Kamis, 27 April 2017

Kiriman Bunga Buat Ahok Memang Aneh dan Tidak Wajar

Adanya kiriman karangan bunga, surat terbuka, surat cinta, dan petisi yang menginginkan Ahok jadi gubernur di daerah lain, menunjukan bahwa Ahok memang istimewa pakai telor. Nggak salah kalau dia dianggap sebagai aset bangsa.
Jadi, selamat buat Ahok yang telah memenangkan hati para pendukungnya di seluruh negeri. Selamat bagi mereka yang masih menjunjung tinggi Bhineka Tunggal Ika, toleransi dan akal sehat. Bukan mereka yang berpikiran sempit yang memilih Gubernur, Lurah, RW, RT atau pemimpin lainnya harus muslim. Kalau nggak milih pemimpin muslim otomatis jadi munafik, kafir, laknatulloh!
Di atas kertas Ahok mungkin keok, tapi fakta membuktikan bahwa dia lah yang paling berhasil membenahi Jakarta dibandingkan dengan para Gubernur sebelumnya. Jika sekarang dia tidak terpilih, itu bukan karena Ahok kalah hebat dengan Anies, tapi karena dia Cina dan non Muslim. Itu 2 hal yang dimainkan oleh rival Ahok dengan baik dan salah.
Isu sesat yang dihembuskan terus menerus dan massif, lama-lama akan jadi kebenaran. Orang jadi percaya dengan isu itu. Cuci otak yang paling ampuh adalah agama. Jadi hati-hati dengan politikus yang berkampanye menggunakan ayat-ayat suci, ngajak Tuhan kampanye. Maka nggak salah kalau Jokowi bilang agar soal agama dan politik dipisahkan.
Dalam sejarah Jakarta, baru di era Ahok lah Tanah Abang (dan daerah 'angker' lainnya) bisa ditertibkan. Sebelum dipimpin Ahok, Tanah Abang hampir tak tersentuh. Gubernur lama yang terkenal paling tegas pun mlempem jika diminta menertibkan Tanah Abang. Jangankan melakukan, mimpi saja nggak berani.
Jadi, jika sekarang ada yang menginginkan Ahok jadi gubernur Bali, Sumut atau daerah lain, itu wajar. Ahok pasti siap memenuhi panggilan itu. Itu kalau Ahok berpolitik niatnya mengabdikan diri untuk bangsa, bukan karena mengejar karier semata. Nggak cuman ngincer Jakarta doang, karena Jakarta adalah jalan tol menuju tahta Presiden.
Tapi jabatan yang paling efektif bagi Ahok itu Mendagri atau Ketua KPK (kayaknya nggak mungkin). Posisi tersebut sangat pas dengan karakter Ahok : keras, tegas dan tidak bisa dibeli. Di samping wilayah kerjanya seluruh Indonesia. Dan yang jelas kariernya semakin cemerlang.
Bicara soal karier, pejabat atau pemimpin rakyat sebaiknya tidak mengincar jabatan untuk tujuan karier doang. Jika berkarier di Partai politik itu karena butuh alat untuk menuju jabatan (kekuasaan). Kalau sudah jadi Gubernur, harusnya tidak punya jabatan apa pun di partai, agar lebih fokus mengabdi pada rakyat. Jangan kayak SBY dulu, sudah jadi Presiden tapi masih jadi Ketua Dewan Pembina Partai Demokrat.
Jadi politik itu cuman alat, tujuannya kekuasaan. Setelah berhasil menduduki jabatan pemerintah, integritasnya harusnya pada rakyat, bukan pada partai lagi.
Pemimpin rakyat yang baik itu di dalam dirinya penuh kepentingan rakyat dan Tuhan. Kepentingan dirinya hampir tidak ada. Dia tidak akan menyakiti rakyatnya karena Tuhannya akan marah dan tidak akan khianat pada Tuhan karena rakyatnya bisa sengsara.
Hakikatnya, pemimpin rakyat adalah pelayan rakyat, mereka dibayar rakyat untuk ngurusi negara. Jadi, rakyat itu juragannya. Kalau ada iring-iringan rombongan Presiden lewat, jangan mau minggir. Tapi jangan bilang siapa-siapa kalau saya yang nyuruh yaaa.
Di Indonesia, pada umumnya jabatan DPR, Walikota, Gubernur, Presiden atau lainnya, itu sebuah pencapaian karier. Bukan niat total pengabdian pada rakyat. Dengan menjadi pejabat negara, mereka berharap dapat keuntungan finansial, nggak cuma dapat akses kekuasaan. Pikirannya cuman bagaimana caranya setelah nggak jadi pejabat dapat laba sebesar-besarnya.
Nggak salah jika Gus Mus pernah bilang, orang yang mencalonkan diri jadi pemimpin daerah atau negara Indonesia harusnya kaya raya dulu. Kalau sudah kaya raya, nggak ngiler lagi dengan uang. Walaupun itu tidak menjamin orang untuk tidak korupsi, tapi minimal meminimalisir korupsi.
Jika soal pengabdian dan karier ini dihubungkan dengan Ahok, menurutmu Ahok jadi Gubernur itu dalam rangka pengabdian atau karier? Jawabannya mudah sekali, tergantung anda Ahoker atau Hater. Saya sendiri nggak perduli, itu urusan Ahok dengan hidupnya, selama doi bisa memenuhi janjinya saat kampanye, itu sudah bagus.
Zaman sekarang pejabat yang baik dan buruk itu abu-abu, nggak jelas. Kelihatannya baik ternyata cuman pencitraan, dalam rangka memprospek dirinya agar tetap memilih dia di Pemilu berikutnya.
Jadi kalau ada pejabat yang membangun jalan, jembatan, masjid pakai dana pribadi, itu jangan cepat diartikan dia adalah orang baik. Kita lihat niatnya dulu, lha wong dia membangun sarana tadi dalam rangka menyuap (membeli suara) warga kok. Dan saya percaya Ahok tidak seperti itu (semoga).
Ahok adalah Gubernur paling istimewa jika dibandingkan gubernur-gubernur sebelumnya. Nggak salah kalau banyak kalangan yang merasa kehilangan saat Ahok tidak terpilih lagi. Seribu karangan bunga simpati pun membanjiri balai kota.
Kalau ada yang menganggap kiriman bunga tadi settingan, itu pasti Hater. Kiriman bunga jelas wajar, yang tidak wajar adalah yang mempersoalkannya. Kiriman bunga buat Ahok memang aneh dan tidak wajar, karena belum pernah terjadi di era gubernur sebelumnya.
That's all.
(c) Robbi Gandamana, 27 April 2017

Jumat, 21 April 2017

Nggak Gampang Legowo Itu Bagus


Istilah 'kalah' dan 'menang' dalam Pilkada, Pilpres dan Pil yang lain, sebenarnya nggak asyik. Pilkada bukan balap karung. Asyiknya istilah yang dipakai adalah 'terpilih' dan 'tidak terpilih'. Kita saudara sebangsa. Mencari yang terbaik bukan siapa yang menang. Dan yang terpilih bukan berarti terbaik, kita lihat dulu hasil kerjanya lima tahun ke depan. Sesuai dengan janjinya nggak. So, mari kita kawal program rumah DP 0%.
Nggak ada orang yang senang dicap kalah, apalagi dibilang pecundang atau loser. Kata-kata seperti itulah yang merusak persahabatan. Pelacur pun marah kalau dibilang lonte. Jadi mari kita sama-sama jaga cangkem.
Kalau Ahok legowo karena tidak terpilih, itu biasa. Tapi kalau pendukungnya langsung legowo atas tidak terpilihnya Ahok, itu baru janggal. Pendukung yang sekarang belum bisa legowo, kecewa atau sedih..itu bagus! Itu menunjukan kalau mereka memilih Ahok dengan sepenuh hati. Seperti kesedihan seorang jomblo yang gagal kawin. Kesedihan itu akan mengendap berhari-hari lamanya di kepala.
Jadi silakan saja kecewa, sedih, marah! satu sampai tiga hari ini. Asal tidak anarkis dan memancing keributan. Menjeritlah, jika itu dianggap penyelesaian : "Jiancokkkk kalahhhh..!"
Buat yang jagoannya terpilih nggak usah nggaya, biasa ae Bude. Jangan menuding-nuding orang lain dengan sebutan pecundang, loser. Pecundang itu orang yang banyak kehilangan teman, sahabat, saudara, pacar, selingkuhan, istri,..akibat terlalu fanatik membela jagoan neon. Pilkada kok diambil hati. Karena ulah si Didik, rusaklah susu si Julaikah.
Akibat tidak bisa menempatkan cangkem dalam menyikapi Pilkada, para sahabat yang dulu suka ngobrol atau ngumpul membahas suatu hobi yang sama : musik, seni, film, badokan,..jadi berkurang drastissss tiss tissss. Awalnya Pilpres, lalu disempurnakan oleh Pilkada. Burek sudah persahabatan kita, seburek tungkak yang full rangen.
Medsos itu bagus untuk sarana komunikasi, memudahkan silaturahmi, tapi nggak bagus untuk pembangunan mental diri. Medsos sangat membuka peluang untuk melampiaskan diri. Padahal fungsi agama itu mengendalikan, bukan melampiaskan. Maka berhati-hatilah pada apa pun yang membuat kita melampiaskan diri dengan mudah.
Di medsos,wajah nggak berhadapan langsung, jadi nggak sungkan kalau nyetatus mewek, mengasihani diri atau ngamuk-ngamuk nggak jelas. Saya herman baca status fesbuk semacam itu. Apes kok dipamerkan, punya mental karak kok bangga. Sudah kwalitasnya KW, mudah mlempem pula.
Hermannya, status-status 'sakit' tadi nggak selalu ditulis oleh abege, tapi juga para babe yang sudah mulai keriput, rambut sudah beruban krowak di sana sini (mbrodol, salah shampo). Mereka dengan suka rela, ikhlas lilahitaala jadi buzzer mengkampayekan jagoannya. Baguslah kalau mereka dikasih gelar Pahlawan Tanpa Tanda Terima.
Kekacauan Pilkada ini pelajaran untuk menyongsong Pilpres 2019 nanti. Apakah kalian nanti jadi lebih dewasa atau tambah babak belur? monggo terserah. Saya dari dulu nggak pernah tertarik eyel-eyelan membela Capres tertentu, jika sudah saling ejek dan bully paling aku cuman tepuk tangan. Hiburan gratis.
Sekarang bagi yang jagoannya gagal terpilih, tenangno pikirmu, gagal itu bukan aib. Gagal terpilih bukan berarti kalah. Istilah 'kalah' dan 'menang' pada saat Pilkada itu berpotensi merusak kerukunan umat, apalagi yang kalah selalu disalahkan, yang menang selalu dianggap benar.
Pilkada itu soal memilih hijau atau merah. Kalau seleramu hijau pilih yang hijau. Simpel banget. Setelah itu boleh berharap pada janji-janji gubernur terpilih saat kampanye dulu, tapi jangan terlalu yakin. Karena janji-janji kampanye itu kebanyakan hoax!
Wis ah, ada yang lebih penting daripada membahas Pilkada. Utangmu ndang disahurrr!
Zuukk mariiiii...
(c) Robbi Gandamana, 21 April 2017

Selasa, 18 April 2017

Disneyland Boyolali : Antara Hoax dan Neko-neko



Banyak netizen kecewa, berita soal proyek pembangunan Disneyland di Boyolali ternyata hoax! Padahal pihak istana sudah sumringah, menanggapi positif rencana itu. Tapi mereka langsung tengsin saat tahu pernyataan dari Walt Disney : "Kami tidak memiliki rencana untuk membuka Disneyland di Indonesia saat ini." Jrenggg..
Wis talah nggak usah neko-neko bikin Disneyland, cukup Dermolen ae wis apik. Kita tahu selama ini Boyolali dikenal sebagai sentra susu sapi yang lumayan buat perbaikan gizi. Jadi, nggak cocok kalau Disneyland, lebih tepatnya Susuland.
Sekelas petinggi negara pun termakan hoax, apalagi kita-kita yang ndlahom ini. Pigimana nggak percaya, lha wong yang ngeshare berita tersebut media nasional yang lumayan terpercaya.
Sebenarnya nggak benar-benar hoax, cuman ada sedikit kesalahpahaman. Yang akan dibangun itu wahana seperti Disneyland, bukan Disneyland. Jadi wajar kalau Walt Disney membantah membuka Disneyland di Boyolali. Walaupun Walt Disney diikutsertakan (21-23%) di proyek itu.
Saya sendiri nggak terlalu yakin, Boyolali dijadikan lokasi Disneyland? Ciyussss? Enelan? Menurutku Boyolali nggak marketable dijadikan lokasi mega wisata seperti itu. Bisa-bisa malah ngerusak imej atau nama besar Walt Disney. Mungkin itu alasan kenapa namanya nanti bukan Disneyland. Itu strategi untuk menyelamatkan muka jika proyeknya gagal.
Sori, saya nggak meremehkan Boyolali, tapi kok rasanya fals di kuping, Disneyland Boyolali. Kecuali kalau namanya diinggriskan, Disneyland Crocodile Forget. (Boyolali = buaya lupa)
Sebenarnya nggak perlu-perlu amat mbangun Disneyland di Indonesia. Kok ya mau diakali orang Amrik. Di Indonesia, wahana seperti Disneyland itu konsumsinya manusia gengsi. Artinya rekreasi ke Disneyland itu lebih banyak untuk memenuhi kebutuhan gengsi daripada kebutuhan hati. Seperti kebanyakan pengunjung di makanan cepat saji impor itu. Sukanya kok memuja impor.
Negeri kita itu kaya destinasi wisata dan orang kita juga buanyak yang mampu bikin wahana wisata seperti Disneyland, cuman hanya ada sedikit investor yang pede dan juga karena birokrasinya yang super rumit.
Sekarang, nggak masalah apakah Disneyland jadi dibangun apa tidak. Yang masalah sekarang adalah begitu mudahnya berita hoax terhembuskan. Mungkin karena diberitakan oleh media yang kredibel. Hanya karena kesalahan pengucapan satu dua kata, arti dan maknanya bisa lain. Kasihan Bupati Boyolali yang akhirnya dituduh menyebar hoax. Cacingannn dehh loee.
Di zaman sekarang, orang yang paling 'aman' adalah orang yang buta huruf dan budek, atau wong ndeso sing gak eruh opo-opo. Pikiran mereka freshhh. Dengan kebutaan dan kebudekannya itu pikiran mereka tidak terkontaminasi oleh berita-berita ngawur yang beredar di dumay.
---Konon orang budek itu umurnya panjang lho. Kok bisa gitu??? Karena tiap kali dipanggil Tuhan, dia nggak dengar. Towengwengwengwengwengggggg---
Pelajaran yang bisa diambil dari kasus ini adalah media yang paling kredibel pun tidak bisa dijamin validitas beritanya. Jadi jangan gampang menganggap berita itu valid karena diberitakan oleh media yang kredibel, walaupun nara sumbernya juga orang penting.
Ini pelajaran buat mereka yang suka ngrasani pemerintah. Jangan ngrasani pemerintah kalau sumbernya dari berita-berita di internet. Berita-berita yang ada di dumay itu adalah berita yang dibuat oleh pembuat berita. Mereka dibayar untuk membuat berita. Berita dengan membuat berita itu beda.
Pembuat berita itu beritanya tidak otentik, karena sudah dipoles dan dibumbui dengan bahasa yang 'wah'. Apalagi berita politik. Berita politik yang ada adalah versi kebencian dari kubu A atau B. Jelas tidak ada kemurnian di berita-berita tersebut.
Internet itu tempat ngumpul para bajingan sedunia. Dengan memakai akun palsu mereka bisa lempar apa saja ke dumay tanpa rasa berdosa, malu dan takut. Dan gerombolan ndlahomer seperti saya ini langsung mengkonsumsinya mentah-mentah. Setelah itu digoreng lagi dijadikan tulisan baru. Kalau ada istilah junk food, maka yang ini disebut junk note.
Jadi waspadalah pada berita apa pun, jangan gampang percaya. Tabayyun jelas sulit, karena kita nggak bisa menjangkau sumbernya sampai ke ring satu. Latih saja sensormu. Bagaimana caranya? aku gak eruh.
Kalau anda punya jam terbang tinggi dalam hal membaca berita, anda akan bisa memilah dengan sendirinya, mana berita yang bagus dan mana yang mbladus. Seperti pengendara motor yang lama di jalan raya, dia akan paham pengendara motor di depannya akan belok kanan atau kiri walau tanpa menyalakan lampu sein, hanya dengan melihat gelagatnya.
Wis ah, jangan percaya begitu saja tulisan ini, bisa jadi ini hoax!
(c) Robbi Gandamana, 18 April 2017

Rabu, 12 April 2017

Antara Tas Mewah, Ikan Asin dan Air Keras


Kadang aku penasaran dengan isi tas Jessica Iskandar atau Ayu Ting Ting yang harganya bisa buat mbangun rumah itu. Jangan-jangan sama kayak cewek-cewek buruh pabrik itu, tasnya merk terkenal (KW) tapi isinya cuman kotak makan bekal makan siang, isinya sayur bayem dan ikan asin. Ngirit yang dibungkus kemewahan.
Tentu saja, tidak ada larangan untuk membeli tas mewah. Aku guduk bapake rek. Mungkin bagi para Selebritis itu, tas tadi bukan barang yang lux, dia bisa beli tiap hari. Bagi dia, beli tas mahal itu kayak minum air putih, biasa saja tanpa beban.
Kadang fungsi tas wanita memang tidak hanya untuk menyimpan barang, tapi lebih pada untuk aksesoris, hiasan. Tak ubahnya dengan kalung atau cincin. Jadi, nggak heran kalau ada wanita yang menenteng tas kemana-mana tapi tak ada isinya (biasanya saat resepsi). Seandainya diisi Kunci Inggris pun kita mau apa, wong tasnya dia sendiri, sakarepe.
Tapi wajar kalau wanita suka kemewahan. Mereka adalah makhluk yang paling mewah, sekaligus pinter ngirit. Pria juga suka kemewahan walau nggak 'separah' wanita. Sengaja atau tak sengaja, pria kadang tampil 'mewah', misal berpakaian necis dan berambut klimis. Ketika kenalan dengan cewek, dia ditanya, "Mas kerja di Kilang Minyak ya? Rambutnya klimis banget..."
Mewah tidak selalu identik dengan barang atau apa pun yang mahal. Makan mie instan pun bisa jadi sebuah kemewahan. Jika kita di tengah malam, perut lapar, yang ada hanya mie instan, itu adalah sebuah kemewahan yang luar biasa. Mie instan tadi seolah-olah jadi kayak the last food on earth.
Atau pada saat kumpul-kumpul sama teman, suguhannya cuman gorengan dan kopi. Itu sudah termasuk kemewahan yang paripurna. Jadi, dalam kesederhanaan pun ada kemewahan. Bahkan kemewahan sejati itu sebenarnya sederhana.
Buanyak orang yang begitu rakus mengejar materi. Itu karena mereka menganggap kenikmatan yang nomer satu itu adalah materi . Materi memang memberi kenikmatan, tapi sesungguhnya bukan itu yang nomer satu. Yang paling primer adalah kemampuanmu menikmati (indahnya, mewahnya) apa saja yang diberikan Tuhan padamu.
Jadi, jika ada orang yang penghasilannya sudah besar tapi tetap saja korupsi , itu karena mereka pikir kenikmatan yang primer itu adalah materi. Sampai tega membunuh demi mbelani uang korupsi. Bisa jadi orang yang menyiram air keras di wajah penyidik KPK, Novel Baswedan, itu masih ada hubungan dengan kasus koruspsi E-KTP yang diusutnya.
Terjadi dialoq antara Polisi dengan pelaku penyiram air keras, sebut saja Paimo. .
Polisi : "Mengapa kamu menyiram Novel dengan air keras!?"
Paimo : "Saya benci Novel pak....saya lebih suka Cerpen."
Polisi : "Ojo gojek kowe le!!"
Paimo : "Saya bukan Gojek pak, saya Uber Taxi..."
Polisi : "Bajingan weduzzz!!"
(Gojek = guyon = bercanda ; bahasa Jawa).
Tentu saja dialoq di atas cuma Simulasi. Guyon rek.
Bicara soal mewah, Indonesia adalah bangsa yang bisa hidup mewah dalam kemiskinan, keterbatasan dan keterpurukannya. Ampas tahu yang seharusnya jadi makanan hewan, disulap menjadi makanan gaul : tempe Gembus, Sate Kere. Kalau di Malang namanya Menjes atau Tempe Levi's (teksturnya mirip celana Jeans).
Mewah atau tidak, itu juga tergantung dari sikap manusianya. Jika kamu sedang makan nasi lauknya ikan asin jangan membayangkan Pizza Hut. Sudah ikan asinnya jadi nggak enak, Pizza Hut-nya cuman angan. Nikmati saja ikan asin seperti tidak ada makanan lain selain itu, itu yang membuatnya nikmat. Setelah itu boleh berangan-angan makan Pizza.
Jadi, jangan percaya kalau materi berlimpah nan mewah itu pasti membuat manusia bahagia. Maka yang benar itu bercita-citalah jadi orang bahagia, bukan bercita-cita jadi orang kaya. Sugih tapi pegatan, rumah tangga kacau, yo podo ae. Ingat falsafah Jawa, Nrimo ing pandum (ikhlas atas apa yang kita terima dalam kehidupan) bukan Nrimo ing branded.
Oalaa, embuh wis....adza adza ajza dwech ach.
(c) Robbi Gandamana, 13 April 2017

Bangsa Yang Paling Bahagia


Sepertinya PBB kurang kerjaan, bahagia kok dikompetisikan. Tahun ini PBB merilis daftar negara paling bahagia di dunia. Norwegia menempati urutan pertama, selanjutnya Denmark, Islandia, Swiss, dan seterusnya. Indonesia sendiri menempati urutan 81.
Aku gak ngurus dan nggak percaya dengan daftar peringkat semacam itu. Itu semua dibuat oleh kaum materialis. Yang selalu menilai sesuatunya dari segi materi, bahwa orang yang pendapatannya rendah, miskin, itu nggak bahagia. Dan tentu saja penilaiannya pasti subyektif.
Bangsa Indonesia itu punya keistimewaan lain dibanding bangsa-bangsa cengeng itu, yang kesejahteraan hidupnya dijamin negara. Bangsa kita punya teknologi jiwa yang dahsyat. Punya ketangguhan luar biasa karena kesejahteraan nggak dijamin oleh negara. Negara isinya cuman ngrepoti rakyatnya.
Jadi kebahagiaan bangsa Indonesia tidak bisa diukur pakai parameter pendapatannya, tata kelola pemerintah, bla bla bla bla bullshit!
Bagi saya bangsa Indonesia adalah bangsa yang paling bahagia. Persetan opini kalian!
Oke, mereka akan sedih, marah ketika harga bensin, tarif listrik naik, tapi seminggu dua minggu setelah itu mereka akan lupa. Menjalani hidup seperti biasanya, seperti tidak ada kenaikan, cengengesan tanpa beban. Tetap akan berburu kuliner, beli gadget yang paling canggih, jalan-jalan naik pesawat dan seterusnya.
Mereka punya daya adaptasi yang tinggi. Oleh rakyat Indonesia, semua problema dan tekanan hidup itu akan disulap menjadi ilmu, disulap menjadi hikmah, disulap menjadi revolusi diri, disulap menjadi optimisme melangkah ke depan. Mereka bisa tertawa dengan segala keterbatasan dan penindasan.
Orang Papua yang hidup di Lembah Baliem, mangane telo, bisa sangat bahagia kok. Bahkan mendengar suara klakson Bis Sumber Selamet saja bisa membuat bangsa ini bahagia (om telolet om).
Jadi, kebahagiaan sebuah negara tidak bisa diukur dari maju atau tidaknya sebuah negara.
Jangan dipikir kalau tukang becak, tukang angkut, kuli bangunan dan bahkan pengemis itu tidak bahagia. Mereka bisa sangat bahagia. Walau sepi penumpang, para tukang becak ini tetap ketawa ketiwi main gaple di pojokan.
Pengemis pun kalau di rumah wajahnya tidak semelas saat meminta uang di jalanan. Memelas itu akting, mereka sengaja berkarir jadi pengemis. Walau ada juga yang terpaksa jadi pengemis karena memang hanya itu yang bisa dilakukan (cacat misalnya).
Angka bunuh diri di Indonesia itu lebih rendah dibanding negara lain seperti Korea, Jepang, Tiongkok dan negara maju lainnya. Di sini yang kebanyakan bunuh diri adalah 'kaum sinetron', kelas menengah ke atas. Mereka yang sukses disusupi paham-paham dari Barat, materialis, hedonis, dan seterusnya.
Kalau rakyat jelata tidak seperti itu. Sukses atau tidak sukses itu bukan parameter sebuah kebahagiaan. Selama bisa bergaul, punya gadget canggih, selalu update berita, itu sudah sangat membahagiakan mereka. Minimal urip dan nggak ngisruh ngono ae wis apik.
Kebanyakan rakyat kita itu kreatif, bisa jadi apa saja, kerja apa pun no problem, asal halal. Hanya bawa sulak membersihkan kaca mobil di lampu merah, mereka bisa hidup. Mereka jenis manusia 'fighter', tidak menggantungkan hidupnya pada negara. Seandainya negaranya hancur lebur mereka tetap bisa cengar cengir, piss man!
Di negeri ini, sangat nyaman jadi manusia, karena aturan hidup bermasyarakat tidak setertib di negara-negara lain. Lihat saja orang bisa dengan santainya menutup jalan umum saat mengadakan pernikahan anaknya (kepentingan individu di atas kepentingan umum). Tapi sebagai warga negara, kita banyak nggak nyamannya. Ngurus apa saja ruwet, banyak pungli. Birokrat dan aparatnya banyak yang korup. Tak ada uang ke laut aja.
Kita adalah bangsa yang terbiasa menderita. Bahkan bagi rakyat Indonesia penderitaan itu adalah prestasi. Penderitaan bagi mereka adalah sarana untuk meneguhkan diri, lelaku prihatin. Nenek moyang kita adalah bangsa lelaku. Puasa mutih, puasa senin kemis, puasa ngebleng (nggak makan 3 hari 3 malam) itu adalah rutinitas yang biasa dijalani.
Rakyat kita punya standar dasar filosofi hidup yang di negara maju hanya dimiliki oleh kaum terpelajar lulusan kampus. Jadi walaupun tidak sekolah tinggi, rakyat kita filosofi hidupnya matang, punya kearifan, kesabaran dan keteguhan. Di Jawa ada filosofi dasar kehidupan seperti 'jer basuki mawa bea', 'ngunduh wohing pakarti', dan seterusnya.
Kalau krisis ekonomi melanda, mereka bisa sangat survive. Bahkan mereka tidak mengenal krisis, krisis itu cuman itung-itungan di atas kertas yang dibesar-besaran oleh media.
Jadi, persetan dengan penilaian PBB, Amrik dan anteknya soal kebahagiaan. Kita punya cara yang berbeda dalam menyikapi hidup. Bahagia itu ada di dalam hati, nggak bisa diukur dari apa yang tampak di fisik luar manusia. Dan bahagia itu sebenarnya soal yang sangat sederhana, kuncinya cuma bersyukur dan sabar. Syuperrr sekaliiii.

(c) Robbi Gandamana, 27 Maret 2017

Pilkada is My Ass!


Bangsa ini belum bisa dewasa. Gampang sekali diprovokasi dan diadudomba. Kupikir setelah Pilpres selesai rakyat Indonesia akan kembali rukun, eh ternyata malah tambah ruwet.
Bangsa Indonesia saat ini kayak rumput kering yang gampang terbakar. Ada api di mata mereka. Fanatisme buta lah yang membuat mereka sangat sensitif, gampang ngamuk, raine burek.
Begitu gampangnya menyimpulkan sesuatu. Ketika melihat foto cewek menunjukan tanda 2 jari, langsung dicap Ahoker, karena identik dengan Ahok. Padahal itu tanda 'piss', cinta damai. Foto itu dibuat jauh sebelum Pilkada DKI dan orang yang difoto tadi bukan warga DKI.
Dendam simpatisan yang jagoannya kalah dalam Pilpres tahun lalu, rupanya berlanjut ke Pilkada DKI. Salah satunya karena ada Cagub yang non muslim plus keturunan China.
Gara-gara Pilkada DKI, terbukalah lebar kedok atau sifat asli teman kita di Medsos. Foto profil yang kelihatan kalem, alim, berjilbab, ternyata cangkemnya bosok total. Kita jadi tahu mana muslim yang asyik (toleran, luas hati dan pikirannya) dan mana yang kolot, yang dikit-dikit ngasih label kafir, munafik, laknatulloh.
Banyak sekali orang yang saya kenal itu baik, anteng, introvert, jadi berbalik 180 derajat temperamennya saat membela Cagub pilihannya . Dengan mengutip ayat suci, mereka dengan keras menyerukan siapa Cagub yang wajib dan haram untuk dipilih. Padahal Pilgub nggak ada hubungannya dengan agama. Ibarat bengkel yang butuh seorang mekanik handal, bukan imam agama yang pinter ngaji.
Juga banyak dari kita yang terjebak jadi Rasis dan Fasis. Ada upaya untuk memilah-milah, memisahkan mana pribumi dan mana yang China (keturunan). Seperti yang terjadi di aksi 313 kemarin (31 Maret 2017), penempelan stiker 'pribumi' di mobil-mobil. Mereka begitu takut (paranoid) negeri ini dikuasai oleh China. Seperti bangsa Jerman terhadap ras Yahudi.
Seorang muslim yang tidak menerima perbedaan, sebenarnya gagal sebagai muslim. Karena muslim itu bisa menerima semua (perbedaan) manusia, tidak perduli apa pun ras, suku dan agamanya. Karena perbedaaan itu rahmat.
Efek Pilkada DKI ini benar-benar dahsyat. Gara-gara kaum yang suka mengkafirkan orang itu, anak-anak kecil yang masih ingusan pun ikut-ikutan teriak "kafir!" pada temannya yang non muslim. Bahkan mengganggap non muslim itu halal darahnya alias boleh dibunuh.
Siapa pun yang membela Ahok pasti langsung dapat label kafir. Tidak terkecuali Djarot, Wagub DKI pasangan Ahok, saat mengikuti haul Soeharto dicemooh dengan kata-kata kotor dan diteriaki "kafir!" oleh mereka yang ngakunya muslim. Padahal saat itu sedang di dalam Masjid, rumah Tuhan.
FYI, muslim adalah orang yang menyelamatkan, menentramkan sesama manusia. Jadi kalau masih suka menyakiti hati manusia, mereka gagal jadi seorang muslim.
Jadi, tidak salah ketika GP Ansor menghentikan paksa ceramah Ustadz Khalid Basalamah beberapa waktu lalu. Karena ucapannya menyinggung, menyakiti perasaan umat NU. Penghentian itu nggak ada hubungannya dengan sentimen Wahabi. Siapapun yang menyakiti hati manusia pasti dapat masalah.
Akibat kejadian tersebut, GP Ansor disindir dengan lagu lama : "Sama umat Islam sendiri memusuhi tapi sama non muslim malah mesra. Ustadz yang jelas muslim diusir, tapi gereja yang jelas milik non muslim dijaga (saat Natal) ". Padahal GP Ansor menjaga gereja itu dalam rangka menerapkan Islam yang Rahmatan Lil Alamin, rahmat bagi sekalian alam.
Itu semua terjadi karena kesempitan hati dan pikiran. Mengkritisi pun diartikan menghina. Mengkritisi Ulama diartikan memusuhi Ulama, memusuhi Islam atau Anti Islam. Ketika seorang Ulama ditangkap karena melanggar hukum yang berlaku, langsung dituduh kriminalisasi Ulama. Nggolek menange dewe.
Saya tidak anti Pilkada, tapi saya tidak suka perpecahan. Buat apa mbahas Pilkada kalau menimbulkan permusuhan, perpecahan antar saudara sebangsa. Pilkada itu harusnya pesta demokrasi bukan ajang 'perang' agama, sekte atau madzhab antar simpatisan Cagub atau partai politik yang bertikai. Mencari pemimpin bukan pemenang. Yang tidak terpilih bukan berarti kalah.
Demokrasi di negeri ini memang sudah nggak beres sejak dari awalnya. Politik yang ada sekarang menyimpang jauh dari Azas Musyawarah Mufakat : mencari kebenaran bersama. Mencari yang paling benar bukan mencari siapa yang menang.
Pilgub atau Pilpres sekarang ini adalah mencari siapa yang menang, yang kalah tersisihkan dan tidak punya tempat untuk beraspirasi. Padahal dalam konsep musyawarah, semua pihak bergandengan berjalan bersama untuk menjalankan hasil musyawarah tadi dan mewujudkannya dalam kehidupan bernegara.
Asas Pemilu (Luber : langsung, umum, bebas, rahasia) itu juga konyol. 'Rahasia' tidak bisa disandingkan dengan 'bebas'. Bebas kok rahasia, kalau rahasia ya nggak bebas. Ya'opo se rek.
Negara ini dibangun oleh sistem konyol semacam itu. Ketidakbenaran yang dilakukan terus menerus dan massif akan membuat kapal (negara) akan oleng. Jika sudah oleng, maka melakukan apa pun jadi sulit presisi dan akurat.
Apa yang terjadi sekarang adalah akumulasi dari kekonyolan-kekonyolan sejak negara ini berdiri. Nggak heran kalau tiap Pilpres atau Pilkada selalu gegeran, perang berdarah-darah di medsos. Apalagi bangsa ini adalah bangsa perumpi. Ngerumpi tapi tidak punya keluasan hati dan pikiran. Asal njeplak tapi nggak paham ilmunya. Sumbunya pendek pula, bahkan ada yang nggak punya sumbu. Disenggol langsung mbledozzzz.
Jadi sekarang, jika nulis soal Pilkada, pikirkan diksi dan bahasanya. Gak usah pakai istilah yang menyakitkan, merendahkan. Misuh gak popo asal gak misuhi uwong. Kalau tulisan menimbulkan kebencian, permusuhan dan perpecahan, lebih baik nggak usah nulis atau nyebar tulisan soal Pilkada.
Jika masih ada yang nyangkem soal Pilkada dengan kata yang 'njancuki', lebih baik skip saja. Anggap itu wong gendeng lagi kumat. Jadikan mereka sumber kegembiraanmu. Mereka sedang ngelawak dan kita lah penontonnya. Atau kalau bisa jauhi soal Pilkada sekalian. Pilkada is my ass!
Nggak perlu diblokir atau unfriend. Karena bisa jadi suatu hari nanti kamu butuh mereka. Siapa tahu kamu terperosok di lembah MLM dan butuh teman banyak untuk diprospek, dijadikan downline. Atau kamu terpaksa jualan Cilok online yang membutuhkan banyak pembeli. Ingat, semakin banyak teman semakin banyak rejeki .
Pokoknya jangan pernah tersiksa oleh keributan Pilkada. Kalau nggak paham dan atau ilmunya cekak, lebih baik nggak usah ikutan nimbrung soal Pilkada. Buanyak urusan yang lebih puenting daripada ngurusi Pilkada. Jangan sampai kehidupanmu dirusak oleh omong kosong soal Pilkada. Wis ah, Saiki tulung inggirno becakmu disik, aku kate liwat.
(c) Robbi Gandamana, 3 April 2017