Senin, 27 Februari 2017

Tidak Ada Buku Pendidikan Seks yang Porno


Dari jaman Neolitikum sampai Millenium, di negeri ini belum punya konsep yang pas bagaimana baiknya konten buku pendidikan seks untuk anak.

Buku "Aku Berani Tidur Sendiri" yang baru saja diluncurkan oleh penerbit TS pun kandas di tengah jalan. Padahal dalam proses pembuatannya sudah konsultasi pada dokter dan psikolog. Tapi tetap saja, masyarakat masih ndlahom bin plonga plongo pola pikirnya.

Dulu di tahun 1989 juga ada buku pendidikan seks untuk anak  judulnya"Adik Baru". Buku ini nasibnya nggak jauh beda dengan "Aku Berani Tidur Sendiri" (ABTS), sama-sama lengser keprabon.

Buku ABTS seolah-olah porno karena dibaca sepenggal. Penggalan tadi di blow up di medsos. Gegerlah  dunia perkentuan. Apalagi pola pikir masyarakat kita masih kolot, sempit, kagetan, nggak paham konteks dan sering keseleo otak alias berpikir tidak pada koordinat yang pas. Walhasil buku ABTS pun harus balik kucing, ditarik dari peredaran.

Membaca buku pendidikan seks itu harus dibaca dari awal sampai akhir. Jangan kayak nonton film bokep, dilihat hanya pas adegan tumpak-tumpakan tok.

Buku pendidikan seks beda dengan majalah porno. Namanya juga pendidikan seks, yang dibahas pastilah seputar kelamin, perilaku seksual, pengendalian diri dan resiko dari perilaku seksual yang menyimpang. Tentu saja diksi disesuaikan dengan segment pembacanya. Jika cuman bicara seks dan mengeksploitasi bodi wanita atau pria telanjang, itu majalah porno.

Ibarat seorang Ustadz,  nggak cuma bercerita soal indahnya surga, tapi juga ngerinya siksa neraka.  Sebaliknya jangan cuma ngajak berbuat baik, tapi kasih tahu nikmat dan manfaatnya berbuat baik.

Bagiku konyol kalau buku itu dilarang, mengingat buku itu sudah dikonsultasikan ke dokter dan psikolog, pihak yang berkompeten di bidangnya. Pelajaran Agama dan Biologi memang ada bahasan soal seks. Tapi tidak semua dibahas oleh guru, karena keterbatasan waktu dan keterbatasan ilmu si guru. Ada beberapa aspek yang tidak mampu dibahas oleh guru-guru tadi.

Susah kalau berhadapan dengan manusia kolot plus nggak paham konteks. Dulu Ibnu Sina (seorang pakar kedokteran muslim) dimusyrik-musyrikan ketika mempelajari anatomi wanita. Beliau dianggap mengeksploitasi tubuh wanita yang bukan muhrimnya.

Towengwengwengggg.

Ya'opo se rek, mempelajari ilmu kedokteran ya memang begitu, wajib tahu detail anatomi manusia. Konyolnya, mereka memusyrik-musyrikan Ibnu Sina, tapi ngamuk saat ilmunya diklaim oleh ilmuwan Barat. Sudah kolot, goblok pula.

Di zaman sekarang pun kebodohan seperti itu masih banyak terjadi. Ketika seorang wanita hamil, suaminya tidak mau kalau dokter yang memeriksa kandungan atau membantu kelahiran istrinya seorang pria. Dipikire doktere ngaceng nonton 'gua garba' bojone. Padahal banyak wanita yang saat akan melahirkan belum sempat mandi. Howeeek, ambune, gilo rek!

Kalau nggak bermental baja, dokter kandungan bisa stress karena tekanan batin. Saking seringnya nonton vagina wanita, bisa jadi membuatnya kurang greng saat lihat punya istrinya.

Sekarang dunia kedokteran sudah sangat modern. Nggak cuma pria yang jadi dokter, wanita pun banyak.  Jadi jangan heran kalau ada dokter wanita (berjilbab pula) yang mengautopsi mayat. Nggak cuman mengautopsi mayat wanita, tapi juga pria. Tentu saja mayat yang diautopsi telanjang bulat, ketok peline gondal gandul.

Buku panduan menyusui bagi ibu muda pun digambarkan dengan vulgar, gambar susu beserta pentilnya. Dan itu bukan pornografi. Kalau menurutmu porno, itu karena pikiranmu tidak pada koordinat yang pas.

Seorang mahasiswa senirupa jurusan nggambar pun dituntut tahu anatomi luar manusia. Karena untuk menggambar gesture tubuh, harus paham dulu anatomi. Maka jangan kaget kalau mahasiswa seni rupa murni modelnya wanita telanjang saat kuliah gambar. Dan itu bukan urusan seks. Pikiranmu kentu tok ae.

Jadi, Jangan gegabah menilai dulu sebelum jelas persoalannya. Sebelum menvonis vulgar atau porno, dipahami, ditelusuri dulu, untuk kepentingan apa suatu produk dibuat. Karena untuk tujuan ilmu pengetahuan, mempelajari seks atau organ tubuh manusia bukanlah pornografi. Dan itu bukan sekulerisme.

Jadi ingat Tuan Guru (Kyai) di Bima yang memperbolehkan santrinya berinternet di jam-jam tertentu, agar santrinya mengenal dunia luas. Banyak kalangan (kolot) yang memprotesnya, mereka takut santrinya akan mengakses situs porno.

Tentu saja Tuan Guru tidak menanggapi pemikiran kolot itu, beliau cuma bilang, "Kalau anda berpikir seperti itu, berarti anda juga begitu!" Artinya, omongan seseorang itu menunjukan dirinya. Jadi mereka yang nggak setuju santri berinternet itu sebenarnya mengakses situs porno saat berinternet.

Itu lah yang terjadi pada kebanyakan kita, lebih takut dampaknya daripada manfaatnya. Lebih fokus pada kemungkinan terburuk daripada berprasangka baik. Akhirnya awet goblok (koyok aku).

Kalau cara berpikir kita masih keseleo dan sukanya berprasangka buruk, nanti jadi kayak cerita Abu Nawas di bawah ini.

Suatu hari Abu Nawas ditangkap dan selanjutnya diadili. Di persidangan Abu Nawas bingung, karena merasa tidak melakukan tindakan kriminal.
Abu Nawas : "Pak Hakim, kenapa saya ditangkap?"
Hakim : "Karena kamu bawa parang kemana-mana, dikuatirkan bisa membunuh orang."
Abu Nawas : "Kalau begitu bapak Hakim juga saya tangkap!"
Hakim : "Memangnya saya salah apa??"
Abu Nawas : "Karena pak Hakim bawa kemaluan kemana-mana, dikhawatirkan bisa memperkosa wanita."
Hakim : "Cangkemmu!!!"

****
Masyarakat kita memang suka nggaya, seolah-olah alim. Buku pendidikan seks dikatain cabul, padahal kalau internetan diam-diam mampir ke situs porno. Bergaya malaikat tapi diam-diam jadi iblis.

Buku Pendidikan Seks Untuk Anak bisa penting bisa tidak. Itu tergantung pada kecerdasan masing-masing orang. Tapi yang jelas, nggak ada orang tua yang bisa jujur menjawab pertanyaan anak seputar seks. Saat anak bertanya asal asul dirinya, jawaban ortu pasti ngawur, "Mbiyen awakmu metu tekan kene lho le..(sambil menunjuk ketiak)."

Dan buku ABTS dibuat untuk mengatasi kesulitan menjawab pertanyaan semacam itu. Disamping juga mengajarkan anak untuk berani tidur sendiri, menjelaskan kepada anak tentang pentingnya melindungi diri dari orang yang berniat jahat. Membekali anak bagaimana cara melindungi diri dari ancaman penyakit dan kejahatan seksual.

Sayangnya masyarakat kita lebih menangkap aspek pornonya daripada aspek pendidikannya.

Tapi, tiap keluarga punya cara yang berbeda dalam menangani hal semacam itu dan tiap anak mempunyai karakter dan masalah yang berbeda pula. Kalau anda tidak membutuhkan buku itu atau kalau menurut anda itu porno, ya jangan beli bukunya. Apalagi sampai memposting sepenggal dan memprovokasi orang lain untuk ikutan nge-judge porno. Malah ketok ndesomu.

Gitu aja kok repot!

Jadi kesimpulannya, bukan buku pendidikan seksnya yang porno tapi cara anda memperlakukan buku tersebutlah yang membuat buku itu jadi porno. Juga jangan membaca informasi hanya sepenggal, harus utuh. Dan yang penting buka pikiran, luaskan pergaulan, biar nggak kolot, ndeso! Bagiku itu cuman masalah sepele yang dibesar-besarkan, paling juga soal persaingan dagang, wis tauuu.

(c) Robbi Gandamana, 28 Februari 2017

*Sori saya tidak dibayar untuk menulis ini dan saya tidak ada hubungan apa pun dengan penerbit TS.

Jumat, 24 Februari 2017

Nggak Gemblung Nggak Rame

istimewa
Sori ya, saya nulis ini nggak ada urusan dengan Ahok, Ahong, Basuki, Basoka, Anies, Anus, nggak kabeh.  Saya bukan Ahoker apalagi Anieser (Anies who? no thanks!). Nulis ya nulis aja. 

Tulisan ini adalah refleksi dari ke-lebay-an oknum rakyat negeri ini bla bla bla bla bla...Ya sudah, langsung saja...crewet!

Saya nggak paham dengan kelakuan muslim sekarang ini. Kelihatannya paham Al Qur'an, tapi kok gampang banget nuding orang 'munafik!', 'kafir!'. Pokoknya orang lain harus sepaham dengan dia, kalau tidak, bakalan dituding, "PKI kafir!".

Sudah PKI, kafir pula...pusing pala babi. *_*

Cap kafir, munafik pada seseorang itu hak prerogatif Tuhan. Memang ada ayat yang menjelaskan ciri-ciri orang kafir dan munafik, tapi itu buat pemahaman dan bekal kita dalam beragama. Nggak usah dituding-tudingkan ke orang lain. Kata pun ada 'aurat'nya juga. Kalau itu menyakitkan orang, jangan diucapkan. Agama mana pun melarang menyakiti hati manusia.

Tiap muslim punya ulama panutan. Dan tiap ulama berbeda dalam menafsirkan ayat, termasuk Surat Al Maidah 51. Ini soal madzhab. Terserah masing-masing umat untuk menentukan pilihan ulama dan madzhabnya. Dan itu tidak bisa disebut munafik atau kafir.

Jadi, kalau ada kyai atau ulama yang membolehkan memilih gubernur non muslim, ojok ngamuk, dipertanyakan keIslamannya, apalagi dicap munafik. Gayamu koyok Tuhan ae. Letak keIslaman seseorang itu ada di dalam hati, bukan di tampilan fisik luar. Gak koyok raimu, shalat Dhuha diketok-ketokno. Alim ni yeeee.

Anak kemarin sore menanyakan keIslaman seorang Kyai, oalaaa. Boleh-boleh saja mengkritisi kebijakan Ulama, tapi yo ojok nemen-nemen. Opo maneh menyebut mereka 'munafikun!'. Kualat gak iso ngaceng koen!

Gara-gara pilihan gubernur nggak sama, terus dituding munafik, kafir, Anti Islam. Padahal ada madzhab yang beda dalam menafsirkan Al Maidah 51 (kata 'aulia' ). Kalau ada yang meyakini Pilgub itu milih petinggi administrasi, bukan imam agama..ya jangan dibilang munafik. Itu namanya sombong dengan madzhabmu, aliranmu, sektemu.

Sebaliknya, kalau menurutmu haram hukumnya memilih gubernur non muslim, maka jangan memilih Lurah Kristen, ketua RW Katolik, ketua RT Kejawen, dan seterusnya. Kalau nggak begitu berarti nggak konsisten. Dan itu bisa disebut munafik.

Rasakno melbu neroko, gosong, kapok koen...salahe, sopo sing ngejak gemblung disik.

Saya tidak sedang membela Basuki atau siapa saja. Tapi aku gak percoyo blas Basuki menistakan ayat suci, karena doi tidak segoblok itu. Pemimpin Kristen berada di tengah-tengah rakyat Kepulauan Seribu yang mayoritas Islam, pastilah goblok bin stress kalau menjelek-njelekan kitab sucinya orang Islam.

Ibarat seorang Dangduter di tengah-tengah gerombolan Anak Metal, terus si Dangduter teriak : "Musik Metal taek!". Pastilah si Dangduter jadi sansak hidup, dikaploki mubeng karo arek \m/.

Mungkin si Dangduter lelah...Aqua mana Aqua.

Sekarang jangan kaget kalau perolehan suara Basuki di Kepulauan Seribu tinggi alias menang. Orang sana tahu bahwa Basuki memang bicara fakta, tidak menjelek-njelekan agama. Karena ada politikus yang menggunakan Al Maidah sebagai alat untuk meraup suara dengan membodohi para taqlid buta .

Kata jangan hanya dinilai dari saat kata diucapkan, tapi pahami nuansa dan peristiwa saat kata terucap.
Karena opini publik sudah terlanjur terbentuk kalau Basuki adalah penista agama, maka Hakim pun harus mendakwanya sebagai Penista Agama. Kalau tidak, bisa merusak karier si Hakim dan atau institusinya. Kalau berhadapan dengan publik, siapa yang berani.

Oala Bas Bass raimu kok apes temen seee..

Menjatuhkan Basuki dengan isu agama maupun Sara, itu nggak asyik, kurang nendang, terlalu menyolok. Sebenarnya ada beberapa hal yang bisa membuat Basuki harus pulang ke Belitung, tapi nggak saya omongkan di sini..kapan-kapan ae.

Urusan kepemimpinan di negeri ini tak jauh dari soal dagang. Ada sebuah grand-design politik besar dibalik semua itu. Tahu nggak, siapa Taipan, Pemodal dan Cukong dibalik Cagub-Cagub itu? nggak tahu khan?....Podo, aku yo gak eruh.

Statementku dari dulu tetap sama jika menyangkut soal kepemimpinan di negeri ini : "I don't want to be a part of this sick society!!"

Pesanku pada kalian wahai generasi muda, anak terlantar dan kaum duafa : Jangan gampang disetir, gampang digiring oleh kelompok-kelompok yang mengatasnamakan Islam. Kayak kerbau yang hidungnya diikat tali, pasrah diseret kemana-mana.

Ingat, ada 'Wedus Besar' dibalik itu semua. Kalian cuman jadi alat mereka untuk memuluskan jalan menuju nafsu kekuasaan.

Oh yesssss..Oh Noooo..Oh maigottt.

Jangan terlalu lama beronani. Negara Khilafah itu Utopia, sulit diterapkan di negeri yang beragam agama dan budayanya. Kenali dirimu, budayamu, leluhurmu, bangsamu, maka kau akan mengenal Tuhanmu.

Jangan gampang percaya dengan isapan jempol Ormas yang katanya membela agama itu. Suriah luluh lantak salah satunya karena ulah kaum yang mabuk agama. Itu kelemahan orang yang terlalu fanatik pada agama, sekte atau madzhab. Fanatik itu pada Nabi dan Tuhanmu, jangan pada Sekte, Madzhab, Ulama, Cagub, apalagi Club Bola.

Alat cuci otak yang ampuh itu adalah agama. Jika menyangkut sekte, mereka akan membela mati-matian. Dan Amrik melihat titik lemah itu. Dengan hasutan kecil, provokasi, propaganda, terjadilah konflik. Maka remuklah para kelompok fanatik itu diadudomba. Negara pun hancur. Selanjutnya seperti biasa Amrik datang atas nama polisi dunia ikut campur tangan, padahal ngincer minyaknya. Wis tauu..

Be careful who you choose to believe!

Ngakunya Ormas Pembela Tuhan yang Anti Amrik, eh lha kok petingginya pengacaranya Freeprottt. Wadawww, gak masuk blasss. Dasar Ormas 'Pentung Sakti', nggak ada uang jadi lawan, ada uang jadi kawan. Tapi aku gak mau menyebut doi sebagai munafik. Biar Tuhan saja yang memberi gelar-gelar seperti itu.

Jadi, kalau ada yang ngajak demo dan bilang "ini demi Islam", ojok percoyo!!! Nggak ada yang namanya 'Ahok Vs. Islam' atau 'Ahok Vs. NU', yang ada adalah 'Ahok Vs. Sebuah Kelompok Islam'. Konyolnya, hanya karena ada label Islamnya, banyak muslim yang merasa terpanggil, jihad. Dibela-belain jalan kaki ke Monas. Telapak kaki melepuh, bodi meriang : "Diakali wong Arab!"

Towengwengwengwengggggggg.

Wis gak ngurus rek, silakan lestarikan kegemblungan ini, karena kalau nggak gemblung nggak rame!
Hidup gemblung!

(c) Robbi Gandamana, 23 Februari 2017

Arab Masuk Desa


Ada sebuah status nggak cerdas di wall temannya teman saya---> "Nggak apa-apa aku terlihat keArab-Araban, daripada terlihat keliberal-liberalan....#Islam asli."
Oalaa, dipikirnya Islam yang asli itu yang bergamis, berserban dan bercingkrang, pokoknya busana Arab lah. Padahal sebelum Muhammad SAW diangkat jadi Rasul, orang Arab ya seperti itu.
Islam asli itu tidak di penampilannya, tapi di akhlaknya. Bahasa Arab bukan Islam yang sebenarnya. Bahasa itu cuman alat untuk menghantarkan Islam, bukan Islam itu sendiri. Karena kebetulan Islam diturunkan di Arab, maka Al Qur'an pakai bahasa Arab. Kalau diturunkan di Jawa, pasti pakai bahasa Jawa.
Jadi, jangan percaya kalau bahasa Arab adalah bahasa surga. Tuhan tidak rasis!
Nabi diturunkan di Arab bukan karena bangsa Arab lebih hebat dari bangsa lain, tapi karena saat itu akhlak bangsa Arab benjut jaya, jahiliyah parah. Karena sejatinya Nabi diturunkan untuk meluruskan akhlak manusia.
Seseorang disebut liberal tidak serta merta bisa dilihat dari bajunya. Islam itu bisa liberal (membebaskan) pada saat tertentu, bisa juga kolot di saat tertentu juga. Yang tidak boleh itu liberalisme.
Islam itu suatu tujuan yang menyelamatkan, bukan institusi, bukan kasunyatan, bukan identitas, bukan soal kostum. Islam diturunkan di Arab, bukan diturunkan oleh orang Arab. Jadi bukan produk Arab. Islam itu bukan Muhammadisme (ajaran Muhammad), tapi ajaran Allah yang disampaikan oleh Nabi Muhammad SAW.
Rasulullah bergamis karena menghormati dan menghargai budaya Arab. Beliau orang Arab, lahir dan besar di Arab. Kalau Nabi diturunkan di Jawa, beliau pasti pakai jarik plus blangkon.
No problem kalau bergamis karena kecintaannya pada Rasul. Jadi, ingin tongkrongannya kayak Rasul. Yang jadi masalah ketika itu dijadikan syariat wajib dan sinis pada siapa pun yang tak sepaham dengan itu.
Masih banyak pesantren yang mengajarkan pada santrinya, bahwa Islam yang kaffah (total) itu yang bergamis, beserban, bercingkrang dan berjenggot. Jadi jangan kaget kalau di pelosok desa, anda temui ada orang yang meng-Arab-kan diri, padahal dia pribumi asli. Dulu ada istilah ABRI Masuk Desa, kalau sekarang Arab Masuk Desa.
"Celana di bawah mata kaki dibakar di neraka" itu hadist yang bicara soal kesombongan. Idiom bagi orang sombong di Arab di zaman itu. Saat itu kain mahal, jadi harus ngirit kain. Kalau sampai celana menutupi mata kaki itu boros dan sombong bagi orang Arab di zaman itu. Jadi ayat itu sebenarnya berbunyi : "Orang sombong dibakar di neraka."
Dan yang pasti, Tuhan tidak perduli dengan model celana. Silakan pakai celana cutbray, begi atau yang lain. Kostum itu budaya, syariatnya menutupi aurat. Pantas atau tidak pantas suatu pakaian itu tergantung kesepakatan (lingkungan), trend dan selera si pemakai.
Celana orang Nusantara jadul juga cingkrang. Disamping karena saat itu kain mahal, juga praktis dipakai untuk ke sawah, ngarit, angon wedus dan menggarap ladang. Jadi bagi saya celana cingkrang itu mubah. Karena itu bukan syariat. Syariatnya menutupi aurat dan bersih dari najis.
Ayat suci jangan cuman dibaca dan dihapal. Pahami dimana, bagaimana dan alasan ayat itu turun. Jangan berhenti pada teks, tapi carilah ada apa dibalik teks.
Busana atau kain itu tidak ada agamanya. Terserah pakai pakaian model apa, asal sesuai syariat, melindungi badan, nyaman dipakai, bersih (suci dari najis) dan pantas dipandang .
Jadi, konyol kalau busana jins dianggap busana kafir. Padahal jins Itu fashion abad masa kini, sedangkan gamis itu fashion abad 7 masehi. Hidup tidak berjalan mundur. Teknologi terus berkembang. Jangan terjebak masa lalu. Tidak ada larangannya menggunakan produk non muslim (kafir, kata mereka) selama itu baik dan bermanfaat.
Kalau alasan penolakan jins karena itu menyerupai suatu kaum (kafir), lalu bagaimana dengan kostum Rasul yang sama dengan Abu Lahab (kafir). Mereka juga sama-sama berjenggot. Kulitnya pun sama-sama putih kemerah-merahan. Cuman gamis Abu Lahab lebih kinclong dibandingkan punya Rasul dan Abu Lahab suka nuding-nuding orang serta main fitnah.
---Berarti yang gamisnya lebih kinclong dan suka menuding-nuding orang, itu lebih mirip siapa????---
Jadi nggak usah gegabah menyimpulkan, berpikir sempit dan sepenggal. Harus dipahami sejarahnya, konteksnya, asal-usul turunnya ayat, dan banyak lagi, mumet! Itu urusannya ahli tafsir. Bisa kita cuman mencari manfaat dari pergaulan kita dengan kitab suci. Yang penting setelah membaca kitab suci, kita jadi lebih beriman, lebih baik jadi manusia. Soal paham atau enggak, itu urusan ke sekian.
Rajin membaca kitab suci tapi malah jadi suka memusuhi dan menuding-nuding "kafir!" orang lain, berarti gagal dalam memahami agama.
****
Banyak orang yang lari dari dirinya, nggak menerima diri apa adanya, inferior, merasa nggak yakin dengan dirinya. Ingin jadi seperti bintang Korea, ingin jadi seperti Kurt Cobain, Superman, Gundala, Gogon.
Karena itu lah saya nggak mau jadi seperti Nabi. Disamping nggak mau inferior, itu juga mengingkari jati diri. Tuhan sengaja membuat manusia berbeda-beda suku, ras dan agama. Kalau dilahirkan di Jawa, berarti diperintah jadi orang Jawa. Jadi, jadilah orang jawa, lapo dadi wong Arab.
Menurutku, kalau kita meniru Nabi (secara budaya), Itu adalah pengkhianatan pada jati diri, karena kita diperintah jadi orang Nusantara. Nabi tidak ingin kita mengikuti model pakaiannya, tapi diperintah meniru akhlaknya.
Rasulullah itu manusia jenis berlian, sedang kita cuman kerikil. Paling banter yo akik, itu pun belum dipoles. Kita paling hanya bisa meniru seperempat persen dari apa yang dicontohkan Rasul. Nggak ada yang bisa meniru Rasul walau cuma lima puluh persen. Kita bisanya hanya meniru Rasul sebisa-bisanya.
Coba saja kalau kita meniru cara dagangnya Rasul yang super jujur : "Saya kulakannya segini, silakan anda ngasih laba berapa." Bisa remuk jaya kita dikadali pembeli kalau pakai cara dagang seperti itu. Poligaminya Rasul pun berbeda dengan poligami umatnya. Nabi berpoligami karena alasan sosial, sedangkan kita berpoligami karena alasan biologis, ngacengan!
Meneladani Rasul itu harus, tapi kalau ngefan jangan. Ngefan itu cinta buta. Seseorang yang ngefan akan melakukan apa pun agar persis seperti pujaannya, walaupun itu tidak ada syariatnya. Rasul menyukai kucing, ikut-ikutan suka kucing. Rasul suka warna hijau, ikut-ikutan suka warna hijau. Rasul nggak suka gambar (makhluk bernyawa), ikutan benci gambar. Akhirnya nggak jadi diri sendiri, gagal identitas.
Ada memang beberapa hadits yang menyinggung pelarangan menggambar mahkluk bernyawa. Yang menyebutkan bahwa siksaan yang paling pedih di neraka adalah tukang gambar. Di neraka mereka dipaksa meniupkan ruh pada karya gambarnya.
Tuhan itu Maha Perupa dan manusia adalah pengenjawantahan dari diri Tuhan, kok manusia tidak boleh menggambar. Menggambar atau melukis itu bukan untuk menandingi Tuhan, tapi itu salah satu bentuk ekpresi atas kekaguman manusia pada keindahan ciptaan Tuhan. Dengan kata lain menggambar itu cuman kendaraan. Bisa jadi sarana menambah kecintaan kita pada Allah atau malah melupakanNya.
Jadi bukan menggambarnya yang dilarang, tapi apa dan untuk apa kita menggambar. Semua tergantung niat, konsep dan tujuannya.
Oke, kembali ke soal kostum.
Kalau jadi Jawa seutuhnya bukan berarti terus harus pakai jarik dan blangkon. Yo gak ngono rek. Tiap generasi punya trend fashionnya sendiri. Pakaian adat hanya cocok dipakai saat ritual atau event budaya. Kalau saya yang seorang buruh pabrik ini pakai jarik, ya salah kostum. Bagi saya busana seperti itu nggak nyaman untuk kerja.
Ini jangan diartikan saya anti Arab. Aku nggak anti Arab atau anti gamis. ­ Jangan suka gegabah menyimpulkan. Repot kalau nggak suka gamis dicap anti Arab. Mengkritisi ulama dicap anti Islam. Membela non muslim dituduh memusuhi Islam, padahal membela manusianya, bukan agamanya.
Saya tidak sedang menghina budaya Arab atau menyuruh orang untuk tidak pakai gamis. Bukan itu poinnya. Hakmu untuk menentukan kostum apa yang kamu suka.Tapi, mari belajar cerdas menguraikan, mana budaya, mana agama, mana Arab, mana Islam.
Sunan Kalijaga adalah contoh terbaik ulama yang meneladani Rasul. Beliau memakai busana asli Jawa seperti Rasul yang memakai busana asli Arab (gamis). Rasul bergamis karena cinta pada budaya asli negerinya. Baju gamis bukanlah sebuah syariat atau perintah Allah, tapi budaya Arab.
Intinya, Jangan ingkari jati dirimu, kalau jadi orang Nusantara jangan jadi Arab atau Barat. Tuhan menciptakan dirimu adalah dirimu, bukan orang lain. Kalau orang Jawa tapi jadi Arab atau Barat, itu adalah bentuk 'pengkhianatan' terhadap jati diri. Kalau ditakdirkan jadi ayam, jangan jadi bebek.
Wis ah, matur nuwun.
(c) Robbi Gandamana, 21 Februari 2017

Minggu, 12 Februari 2017

Hanya Tuhan yang Pantas Memberi Gelar 'Kafir' pada Manusia


Tulisannya ini masih ada hubungan dengan tulisan saya yang kemarin, lihat di sini. Tapi kalau anda males baca tulisan sebelumnya, no problem, nggak penting kok. Langsung yang ini saja...
****
'Kafir' adalah kata yang populer akhir-akhir ini. Begitu entengnya kata itu terucap dari cangkem yang mengaku muslim, bahkan ngeklaim sebagai pembela Islam. Siapa pun yang tidak sejalan ideologi atau dengan pilihan Cagubnya akan diteriaki "Kafir!", "Munafik!"
Muslim itu menentramkan, kalau membuat sakit hati orang, berarti dia gagal jadi seorang muslim, muslim gagal.
Pembela Islam itu juga aneh, seolah-olah Islam itu lemah sehingga butuh dibela. Kalau kamu menjadi muslim, beragama Islam, maka Allah lah yang akan menyelamatkanmu, bukan kamu yang menyelamatkan Islam. Jadi, jangan ge er kamu membela Islam.
Seringnya kata 'kafir' dipakai untuk sebutan bagi non muslim. Sekarang, banyak anak kecil yang memahami kafir itu adalah non muslim. Parahnya ada meyakini kalau non muslim itu halal darahnya (boleh dibunuh), karena dianggap kafir. Gemblung!
Kalau non muslim itu kafir, berarti semua umat manusia sebelum Nabi Muhammad adalah kafir dong??
Agama Islam sendiri lahir setelah Nabi Muhammad diangkat sebagai Rasul (umur 40 tahun). Jadi sebelum itu semua manusia tidak ada yang beragama Islam. Bahkan Orang tua Rasul pun otomatis tidak beragama Islam (Rasulullah yatim piatu sejak kecil). Terus apakah ortunya Rasulullah kafir? Tentu saja tidak.
Kemarin sempat ada yang tidak terima karena saya menyebut ortunya Rasulullah tidak beragama Islam (muslim). Lha wong jelas agama Islam itu ada setelah Nabi Muhammad diangkat jadi Rasul kok. Sebelum itu belum ada agama Islam. Ya'opo se rek, logika sederhana seperti itu saja nggak mampu.
Rasul sendiri diperintah untuk mengajak pada kebaikan, tidak melaknat keburukan. Karena beliau menyadari bahwa kejahatan memang dihakikatkan ada. Harus ada negatif sebagai penyeimbang positif. Kalau kehidupan ini isinya orang berbuat baik saja, Tuhan tidak bisa menjalankan sifat yang disandangnya : Maha Pengampun.
Maka, Tuhan menciptakan Iblis.
Iblis adalah mantan malaikat senior yang paling cerdas. Dia ditugaskan jadi sparing partner-nya manusia dalam melatih iman. Dengan bantuan iblis, Tuhan bisa tahu mana manusia yang imannya joss gandoss dan mana yang ancur minah.
Karena memang cerdas, perkataan Iblis sudah terbukti kebenarannya : manusia itu kerjaannya merusak bumi dan bunuh membunuh antar manusia.
Hanya iblis yang mau dijadikan tokoh antagonis. Jadi sebenarnya Iblis mahkluk yang 'taqwa'. Dia rela jadi ikon keburukan dan rela dikutuk-kutuk oleh manusia. Jadi penyeimbang kehidupan, karena sebelum ada iblis kehidupan ini isinya cuman positif. Maka harus ada negartif.
Iblis bukan musuhnya Tuhan, tapi musuhnya manusia. Iblis tidak punya pilihan, pilihannya hanya berbuat buruk, lucu kalau Iblis tobat jadi alim.
Jadi sebenarnnya tidak bisa orang bilang, "Si Anu tuntas tass memberantas pelacuran." Woiiii. sampai kiamat pun perlontean tidak akan pernah tuntasss. Lokalisasi memang sudah lenyap, tapi PSK-nya terus bergerilya di bawah tanah atau lewat dunia maya. Selalu ada cara dan jalan, nggak akan pernah tuntas. (pernah baca buku "Jakarta Under Cover" nggak?").
Perangi saja kemaskyiatan sekuat dan semampumu, masalah tuntas atau tidak nggak masalah. Yang penting kita sudah berusaha. Yang dinilai Tuhan itu usahanya, bukan hasilnya. Kalau belum bisa memerangi kemaksyiatan, minimal tidak ikut menambah kemungkaran. Dan yang terpenting jangan pernah bermain sebagai Tuhan, menuding orang sebagai kafir.
Sekarang malah nggak cukup 'Kafir' saja, tapi ada tambahan 'PKI'nya, "PKI kafir!". Dipikirnya kalau PKI itu pasti kafir. Padahal komunis bukan berarti ateis. Ateis pun tidak berarti kafir. Ateis tidak mengakui Tuhan, kafir mengakui Tuhan tapi diingkari.
Jangan kaget kalau ada petinggi PKI yang jebolan pondok pesantren, bahkan anak Kyai. Karena komunisme (awalnya Sosialisme) datang untuk melawan kapitalisme. Melawan kaum borjuis, pemodal, pengusaha (kapitalis) yang menindas kaum buruh.
--Komunisme : paham yang menolak kepemilikan pribadi, semua milik bersama.---
Jadi sebenarnya Islam itu lebih dekat dengan komunisme daripada kapitalisme. Maka no problem kalau komunisme jadi ideologi pribadi. Yang dilarang itu partai politik yang berideologi komunisme (PKI), bukan komunisme-nya. Tapi saya yakin PKI tidak akan bangkit lagi, karena Pancasila sudah terbukti sakti!
Kalau ada yang mengatakan bahwa PKI bakal bangkit lagi itu ilusi, Paranoid! Ideologi ini sudah nggak laku lagi dijual.
Setiap gerakan yang menggulingkan pemerintah pasti lah akan membunuh jika dihalangi. Begitu pula dengan PKI, DI/TII atau yang lain. Jadi bukan karena komunismenya. Karena sebenarnya semua ideologi itu damai. Yang jelas PKI dan DI/TII itu sama-sama bahayanya.
Kembali ke soal kafir.
Kata 'kafir' jadi sangat populer sejak Pilpres kemarin, dimana Jokowi yang nyapres terpaksa menyerahkan jabatannya pada walikota non muslim, FX Rudy di Solo dan gubernur Basuki di Jakarta. Akibatnya kaum pengapling surga murka karena menolak pemimpin non muslim. Akhirnya menuduh Jokowi anteknya kafir dan sempat diisukan keturunan PKI.
Kata 'kafir' bagi saya itu kasar banget, dua puluh kali lipat lebih kasar dari 'jancok'. Karena kafir itu serendah-rendahnya manusia. Yang membuat 'jancok' lebih kasar itu karena doktrin orang tua yang tertanam di pikiran kita sejak kecil dan kesepakatan moral yang ada di lingkungan kita.
Sekarang para pengapling surga dan simpatisannya berusaha mati-matian untuk menjegal Basuki dengan segala cara, Basuki harus ditendang! Hanya karena bukan seorang muslim.
Padahal jelas Pilkada itu memilih gubernur bukan imam atau pemimpin agama. Ibarat sebuah bengkel motor, Jakarta butuh mekanik bukan tukang ngaji. Maka pilihlah yang mampu, cakap membenahi bukan cuma cakap menghafal ayat dan dalil ayat suci.
Jadi, mari kita dewasakan diri. Hargai perbedaan (pilihan). Jangan pernah melaknat orang lain dengan sebutan kafir, munafik, dajjal, laknatulloh, jahannam, karena itu menyakiti hati manusia. Biar Tuhan saja yang memberi gelar-gelar itu.
Wis ah.

Rabu, 08 Februari 2017

Banyak Orang Sukses jadi Ksatria tapi Gagal Total jadi Brahmana.


Jadi begini,
Ada status menarik dari seorang teman di fesbuk : "Orang yang suka memfitnah mempunyai syetan di atas lidahnya dan orang yang mendengarkan fitnah mempunyai syetan di atas kupingnya."
Dari status di atas, pikiran saya langsung nyambung ke postingan skandal 'oh yes oh no' Habib Rizieq dengan Firza Husein tempo hari. Semoga syetan tidak sedang rileks nongkrong di mata dan telinga kita.
Karena postingan adegan tak senonoh itu, buanyak haters Habib Rizieq yang lupa diri. Serasa menemukan sebongkah akik bacan, mereka berpesta pora menyambut nasib sial yang menimpa Habib.
Postingan tadi disebut fitnah karena belum terbukti secara sah dan meyakinkan. Walau kelihatannya ada kecocokan obyek yang ada di foto dengan barang bukti milik tertuduh. Seandainya benar Habib Rizieq tumpak-tumpakan sama Firza, itu pun nggak etis kalau rekamannya disebarluaskan di medsos.
Jangan salah, saya bukan umatnya Habib Rizieq, bukan pula lovernya. Bisa jadi saya haternya, karena tidak setuju atau menolak cara dakwah Habib Rizieq. Tapi saya tidak mau ikutan konyol bersorak-sorai atas skandal yang menimpa dia. Itu bukan gayaku.
Kalau anda tahu nilai-nilai luhur Jawa, pasti tak asing dengan ungkapan "menang tanpo ngasorake", yang artinya menang tanpa merendahkan atau mempermalukan. Itu yang saya coba terapkan dalam hidup saya, walau masih belum sepenuhnya, minimal ada usaha lah. (asline aku yo tas ngerti, ojok ngomong sopo-sopo yo).
Sifat manusia pada umumnya, bersorak girang bila rivalnya menderita atau tertimpa musibah. Kita akan sedih jika sahabat kita gagal, tapi lebih sedih lagi kalau ternyata sahabat tadi jauh lebih sukses dibanding kita. (T-T)
Apa yang menimpa Habib Rizieq dengan Firza, bisa terjadi pada siapa pun. Selama kamu bisa ngaceng, kamu bisa terjerumus ke lembah perlendiran. Jadi jangan keluar jalur, mengkritisi boleh-boleh saja (bahkan perlu) asal tidak berlebihan. Ingat, hukum karma itu ada. Bisa jadi keadaan berbalik, kamu difitnah, foto bugilmu saat mesum jadi viral di Medsos, pelimu ketok jelas gondal gandul.
Bisa jadi Habib Rizieq terkena karma karena kelakuannya selama ini. Islam Nusantara dibilang Anus, Aliran Nusantara. Menyindir Soekarno : "Pancasila Soekarno ketuhanan ada di pantat!". Itu semua diucapkan dengan serius, bukan guyonan. Ucapan ulama kok begitu. (*__*)
Dan sekarang, si Habib kesandung kasus main perempuan yang bisa merusak karier itu. Dan anda bersorak sorai, membalasnya dengan melaknat dia. Woii, kalau kamu terus-terusan menuding-nuding dan melaknat perbuatan Habib Rizieq terus apa bedanya kamu dengan Habib Rizieq??
"Aku diperintah untuk mengajak pada kebaikan, bukan melaknat keburukan," jawab Rasul saat malaikat Jibril bertanya, kenapa tidak minta Allah menghancurkan kaum Qurais yang melempari Rasul dengan batu saat mereka diajak ke jalan yang benar.
Rasulullah menyadari bahwa kejahatan memang dihakikatkan ada. Koruptor, lonte, pembunuh, rentenir dan bajingan yang lain, secara hakikat memang diadakan untuk penyeimbang kehidupan. Kalau kehidupan ini cuman positif saja, ya nggak imbang. Harus ada negatif.
Kalau kehidupan di dunia ini isinya cuman orang baik ya wagu. Itu lah kenapa Tuhan menciptakan tokoh antagonis---> Iblis. Jadi saat itu Tuhan menciptakan semacam sinetron kehidupan yang kira-kira judulnya "Kiamat Masih Jauh" (kalau sekarang episodenya "Kiamat Sudah Dekat").
Jadi, tidak usah melaknat kesalahan atau keburukan orang lain. Cintailah mereka dengan cara menghukumnya dengan benar. Kalau memang Habib Rizieq terbukti sah dan meyakinkan telah berbuat tak senonoh, silakan dihukum seberat-beratnya sesuai hukum yang berlaku di negeri ini, hukum yuridis maupun hukuman moral.
Tugas manusia cuman mengingatkan dan mengajak pada kebaikan, tidak memaksa dan melaknat kesalahannya. Kalau ada orang yang mengaku pengikut Rasulullah tapi sukanya mengkafir-kafirkan orang lain, itu sama saja dengan kafir.
Kafir itu definisi singkatnya adalah orang yang menutupi kebenaran (Kafir = cover = menutupi). Jadi non muslim tidak otomatis kafir. Hanya mereka yang memusuhi Islam. Bahkan ateis pun tidak otomatis kafir, karena ateis tidak percaya Tuhan, sedangkan kafir percaya Tuhan tapi diingkari.
Kembali ke soal skandal.
Kalau orang senang melihat nasib sial orang yang dibencinya, itu berarti hatinya belum selesai. Kalau kamu sumringah dengan skandal yang menimpa rivalmu, si Habib Rizieq (apalagi berharap ada episode selanjutnya dari Anonymous) itu menandakan anda belum berdamai dengan hatimu. Banyak orang sukses jadi Ksatria tapi gagal total jadi Brahmana.
Kecenderungan manusia ketika membenci seseorang, dia akan berharap orang yang dibencinya itu berbuat buruk. Akibatnya apa pun yang diperbuat oleh rivalnya selalu dipandang buruk, berbuat baik dicurigai. Ini bahaya, karena penyakit seperti ini susah disembuhkan.
Maka berdamailah dengan dirimu, nggak usah fanatik pada apa pun kecuali pada Nabi dan Tuhanmu. Kritisi apa yang memang pantas dikritik. Jangan berpesta pora merayakan nasib buruk orang.
Wis ah, sementara ini dulu...Insya Alloh bersambung.
(c) Robbi Gandamana, 9 Februari 2017

Senin, 06 Februari 2017

Naifnya Statement Naif Taufik Ismail


Sepertinya memang ada perang dahsyat di alam ghaib. Banyak pejabat, tokoh agama, tokoh budaya dan tokoh lainnya yang otaknya terkena radiasi, tiba-tiba mengeluarkan statement 'aneh'. Salah satunya adalah penyair Taufik Ismail (TI) yang tiba-tiba berstatement lagu "Bagimu Negeri" itu sesat, syirik.
TI menolak lirik "bagimu negeri jiwa raga kami" karena menurutnya itu menyekutukan Allah. Lha terus maunya diganti apa pakde? "Bagimu negeri Insya Alloh jiwa raga kami..."? Ciyus? Enelan?
Oala Pakde, kita mencintai ciptaanNya, termasuk tanah air, karena kecintaan kita pada Allah. Jadi semua kecintaan itu berada di dalam cinta kita kepada Allah.
Kalau kita pakai cara berpikirnya TI, kita nggak pernah sungguh-sungguh dalam banyak hal. Kita tidak akan kerja keras dengan segenap jiwa untuk anak, istri, diri sendiri, bangsa dan negara. Padahal Tuhan itu Maha Bekerja. Tuhan terlibat dalam setiap pekerjaan yang dilakukan hambaNya. Dan Tuhan mencintai hambanya yang bekerja keras.
Tuhan tidak menciptakan manusia kecuali hanya untuk beribadah kepadaNya. Jadi semua perbuatan baik adalah ibadah, dan itu butuh totalitas, mengerahkan jiwa dan raga. Membela negara adalah ibadah, karena itu perbuatan baik.
Maka melakukan perbuatan baik dengan segenap jiwa raga itu suatu keharusan. Tanpa perjuangan segenap jiwa raga, sepenuh hati, totalitas, negara Indonesia tidak akan pernah ada.
Statement TI tadi mirip dengan aliran kolot di Solo yang menolak menghormati bendera. Menurut mereka menghormati bendera (saat upacara bendera) itu syirik, karena pikir mereka hanya Tuhan yang pantas diperlakukan seperti itu.
Mblo, orang menghormati bendera itu bukan menghormati kainnya, tapi menghormati kesepakatan berbangsa dan bernegara yang dilambangkan dengan bendera. Seperti orang mencium batu Hajar Aswad di Ka'bah. Yang dicium bukan batunya, tapi kecintaannya pada Rasul yang pernah mencium batu itu.
"Tu watu, seandainya Nabi nggak menciummu, aku nggak akan sudi ngambung raimu, " begitu kira-kira kata Abu Bakar saat akan mencium batu Hajar Aswad.
*****
Pikiran jadi cupet jika kita serius memikirkan cara berpikirnya TI. Dulu TI pernah bikin puisi yang kurang lebih isinya menyatakan rokok adalah berhala, judulnya "Tuhan 9 Cm" (puisi lengkapnya googling saja sendiri, nggolek enake tok ae koen iku). Menurutnya rokok adalah Tuhan baru di zaman ini.
Saya bukan perokok, tapi menyebut rokok sebagai berhala itu berlebihan. Semua orang punya sesuatu yang diharapkan bisa jadi klangenan, semangat hidup, hobi, inspirator. Rokok adalah sesuatu yang bisa diharapkan untuk itu. Sama halnya dengan ngopi, wisata kuliner, dan lainnya.
Di sebut berhala kalau rokok menyebabkan orang melupakan Tuhannya, lupa ibadah. Repot kalau dikit-dikit dibilang berhala. Apakah kalau tiap hari fesbukan, terus fesbuk dianggap berhala? Yo gak ngono rek.
Ada lagi yang bilang kalau merokok itu membakar uang. Kalau begitu, ngopi itu melumerkan uang dong. Ojok gampang menyimpulkan, lihat peristiwa dan kasusnya dulu. Jika ada orang yang punya uang hanya cukup beli susu anaknya, tapi dibelikan rokok, itu tidak saja membakar uang, tapi hatinya telah terbakar karena rokok.
Merokok tidak membuat orang kaya. Tapi dengan merokok, orang mendapatkan kepuasan hati. Padahal orang yang kaya itu adalah orang yang hatinya puas. Sedangkan orang miskin adalah orang yang selalu merasa kurang, hatinya tak pernah terpuaskan.
Merokok dibilang sehat atau tidak itu tergantung dari caramu merokok dan caramu tidak merokok. Bahaya perokok pasif itu omong kosong! Kita selama ini menelan begitu saja ilmu kesehatan dari Barat, tidak meneruskan ilmu-ilmu kesehatan dari nenek moyang kita. Dipikirnya segala ilmu yang dari Barat itu pasti benar.
Saya tidak menganjurkan anda merokok, saya sendiri bukan perokok, tidak menjual rokok dan tidak sedang promosi rokok. Cuman mengajak anda menggunakan logika dengan bijak. Jangan mengamini begitu saja ilmu kesehatan impor. Bangsa Nusantara itu punya ketahanan tubuh yang berbeda dengan orang bule. Orang bule itu gen lemah.
Dulu ada istilah ' 4 Sehat 5 sempurna', tapi sekarang tidak pakai. Itu menunjukan bahwa ilmu kesehatan itu dinamis, bisa berubah suatu waktu. Jadi jangan terlalu percaya ilmu kesehatan Barat. Leluhur kita sebenarnya punya ilmu kesehatan sendiri, tapi karena kita tidak pede, akhirnya kita manut saja bualan orang Barat.
Ngomong soal rokok bakalan bisa jadi berjilid-jilid buku, mending donlot file PDF buku "Membunuh Indonesia" (konspirasi kolonialis global dalam misi penghancuran Indonesia) di sini.
Kenali dirimu, leluhurmu, bangsamu..maka kau akan mengenal Tuhanmu.
Wis ah.
(c) Robbi Gandamana, 3 Februari 2017