankan mabuk, minum Equil saja nggak berani.

Pakai atribut agama lain (kostum natal) difatwa haram . Terus bagaimana dgn non Muslim di Aceh yg dipaksa pakai jilbab? Golek menange dewe ae arek-arek iki.

Umat Islam di negeri ini berkembang pesat, tapi hanya di wilayah syariat teknis. Buanyak orang jilbaban, berbaju taqwa, tapi pemahamannya kolot, gampang ngamuk, gampang diprovokasi (atas nama Islam). Apalagi ulamanya yg sedikit-sedikit haram, haram kok sedikit-sedikit.

---Kata simbah, di negeri yang mayoritas muslim ini harusnya label yang diperlukan adalah label haram. Seorang muslim otomatis akan selalu mengkonsumsi makanan yang halal. Kalau di Amrik sana mayoritas non muslim, mereka biasa mengkomsumsi makanan apa saja, jadi perlu label halal---

Jadi ingat saat gempa bumi Jogja dulu. Banyak yang menolak bantuan selimut dari Israel, karena mereka kolot : Israel itu Yahudi, musuh Islam. Padahal musuh Islam yg sesungguhnya itu bukan Yahudi, Kristen, Cino,..tapi KESEMPITAN, kesempitan pikiran maupun hati, gemblung total.

Orang yg luas hati dan pikirannya, menyikapi sesuatu dgn prasangka baik (walau saat tertentu waspada itu juga perlu). Dan juga nggak gampang 'masuk angin', gampang disetir, gampang dibelokan dgn ideologi-ideologi kacau.

Menolak bantuan handuk dari Yahudi, tapi lupa kalau tiap hari 'dibantu' Yahudi. Dengan fesbuk kita bisa dgn mudah berkomunikasi dan silaturahmi jarak jauh. Bisa ketemu teman lama saat masih PAUD, reuni. Dan yang asyik kita bisa cari uang, promosi bisnis.

Tapi dgn fesbuk pula kita jadi 'bintang porno'. Apa pun kita share di tembok ratapan (wall) tanpa filter, walaupun itu hal yg pribadi banget. Update status dari bangun pagi sampai menjelang tidur, artis medsos. Kecanduan medsos produktivitas pun merongos

Fesbuk pula yg membuat kita terbiasa jadi pengecut, kurang ajar, semprul!, beraninya teriak di Medsos. Arek cilik komen nang statusku : "Kamu waras?". Dengan rileksnya meng-kamu-kamu-kan  orang, dikira umurnya sepantaran.
Kita terbiasa melihat sesuatu dari yang  tampak luar. Ini kostumnya Islam, ini seragamnya orang Kristen. Padahal sama-sama terbuat dari kain, benang. Opo bedane mesjid karo gerejo, sama-sama terbuat dari semen, batu bata ditumpuk-tumpuk...

Masjid atau bukan masjid itu tergantung pada niatnya ke kiblat atau nggak, ke Allah atau nggak. Walaupun di sawah kalau hati ke kiblat, sawah akan jadi masjid. Semua tergantung pada niat dan tujuan. Tapi yo ojok korupsi terus niate buat umroh....itu bajingan.

Nggak sedikit ustadzzz yang mengkondisikan Islam sekarang seperti Islam jamannya Nabi di Arab jadul. Pada zaman itu antar umat agama (Yahudi, Nasrani dan Islam) saling 'mengintai'. Oke, bisa jadi di Arab sekarang kondisinya masih seperti itu, tapi tidak di negeri ini. Jarno ae wong Arab perang terus, diadudomba sama Amrik. Di sini gak usah ikut-ikutan.

Sebelum kemunculan aliran-aliran keras, negeri ini sangat swejuk dan damai. Oleh mereka, kearifan lokal ditabrakan dengan agama. Orang yang memdalami Jawa dituduh kejawen, musyrik! Oala, siapa bilang Jawa itu tidak Islam?

Kearifan Jawa sebenarnya sama dengan nilai-nilai Islam. 'Ngunduh wohing pakarti' itu sama dengan 'Faman ya'mal mitsqaala dzaratin khairay yarah..' (intinya, semua perbuatan pasti ada balasannya), dan banyak lagi contohnya, golekono dewe. Kearifan lokal Jawa sudah terbukti keluhurannya dan Islam datang melegetimasi itu.

Dengan kearifan lokal itulah orang Nusantara lama banyak yang lulus jadi manusia; waskita. Bisa hidup rukun dalam harmoni dgn berbagai macam manusia, jin, gendruwo, wewe gombel. Orang sekarang belum lulus jadi manusia sudah belajar agama.

Ormas-Ormas Islam itu sebenarnya tujuannya baik, memerangi kemaksyiatan. Tapi banyak yg nggk simpati karena caranya yg terlalu keras, main pentung. Merusak citra Islam yg lembut dan damai. Dakwah pada orang lain harusnya lemah lembut, yg keras itu pada diri sendiri. Juga, orang 'tersesat' kok malah dipentungi, tidak ditunjukan jalan yg benar.

Salutnya pada Ormas-Ormas itu, mereka selalu turun tangan terjun langsung ke musibah bencana. Itu keren, tapi lebih keren lagi kalau tidak pakai label, cap, merk, atribut, kostum, seragam. Mau berbuat baik, berbuat saja, nggak pakai nama agama, nama partai, nama organisasi, dsb..just hamba Tuhan.

Maka saya setuju banget kalau para stasiun tipi menolak memberitakan sukarelawan bencana yang memakai atribut partai atau Ormas.

Tetap semua kembali pada niat. Kegiatan amal diposting di Fesbuk niatnya ingin menginspirasi orang agar berbuat serupa, itu oke. Yang penting tidak untuk pencitraan. Karena pencitraan = pemalsuan = kriminal = mbokneancok.

Muslim sejati tidak memamerkan perbuatan baiknya, atau berbuat baik jangan sampai orang lain tahu. Atau kalau sudah level sufi, jangan sampai Tuhan tahu kalau kita berbuat baik (walau itu nggak mungkin), total ikhlas.

Saya nggedabrus ini tidak dalam rangka menertawai kekonyolan saudara semuslim, seperti lalat yang berpesta di atas borok orang lain. Saya nggak anti tokoh tertentu, nggak anti Ormas itu..nggak kabeh.

Sebenarnya kita ini sama kok. Jawa, Arab, Islam, Kristen, aku, kalian, Basuki, Habib, Joko, Mbah Ndimun, Slamet, Ormas garis keras, semuanya sama...sama-sama bingung aja.

Kalau nggak ingin bingung, jadi Atheis saja, karena mereka sudah berhenti mencari kebenaran agama (Tuhan).
Sekarang manusia hidup di era katanya, jarene. Jarene ulama iku, jarene kyai iki. Kalau muslim, kebenaran itu ada di Al Qur'an, Rasulullah (Qur'an berjalan) dan Allah. Kalau hadits masih boleh dikritisi. Omongan ulama, ustadz, kyai itu bukan kebenaran, itu tafsir. Jangankan ulamamu, Bukhari Muslim pun boleh dikritisi.

---Percoyo karepmu, gak percoyo urusanmu, karena tulisan ini juga bukan kebenaran---

Makane jangan sombong dengan madzhabmu, aliranmu, nuding-nuding "sesat!", membakar rumah dan mengusir dari tanahnya sendiri pada orang yang nggk sealiran dgnmu. Sama persis nasibnya dgn muslim Ronghiya yg dibantai, diusir dari negerinya karena minoritas dan berbeda keyakinan. Kelakuan rakyat Burma adalah gambaran diri mereka yg demi agama tega membunuh, padahal kalau demi manusia nggak akan tega.

Wis ah....Ideologi itu damai, tapi sejarah itu kejam!

(c) Robbi Gandamana, 16 Desember 2016

Kamis, 01 Desember 2016

Antara Basuki, Pengapling Surga dan Check Sound Terompet

istimewa
Negara asing saat ini sedang cengengesan sambil tepuk tangan lihat situasi di negeri ini. Rakyatnya terpecah belah, gegeran terus, gampang diprovokasi. Sepertinya terkena radiasi dari peperangan antar mahkluk tak kasat mata di negeri antah berantah. Kebingungan melanda, hlolak hlolok berjamaah.

Rakyat (yg mayoritas muslim ini) 'kaget', nggak terima, purek, galau karena ada seorang non muslim jadi gubernur di Jakarta, kota paling vital di negeri ini. Seandainya tidak di Jakarta, pasti nggak selebay ini reaksinya.
Seandainya Basuki jadi bupati di pulau Sempu atau Gubernur selain Jakarta, nggak bakalan ada 'kegaduhan' yang terjadi beberapa tahun ini.

Puncaknya ketika Basuki kena kasus al maido alias al ngenyek, keseleo lidah dan didakwa menistakan kitab suci. Apesss. Di tempat dan waktu yg salah,juga orang yang 'salah' pula, kata-kata bisa sangat berbahaya. Kuatno atimu Bas..

Aku juga nggak yakin, seandainya Basuki dipenjara, lengser dari posisinya sebagai gubernur, apakah umat muslim akan jadi tenang, rukun sesama saudara sebangsa sesama muslim atau non muslim?? Muslim sekarang hobinya cari gara-gara sesama muslim dan atau non muslim. Lha wong orang yang sudah shalat pun masih saja diteriaki "bid'ah!"
Sepertinya kita sedang mengalami 'puber kedua', sedang suka over acting. Diejek sedikit, reaksinya luar biasa. Di jaman Orba jarang sesama muslim nuding-nuding : "bid'ah!". "sesat!", "jahanam!", "laknatulloh!". Setelah Orba lengser, umat pengapling surga bermunculan dimana-mana.

Jangan salah, aku nggak pro Orba, tapi di jaman itu hubungan antar madzhab, sekte, adem-adem saja. Hubungan antar Syiah dan Sunni tak ada masalah. Malah nggak sedikit umat Sunni yg ngefan berat Ayatollah Khomeini dedengkot Syiah.

Sekarang ABG yg level agamanya PAUD dgn lantangnya memaki-maki Syiah, padahal wawasan soal Syiah cuman dari tulisan di meme yang gak jelas muasalnya. Bahkan pada Kyai sepuh pun berani misuhi.

Kadang-kadang perlu juga anak-anak itu diajari tasawuf, ilmu hakikat alias ilmu batin, nggak syariat tok ae. Biar luas dan 'selesai' hatinya. Nggak ngurusi ibadah orang lain, Karena ibadah itu urusan pribadi manusia dengan Tuhannya.

Ada kyai ceramah di gereja, rame. Padahal sebenarnya malah tepat sasaran. Pengajian selama ini khan menyuruh shalat pada orang yang sudah shalat tiap hari. Menyuruh berhaji pada orang yg sudah berhaji. Kalau di gereja khan mengenalkan Islam pada orang yg belum tahu Islam. Siapa tahu mereka dapat hidayah. Tapi iki rahasia lho, ojok sampek eruh wong Kristen.

Kyai kalau tarafnya sudah hakikat, mempertimbangkan sesuatunya dari segi hakikat bukan dari yang tampak, mementingkan isi daripada bungkus. Opo bedane Masjid sama Gereja, sama-sama dibangun pakai semen, batu bata dan seterusnya.

Ingat urut-urutan level keimanan : syariat, thariqat, hakikat dan makrifat. Kebanyakan kita ini masih taraf syariat. Jadi kalau lihat kyai yang seperti melenceng dari fiqih, kita langsung rame-rame membully. Padahal fiqih itu semacam pagar, pagar yg membentengi umat agar tidak terperosok ke lembah maksiat. Seperti seorang guru TK yg mengajak muridnya ke pantai, untuk menjaga agar muridnya tidak hanyut tenggelam di laut, maka si guru memagari pantainya. Pagar itu lah yg disebut fiqih.

Padahal dalam hidup sebenarnya kita perlu juga sekali-kali 'tenggelam' dan 'hanyut'. Karena pendewasaan diri terbentuk dari hal-hal seperti itu. Dan kyai sangat sangat paham itu. Kita yang masih taraf syariat ini belum nyampai ilmunya.

Jadi nggak usah reseh kalau ada Kyai yang shalat di gereja dan atau lainnya. Itu urusan pribadi dia dengan Tuhannya. Yang salah itu yang mengaplot dan ngeshare di medsos. Dibaca oleh kaum awam yg terbiasa dgn ilmu syariat dan terbiasa berguru pada ulama syariat pula. Akhirnya gaduh lah suasana, kyai pun dimaki, dibully oleh anak ingusan yang ilmu agamanya masih level PAUD.

Syekh Siti Jenar dihukum oleh Walisanga bukan karena sesat, tapi karena terlalu kenceng mengajarkan tasawuf pada umat yang syariatnya belum mateng. Bahaya, bisa membuat goyah imannya. Karena ilmu hakikat sebenarnya tidak bisa sembarangan diajarkan atau disebarkan pada umat. Harus bertahap, sedikit-sedikit dulu biar nggak kaget. Nek kaget iso semaput, opname nang rumah sakit.

Kalau ada umat yang suka bikin gaduh teriak "sesat!" itu diduga karena berhenti belajar. Ayat-ayat dihafal persis seperti aslinya, jika ada yang tak sama dengan hafalannya diteriaki "sesat!" "Jahanam!".

Tapi jujur, aku salut pada perjuangan mereka membela agama (katanya sih), sampek direwangi jalan kaki ke Monas. Banyak dari mereka yang masih anak-anak. Duh, Kak Seto kemungkinan nangis bombay sambil gulung-gulung.

Fanatik pada agama, berani mati demi ideologi itu keren. Tapi kalau model fanatik seperti banteng yang asal seruduk, itu bisa benjut jaya. Agama mengajarkan untuk tidak berlebih-lebihan. Puasa itu bagus, tapi kalau sakit dan memaksa diri berpuasa itu nggak bagus bahkan haram hukumnya. Haji itu bagus, tapi kalau sudah tuwek, ompong, rodok pikun jgn memaksa utk berhaji. Kalau nekad dan mati..Itu sama saja bunuh diri!

Apalagi buanyak orang yang mendadak ustadz, nyetatus di medsos dgn kata-kata yang sebenarnya hanya untuk diketahui oleh umat Islam saja jangan sampai terbaca oleh umat lain. Misal : "hanya agama Islam yang diterima di sisi-Nya. Agama yg lain masuk neraka!"

Kata-kata itu sebenarnya ada 'aurat'nya juga. Nggak semua kebenaran (yang kita anut) bisa kita suarakan di depan umum, terbaca oleh umat lain. Tentu saja itu bikin 'panas' umat lain. Akhirnya bibit permusuhan pun tumbuh. Coba saja jika temanmu yang Kristen menyanyi di depanmu : "Hanya Yesus yang sanggup menolongmu, Muhammad nggak sanggup..!". Kepalamu bakal keluar asap saking panasnya.

****
Bicara soal gubernur kafir (begitu julukan yang disematkan oleh kaum Nganu)yg kesandung kasus al maido tadi, memang harus hati-hati. Salah ngomong langsung dituding Anti Islam, munafik, liberal, sekuler..oala ampun boss.
Ustadz Syuaibzz Bin Khoqyah (embuh sopo iku) tak bosan-bosannya mengingatkan, "Haram hukumnya dipimpin oleh pemimpin non muslim..," membuatku ingat pitutur simbah.

Simbah sering ngomong soal pemimpin. Pemimpin itu banyak macamnya, Gubernur atau Presiden itu bukan pemimpin umat. Gubernur itu petugas administrasi nomer 1 di wilayah provinsi, sedang presiden adalah petugas admin nomer 1 di wilayah nasional.

Gubernur dan presiden itu buruhnya rakyat. mereka dibayar rakyat untuk ngurusi negara. Rakyat adalah juragannya negara. Jadi mereka bukan pemimpin umat. Pemimpin umat itu tidak dibayar, karena itu pekerjaan Tuhan. Sudah dicontohkan oleh Buya Hamka ketika menjabat ketua MUI 1975 - 1980, beliau menolak menerima gaji. Karena memang ulama itu bukan profesi. Kerjan ulama itu berdakwah, melayani umat.

Tapi MUI itu pun juga bukan pemimpin umat. Itu kumpulan ulama yang mendedikasikan hidupnya utk melayani umat. Ada yang memang diangkat jadi ulama oleh umat, tapi ada juga yang memproklamirkan dirinya sendiri sebagai ulama. Ra popo..

Umat Islam sendiri tak pernah benar-benar mencari pemimpin umat (seperti Paus pada agama Khatolik). Karena tiap golongan (madzhab, sekte dan sejenisnya) sibuk dengan dirinya. Bahkan tidak mau berbaur dengan yang lain golongan. Sampai harus ada Parade Tauhid, karena tiap pemimpin Islam males (gengsi) bersatu. Tauhid kok dibikin pawai, oalaa..hanya ada di negeri ini.

Tapi itu memang sudah digariskan, bahwa Islam akan terpecah menjadi 73 golongan dan cuman 1 golongan yang diterima Allah. Ketika itu terjadi, kiamat akan tiba.

Sepertinya memang sudah mencapai 73 golongan, tinggal nunggu tiupan terompet tanda kiamat dari malaikat Israfil yg sempat check sound kemarin (ingat fenomena suara ganjil di langit beberapa waktu lalu).

Konyolnya ada satu golongan yang ngeklaim bahwa golongannya yang bakal diterima di sisi Allah. Golongan ini sukanya menuding orang yg tak sepaham : "sesat!" Jahanam!". Tapi no problem, lebih baik pede daripada minder..ya khan?

Kupikir bangsa ini sudah pluralis sejak dulu. Berbagai macam suku, ras, agama, aliran, adat budaya, setan, jin, gendruwo bisa hidup rukun dalam harmoni sehingga dikagumi oleh bangsa-bangsa Arab.
Kita malah kagum sama Arab yang tak pernah akur, perang terusssss. Warna kulitnya sama, bahasanya sama, raine mirip-mirip, rambute kriting kabeh, adat dan budayanya relatif sama, agamanya juga kebanyakan Islam..tapi gampang sekali perang meletus. Senggol bacok.

Saya muslim, nggak begitu setuju dengan sistem Demokrasi yang dianut negeri ini (juga nggak tahu solusi penggantinya :)) tapi juga nggak yakin dengan sistem Khilafah. Karena khilafah memakai hukum Islam yang cuman untuk umat muslim. Bagaimana dengan Bali, Papua, Dayak, atau suku lain yang mayoritas non muslim. Betapa egoisnya...
Menurutku hukum syariah buat diri pribadi saja, nggak usah jadi hukum negara kalau ingin negeri ini tetap Bhineka Tunggal Ika.

Kalau sudah begini, saya merindukan kepemimpinan model Sunan Kalijaga. Walisanga yang berdakwah dengan pendekatan kultural. Walau ulama tapi tetap jadi orang Jawa, kostumnya asli budaya negeri ini. Menjadi ulama tapi tidak bergamis dan berserban. Karena beliau lahir dan diperintahkan jadi orang Jawa, menghormati dan menghargai budaya negeri sendiri. Seperti Rasulullah yang bergamis, berserban karena menghargai dan menghormati budaya Arab. Gamis itu bukan karangan Nabi. Dan itulah itiba' Rasul yg sejati : menjadi diri sendiri tapi sesuai tuntunan syar'i.

Senin, 14 November 2016

Ketika 'Mbokde' Bicara Politik

sumber: istimewa
Ini adalah era dimana semua orang bergaya pakar ; pakar politik. Sejak Pilpres 2014, mbokde -mbokde yang dulu ngomongin sinetron sekarang pada getol ngomong politik. Demikian juga dengan para pakde. Seandainya wedus bisa bicara, mereka akan bicara politik.

Bukannya saya ngelarang wanita (atau siapa saja) ngomong politik. Melek politik itu perlu, tapi kalau tidak paham benar mending jangan bikin status yang sifatnya provokasi, memanas-manasi, ngompori atau share berita politik (yang belum jelas validitasnya) malah bikin 'panas' suasana yang sudah panas ini. Unfriend, Unfollow, blokir pun merajalela.

Tentu saja di medsos orang bebas bicara dan lempar apa saja. Cuman ingat, persaudaraan, persahabatan dan pertemanan lebih penting daripada sekedar membela mati-matian Cagub atau Capres pilihanmu. Tapi itu terserah anda. Saya cuman ngasih pandangan saja. Saya bukan buapakmu, embahmu, ustadzmu atau ulamamu.

Saya perhatikan di medsos, banyak sebenarnya yang tak paham politik tapi nimbrung di obrolan politik. Padahal nggak paham-paham amat dengan apa yang dibaca dan diomongkan. Oalaa Ndes, kalau otak tak mampu mencerna berita (apalagi berita politik) jangan dipaksa loading. Itu yang membuat banyak orang 'sakit'. Pikiran nggak fresh..rai dadi burek.

Berita-berita politik sekarang adalah versi kedengkian kubu yang satu terhadap kubu yang lain. Tak ada kemurnian di berita-berita tersebut. Jangan terlalu dimasukan ke hati apalagi sampai ngotot mata mendelik untuk membelanya. Biasa ae Ndes..

Banyak tulisan di media tidak dijamin 100% validitasnya. Bila lugu, kita akan jadi makanan empuk media massa. Media massa itu alat pencuci otak yang paling mujarab. Seperti di era Suharto, media (TV) jadi alat propaganda yang efektif. "Piye le..enak jamanku to?" ndasmu..

Sekarang pun 2 stasiun swasta masih saja 'perang politik' padahal pencapresan sudah selesai bertahun-tahun lalu. 2 stasiun TV tadi saling mencuci otak manusia-manusia kolot labil berjiwa kering yang kehidupan seksnya menyebalkan.

Orang yang pikirannya fresh itu orang yang Golput. Nggak ikut-ikutan 'perang' membela Cagub, Capres, Cap ji Kia....

Nggak cerdas kalau ada yang ngomong Golput itu orang yang tidak mencintai dan tidak perduli pada bangsanya. Hoiiii, saya Golput tapi 100% mencintai bangsa ini! Bhineka Tunggal Ika harga mati! (Bukan NKRI harga mati. NKRI boleh berubah, kalau memang berubah jadi lebih baik, why not? kenyataannya negara ini sudah di-amandemen berkali-kali kok).

Bedakan antara bangsa dan negara. Bangsa itu sesuatu yang berhubungan dengan rakyat dgn segala kearifan, agama, adat budayanya. Negara itu sebuah pemerintahan dengan segala hukum, aturan, tata tertib, birokrasi, administrasi bla bla bla bla. Dan memilih Golput itu karena tak percaya atau tak setuju dengan sistem yang dianut oleh negara.

Bangsa tanpa negara tetap akan jadi bangsa. Tapi negara tanpa bangsa nggak bisa jadi negara. Golput itu tidak mengakui negara ini, tapi menghormati aturan negara : punya KTP, SIM, bayar pajak, dan lainnya. Yang penting nggak ngisruh.

Golput itu memilih 'jalan sunyi', tidak mau jadi bagian dari 'kelucuan' negara ini. Tidak ikut terbawa arus 2 kubu yang sedang 'bertikai' sekarang. Tapi anda jangan Golput. Saya tidak sedang kampanye Golput dan tidak menganjurkan Golput. Jadilah warga negara yang baik. Saya bukan warga negara yang baik, tapi (berusaha jadi) penduduk yang baik dari bangsa ini.  

Dipikirnya rakyat ikut Pemilu itu pasti paham politik dan pilihannya. Mereka datang ke kotak suara dengan berbagai kepentingan dan tujuan kok. Ada yang sungkan sama pak RT, Pemilu 5 tahun sekali kok nggak keluar rumah. Ada yang sungkan karena sudah dikasih uang seratus ribu kok nggak nyoblos.

Kebanyakan memang nggak paham politik dan nggak begitu tahu (kenal) yang dipilih. Pokoknya yang dipilih itu yang sering muncul di TV dan paling terkenal. Mau negara ini jadi Republik, Monarki..gak ngurus! Hidup mereka juga tanpa pemahaman kok, pokoke urip!

Kembali ke soal mbokde tadi..

Hidup di jaman 'katanya' ini harus cerdas memilah dan memilih kabar berita yg valid. Dipikirnya kalau banyak baca informasi di internet sudah menguasai informasi . Padahal yang terjadi adalah dia dikuasai informasi. Menjadikan diri budak informasi. Informasi cuman dibaca tok tanpa diolah.

Agama mana pun tidak melarang perbedaan tapi sangat melarang adanya perpecahan. Karena perbedaan itu rahmat sedang perpecahan itu petaka. Jadi bijaklah untuk bicara atau nge-share berita politik yang nggak jelas, provokatif.
Wis ah..

Jumat, 28 Oktober 2016

Tuhan Tidak Perduli Model Celanamu

istimewa
Sebelum nggedabrus ngalor ngidul membahas celana (cingkrang), ada baiknya anda perlu tahu bahwa saya bukan seorang ustadzzz apalagi kyai, cuman seorang muslim gembel jaya yang nggaya sok-sokan berpikir kritis, merdeka jadi diri sendiri tanpa 'makelar'.

Karena akal adalah anugerah terbesar Tuhan bagi umat manusia, sayang kalau nggak dipakai. Ayat kalau cuman dibaca dan dihafal doang, otak jadi mubazir. Kayak burung Nuri yang bisanya cuman meniru suara orang tapi nggak paham maksudnya.

Oke, nggak usah banyak cing cong, langsung ke inti pembahasan saja.

Dari dulu saya bingung kalau melihat muslim yang celananya di atas mata kaki (cingkrang), agak aneh juga sih di abad Millenium begini ada yang memakai fashion trend jadul Arab klasik abad 6 Masehi. Karena menurutku setiap generasi punya fashion style-nya sendiri-sendiri.

Apa kalau pakai celana jeans  terus kita jadi kafir? Kalau menyerupai suatu kaum terus kita jadi bagian dari kaum itu? Muhammad SAW sendiri berpakaian persis seperti Abu Jahal atau Abu Lahab. Apakah Muhammad bagian dari kaum jahiliyah tadi? Tentu saja tidak.

Menurutku nggak masalah berpakaian seperti bajak laut, ninja, atau siapa saja, asal tabiat kita sesuai syariat. Karena celana atau kain itu tidak ada agamanya. Maka ambigu kalau baju dikasih label 'taqwa' (baju taqwa). Saya sendiri nggak berani pakai baju taqwa, takut jadi 'penipuan'. Iman dan ilmu saya pas-pasan kok bergaya orang alim, pinter agama.

Teknologi terus berkembang, trend fashion manusia juga berubah. Pakaian adalah produk budaya manusia yang pasti berubah pada tiap generasi. Asal sesuai syariat, norma adat budaya setempat, tak masalah kita memakai pakaian model apa. Syariatnya menutupi aurat, tapi dalam segi budaya kita bisa memilih model, warna, jenis baju yang kita inginkan.

Debat soal isbal (celana di bawah mata kaki) bakalan tak ada habisnya. Tiap orang punya latar belakang berbeda kenapa dia memakai celana cingkrang. Ada yang ingin meniru persis kostumnya Rasullullah, ada yang ngefan Michael Jackson, ada pula yang mengartikan secara harfiah ayat dari hadits : "Celana di bawah mata kaki dibakar di neraka." Juga ayat lain yang mengatakan bahwa orang yang bercelana menutupi mata kaki akan dicueki Tuhan di akhirat.

Saya sendiri Muslim tapi tidak bercelana cingkrang, lha lapo. Ayat di atas memang hadist shahih, tapi saya tidak mengartikannya secara harfiah begitu saja. Karena ayat tersebut ternyata bicara soal kesombongan.

Idiom orang Arab di jaman itu, orang yang memakai celana menutupi mata kakinya adalah orang sombong. Dan orang sombong lah yang tidak akan disapa (dicueki) Tuhan di akhirat nanti.

Jadi ayat soal isbal tadi sebenarnya bunyinya seperti ini : "Orang sombong dibakar di neraka." tapi kebanyakan muslim lebih menangkap aspek celana cingkrangnya daripada aspek sombongnya. Karena mereka berhenti pada teks, tidak menelusuri ayat itu lebih jauh (bahasa ustadznya : Asbabun Nuzul). Kenapa, di mana ayat itu turun. Adat dan budayanya bagaimana.

Kalau tujuannya takut kena najis, karena menyentuh tanah, ya diusahakan ukuran panjang celana nggak menyentuh tanah. Nggak cingkrang juga bisa to. Tapi kalau alasannya takut terkena najis, kenapa kaum wanita yang  berjilbab syar'i malah roknya menyentuh tanah, padahal kakinya sudah pakai kaos kaki.

Kalau ulama Arab mengharamkan celana yang menutupi mata kaki itu wajar. Mereka menghormati adat dan budaya mereka. Kalau di sini ya salah tempat. Bisa jadi malah salah kostum karena iklim, karakter geografis kita berbeda jauh dengan Arab. Dan juga negeri ini punya paradigma adat budaya yang berbeda dengan Arab.

Juga belum ada penelitian ilmiah yang menyatakan celana di bawah mata kaki itu nggak baik  bagi kesehatan. Seperti larangan seorang pria muslim memakai perhiasan emas. Karena atom pada emas mampu menembus kulit pria sehingga rentan terkena penyakit Alzheimer, jika dipakai dalam jangka panjang.

Banyak hadits yang terbukti secara empiris. Misal  larangan meniup makanan panas sesaat sebelum memasukan ke mulut karena udara yang kita tiupkan (karbondioksida) jika bertemu air akan menghasilakan asam karbonat. Jika asam karbonat masuk ke dalam tubuh bisa menyebabkan penyakit jantung.

Hadits lain yang juga terbukti empiris adalah boleh minum air minum yang kejatuhan lalat asal lalatnya ditenggelamkan di dalam air minum tadi. Berdasar penelitian ilmiah ternyata  ada obat yang berbahaya di salah satu sayap lalat, tapi sayap lainnya dapat menetralisirnya (dengan cara ditenggelamkan ke air).

Dan masih banyak lagi kedahsyatan ayat Qur'an dan Hadits yang sudah dibuktikan secara imiah. Hadits sendiri dihimpun 300 tahun sesudah hidupnya Nabi Muhammad. Berdasarkan katanya ulama ini, perawi itu. Jadi walaupun sahih masih harus diverifikasi. Kalau nggak masuk akal buang, pakai Al Qur'an saja. Apalagi di zaman itu tak ada alat perekam. Kata-katanya tidak sama persis seperti Al Qur'an yang pasti sama dengan perintah Allah.

Agama Islam jadi terlihat wagu karena kesempitan umatnya mengartikan ayat dengan sangat apa adanya. Kurang bisa memilah mana bahasa budaya, bahasa hukum, bahasa sastra, dan lainnya. Dipikirnya Al Qur'an itu kayak UUD '45, KUHP, Perda dan sejenisnya.

Orang yang berpendidikan tinggi (sekolah Islam) nggak bisa jadi ukuran bahwa agama mereka lebih benar. Yang lulusan Arab saja banyak yang meyakini ayat "Bahasa Arab adalah bahasa surga". Oala Jek Jekkk, dipikirnya Tuhan itu lulusan Sarjana Sastra Arab. Bagiku itu menuduh Tuhan Rasis atau diskriminatif pada bangsa selain Arab.

Kembali ke soal celana cingkrang. Sungguh konyol kalau meyakini Tuhan tidak menyapa orang yang celananya di bawah mata kaki di akhirat nanti. Ngapain Tuhan ngurusi model celana. Tuhan hanya perduli pada amal kebaikanmu, cintamu pada-Nya. Kecuali model kostum ibadah haji (kain ihram), itu Tuhan sendiri yang ngasih perintah dengan tujuan agar timbul rasa merendahkan diri dan hina dihadapan-Nya bla bla bla bla.

Dalam soal agama dan moral, orang yang paham agama tak bisa diukur dari lulusan perguruan tinggi Arab atau tidak. Ada orang yang pendidikan cuman lulusan pesantren kampung tapi ilmu agamanya lebih dahsyat dari yang lulusan Arab. Itu bisa terjadi karena paduan antara iman, lelaku, tirakat plus intelegensi yang luar biasa pada seorang muslim sehingga di dianugerahi karomah oleh Allah, punya sidik paningal, waskita. Kalau cuman lulusan luar negeri tok, yo nggak njamin Jek.

Wis ah, saya menulis ini tak ada maksud menentang hadits atau ayat Allah, tapi lebih pada menggunakan akal daripada cuman membaca dan menghapal. Intinya gunakan hati, akal dan logika dengan benar. Untuk apa pakai Qur'an kalau tidak pakai hati, untuk apa pakai syariat Islam tapi tidak pakai akal?


(c) Robbi Gandamana

*Sori tidak menerima perdebatan.

Sabtu, 15 Oktober 2016

"Ulama Jangan Jadi 'Makelar' Umat.." [Think Different Ala Cak Nun - 3)


Bersyukurlah orang yang mengenal dan mengikuti 'sepak terjang' Cak Nun , karena tak perlu membaca berjilid-jilid buku untuk memahami ilmu kehidupan. Cak Nun benar-benar membuka pori-pori kecerdasan umat dengan pemikirannya yang dahsyat dan revolusioner.

Sebutan budayawan, penyair, seniman, atau apa lah, itu hanyalah bungkus, hakikat beliau lebih dari itu. Ilmu agama, pengetahuan umum dan makrifat Cak Nun begitu istimewa, nggak salah kalau banyak orang menyebutnya sebagai kyainya para kyai.

Ini adalah puzzle-puzzle pimikiran beliau tentang umat dan pemimpin agama (Islam) yang saya himpun dari berbagai sumber . Saya terinspirasi menuliskan ini setelah membaca berita-berita di dumay, ulama sedang naik daun.  Tapi sori Jek, saya tidak sedang bicara politik.

***
Umat Islam sekarang sama sekali kurang berpendidikan dalam soal Islam. Tidak ada tradisi ijtihad, tidak mengerti harus taat pada siapa. Kalau ada orang berbuat sesuatu, nanyanya : "Kyai siapa yang ngomong?", "kitabnya apa?", tapi tidak ditanya "Qur'annya apa?"

Semua perbuatan pun harus berdasarkan dalil. Itu saking tidak berpendidikannya. Dan memang tidak ada mekanisme berpikir, padahal Islam adalah agama yang aqliyah (cara berpikir). Dan itu yang membedakan manusia dengan wedus.

Kalau nggak dipikir atau tanpa akal, itu sama kayak kambing yang disodori buku tebal penuh ilmu pengetahuan. Kambingnya cuman ndlahom, nggak paham. Mau secanggih atau sedetail apa pun sistem nilai dalam Islam, tak ada gunanya kalau manusia menghadapinya tanpa menggunakan akal.

Banyak orang tidak pernah berpikir mendasar, tidak pernah mengerti pijakan hidup, nggak pernah memiliki akar-akar nilai.  Jadi akhirnya menafsirkan sesuatu begitu tidak berakalnya, begitu gemblungnya.

Maka yang harus disebarkan adalah etos tadabbur : berfikir secara menyeluruh  yang sampai pada akhir-akhir dari indikasi-indikasi kalimat dan tujuan-tujuannya yang jauh.

Bertadabbur tidak berarti anti tafsir, tafsir dibutuhkan pada saat sesuatu harus ditafsirkan. yang pokok dalam Islam adalah tadabbur : kamu mencari manfaat dari pergaulanmu dengan nilai-nilai Islam terutama Al Qur'an.  Parameternya (ukuran keberhasilan) adalah yang penting kamu menjadi lebih baik sebagai manusia.

Paham atau nggak paham itu bukan parameter. Benar atau tidak benar pemahamanmu itu juga bukan parameter. Parameternya adalah setelah kamu baca dan mencintai Al Quran kamu menjadi lebih dekat pada Allah apa tidak, lebih beriman apa tidak, kamu lebih baik menjadi manusia apa tidak.

Kenapa perlu menggalakan taddabur? karena umat Islam sekarang tergantung pada ahli tafsir. Kita semua dibuat merasa tidak paham Al Qur'an. Kita tidak pernah dimerdekakan untuk otentik bergaul dengan Allah dan Al Qur'an. Kita harus selalu pakai makelar : Ulama, Kyai, Ustadz, dst. Mereka menjadi 'makelar' di antara kita dan Al Quran, di antara kita dan Allah.

"Saya bukan makelar! Yang saya omongkan tidak harus anda anut. karena anda berdaulat atas diri anda sendiri, anda bertanggung jawab atas diri anda sendiri di hadapan Allah. Jadi setiap keputusan, langkah, pikiran dan sikap anda  harus berasal dari anda sendiri karena nanti tanggung jawabnya juga anda sendiri, " Kata Cak Nun.

"Saya tidak bisa mempertanggungjawabkan kelakuan anda. Saya bukan Nabi Muhammad. Kalau Muhammad harus ditaati, karena bisa menolong kita. Sedangkan saya tidak bisa menolong anda, " lanjutnya.

Ke Al-Qur'an jangan pakai makelar. Kalau pakai makelar itu sebagai wacana atau mendengarkan, tapi tetap pertimbangannya ada pada kita.  Selama ini umat Islam dibikin tidak pernah merasa paham Al Qur'an, untuk itu harus tanya pada kyai, ulama, dst.

Padahal kebenaran (sejati) itu tidak ada, yang bisa dilakukan manusia itu sebisa mungkin menuju kebenaran. Kebenaran itu ada 3 : benarnya diri sendiri, benarnya orang banyak dan kebenaran sejati. Dan yang bikin kita bentrok itu karena seseorang atau umat ngotot dengan benarnya sendiri.

Suara kokok ayam versi orang Madura itu "kukurunuk", orang Sunda "kongkorongkong, orang Jawa "kukuruyuk". Yang benar yang mana? semuanya salah. Yang benar adalah taruh ayamnya di tengah ketiga orang tadi dan sama-sama mendengar suara kokok ayamnya.

Jarak antara kokok ayam dengan kita menirukan suara kokoknya itu namanya tafsir.  Tafsir itu melahirkan madzhab dan pengelompokan-pengelompokan. Itu karena pendengarannya berbeda terhadap suara kokok ayam tadi.

Kita harus saling menyadari bahwa yang benar itu ayam. Antara tafsir 'kukuruyuk', 'kukurunuk' dan 'kongkorongkong' harus saling menyadari kelemahan masing-masing sehingga tercipta toleransi. Kalau nganggap benarnya sendiri, egois atau egosentris dengan tafsirnya sendiri maka akan terjadi bentrok.

Maka sebenarnya tidak ada tafsir yang betul betul benar atau benar benar betul, nek wong Jowo, bener bener pener.  Anda boleh menafsirkan menurut pikiranmu yang penting itu membuatmu menjadi lebih dekat, lebih cinta pada agama dan Tuhanmu. Dan tentu saja tidak menimbulkan kemudharatan umat.

Pandai-pandailah membedakan mana agama, mana terjemahan syariatnya, mana fiqihnya.  Fiqih pun banyak versinya, fiqih A, fiqih B, dst. Tapi tetap default-nya adalah Al Qur'an. Sedangkan hadits itu diidentifikasi, dihimpun 300 tahun sesudah hidupnya Nabi Muhammad.

Jadi hadits itu berdasar katanya. Katanya ulama itu, perawi itu.  Ada yang lulus, ada yang tidak. Jumlahnya dua juta dua ratus hadits, yang lulus dibawah seratus ribu. Itu pun belum tentu lulus. Kalau kira-kira nggak masuk akal, buang saja, hanya Al Qur'an yang dipakai.

Maka hadits pun harus diverifikasi. Apalagi jaman dulu tak ada alat perekam. Jadi kalimatnya tidak sama persis dengan yang tercantum di kitab hadits. Hanya Al Qur-an yang kalimatnya sama persis dengan apa yang difirmankan oleh Allah dan tak bakalan bisa dirubah.

"Saya sering bilang, Jangan percaya sama saya, Saya cuman mengantarkan sejumlah bahan dan cara berpikir supaya kamu mengolahnya. Nanti kamu akan menemukan apa yg kamu percaya secara otentik dari pikiran dan hatimu sendiri. Jangan percayanya kepada saya, "  Kata Cak Nun.

"Penjelasan saya itu khan menurut saya. Anda juga boleh menurut anda, asal baik. Anda selalu berpikir bahwa jawaban saya itu kebenaran. Itu salah. Sama-sama belum tentu benar. Yang membuat kita sampai ke Allah adalah kita beritikad baik di dalam yang belum tentu benar itu. Tidak apa-apa nggak benar-benar banget. Presisinya nggak harus pas banget, hadap kiblat 24.5 derajat, akhirnya kemana-mana bawa garisan." Imbuh beliau.

Jadi antara kita dengan Tuhan jangan ada siapa-siapa. Kita sama Tuhan itu langsung. Bahwa kita mendengarkan kyai, ulama, ustadz itu wacana, tapi mereka tidak mewakili kita. Dan mereka tidak bisa menyelamatkan kita.

Apakah kyai bisa menyelamatkan kamu? Apakah ulama bisa menyelamatkanmu? tidak bisa. Begitu juga dengan pemuka agama yang lain, tidak bisa menyelamatkan kita. Hanya kamu yang bisa menyelamatkan kamu sendiri di hadapan Allah. Maka kalau kamu beribadah pada Allah jangan ada siapa-siapa.

"Saya tidak mau ada di antara anda dengan Tuhan! " Kata Cak Nun.

Susahnya pimpinan-pimpinan agama suka bertempat di situ. Menjadi 'gerhana' di antara Tuhan dengan umatnya. Karena di situ ada jabatan, kepemimpinan, akses eksistensi dan ekonomi.

"Saya bicara begini supaya anda percaya sama Allah, bukan percaya sama saya. Makanya saya jangan jadikan panutan. Yang bisa kau ambil dari saya adalah sebagian yg relevan untukmu, sebagian kecenderungan saya yang pas untuk kamu. Dan itu sebenarnya kamu tidak meniru saya, tapi pihak yang sebelum saya : Nabi atau Tuhan sendiri, bukan saya. Saya cuma akselerator dari nilai dan kecenderungan itu." tegasnya lagi.

Kesimpulannya, kebenaran itu tidak pada siapapun. Kecuali pada keputusan terakhirmu masing-masing. Karena itu nanti yang dihisab oleh Allah. Kamu boleh mendengar apa pun, boleh menafsirkan kayak apa pun, boleh melakukan apa pun setelah itu. Tapi sebenarnya yang dinilai adalah bahwa itu menjadi keputusanmu.

Jangan pernah punya keputusan yang tidak otentik pada dirimu. Artinya kalau shalatmu itu ya shalat kamu dan Allah..itu otentik. Bukan kamu plus Cak Nun, plus Kyai, plus Ustadz, plus Ulama dan Allah.

Wis ah..

(c) Robbi Gandamana, 15 Oktober 2016

Jumat, 14 Oktober 2016

"Nggak Ada Nabi Yang Mengaku Alim.." [Think Different Ala Cak Nun - 2]




Jujur aku rodok sungkan nulis koyok ngene iki rek. Yang saya takutkan adalah orang menganggap saya ini hebat, pinter ngaji, tahu agama. Ketahuilah mblo, saya ini cuman seorang gentho bosok yang sedang berproses belajar agama. Maka saya sebisa mungkin tidak menyantumkan dalil-dalil biar tidak terkesan ngustadz (tapi pitutur Cak Nun nggak asal ngablak, semua ada dalilnya dan atau melalui proses ijtihad yang panjang). Semoga bisa menjadi bahan renungan dan pembelajaran. Yo wis lah, zuukk mariii..

Akhlak Tidak Untuk Dipamerkan
Walaupun seorang ulama atau kyai, tapi Cak Nun selalu berpakaian seperti layaknya orang biasa. Bisa dikatakan ganok bedane karo wong dodol akik, buruh pabrik atau sales kaos kaki.

“Kalau saya datang dengan berpakaian gamis dan sorban, memang tidak ada salahnya. Cuman saya takut semua orang akan berkesimpulan bahwa saya lebih pandai daripada yang lain. Lebih parah lagi, kalau mereka berkesimpulan bahwa saya lebih alim...Kalau itu tidak benar, itu khan namanya 'penipuan'...!" kata Cak Nun.

"Kalaupun memang benar, apakah akhlak itu untuk dipamerkan kepada orang lain (melalui pakaian)? Tidak boleh kan? Maka semampu-mampu saya, berpakaian seperti ini untuk mengurangi potensi 'penipuan' saya kepada Anda. Anda tidak boleh mendewakan saya, me-Muhammad-kan saya, meng-habib-kan saya, karena saya adalah saya karena Allah menjadikan saya sebagai saya dan tidak karena yang lain. Maka Anda obyektif saja sama saya...” lanjut Cak Nun.

Menurut Cak Nun, seorang ulama harusnya bisa berpakaian yang sama dengan pakaian umatnya yang paling miskin. Cak Nun tidak mempersalahkan orang yang bergamis dan berserban. Malah salut sama mereka yang menunjukan kecintaannya pada Rasulullah dengan meniru persis apa yang ada di diri Rasul.

Tapi perlu diketahui bahwa baju Rasulullah tidak sebagus dan sekinclong yang dipakai kebanyakan orang sekarang. Baju Rasulullah sendiri ada 3 jenis : yang dipakai, yang di dalam lemari dan yang dicuci. Dan semua orang Arab di jaman nabi, model pakaiannya seperti itu. Nggak cuma Nabi Muhammad..;Abu Jahal, Sueb, Sanusi, Atim dan orang Arab lainnya, model klambine koyok ngono iku. Jadi sebenarnya sunnah Rasul yang paling mendasar adalah Akhlaknya bukan kostumnya.

Orang yang disukai Tuhan adalah orang yang menyebut dirinya buruk, biso rumongso, nggak rumongso biso. Orang yang diragukan keihklasannya adalah orang menyebut dirinya baik. Semua nabi mengaku dirinya dzolim : "Inni Kuntu Minadzolimin"(aku termasuk orang yang dzolim). Nggak ada nabi yang mengaku dirinya sholeh. Kalau ada orang yang mengaku paling benar atau alim, langsung tinggal mulih ae...ndang baliyo sriii..!

"Kalau sama Tuhan kita harus 100%, kalau kepada ilmu kita, cukup 99%. Seluruh yang saya ketahui dan yakini benar itu belum tentu benar. Maka saya tidak mempertahankan yang saya yakini benar karena mungkin mendapatkan ilmu yang lebih tinggi." kata Cak Nun.

Karena itulah saat bersama jamaahnya, Cak Nun selalu memposisikan dirinya sama, sama-sama belajar. Dan Cak Nun sendiri lebih suka pada jamaah yang sedang berproses daripada yang sudah ahli ibadah. Karena itu lebih tepat sasaran. Bukan pengajian pada orang yang sudah ngerti Al Quran, bukan pengajian yang menyuruh haji orang yang sudah berhaji, menyuruh ngaji orang yang sudah ngaji tiap hari, menyuruh orang shalat yang sudah shalat, dst.


"Tidak apa-apa kalau ilmu agamamu masih pas-pasan, itu malah membuatmu menjadi rendah hati. Banyak orang yang sudah merasa tahu ilmu agama, malah menjadikannya tinggi hati, " begitu pesan Cak Nun.


"Kalau saya kadang bicara pakai bahasa Jawa, jangan dibilang Jawasentris..saya cuman berekspresi sebagai orang Jawa..saya lahir dan dibesar di Jawa..diperintah Tuhan jadi orang Jawa...maka saya mencintai dan mendalami budaya saya..siapa bilang Jawa itu tidak Islam..kalau saya ayam saya nggak akan jadi kambing..kalau anda kucing jangan meng-anjing-anjing-kan diri..Kita memang disuruh Bhineka (berbeda-beda) kok..!"

Banyak orang salah kaprah menyebut Cak Nun sebagai penganut kejawen. Kejawen ndasmu... 'Software' Cak Nun lebih canggih karena laku tirakat luar biasa yang dilakukan sejak kecil. (Laku tirakat yang tidak bertujuan untuk menguasai ilmu hitam koyok mbahmu mbiyen). Sehingga beliau waskito, mempunyai sidik paningal, mempunyai pandangan yang tajam dan jernih soal kehidupan.

Little bit wagu kalau ada orang Jawa (atau Indonesia) yang malah membangga-mbanggakan budaya Arab atau Barat. Benci kebaya tapi nggak ngasih solusi bagaimana kebaya bisa Islami. Ingat : Jowo digowo, Arab digarap dan Barat diruwat.

Musik Itu Tidak Ada Agamanya
Cara dakwah Cak Nun hampir mirip dengan dakwah yang dilakukan Sunan Kalijaga. Satu-satunya Wali yang mengerti bahwa dakwah harusnya digarap secara kultural dan strategi ke-Jawa-an, karena wilayah dakwahnya ada di Jawa. Begitu juga Cak Nun dalam dakwahnya yang berpartner dengan kelompok musik Kyai Kanjeng pimpinan Nevi Budianto.

Ada cerita ketika Cak Nun dan Kyai Kanjeng bertemu dengan Yusuf Islam (Cat Stevens) seorang penyanyi pop lawas di London. Yusuf Islam yang Mualaf ini heran, dipikirnya seorang muslim itu diharamkan main musik. Rupanya mas Yusuf ini mengartikan ayat (hadits) secara harfiah atau tekstual. Tahu khan bunyi hadits-nya? sip, pinterrr.
Yusuf Islam ditanya sama Cak Nun, " Awakmu mrene numpak opo mas.?"
"Numpak montor cak..." jawab Yusuf Islam.
"Seperti mobil, musik itu netral, tidak ada agamanya, bisa dipakai sebagai kendaraan ke surga atau ke neraka.....bermusik boleh saja, asalkan tujuannya untuk mengagungkan Allah. Masjid pun kalau untuk memusuhi Allah, justru jadi sarana masuk neraka, " jelas Cak Nun yang menggunakan musik Kyai Kanjeng sebagai kendaraan untuk berdakwah.
"Oalaa..ngono yo cak,..yo wis suwun..see you tomorrow, " akhirnya mas Yusuf pun melanjutkan kegiatan musiknya sampai sekarang. Semprul, gara-gara tafsir harfiah, karier musiku rusak mblo, begitu mungkin batin Yusuf Islam.

Bukan musiknya yang haram tapi musik yang apa, bagaimana dan untuk apa. Hidup manusia tak bisa lepas dari musik. Unsur musik itu : bunyi, nada dan irama. Kalau bunyi dilarang, awakmu nek ngising ojok sampek ngeden...!. Manusia bicara pun pakai nada, tempo dan irama. Nada omongan Jawa berbeda dengan orang Batak atau suku lain. Saat berjalan pun, sadar atau tidak sadar, pakai irama dan tempo. Dan seterusnya...(Sori saya nggak memperpanjang soal ini...bakalan bisa jadi berlembar-lembar tulisan...ndas mumet mblo.)

Jangan Sampai Diperalat Sekolah
Cak Nun tidak pernah menempuh pendidikan (formal) yang tinggi. Pendidikannya hanya sampai semester 1 Fakultas Ekonomi UGM. Tapi Cak Nun tampil dengan cerdas dan meyakinkan dalam seminar-seminar berdampingan dengan nama-nama top markotop, bergelar akademik tertinggi. Yang sekolahnya jauh di Amrik sana. Malah Cak Nun yang selalu lebih ‘bintang’ dari siapapun di forum-forum tersebut. Profesor pun kadang minder kalau 'diadu' sama Cak Nun dalam sebuah dialog kebudayaan atau hal yang lain.

Satu-satunya orang yang diakui Cak Nun sebagai guru adalah Umbu Landu Paranggi. Seorang sufi (begitu Cak Nun menyebutnya) yang banyak membimbing Cak Nun menemukan makna dan hakikat hidup melalui sastra di 'universitas' Malioboro. Walau Umbu beragama Marapu, agama asli Sumba, itu tidak menjadikan halangan Cak Nun untuk terus menimba ilmu darinya.


Ilmu tidak selalu diperoleh dari guru, ustadz, kyai, ulama atau ahli agama. Kebenaran bisa datang dari siapa saja. Seorang bajingan bisa saja membuka mata hatimu pada sebuah hidayah. Seorang ulama bisa saja membuatmu ‘kerdil’ dengan ilmu pengetahuan dan keyakinan yang kamu dekap erat. Yang membuatmu jadi menutup diri pada ilmu dan pengetahuan yang ada di luar sana. Yang kamu anggap bertentangan dengan keyakinanmu.


Belajar boleh pada apa dan siapapun. Nggak masalah mempelajari Fir'aun, Hitler, Che Guevara, Fidel Castro dan lainnya. Semua yang ada di dunia ini adalah cahaya ilmu. Selama kita dewasa, kita nggak akan gampang 'masuk angin' oleh kalimat kayak apapun. Yang penting nggak mudah terseret untuk menyalahkan atau membenarkan. Ambil saja makna dan manfaatnya. Simpan yang baik, tendang jauh-jauh yang mblendes.

"Saya merasa bersyukur karena saya dilindungi Tuhan sehingga dihindarkan dari sekolah yang saya masuki. Selalu diusir oleh sekolah-sekolah tadi . Itu karena desakan untuk meneliti diri saya sangat besar. Dan itu diganggu oleh guru-guru saya, " kelakar Cak Nun serius (kelakar kok serius..ya'opo se rek).

Kalau kita cermati saat bayi baru lahir. Kok si bayi ini menggerak-gerakan mulutnya, bisa tahu tempat dan caranya menyusui. Maka sebenarnya pendidikan itu jangan ge-er, guru itu tidak bisa mengajari orang, guru itu bisanya menemani. Agar murid punya bahan dalam rangka meneliti dirinya sendiri. Kalau kita tidak tahu diri kita ini siapa, bagaimana kita tahu kemampuan kita.

Kalau nggak tahu kita ini kiper apa penyerang, maka saat di lapangan sepakbola, kita bakalan kebingungan, aku iki lapo nang kene..? Kalau kucing jangan diajari menggongong. Kalau kambing jangan diajari terbang. Maka kenali dirimu, barang siapa mengenali dirinya sesungguhnya ia mengenali Tuhannya.

Kalau kamu bernama Paimo. Apa kamu itu memang Paimo? Itu khan nama yang diberikan bapakmu. Kalau kamu menamai dirimu sendiri, pasti bukan Paimo. Jadi dirimu itu bukan Paimo, bukan Markeso, bukan semua itu. Dirimu dijadikan tertutup. Begitu kamu punya orang tua, begitu masuk sekolah TK sampai kuliah..kamu ditutupi. Tugas sekolah adalah membuka tabir siapa dirimu, memberikan alat supaya mengenal dirimu. Sekolah malah menutup-nutupi dan malah ditambahi sarjana anu, ditambah doktor, ditambah kepala dinas, dsb.

"Kamu itu harus jadi tuan, sekolah itu alat anda, jangan sampai diperalat sekolah. Andai kamu perlu ijazah, oke no problem..ikutilah aturan sampai mendapatkan ijazah. Tapi tidak ada hubungannya dengan cari ilmu. Kalau cari ilmu ya banyak tempatnya, tidak hanya di sekolah. Kuliah itu mencari ijazah untuk membahagiakan orang tuamu. "

Jadi jangan salah niat. Kalau niatnya mencari ilmu, goblok koen mblo..! Kita bersekolah itu biar punya sertifikat buat mencari pekerjaan. Sekolah itu tidak mengenal Tuhan. Tuhan tidak diakui secara akademis. Karena Tuhan tidak bisa diteliti, didata, dianalisis dan disimpulkan. Segala sesuatu yang tidak memenuhi persyaratan akademis (nggak ilmiah) itu tidak diterima. Jadi semua universitas itu sebenarnya atheis...!

Pastikan anda tidak terjajah oleh dunia pendidikan. Penting mana anda sekolah atau belajar? Anda 'diperalat' sekolahan atau anda 'memperalat' sekolahan? Anda bergantung pada sekolah ataukah sekolahan yang tergantung pada anda? Terhadap pendidikan, jadikan anda subyek dari sekolahan, bukan obyek sekolahan.


Alat kejahatan yang paling canggih adalah aturan-aturan, maka bikinlah aturanmu sebelum kamu dikalahkan orang lain dengan menggunakan aturan dia.


"Kamu itu sekarang diatur oleh yang membuat sekolahan..kamu seharusnya nyantri tapi kamu dikasih aturan : nyantri itu tidak ada masa depannya, yang bermasa depan itu sekolah. Dan sekolah mempunyai aturan yang lebih detail lagi, bahwa orang harus jadi S1, S2.." kata Cak Nun di depan santri-santri NU suatu kali.

Pendidikan itu tujuannya sederhana, biar kita tidak kesasar saat kembali ke Tuhan. Maka teruslah belajar agar tidak kesasar. Sebenarnya tidak sekolah itu lebih baik tapi tetap ente harus sekolah mblo..!. Karena begitu sekolah kamu lupa dirimu, ketutupan. Begitu kamu sarjana, kamu pikir kamu itu sarjana. Sarjana itu bukan hakikat, bukan wujud, bukan kasunyatan. Sarjana itu cuman kartu parkir. Maka niatkan sekolah untuk membahagiakan orang tuamu. Ngono ae wis dan itu adalah motivasi yang paling tinggi. Cepatlah lulus biar orang tuamu bahagia. Beressss.

Demokrasi adalah Diktator Mayoritas
Cak Nun adalah seorang 'pejalan sunyi'. Beliau 'out of the box' dari semua hiruk pikuk duniawi. Sekarang tidak pernah mau tampil di media nasional. Hanya mau tampil di TV lokal, itu pun bukan keinginan Cak Nun. Tapi media yang datang, merekam event dan menyiarkannya.Tanpa transaksi, karena memang tujuannya sodaqoh .

"Saya nggak mau diatur media." kata Cak Nun.

Cak Nun bukan NU juga bukan Muhammadiyah atau yang lainnya. Beliau orang yang fleksibel, bisa menempatkan dirinya di semua kalangan dan aliran. Malah kalangan dan aliran tertentu yang tidak bisa menerima Cak Nun. Menurutnya, agama tidak dianjurkan untuk di-lembaga-kan. Yang penting sebisa mungkin akhlak kita seperti Rasulullah.

Cak Nun tidak pernah jadi anggota sebuah organisasi atau partai politik. Kalau beliau jadi ketua dewan syuro SAR Jogja, itu karena diminta dan alasan kemanusiaan yang nggak mungkin ditolak. Pernah juga jadi anggota ICMI (Ikatan Cendekiawan Muslim Indonesia) atas permintaan BJ. Habibie yang berjanji akan menyelesaikan kasus Kedungombo yang ditangani Cak Nun. Tapi ternyata janji tinggalah janji, Cak Nun pun keluar dari ICMI.

"Saya tidak berpolitik dan jangan sampai ada politisi Indonesia yang boleh masuk dalam pikiran saya, apalagi dalam hati saya, karena syarat rukunnya tidak terpenuhi sama sekali..!" tegas beliau.

"Ahmaq adalah orang yang tidak tahu bahwa dirinya tidak tahu..orang yg tidak mau mendengarkan, memikirkan dan mempertimbangkan pendapat-pendapat orang lain. Demokrasi di Indonesia adalah salah satu bentuk dari ke-ahmaq-an. sudah berkali-kali tertipu dan menjadi korban, tapi tetap dipakai juga.." kata Cak Nun.

Cak Nun sendiri nggak suka dengan demokrasi (Indonesia). Baginya demokrasi adalah diktator mayoritas. Yang menang adalah yang mayoritas (suara terbanyak), bukan yang benar. Politik kita adalah politik yang tidak mungkin melahirkan pemimpin sejati. Kerikil bisa ditempatkan di maqam-nya berlian, begitu juga sebaliknya. Orang sehebat apapun tidak akan pernah menjadi apa-apa kalau tidak ikut Parpol.

Cak Nun juga menganggap kampanye partai di Indonesia itu aneh. "Kalau ada partai kampanye di depan kader partainya sendiri, itu namanya onani..!"

Partai itu seharusnya kampanye kepada partai yang lain. Kampanye kok di depan anggotanya yang jelas sudah tahu persis misi dan tujuan partai tersebut. Menurut Cak Nun, jargon Pemilu-pun juga salah kaprah (langsung, umum, bebas dan rahasia). "Bebas kok rahasia..kalau rahasia ya nggak bebas..! Ya'opo se rek."


Karena sikapnya yang indepeden itulah Cak Nun sempat dicap sombong oleh sebagian kalangan. Cak Nun menanggapi hal itu dengan santai :
"Saya memang sombong. Harus itu! Sombong kepada dunia itu wajib hukumnya. Yang tidak boleh itu sombong kepada Tuhan. Tapi, kepada dunia, kepada popularitas, kepada semua yang ada di dunia, kepada uang, harta benda, anda harus sombong! Kalau tidak, anda hanya akan jadi budak dunia...!"


***
Sementara ngene disik...kapan-kapan disambung maneh mblo....

Kalau ada sesuatu yang nggak paham, solusinya adalah kita belajar memahami. Kalau ada sesuatu yang tidak setuju, solusinya adalah mencoba menghayati dan menerima sesuatu yang tidak sama. Jangan lupa, bahwa kamu juga tidak sama dengan dia. Jangan berpikir kamu tidak setuju pada sesuatu hal, sesuatu hal itu juga nggak setuju dengan kamu..! Melihat uler jijik, padahal ulernya juga jijik lihat kamu. Rumangsamu..

Nggak perlu teriak : liberal! ;apalagi ngafir-ngafirno. Pikiren nang awakmu dewe, opo uripmu iku wis bener? Nek pancen Cak Nun kafir utowo liberal, terus koen kate lapo..?

Cak Nun cuman berusaha menyumbangkan gagasan dan pemikirannya untuk menunjukkan jalan lain bagi kita yang sudah beku dan merasa tak lagi menemukan cakrawala yang suejukk. Cak Nun memberikan kita sebuah alternatif cara menilai, dan menyikapi hidup. Hanya itu.


Robbi Gandamana, 10 Juli 2015
(Sumber : Mocopat Syafaat, Kenduri Cinta atau pengajian maiyah yang lain, mbah google, buku, dsb)

*Pertama kali dipublish di Kompasiana