Rabu, 24 Mei 2017

Jangan Sombongkan Kebenaranmu (Pesan Cak Nun di Acara ILC TV One)


Pesan Emha Ainun Nadjib atau yang lebih dikenal sebagai Cak Nun di acara ILC (Indonesia Lawyers Club) TV One kemarin, 23 Mei 2017, adalah tamparan keras bagi saya, mungkin juga anda, mereka, semua yang begitu congkak, menyombongkan kebenaran.
Walau hanya berupa rekaman wawancara sekilas (tanpa kehadiran langsung di studio), tapi pitutur singkatnya sangat dahsyat, menyejukan, menenggelamkan semua retorika para tamu yang diundang di acara tersebut.
Beliau sebenarnya sudah berjanji tidak akan tampil lagi di media nasional sejak Reformasi, tapi mungkin karena pertimbangan sikon negeri ini yang ancur minah, kebencian dan permusuhan yang semakin ngeri, beliau akhirnya memutuskan tampil. Mungkin juga nggak tega hati sama TV One yang sudah bertahun-tahun nangis gulung-gulung minta Cak Nun tampil di acaranya.
Bagi yang alergi TV One (halo Jokower), tenang saja, di sana Cak Nun tidak berkapasitas memihak siapa pun, netral, beliau menempatkan dirinya sebagai bapak, sesepuh rakyat yang mengayomi. Tidak perduli anda kaum Bumi Datar, Bumi Ambyar, Bani Daster, Bani Taplak, atau apa pun, pesan beliau untuk siapapun.
Membaca pesan Cak Nun ini, anda harus melepaskan dulu label Ahoker, Anieser, Jokower, Prabower, kita semua saudara sebangsa. Ingat sebentar lagi bulan Ramadhan. Damai harga mati!
Oke langsung saja, mari kita simak, resapi dan amalkan nasehat beliau. Zuukkkk.
* Bagaimana anda melihat kondisi bangsa akhir-akhir ini?
Sampailah kita pada suatu keadaan sejarah dimana orang benar bermusuhan dengan orang benar. Orang mempertahankan kebenarannnya berbenturan dengan orang yang juga mempertahankan kebenarannya. Orang ini bisa kelompok, bisa Parpol, front, bisa apa pun. Pertentangan antara orang yang sama-sama yakin terhadap kebenarannya ini khan harus kita cari, kenapa kebenaran bisa mempertengkarkan manusia?
Saya melihat semua yang terjadi di Indonesia ini akhirnya menemukan, mungkin saya salah, tapi kebenaran tidak untuk dibawa keluar dari diri kita. Begitu kita keluar dari diri , yang kita bawa bukan kebenaran. Yang kita bawa adalah kebaikan, keindahan, kemuliaan, upaya-upaya untuk supaya nyaman satu sama lain (kita dengan semua orang di sekitar kita), kebijaksanaan, kearifan.
Jadi bukan kebenaran yang kita bawa keluar. Ibarat sebuah warung, kebenaran itu letaknya di dapur warung itu. Sekarang ini dapur-dapur warung itu dijadikan display utama. Dan masing-masing merasa benar.
Kita tidak akan pernah bisa selesai dengan pertengkaran, permusuhan, kebencian, dendam dan seterusnya, kalau kita saling menyombongkan kebenaran kita masing-masing.
Teori universalnya kebenaran itu ada 3 : benarnya diri sendiri, benarnya orang banyak dan benar yang sejati. Benarnya sendiri, kebenaran subyektif masing-masing orang atau kelompok. Benarnya orang banyak, ini kita elaborasi, kita cari, sampai akhirnya menemukan demokrasi, kesepakatan nasional, dan seterusnya. Tapi benarnya orang banyak tidak sama dengan benar yang sejati. Benar yang sejati ini sesuatu yang bersifat cakrawala yang harus kita tempuh berjalan ke sana terus-menerus yang mungkin ada hubungannya dengan Allah.
Allah menyatakan, "Kebenaran itu datangnya dariKu, manusia hanya dapat cipratannya dan menafsirkannya."
Terhadap tafsir kebenaran ini kita harus berhati-hati, karena saya menafsirkan kebenaran beda dengan anda menafsiran kebenaran. Saya tidak akan mempertengkarkan tafsir saya dengan tafsir anda. Yang harus keluar dari diri saya kepada anda adalah mencoba berusaha menggembirakan anda, membuat anda merasa nyaman dan aman. Tidak saya curi barang anda, tidak saya nista diri anda dan tidak saya bunuh nyawa anda.
* Adakah solusi untuk mengatasi masalah yang sedang dihadapi bangsa ini?
Kayaknya kita harus berhenti mencari, apalagi sampai menuding, membenci, ingin memusnahkan siapa yang salah. Karena bagi yang kita tuduh siapa yang salah itu bagi mereka kita yang salah. Jadi kalau boleh kita mulai belajar mencari apa yang salah dan apa yang benar. Yang salah bisa pada saya, bisa pada anda. Yang benar juga bisa pada saya, bisa pada anda.
Jadi kita mencari 'apa'nya bukan 'siapa'nya. Kita mempersoalkan nilai, bukan mempersoalkan manusia. Kalau sebagai manusia, sebagai sesama bangsa, kita wajib menerima semuanya. Kalau kita mempertengkarkan siapa yang salah siapa yang benar, itu nanti akhirnya yang terjadi bukan pembuktian mengenai kebenaran, yang terjadi adalah kalah menang secara kekuatan. Dan kalah menang secara kekuatan itu sebenarnya adalah tataran yang paling rendah dari manusia.
Manusia diciptakan tidak untuk mengalahkan orang lain, kecuali sepak bola, tinju, gobak sodor, itu kalah sama orang lain tidak apa-apa. Tapi kalau hidup ini, kita tidak mengalahkan siapa-siapa. Semua nilai, baik agama maupun pencariannya manusia sendiri, hidup adalah mengalahkan diri sendiri.
Jadi mohon maaf, saya tidak pernah ikut kompetisi kalah menang, apa Pilkada, Pilpres, Pildes. Karena saya sangat sibuk untuk berperang melawan diri sendiri agar tidak terlalu kalah pada sendiri. Itu juga sampai tua begini tidak pernah selesai selesai. Jadi saya tidak punya waktu untuk ikut kalah menang. Karena saya itu tidak akan pernah tega menang melawan orang. Dan saya juga tidak mau kalah! gila apa.
Maka saya hidup di tataran bukan kalah menang. Saya hidup di tataran : kita berlomba untuk saling mengamankan satu sama lain, berlomba untuk saling menyamankan satu sama lain, berlomba untuk saling menyumbang kearifan, kebijaksanaan. Supaya output dari kita itu bisa puzzling (menyatu) menjadi keseimbangan bersama (sosial).
Yang kita alami kita bersama di Indonesia akhir-akhir ini adalah ketidakseimbangan yang hampir komperehensif (menyeluruh di segala segi). Cara berpikir kita tidak seimbang, cinta kita juga tidak seimbang , hubungan antara hati dengan pikiran tidak seimbang, hubungan antara individu dengan masyarakat tidak seimbang, antara kelompok masyarakat dengan kelompok lain juga terdapat ketidakseimbangan, antara rakyat dan pemerintah juga penuh ketidakseimbangan, bahkan teknis pertimbangan perekonomian saja itu juga penuh dengan ketidakseimbangan.
Jadi menurut saya, daripada saya memamerkan dan menyombongkan kebenaran saya, anda nanti juga mempertahankan diri dengan memamerkan dan menyombongankan kebenaran anda, mending kita bekerja sama mencari kemungkinan untuk menciptakan keseimbangan nasional.
* Menurut anda, bagaimana cara yang pas menjaga keutuhan NKRI?
Kalau kita naik bis, rasa kita itu rasa bis, bukan rasa colt, bukan rasa kereta api. Jadi cara berpikirnya, cara berhitungnya ya bis, terutama sopirnya. Mau belok di perempatan, mau nyalib itu dia harus tahu besarnya bis. Jadi cara berpikir orang naik bis adalah cara berpikir bis. Kalau kita orang NKRI, sikap kita harus sikap NKRI. Cara berpikir kita harus cara berpikir NKRI, buka cara berpikir PDIP, Golkar, Nasdem, Hizbut Tahrir, atau apa pun.
Kalau anda berkuasa, anda justru yang paling berkewajiban untuk berpikir NKRI, bukan berpikir kariermu sebagai presiden, sebagai menteri. Tapi berpikir mempersembahkan seluruh jiwa raga kita ini untuk kepentingan utuhnya NKRI.
Berpikir NKRI itu misalnya, kalau kita berpikir NKRI, tidak ada kelompok Bhineka Tunggal Ika. Masak Bhineka tunggal Ika kelompok. Kalau kita mau unjuk rasa Bhineka Tunggal Ika ya semuanya kita ajak. Karena penduduk manusia, jin, iblis, setan, demit, segala macam itu ya Bhineka Tunggal Ika.
Anda jangan berpikir hanya manusia yang menghuni di Indonesia, ada banyak yang lain, dari masa silam maupun dari masa depan. Ada yang dari langit, ada yang dari homo sapiens, masih ada sisa-sisa semuanya itu yang jadi penduduk Indonesia. Jadi semua itu kita terima.
Bagaimana cara kita menerima semuanya (kalau memang Bhineka Tunggal Ika)? Satu-satunya jalan adalah kita harus punya kematangan, harus punya keluasan berpikir. Mau FPI, Hizbut Tahrir, Ahoker, mau siapa pun dituntut untuk memiliki kearifan, kebijaksanaan dan ilmu yang seluas-luasnya untuk saling mengapresiasi satu sama lain.
Kita tidak bisa meneruskan negara dimana yang satu merasa dirinya malaikat dan menuduh lainnya setan. Dan itu bukan hanya menuduh karena dia berkepentingan, dia yakin dia malaikat dan yang lain diyakini sebagai setan.
Jadi ini bukan Barata Yuda, ini Pandawa Yuda. Karena masing-masing merasa Pandawa, merasa Yudistira, merasa Bima, Arjuna, Nakula, Sadewa. Selama kita masih seperti itu, ya saya tidak akan ikut-ikut. Karena Indonesia sangat saya cintai.
****
Well, begitulah pitutur singkat Cak Nun (ternyata kalau ditulis panjang juga ya). Semoga kita semua tetap bisa menjaga diri agar tidak gampang terseret, terprovokasi oleh berita atau ajakan seseorang atau kelompok yang merusak, memecah belah NKRI. Mari kita sama-sama luaskan hati dan pikiran biar nggak ndlahom bin gemblung.
Ya sudah itu saja, trims. Mohon maaf lahir dan batin, selamat menjalankan ibadah puasa Ramadhan 1438 H. Keep the faith!
(C) Robbi Gandamana, 25 Mei 2017

Jumat, 19 Mei 2017

Cabul Syariah



Dulu Islam diturunkan di Arab untuk memberantas jahiliyah. Sekarang yang sudah berIslam malah jadi Jahiliyah. Membaca cuitan seorang Generasi Ndlahom, membuat saya lesu jaya. Ulama berbuat cabul kok dibilang mulia. Rasulullah juga dibilang pernah berbuat cabul syariah. Yo wis le, tak dungokno cabul kajate.
Onok maneh, cabul syariah. Istilah anyar. Cabul ya cabul, syariah ya syariah. Itu dua kata yang tidak bisa disatukan. Ibarat air Zamzam dicampur Vodka. Berani sekali memfitnah Rasulullah cabul. Raimu iku sing cabul. Ini namanya penistaan Rasul.
Rasulullah gak ngacengan rek. Kalau bangsa Barat menyebut Rasulullah manusia gila seks itu salah besar. Beliau pria yang setia. Rasul yang saat itu berumur 25 tahun menikah dengan Khadijah yang berumur umur 40 tahun. Mereka menikah selama 25 tahun karena Khadijah meninggal saat umur 65 tahun. Selama dengan Khadijah, beliau tidak berpoligami. Setelah istrinya itu wafat, beliau menduda selama 2 tahun.
Rasulullah baru berpoligami (umur 52 tahun) karena perintah langsung Allah untuk menolong para janda sahabat beliau dari rongrongan musuh Islam. Saat itu banyak sahabat beliau yang gugur membela Islam, jadi istri dan anak-anak mereka perlu dilindungi dan dihidupi.
Poligami rasul ada yang bertujuan menyatukan ras yang berbeda, bahwa agama Islam tidak hanya untuk orang Arab. Rasulullah menikahi Maimunah binti Al-Harits, seorang janda berusia 63 tahun, yang berasal dari kabilah Yahudi Bani Kinanah. Pernikahan ini dilakukan semata untuk mengembangkan dakwah Islam di kalangan Yahudi Bani Nadhir.
Tujuan poligami Rasul lainnya adalah untuk memerdekakan budak, disamping agar si budak terjaga keIslamannya, juga sebagai petunjuk agar manusia mau membebaskan budak dan memerdekakannya dari perbudakan dan penghambaan kepada selain Allah. Dan banyak lagi tujuan lain yang sama sekali bukan karena syahwat.
Kaum orientalis memfitnah Rasul sebagai pengidap Pedofil karena menikahi Aisyah yang berumur 9 tahun. Padahal Asiyah sesungguhnya telah berusia 19-20 tahun ketika menikah dengan Rasul. Pernikahan itu sendiri merupakan perintah langsung Allah kepada Rasul lewat mimpi yang sama tiga malam berturut-turut.
Tentang usia pernikahan Aisyah yang katanya masih berusia 9 tahun, ini hanya berdasar satu hadits lemah yang diriwayatkan oleh Hisyam bin ‘Urwah saat beliau sudah ada di Iraq, dalam usia yang sangat tua dan daya ingatnya sudah jauh menurun. (untuk lebih jelasnya tanyaken pada ustadz anda masing-masing, saya bukan ustadz).
Jadi Rasulullah poligami karena urusan sosial, bukan biologis. Urusan yang darurat, bukan ngacengan. Dan itu sama sekali bukan perbuatan cabul. Poligami Rasul atas izin dan perintah Allah langsung. Sekarang tanyakan pada dirimu, poligami kamu itu atas perintah siapa? .......peli.
Kita nggak bisa meniru poligaminya Rasul. Kebanyakan yang dipoligami Rasul janda umur 50 tahun ke atas dan beranak banyak. Sedangkan kita maunya perawan semblohai sing susune gede. Lha wong kita ini cuman wedus mbladus, domba campuran asu yang suka mengumbar hawa nafsu. Rasulullah itu intan permata, kita batu kali dekil penuh lumut. Rasulullah punya keistimewaan khusus yang tidak kita punyai.
Poligami boleh-boleh saja kalau memang keadaan darurat. Karena Islam memberi solusi pada keadaan yang bisa nggak bisa harus poligami. Misal, jumlah wanita lebih banyak karena perang atau hal lain, maka diperlukan keseimbangan gender. Karena fungsi utama wanita diciptakan adalah untuk regenerasi. Islam melarang keras freesex juga cabul yang dibungkus poligami. Rasulullah sendiri tidak mengizinkan putri beliau, Fatimah, untuk dipoligami
Jangan salah, ayat yang bicara soal poligami itu sebenarnya menganjurkan monogami, karena sebenarnya tidak ada manusia yang bisa adil. Bisanya hanya sebisa mungkin berbuat seadil-adilnya. Kalau merasa bisa adil, itu namanya sombong sama Tuhan. "Tenang Tuhan, aku adil kok." Ndasmu.
Islam berkembang pesat tapi lebih ke arah syariat teknis. Banyak orang yang tongkrongannya Islam biangetsss tapi kelakuannya tidak mencerminkan Islam yang Rahmatan Lil Alamin. Muncul kaum pengapling suraga yang hobinya main pentung. Memaksa orang lain sepaham. Dengan pedenya membela Tuhan. Padahal jika kamu berIslam, Tuhanlah yang akan membela (menolong) kamu. Lha kok kamu nggaya membela Tuhan.
Ah embuh wis.
Kembali ke soal cabul. Saya sebenarnya males mbahas aibnya Rizieq Shhab dengan Firza, takut terjebak ghibah. Dusoku wis akeh rek. Tapi berhubung ada seorang fan die hard Rizieq yang salah kaprah mencampuradukan cabul dan syariah, saya tidak bisa menahan diri untuk tidak nulis. Walau tidak membahas soal chat mesum, cuma meluruskan pemikiran gemblunger yang menyamakan skandal mesum Rizieq dengan poligami Rasulullah. Ini sungguh keterlaluan, gemblung total! Ngisin-ngisini wong Islam.
Btw, jika terbukti benar Rizieq Shihab terlibat chat mesum (semoga tidak), maka klop sudah kelucuan Jamaah Pengapling Surga. Umatnya suka main pentung, Imamnya suka ngelus 'pentung'.
That's all.
(C) Robbi Gandamana,

Jangan Sok Ngajari Rakyat Pancasila


Pancasila sebagai ideologi dan filsafat bangsa Indonesia memang top markotop adanya. Pancasila nggak akan bisa dipisahkan dari bangsa Indonesia. Jangan harap bisa menghancurken atau menggantikennya dengan ideologi yang buken-buken, lha wong sudah tertanem di hati yang paling dalem.
Ormas atau siapa pun yang tidak mau mengakui dan atau melecehkan Pancasila, ya wajar kalau dibubarkan. Masih mending dibubarkan, seharusnya ditangkapi, ndase dikaploki mubeng.
Ormas Aliran Keras itu kayak hama, merusak para tunas bangsa agar berpaling dari Pancasila. Kalau nggak segera disemprot insektisida, maka negeri ini akan banyak melahirkan generasi ndlahom. Generasi yang tidak bisa membedakan mana agama, mana Tuhan, berTuhan tapi menyembah agama.
Karena ndlahom, mikirnya jadi sejengkal. Tidak mau menghormati bendera merah putih. Dipikirnya menghormati itu sama dengan menyembah. Bendera itu khan lambang negara yang telah disepakati bersama. Jadi bukan soal menghormati bendera, tapi menghormati kesepakatan bersama sebagai warga negara. Sama kayak muslim yang mencium batu hajar aswad. Jadi, bukan soal mencium batu, tapi itu refleksi kecintaan pada Rasulullah yang pernah mencium batu tersebut.
Pancasila adalah pengejawantahan dari bangsa Indonesia. Rakyat Indonesia adalah Pancasila itu sendiri, bahkan mereka lebih dari Pancasila. Mereka belajar dari kehidupan. Hakikatnya Pancasila itu lebih dulu ada sebelum Indonesia berdiri. Rakyat tidak paham teori (ilmunya) tapi mereka mampu melaksanakan. Kita yang lulusan kampus diajari Pancasila tapi ogah-ogahan mengamalkannya.
Menurut Cak Nun, ilmu lahirnya dari kehidupan. Munculnya teori, pengetahuan dan ilmu itu asalnya dari kehidupan. Kehidupan dulu, baru ada ilmu. Begitu juga dengan Pancasila, lahirnya Pancasila itu dari bangsa Indonesia. Kelima sila dalam Pancasila itu adalah rumusan singkat dari kehidupan sosial budaya bangsa Indonesia.
Jadi, para ilmuwan lulusan kampus jangan sok ngajari rakyat soal Pancasila. Yang perlu dikasih tahu soal Pancasila adalah kita kita kaum terpelajar lulusan kampus, golongan menengah ke atas yang sudah kesusupan ideologi dari Barat atau Arab, yang mulai kehilangan keIndonesiaanya.
Juga jangan ngomong (ngajari) soal agama, toleransi, pluralisme, segala macam pada rakyat Indonesia. Mereka tidak butuh Ideologi. Yang ngomong ideologi itu orang-orang di atas, para pemimpin, supaya mereka bisa menata dirinya di depan rakyat.
Orang Indonesia itu sejak lahir sudah bisa plural. Jangankan jadi manusia, jadi Tengu saja bisa hidup dan punya harga diri. Mereka bisa hidup dengan hanya bawa sulak di lampu merah. Mereka sangat kreatif, daya survive-nya sangat tinggi. Diinjak sampai gepeng pun masih bisa hidup dan bahagia.
Garuda jadi lambang negara itu karena para perintis kemerdekaan ingin meningkatkan harkat dan martabat diri bangsa. Kalau si Garuda sendiri tidak pernah merasa dirinya Garuda. Karena bangsa Indonesia lebih besar dari Garuda. Sehebat-hebat burung Garuda tidak berani menjadi emprit. Kalau rakyat Indonesia bisa jadi Garuda, jadi Emprit silakan, jadi Kadal nggak masalah. Mereka bisa hidup dengan segala penjajahan dan penindasan. Ada apa saja atau tidak ada apa saja, nggak masalah bagi rakyat Indonesia.
Bangsa Indonesia adalah bangsa yang menjunjung tinggi budaya leluhur. Walau sering ketutupan budaya-budaya dari luar. Tapi itu sementara, mereka akan tetap kembali jadi Indonesia. Pernah lama dijajah Belanda, tapi tidak lantas jadi keBelanda-Belandaan. Ngomongnya tetap pakai bahasa Jawa, nggak berubah jadi Belanda. Budayanya tetap nggak berubah. Malah Belanda yang jatuh cinta sama Indonesia. Orang Indonesia sendiri nggak ingat dengan Belanda.
Rakyat Indonesia itu hidupnya semau-mau mereka. Nggak perduli apakah negara ini Republik, Monarki, atau apa saja. Mereka juga nggak paham. Lha wong hidupnya tanpa pemahaman, hidup begitu saja. Pokoke urip.
Siapa pun presiden yang terpilih, nggak ada pengaruhnya bagi rakyat. Bahkan jika negeri ini hancur pun mereka gak ada urusan. Mereka tetap nguli, bakul di pasar, berburu rongsokan, nyolo kodok, mbecak, pokoknya ubet dengan ekonominya sendiri. Tidak bergantung pada negara. Negara tanpa masyarakat, nggak bisa jadi negara. Tapi masyarakat tanpa negara, tetap akan jadi masyarakat.
Mereka datang ke bilik suara, nggak ada urusannya dengan Pemilu. Urusannya karena sungkan sama pak RT dan para tetangga, Pemilu lima tahun sekali kok nggak nyoblos, sungkan bosss.
Jangan terlalu yakin kalau presiden yang terpilih itu benar-benar pilihan rakyat dari hati yang terdalam. Mereka itu milih semau-mau mereka. Pokoknya yang paling populer, itu lah yang dipilih. Cobalah bertanya pada simbok bakul di pasar, juru kunci kuburan, tukang sapu, tukang becak, "Kenapa sampeyan dulu milih si Anu jadi Presiden?" Jawabannya bisa jadi akan seperti ini : "Emangnya gue pikirin..!"
Jadi kesimpulannya, bangsa Indonesia dengan ideologi Pancasila-nya nggak bisa dirubah berdasar fakta sejarah yang panjang. Jika sekarang ada yang menggilai budaya K-Pop, J- Rock, Metal, Rasta, itu hanya ketutupan sementara. Mereka akan tetap kembali jadi orang Indonesia. Nggak bisa di-Arab-kan ataupun di-Barat-kan. Pancasila harga mati.
Wis ah.
-Robbi Gandamana-
*Thanks Simbah atas ilmunya.

Sabtu, 13 Mei 2017

Kita Sedang Sakit



Jangan Gampang Jatuh Cinta, Kagetan dan Nggumunan
Kelemahan bangsa Indonesia yang paling fatal adalah gampang jatuh cinta. Apalagi cintanya berlebihan, pikiran pun jadi dodol. Kalau sudah dodol, maunya minum air mineral tapi yang ditenggak karbol.

Kalau seorang Walikota memberi santunan pada tukang becak, Gubernur memberikan Umroh gratis pada para marbot, Presiden bagi-bagi hadiah itu wajar dan semestinya begitu. Mereka harus memprospek dirinya agar dipilih di Pemilu berikutnya. Agar tetap terjaga nama baiknya.

Jadi jangan kaget dan nggumun kalau ada Lurah, Camat atau Bupati membangun masjid atau sarana umum memakai dana pribadi. Mereka itu sebenarnya sedang 'kampanye'.

Memang lebih baik mencintai daripada membenci. Lebih baik berprasangka baik daripada curiga. Nggak semua hal baik yang dilakukan pemimpin rakyat itu sebuah pencitraan atau tebar pesona. Hanya Tuhan yang tahu, kalian jangan sok tahu.

Tapi memilih pemimpin harusnya bukan karena cinta atau benci. Bila karena dua hal itu, pilihan kita tidak akan berdasar pada pikiran yang jernih. Kalau sudah cinta, seandainya salah pun tetap dibela. Begitu juga kalau sudah benci, berbuat baik pun tetap dicela.

Banyak orang mewek gulung-gulung saat Ahok jadi dijebloskan ke penjara, kayak adegan di sinetron "Ratapan Anak Bombay". Meratapi pujaannya yang dijadikan tumbal kewarasan dan akal sehat anak bangsa yang dimabuk agama. Demo sampai larut malam mengganggu ketenangan publik. Itu semua karena cinta yang berlebihan.

Saya sendiri nggak sedih blas, lha lapo, wis tau. Saya sudah punya sistem imun, nggak kaget. Begitulah hukum yang berlaku di negeri ini. Vonis dijatuhkan berdasarkan pada kepentingan politik, besar kecilnya fulus dan atau tekanan publik. Begitu juga yang terjadi pada Ahok. Karena tekanan publik (mayoritas) begitu kuat, hakim pun cari selamat.

Kebencian mereka pada Gubernur Ahok yang non Muslim dan Cina, membuat mereka subyektif dalam menilai Ahok. Seandainya Ahok masuk Islam pun tetap akan dibenci. Ketika Ahok mengkritisi malah diartikan menghina, dianggap menistakan agama.

Penista agama itu kayak Salman Rushdie yang melecehkan Islam, Nabi Muhammad dan Al Qur'an lewat bukunya "The Satanic Verses". Kalau Ahok itu cuman mengkritisi politikus wedus yang menggunakan surat Al Maidah 51 sebagai alat untuk meraup suara rakyat, sasarannya adalah muslim yang masih ndlahom agama seperti saya.

Jujur Itu Aneh
Negara ini sedang sakit parah, karena terlalu lama berkubang dalam kecurangan. Hanya Tuhan yang sanggup menyembuhkan, karena kecurangan di negeri ini sudah jadi peradaban. Kalau sudah jadi peradaban, nggak bisa dirubah lagi. Nasi sudah jadi bubur. Apalagi buburnya sudah terlanjur basi. Anjing saja nggak doyan.

Hebatnya, walaupun negeri ini sakit, rakyatnya enjoy saja. Seperti tidak terjadi apa-apa. Kata Cak Nun, Indonesia adalah pasien yang tidak punya 3 pengetahuan : Tidak tahu sakitnya apa? Tidak tahu mau minta tolong siapa? Dan tidak tahu kalau dia sakit.

Karena bangsa ini sudah lama menggunakan 'produk gagal' yang penuh kecurangan yang tidak memihak rakyat dan lebih menguntungkan pembuat undang-undang, jangan berharap ada hakim yang benar-benar jujur.

Kalau kecurangan sudah jadi peradaban, maka tunggulah kehancurannya. Seperti kota Sodom dan Gomora yang dimusnahkan oleh Tuhan dari muka bumi karena seks bebas kaum homo dan lesbi yang sudah jadi peradaban.

Islam datang dalam keadaan asing, akan kembali pula dalam keadaan asing. Islam itu bukan hanya soal shalat, puasa, zakat dan seterusnya ; jujur itu juga Islam. Zaman sekarang orang jujur itu langka. Orang jujur biasanya dicap lugu, polos bahkan bodoh. Seperti kisah Paimo yang menjual HP miliknya di sebuah counter HP. Dia ditanya oleh pemilik counter, "Kenapa HP-nya dijual mas?" Paimo pun menjawab serius, "Karena kemarin kecemplung kolam mas."

Orang jujur di zaman sekarang itu kesepiaan, mereka jadi alien di lingkungan masyarakatnya. Dianggap aneh, antik, goblok dan nggak normal.

Di bidang apa pun hampir penuh dengan kecurangan, nggak jujur. Kalau ada celah untuk bisa curang, maka hal itu akan dilakukan. Di dunia kerja pun begitu. Jarang ada pengusaha jujur. Laporan pajak kebanyakan tipu-tipu. Banyak peraturan perusahaan yang dibuat untuk mencurangi pekerjanya.

Maka sebenarnya NKRI tidak harga mati. Banyak sistem di NKRI yang harus dibenahi. Yang pantas harga mati itu Pancasila dan Bhineka Tunggal Ika. Jangan sampai ideologi Pancasila diganti ideologi kacau yang diadopsi dari Arab atau Barat.

NKRI boleh berubah. Kalau memang jadi lebih baik, why not? Tapi tentu saja bukan Khilafah. Khilafah tidak cocok diterapkan di negara yang sangat beragam agama dan suku ini. Khilafah bukan syariat, itu sistem pemerintahan Arab setelah Rasulullah wafat. Tidak ada satu nash pun di Al Qur'an dan Hadits yang mengharuskan sistem pemerintahan khilafah.

Dan juga nggak perlu jadi negara Syariah. Pancasila itu sangat Syariah. Sila Ketuhanan yang maha Esa itu pengejawantahan dari Surat Al Ikhlash. Sila kedua sampai kelima juga sangat Islam. Coba dipelajari, saya bukan ustadz. Jangan sampai duduk mekangkang naik motor dikasih Perda. Kalau semua etika di masyarakat dikasih Perda, capek aparat ngurusnya. Itu urusan moral pribadi umat dengan hidupnya.

That's all.

(C) Robbi Gandamana, 14 Mei 2017




Jumat, 05 Mei 2017

Cak Nun, Kyai Yang Ideal Bagi Generasi Millinneal


Iki serius rek.
Seandainya aku jatuh cinta pada seorang pria, mungkin aku jatuh cinta pada Cak Nun (bukan dalam artian fisik, aku bukan hombreng).
Cak Nun adalah contoh ideal Kyai yang mumpuni. Ngomong agama oke, ngomong politik sip, ngomong budaya joss gandoss, ngomong opo ae asyik. Ngelawak sangat bisa, ngomong serius juga luar biasa. Dan yang paling mbois itu sepak terjangnya selaras dengan omongannya.
Cak Nun bukan bagian dari kelompok apa pun, netral. Beliau sangat otentik dan berdaulat atas dirinya sendiri. Bukan NU, Muhammadiyah, apalagi LDII atau MTA. Tapi beliau bisa merangkul dan menerima semuanya. Tidak menuding-nuding madzhab dan atau agama lain "Kafir!", "Jahannam!"
Cak Nun sanggup meniadakan dirinya. Artinya dia nggak kemaruk popularitas. Pernah beberapa kali nulis dengan nama samaran Joko Umbaran. Ada kelompok teater mementaskan naskah dramanya Cak Nun tanpa tahu itu karya Cak Nun, karena inisial penulisnya Joko Umbaran.
Menurutnya, jangan sampai melakukan sesuatu hal itu tujuannya popularitas, eksistensi, apalagi materi. Pokoknya melakukan sesuatu yang terbaik. Kalau mencari akhirat pasti dapat dunia. Maka dari itu Cak Nun tidak perduli dengan tarif tiap kali dia diundang tampil. Nggak kayak Ustadz sekarang yang pasang tarif. Ustadz dijadikan profesi.
Tuhan bukan saingannya uang. Hakikatnya Tuhan lah yang membuat uang. Kalau kamu cari Tuhan, maka akan dimudahkan mendapatkan uang dengan halal. Manusia itu derajatnya lebih tinggi dari uang. Jangan sampai ditaklukan oleh uang. Uang yang seharusnya kita taklukan. Makane sekali-sekali duwik iku dipisuhi, "Jiancok koen wik!"
Cak Nun bisa saja beli mobil mewah, rumah mewah, poligami dengan banyak istri, tapi itu semua tidak dilakukannya. Beliau hidup secara miskin, dari dulu budayanya ya seperti. Pakaiannya, kendaraannya, gayanya, cara hidupnya nggak berubah blas. Maka beliau dengan mudah berbaur dengan segala macam golongan. Dari golongan wedus sampai golongan iwak lohan.
Cak Nun tidak bercita-cita. Pokoknya lakukan saja sesuatunya dengan baik dan sungguh-sungguh, maka Tuhan pasti akan ngasih. Apa hebatnya bercita-cita terus mendapatkan yang dicita-citakannya. Yang hebat itu tidak bercita-cita tapi diam-diam Tuhan ngasih.
Sejak awal Reformasi, Cak Nun nggak mau lagi tampil di media nasional, beliau memutuskan untuk keliling Shalawatan, mencerdaskan, membesarkan hati, dan menghibur rakyat dengan kelompok musik Kyai Kanjeng. Menurutnya Reformasi itu ReformASU. Karena memang nggak murni Reformasi. Tokoh-tokoh yang dulu ikut meneriakan Reformasi ternyata ngincer jabatan, posisi, lahan basah. Maka beliau tidak mau jadi bagian dari kumpulan politikus busuk itu.
Generasi millennial banyak yang mencemooh Cak Nun sebagai Ustadz yang nggak laku. Maklum, mereka nggak tahu sepak terjang Cak Nun sejak awal. Ngertinya kalau Ustadz nggak sering muncul di TV itu nggak hebat. Cak Nun itu Ustadznya Ustadz, Kyainya Kyai. Orang sekarang baru hafal Al Qur'an terjemahan Depag (Google translate), sudah berani ngeklaim dirinya Ustadz.
Zaman sekarang, Ulama itu kayak artis yang funky dan trendy. Ulama kok kolektor barang mewah, apalagi itu diaplot (pamer) di medsos. Oke Ulama boleh kaya, tapi sebisa-bisanya tetap hidup secara miskin (sederhana). Seorang ulama harusnya bisa berpakaian yang sama dengan pakaian umatnya yang paling miskin. Ulama itu panutan umat. Nggak cuman nyuruh umatnya hidup sederhana tapi dia sendiri ngoleksi barang mewah.
Kendaraan mewah jangan disamakan dengan kuda milik Rasulullah yang hebat (istimewa). Rasulullah panglima perang, tentu butuh kuda yang hebat. Dan juga jangan nggaya niru Nabi Sulaiman sang Nabi miliuner itu. Nabi Sulaiman sebenarnya lebih memilih ilmu (kebijaksanaan) daripada harta, tapi Tuhan ngotot ngasih harta plus ilmu. Salahe sopo.
Sekarang banyak Ulama yang gemar demo. Ikutan teriak-teriak dengan bahasa yang menyakitkan orang lain. Hidup itu tidak cuman soal baik dan benar, tapi juga pantas dan tidak pantas. Ini soal etika. Pantes nggak se Ulama teriak-teriak memakai bahasa kasar yang menyakitkan hati manusia. Sampeyan iku Ulama, Rocker, opo kuning?
Paham nggak? nggak khan...aku dewe yo bingung.
Generasi Millennial yang mulai dikepung oleh ideologi kacau, radikalisme dari Arab maupun Barat membutuhkan figur panutan yang bukan dari golongan atau kelompok mana pun. Menurut saya, Cak Nun adalah figur yang sangat tepat untuk itu. Dalam pengajiannya, tak hanya muslim saja yang hadir, tapi non muslim pun banyak. Bahkan mungkin jin pun suka dengan pitutur Cak Nun yang mencerahkan dan membuka pori-pori kecerdasan itu.
Wis ah.
(C) Robbi Gandamana, 5 Mei 2017

Rabu, 03 Mei 2017

Harusnya Pengakuan Rekor Prestasi Dari MURI Tidak Pada Karangan Bunga, Tapi Pada Ahok


Syukurlah, kiriman bunga yang membanjiri Balai Kota Jakarta akhirnya diakui MURI sebagai rekor karangan bunga terpanjang yang belum pernah didapatkan oleh seorang Gubernur atau pejabat negara. Soal karangan bunga tadi settingan atau tidak, hanya Tuhan yang tahu.
Saya sendiri nggak pernah bermimpi (berharap) dapat prestasi dari MURI. Buat apa? MURI itu lembaga yang belum pernah punya prestasi apa-apa, kok kita ingin dapat pengakuan prestasi dari mereka yang belum punya prestasi. Seseorang yang dapat gelar doktor, pastilah gelar itu hasil penilaian dari para doktor yang sudah mumpuni di bidangnya.
Saya seorang tukang gambar, banyak rekan sesama tukang gambar yang berharap prestasi dari MURI. Entah itu rekor menggambar tercepat, menggambar dengan kanvas terpanjang atau nggambar dengan peserta ribuan orang. Itu semua bagi saya bukan prestasi. Prestasi itu menghasilkan karya yang baik, bukan tercepat, terbesar, terbanyak.
Muri itu hanya menilai dari segi tercepat, terbanyak, tersantai, tapi tidak yang terbaik. Itu pembodohan. Banyak orang yang 'tertipu' oleh pretasi semu semacam itu. Rame-rame kumpul di tanah lapang melakukan hal tertentu agar mendapat selembar sertifikat konyol, rekor tergemblung se-Indonesia. Apalagi demi mendapatkan prestasi (rekor) itu harus menyetorkan sejumlah uang yang tidak sedikit.
Ada seorang yang mendaftarkan diri ke MURI agar dicatat prestasinya karena tiap malam pentas wayang selama 30 tahun di sebuah taman hiburan rakyat. Mereka pun dapat sertifikat rekor pentas wayang selama 30 tahun. Yang dinilai kok kwantitasnya, kwalitasnya donggg. Tapi okelah, mungkin prestasinya adalah istiqomah dalam melestarikan budaya wayang, soal efek positif dan kwalitasnya itu nomer kesekian. Yo wis lah.
Kalau kita kembalikan ke rekor karangan bunga untuk Ahok, seharusnya pemberian rekor itu untuk sebuah prestasi, bukan pada banyak dan panjangnya karangan bunga. Jadi, bukan pada karangan bunganya, tapi prestasi Ahok memenangkan hati pendukungnya yang salut atas kerja kerasnya selama jadi Gubernur.
Sampai sini, anda paham khan? Oke, kalau begitu saya lanjutkan.
Apalagi ternyata rekor itu diberikan karena adanya himbauan dari banyak pihak. Bukan murni dari hati yang dalam dari seorang Jaya Suprana. Jaya Suprana sendiri tidak sejalan dengan cara yang dipakai Ahok dalam mengurus Jakarta. Jaya Suprana juga mendukung FPI dan malah ingin berguru ke Rizieq Syihab.
Jadi saya nggak percaya kalau penganugerahan rekor karangan bunga tadi murni dari hati Jaya Suprana. Artinya MURI memberikan gelar itu jelas ada sesuatu yang menguntungkan MURI, apa itu nama baik atau lainnya, aku gak eruh, hanya MURI dan Tuhan yang tahu.
MURI itu adopsi dari etos kegembiraan orang Barat : Guinness Book of Record. Di sana tingkat kesejahteraan tinggi, maka urusan perut sudah terpenuhi. Mereka pun bisa melakukan hal yang neko-neko tanpa terbebani pikiran akan kelaparan. Bikin kompetisi yang nggak penting dan mubazir : kuat-kuatan makan cabe, lomba paling banyak dan cepat makan ayam goreng, dan lainnya. Lomba kok menyiksa diri. Makan ayam dengan cepat dan banyak itu bukan prestasi, tapi gemblung!
Kesimpulannya, jangan berharap pengakuan prestasi (rekor) dari MURI. Nggak penting! Begitu juga dengan karangan bunga untuk Ahok, yang dicatat sebagai prestasi (rekor) itu harusnya prestasi Ahok, satu-satunya Gubernur yang karena prestasinya memimpin rakyat Jakarta sehingga mendapatkan banyak simpati berupa kiriman bunga yang melimpah.
Melakukan sesuatu itu yang terbaik, bukan yang terpanjang, terpendek, dan ter ter lainnya. Kalau cuman panjang tok tapi begitu nempel langsung keluar, itu ejakulasi dini namanya.
That's all.
(C) Robbi Gandamana, 4 Mei 2017
*Daripada membahas soal kiriman bunga, mending baca tulisan saya di sini (klik saja)­. Dijamin mencerahkan dan mencerdaskan. Jangan membaca tulisan yang cuman menyajikan berita tapi tanpa ilmu. Mubazir!

Selasa, 02 Mei 2017

10 Pemikiran Cak Nun yang Revolusioner


Sebenarnya ini adalah rangkuman dari tulisan soal Cak Nun terdahulu. Saya ambil sepuluh pemikiran saja yang paling menginspirasi. Lha wong sepuluh saja males bacanya apalagi sampai seratus, alaa raimu. Yo wis lah, semoga bisa jadi bahan renungan.
1. Negara Hukum Itu Rendah.
Hukum itu paling rendah. Di atas hukum itu ada akhlak, di atas akhlak ada taqwa, karomah, kemuliaan dan seterusnya. Jangan pernah sebuah negara jadi negara hukum. Harus kalau bisa jadi negara akhlak atau moral. Kalau negara hukum, ada orang mati di jalan, anda lewati (tidak menolong), tidak masalah menurut hukum, tapi salah menurut akhlak.
Ada orang kecelakaan anda tidak tolong, tidak masalah menurut hukum. Ada orang lapar tidak anda kasih makan, tidak masalah menurut hukum, tapi salah menurut akhlak. Maka negara hukum itu rendah. Hukum itu hanya jalan kalau ada aparatnya. Sialnya banyak aparat yang malah suka mengancam : "Wani piro!?"
Rakyat sekarang tidak punya parameter berpikir yang benar. Rakyat dgn bodoh menyelesaikan semua urusan pada negara. Baik dan buruk diserahkan pada hukum, itu bodoh! Hukum itu tidak mampu mengurusi kebaikan dan kebenaran sampai tingkat yang diperlukan manusia. Hukum itu tahunya satu level kecil, orang nyopet yang dilihat nyopetnya, dia tidak pernah bertanya kenapa nyopet.
Kewajiban negara menghukum secara hukum (yuridis), masyarakat menghukum secara kebudayaan dan moral. Tapi sekarang hukuman kebudayaan dan moral ini sudah tidak dipegang oleh rakyat. Ingat penyanyi cowok yang terlibat kasus penyebaran video cabul dirinya dengan sejumlah artis, setelah keluar penjara malah dielu-elukan, dicium tangannya, jadi bintang besar.
2. Surga Itu Nggak Penting
Kalau orang cari surga mungkin akan dapat surga, tapi surganya tidak seindah kalau tujuannya Tuhan. Sebab kalau dia cari Tuhan pasti dapat surga. Tauhid itu menyatukan diri dengan Tuhan, bukan dengan surga. Surga itu efek akibat, pelengkap penderita dari penyatuan kita dengan Tuhan.
"Surga nggak penting", itu cuman ungkapan, tidak ada maksud meremehkan surga. Surga tetap penting. Cak Nun tidak anti surga. Itu ungkapan orang yang level imannya di atas rata-rata. Ibadahnya dalam rangka bersyukur (merdeka), bukan karena minta imbalan dan takut neraka. Bukan seperti kita yang Shalat Dhuha berharap jadi PNS, naik haji berharap dagangannya laris, sedekah Avanza berharap dapat kembalian Alphard, Tuhan diperlakukan sebagai mitra bisnis.
3. Hak Asasi Manusia Itu Menipu
Hanya Tuhan yang punya hak, manusia punyanya hanya kewajiban. Satu-satunya hak manusia adalah memilih pemimpin saat Pemilu. Seseorang punya hak di masyarakat atau negara karena punya 'saham'. Orang yang tidak bayar pajak, tidak punya andil di masyarakat, dia tidak punya hak apa pun di masyarakat. Jadi yang benar itu bukan Hak Asasi Manusia tapi Wajib Asasi Manusia.
Hak Asasi Manusia adalah ideologi yang Anti Tuhan. Atas nama Hak Asasi, orang boleh menikah dengan sesama jenis, bahkan dengan hewan. Manusia begitu menyanjung kebebasan. Padahal kebebasan adalah jalan menuju batasan. Kalau manusia tidak tahu batasannya, mereka akan jadi binatang, bahkan lebih rendah.
Jadi, kita nggak butuh ideologi HAM yang diadopsi dari Barat itu. Kita punya Hukum Negara maupun Hukum Adat untuk mengatasi pelanggaran hukum apa pun.
4. Kita Semua Sesat
Kalau ada orang yang ngakunya paling benar dan lurus itu berarti dia sombong. Lha wong semua Nabi saja ngakunya dzalim kok. Walau dijamin surga, semua Nabi tidak pernah menyombongkan ilmu dan imannya.
Kalau kamu sudah merasa sudah benar dan lurus, jangan mendatangi pengajian. Pengajian itu tempatnya orang yang merasa salah, merasa masih sesat, merasa rapuh imannya, merasa sedikit ilmunya. Penganjian itu bukan mengajari, tapi kumpulan manusia yang bersama-sama mencari derajat yang lebih tinggi di hadapan Allah.
Tiap hari seorang muslim diwajibkan selalu membaca doa dalam Shalat, "ihdinas siratal mustaqim" (tunjukan kami jalan yang lurus). Artinya, walaupun sudah shalat, puasa, zakat dan haji, tetap kita masih butuh petunjuk ke jalan yang lurus.
Kebenaran (sejati) itu tidak ada, yang bisa dilakukan manusia itu sebisa mungkin menuju kebenaran. Kebenaran itu ada 3 : benarnya diri sendiri, benarnya orang banyak dan kebenaran sejati. Dan yang bikin kita bentrok itu karena seseorang atau umat ngotot dengan benarnya sendiri.
Jadi nggak usah sombong dengan madzhabmu, sektemu, aliranmu. Islamnya NU, Muhammadiyah, LDII, MTA, dan lain-lainnya itu tidak ada yang betul-betul benar, semua dalam rangka mencari Islamnya Rasulullah.
5. Tidak Ada Tafsir yang Betul-betul Benar
Suara kokok ayam versi orang Madura itu "kukurunuk", orang Sunda "kongkorongkong, orang Jawa "kukuruyuk". Yang benar yang mana? semuanya salah. Yang benar adalah taruh ayamnya di tengah ketiga orang tadi dan sama-sama mendengar suara kokok ayamnya.
Jarak antara kokok ayam dengan kita menirukan suara kokoknya itu namanya tafsir. Tafsir itu melahirkan madzhab dan pengelompokan-pengelompokan. Itu karena pendengaran tiap orang berbeda terhadap suara kokok ayam.
Kita harus saling menyadari bahwa yang benar itu ayamnya bukan kokoknya. Antara tafsir 'kukuruyuk', 'kukurunuk' dan 'kongkorongkong' harus saling menyadari kelemahan masing-masing sehingga tercipta toleransi. Kalau nganggap benarnya sendiri, egois atau egosentris dengan tafsirnya sendiri maka akan terjadi bentrok.
Jadi, tidak ada tafsir yang betul betul benar. Anda boleh menafsirkan menurut pikiranmu yang penting itu membuatmu menjadi lebih dekat, lebih cinta pada agama dan Tuhanmu. Dan tentu saja tidak menimbulkan kemudharatan umat.
Sebenarnya menafsirkan Al Qur'an itu hanya bisa dilakukan oleh ahli tasfir, kita sebagai orang awam bisanya hanya tadabbur, mencari manfaat dari pergaulan kita dengan nilai-nilai Islam (terutama Al Qur'an). Parameter keberhasilannya adalah yang penting kita menjadi lebih baik sebagai manusia.
Paham atau nggak paham itu bukan parameter. Benar atau tidak benar pemahamanmu itu juga bukan parameter. Parameternya adalah setelah kamu baca dan mencintai Al Quran kamu menjadi lebih dekat pada Allah apa tidak, lebih beriman apa tidak, kamu lebih baik menjadi manusia apa tidak.
6. Ucapan Ulama Itu Bukan Kebenaran
Ucapan Ulama, Kyai atau Ustadz itu bukan kebenaran, tapi tafsir. Saya sudah bahas tadi bahwa tidak ada tafsir yang betul-betul benar. Jadi ucapan ulama kayak apa pun itu tidak mutlak benar. Yang pasti benar itu Al Quran, bukan tafsir yang diucapkan Ulama atau siapa pun.
"Yang saya omongkan tidak harus anda anut. karena anda berdaulat atas diri anda sendiri, anda bertanggung jawab atas diri anda sendiri di hadapan Allah. Jadi setiap keputusan, langkah, pikiran dan sikap anda harus berasal dari anda sendiri karena nanti tanggung jawabnya juga anda sendiri. Saya bukan makelar umat! " Kata Cak Nun.
"Saya tidak bisa mempertanggungjawabkan kelakuan anda. Saya bukan Nabi Muhammad. Kalau Muhammad harus ditaati, karena bisa menolong kita. Sedangkan saya tidak bisa menolong anda. Tugas Ulama itu mempopulerkan Rasulullah, jangan sampai lebih populer dari Rasulullah, " lanjutnya.
Apakah Kyai, Ulama, Ustadz bisa menyelamatkan kamu? tidak bisa. Begitu juga dengan pemuka agama yang lain, tidak bisa menyelamatkan kita. Hanya kamu yang bisa menyelamatkan kamu sendiri di hadapan Allah. Maka kalau kamu beribadah pada Allah jangan ada siapa-siapa (antara kamu dan Allah).
Jadi jangan taat pada Ulama, Kyai, Ustadzmu. Bahkan pada orang tua sendiri pun nggak harus taat kok. Pada orang tua kita hanya diwajibkan berbuat baik. Walau wujud berbuat baik itu adalah taat, tapi hakikatnya taat itu hanya pada Allah.
---"Anak-anakmu bukanlah anak-anakmu. Mereka adalah anak-anak kehidupan yang rindu akan dirinya sendiri. Mereka terlahir melalui engkau tapi bukan darimu. Meskipun mereka ada bersamamu tapi mereka bukan milikmu. Pada mereka engkau dapat memberikan cintamu, tapi bukan pikiranmu. Karena mereka memiliki pikiran mereka sendiri.­­....." (Kahlil Gibran)--­­­­­-
"Jangan pernah punya keputusan yang tidak otentik pada diri anda. Artinya kalau shalatmu itu ya shalat kamu dan Allah, itu otentik. Bukan kamu plus Cak Nun, plus Kyai, plus Ustadz, plus Ulama dan Allah, " kata Cak Nun.
"Jangan mau ditipu oleh siapapun yang menghadir-hadirkan Tuhan kepadamu. Yang menghalang-halangi hubunganmu dengan Allah. Jangan percaya kepada Cak Nun, Kyai, Ustadz atau siapapun. Itu hak pribadimu untuk menemukan Tuhanmu dengan gayamu dan caramu, " kata Cak Nun lagi.
7. Kemuliaan Itu Melakukan Kewajiban yang Tidak Disukai
Kita selalu menjawab "Suka!" saat ditanya, "kamu suka puasa Ramadhan nggak?" Padahal tidak ada seorang pun yang suka puasa. Orang melakukan puasa itu karena perintah wajib. Tuhan sengaja mewajibkan puasa karena manusia tidak suka. Kalau manusia sudah suka, ngapain diwajibkan.
Justru baik kalau orang yang tidak suka puasa tapi tetep puasa. Apa hebatnya melakukan puasa kalau sudah suka puasa. Yang gemblung itu yang puasa tapi mencari jalan bagaimana caranya agar tidak merasa lapar. Dengan cara minum suplemen atau cara lain. Lha wong puasa itu agar kita merasa lapar, mencicipi penderitaan orang miskin. Cuman mencicipi, nggak merasakan benar susahnya jadi orang kere yang paginya sahur sorenya nggak pasti berbuka.
Nggak cuman puasa, sepertinya semua ibadah wajib nggak ada yang kita suka. Cobalah untuk jujur pada diri kamu sendiri. Nggak papa nggak suka, asal tetap ikhlas melakukan ibadah tersebut dengan baik. Itu lah kemuliaan. Letak kemuliaan itu melakukan hal yang tidak disukai tapi tetap ikhlas melakukannya, karena tahu kewajiban dari Tuhan itu pasti baik dan bermanfaat.
Jadi, jujurlah kalau sebenarnya kamu tidak suka menjalankan kewajiban ibadah.
8. Melayani Umat Bukan Dagang
Allah 'membeli' sembahyang, pelayanan dan cinta kita padaNya. Ongkosnya adalah segala macam rahmat dan berkah alam semesta yang dihamparkan pada kita. Jadi Allah sangat menjual murah rahmatNya itu hanya agar kita shalat, puasa dan lainya. Tapi Allah tidak menjual martabat (harga diri) Nya.
Kehancuran manusia sekarang itu karena di setiap bidang tidak diurai mana hal yang boleh dijual dan mana yang tidak boleh dijual. Guru mengajar itu bukan jualan ilmu. Dia menerima gaji karena waktu, energi yang dipakai si guru saat mengajar, bukan karena ilmu dan martabatnya. Martabat tidak boleh dijual.
Dokter menyembuhkan orang sakit itu bukan peristiwa dagang. Pasien membayar dokter itu yang dibayar obatnya, waktu dan energi si dokter, juga ikut urunan alat dan sarana yang dibeli dokter untuk menyembuhkan pasien.
Ustadz, Motivator dan sejenisnya, jangan pasang tarif. Pekerjaan memotivasi, mengajari, menyemangati, mencerahkan, mencerdaskan orang itu melayani umat, bukan jualan ilmu dan martabat. Kalau kita membayar Ustadz, itu karena kita menghargai waktu dan energi si Ustadz saat menyampaikan ilmunya.
Kalau mengajar, mengajarlah yang baik. Kalau menulis, menulislah yang beneran, nggak usah mikir tarif. Bahkan jualan nasi pun, nggak perlu dipikir labanya tapi bagaimana caranya bikin nasi yang baik dan sehat, jualan yang sopan, bertanggung jawab pada pembeli, pasti akan dapat rejeki.
9. Belajarlah Memilih Pemimpin, Bukan Dipilih
Pemimpin yang baik itu yang diajukan rakyat, yang didorong-dorong agar maju jadi pemimpin, bukan mereka yang mencalonkan diri. Seperti juga Imam Shalat, Imam yang baik itu yang diajukan oleh makmum, bukan diri sendiri yang mengajukan dirinya jadi imam. Sampeyan iku sopo mas?
Di Al Qur'an tidak ada perintah untuk menjadi pemimpin (yang ada hanya kriteria pemimpin). Yang disuruh Allah belajar adalah memilih pemimpin. Jadi urusannya adalah memilih, bukan dipilih. Kalau ada debat "Bagaimana supaya dipilih jadi pemimpin" itu berarti menyalahi Al Qur'an.
Manusia itu harusnya bisa rumangsa, bukan rumangsa bisa. Kita itu hamba Tuhan, kita punya muka, punya malu, punya martabat. Tapi kita sudah terlanjur mempermalukan diri dengan proses yang ada selama ini. Seharusnya sejak awal pemimpin itu sudah tumbuh secara natural, sosial, kultural.
"Rumus saya : barang siapa yang masih mencalonkan diri (jadi pemimpin), saya sudah tidak percaya lagi pada dia. Kalau negeri ini masih hidup dengan orang yang mencalonkan diri, negeri ini bakalan hancur, " kata Cak Nun.
10. Jangan Sampai Diperalat Sekolah
Belajar boleh pada apa dan siapapun. Nggak masalah mempelajari Fir'aun, Hitler, Che Guevara, Fidel Castro. Semua yang ada di dunia ini adalah cahaya ilmu. Selama kita dewasa, kita nggak akan gampang 'masuk angin' oleh kalimat kayak apapun. Yang penting nggak mudah terseret untuk menyalahkan atau membenarkan. Ambil saja makna dan manfaatnya. Simpan yang baik, tendang jauh-jauh yang mblendes.
Kalau kita cermati saat bayi baru lahir. Kok si bayi ini menggerak-gerakan mulutnya, bisa tahu tempat dan caranya menyusui. Kok bisa anak kucing yang masih merah bisa tahu puting susu induknya. Maka sebenarnya pendidikan itu jangan ge-er, guru itu tidak bisa mengajari orang, guru itu bisanya menemani. Agar murid punya bahan dalam rangka meneliti dirinya sendiri. Kalau kita tidak tahu diri kita ini siapa, bagaimana kita tahu kemampuan kita.
Kalau nggak tahu kita ini kiper apa penyerang, maka saat di lapangan sepakbola, kita bakalan kebingungan, aku iki lapo nang kene? Kalau kucing jangan diajari menggongong. Kalau kambing jangan diajari terbang. Maka kenali dirimu, barang siapa mengenali dirinya sesungguhnya ia mengenali Tuhannya.
Kalau kamu bernama Paimo. Apa kamu itu memang Paimo? Itu khan nama yang diberikan bapakmu. Kalau kamu menamai dirimu sendiri, pasti bukan Paimo. Jadi dirimu itu bukan Paimo, bukan Markeso, bukan semua itu. Dirimu dijadikan tertutup. Begitu kamu punya orang tua, begitu masuk sekolah TK sampai kuliah, kamu ditutupi. Tugas sekolah adalah membuka tabir siapa dirimu, memberikan alat supaya mengenal dirimu. Tapi, sekolah malah menutup-nutupi dan malah ditambahi sarjana anu, ditambah doktor, ditambah kepala dinas, dsb.
"Kamu itu harus jadi tuan, sekolah itu alat anda, jangan sampai diperalat sekolah. Andai kamu perlu ijazah, oke no problem, ikutilah aturan sampai mendapatkan ijazah. Tapi tidak ada hubungannya dengan cari ilmu. Kalau cari ilmu ya banyak tempatnya, tidak hanya di sekolah. Kuliah itu mencari ijazah untuk membahagiakan orang tuamu. " kata Cak Nun yang pendidikannya hanya sampai semester satu Fakultas Ekonomi UGM tapi otaknya nggak kalah dengan Profesor yang paling top.
Jadi jangan salah niat. Kalau niatnya mencari ilmu, goblok! Kita bersekolah itu biar punya sertifikat buat mencari pekerjaan. Sekolah itu tidak mengenal Tuhan. Tuhan tidak diakui secara akademis. Karena Tuhan tidak bisa diteliti, didata, dianalisis dan disimpulkan. Segala sesuatu yang tidak memenuhi persyaratan akademis (nggak ilmiah) itu tidak diterima. Jadi semua universitas itu sebenarnya atheis!
Jangan terjajah oleh dunia pendidikan. Penting mana anda sekolah atau belajar? Anda 'diperalat' sekolah atau anda 'memperalat' sekolah? Anda bergantung pada sekolah ataukah sekolah yang tergantung pada anda? Terhadap pendidikan, jadikan anda subyek dari sekolah, bukan obyek sekolah.
******
Sebenarnya masih banyak pemikiran Cak Nun yang dahsyat, tapi jujur, saya capek nulisnya, enak awakmu moco tok. Lagian anda juga pasti males bacanya, ngaku saja. Saya sudah beberapa kali nulis pemikiran-pemikiran Cak Nun. Banyak bajingan internet yang mengcopy paste (seluruh tulisan atau cuman satu dua kalimat) tanpa ijin, tanpa menyertakan nama penulis dan link.
Tulisan saya dulu yang "Surga Itu Nggak Penting" dicopy paste oleh beberapa situs nggak jelas, inisial penulisnya diganti bukan saya, tapi Cak Nun. Sehingga orang mengira Cak Nun sendiri yang nulis. Akibatnya, Cak Nun (seharusnya saya) dicibir banyak pembaca yang hati dan pikirannya nggak luas, yang memahami pemikiran Cak Nun dengan sangat gemblung dan sempit. Jadi sekarang, dilarang keras copy paste! Kalau ingin ngeshare, share dari link tulisan ini.
Ya Alloh, jauhkan tulisan saya dari tukang copy paste yang kemaruk popularitas. Berilah mereka hidayah. Aamiin.
(C) Robbi Gandamana, 2 Mei 2017