Rabu, 31 Januari 2018

Ketika Rumah Tuhan Digembok Rapat



Dulu di tahun 80an, jumlah masjid nggak sebanyak sekarang. Dalam satu kelurahan paling-paling hanya ada 1 masjid. Itu pun bangunannya nggak luas dan semegah masjid-masjid (masjid kampung) sekarang. Beda dengan saat ini yang dalam satu kampung pun bisa ada 2 bahkan  3 masjid.
Rupanya zaman sekarang ini banyak orang yang 'menyuap' Tuhan agar masuk surga. Membangun masjid yang tidak jauh dari masjid yang lain. Masjid yang sudah ada saja suepi, lha kok mbangun masjid baru. Masjid  yang ada tidak dimaksimalkan.
Tapi sekarang tidak semua masjid bisa dipakai untuk semua madzhab Islam. Ada masjid yang ekslusif, hanya untuk sekte tertentu. Orang di luar madzhabnya najis, bekas tempat shalatnya dipel. Aku pernah dulu kesasar shalat di masjid khusus aliran Nganu. Saat memasuki masjid disuruh menekuk (mencingkrangkan) celana.
Lha lapo Tuhan ngurusi model celono. Bagiku yang penting celana bersih dan menutupi aurat. Beres. Tapi aku salut kalau bercelana cingkrang karena ingin meniru persis kostumnya Rasulullah yang dilakukan beliau karena menghormati budaya Arab di zaman itu. Tapi nggak salut kalau bercelana cingkrang karena hadits "celana di atas mata kaki dibakar di neraka".
Ayat kok cuman dibaca dan dihafal, tidak mendalami ada apa dibalik ayat. Dalam budaya Arab  di zaman itu tidak elok jika celana menutupi mata kaki, karena kain mahal. Orang yang ngeyel pakai celana menutup mata kaki itu sombong. Dan orang sombong dibakar di neraka. Jadi ayat itu bicara soal kesombongan bukan soal model celana.
Wajar kalau sering jadi bahan tertawaan, lha wong memahami ayat sebatas harfiah, tekstual. Seperti juga ayat soal memelihara jenggot dan mencukur kumis. Tapi aku nggak ingin membahasnya, nggak enak nanti ada yang darah tingginya kumat.
Oke, kembali ke soal masjid.
Karena masjidnya banyak dan berdekatan, maka saat datang waktu shalat, suara adzannya heboh banget. Tapi, sekeras apa pun volume suara speaker-nya nggak bakalan ada yang berani protes. Dijamin. Berani protes, difentung ndasmu.
Banyak orang yang fanatik tapi nggak cerdas. Nggak paham konteks apalagi substansi. Ada orang memprotes volume adzan, langsung dituduh benci atau anti adzan. Helllowwww, yang dipermasalahkan volume-nya, bukan adzannya whoiii.
Speaker yang terlalu keras juga rawan terjadinya perpecahan umat. Sering aku jumpai khotib shalat Jum'at yang berapi-api teriak, "hanya agama Islam yang diterima disisiNya, yang lain ke laut aja!" Dia nggak sadar kalau suaranya terdengar jelas oleh umat agama lain di luar masjid. Ayat itu khan untuk pemahaman kita, soal intern, bukan untuk diperdengarkan ke umat agama lain.
Bayangkan saja jika ada gereja yang pidato pendetanya terdengar jelas oleh kita yang muslim, "Kita adalah umat pilihan bla bla bla..Muhammad itu bukan Nabi tapi cuman pencatat sejarah bla bla bla." Opo nggak langsung pecah ndase awake dewe.
Sekarang, masjid di kampung nggak kalah sama masjid jami' di tengah kota. Bangunan yang sudah megah pun masih tetep dipoles, dikusuk-kusuk biar kempling, atau direnovasi karena model bangunannya nggak up to date. Itu terjadi karena uang kas masjid numpuk. Daripada bingung, akhirnya buat renovasi ajza dwech ach.
Memang dianjurkan memperindah masjid. Tapi rasanya kok fals kalau masjid yang sudah megah direhab habis-habisan dengan dana milyaran, tapi di sekitarnya masih banyak orang kere stadium 4.
Nggak salah kalau Habib Luthfi bin Yahya menyarankan uang yang masuk ke masjid jangan diatasnamakan wakaf atau sedekah jariyah, tapi dana sosial saja. Biar alokasinya tidak hanya kembali ke masjid saja. Jika diatasnamakan wakaf atau sedekah jariyah, maka kas masjid akan menumpuk karena tidak bisa dialokasikan ke yang lain.
Menurut Habib Luthfi, dana sosial yang terkumpul di masjid bisa untuk mendirikan supermarket, toko kecil-kecilan, membeli lahan sawah atau kebun. Lahan ditanami singkong atau padi. Hasilnya untuk kepentingan masyarakat umum, seperti membantu biaya pemakaman, membelikan sarung untuk jama'ah masjid yang tidak mampu, membantu modal usaha, dan lainnya.
Tapi silakan, saran Habib Luthfi dilaksanakan atau tidak itu urusan yang punya masjid. Dilaksanakan monggo, nggak dilaksanakan matio. Aku juga cuman nunut sholat tok, gak pernah nyapu atau ngepel di masjid. Kadang juga cuman nunut ke toilet. Gratis.
Sekarang ini banyak masjid yang nggak welcome. Setelah shalat isya', pagar masjid digembok rapat. Terutama masjid besar dalam kota. Bahkan ada yang siang hari pun pagarnya tertutup rapat. Asmosfir eh..samosir eh..mas kadir eh..musafir jadi sungkan mampir untuk shalat atau sekedar leyeh-leyeh di teras masjid. Iku masjid opo Toko Emas se rek. Wedi banget kemalingan.
Setahuku barang paling berharga di masjid itu adalah seperangkat alat pengeras suara (tentu saja Al Qur'an lebih berharga, cuman nggak laku dijual). Peralatan itu ada di ruang khusus di sebelah pengimaman yang pintunya terkunci. Jadi tidak perlu mengunci pagar. Berprasangka baik saja lah, musafir itu tahu diri, mereka memilih tidur di teras depan masjid bila pakaian atau kakinya bau ikan asin.
Masjid itu rumah Tuhan, Tuhan  pasti melindunginya. Tapi Tuhan bukan Satpam. Barang milik masjid bisa dicuri juga walau prosentasinya kecil banget. Itu terjadi karena keteledoran manusianya (biasanya kotak  amal). Yang sering kehilangan itu barang milik jamaahnya. Selalu saja ada kisah sinetron "Sandal yang Tertukar".
Bila ada properti milik masjid dimaling, pasti ada yang nggak beres dengan masjid itu. Dan itu nggak ada hubungannya dengan digembok atau tidak. Jangan salah, pagar digembok rapat pun maling selalu bisa menemukan jalan masuk. ­
Menurutku masjid yang wasyik itu yang tidak berpagar, welcome banget. Jika pun ada pagarnya, itu lebih pada untuk aksesoris keindahan atau tanda batas teritorial. Bukan untuk keamanan semata. Pagar tadi bisa jadi untuk melindungi dari hewan piaraan warga yang suka nyelonong dan pup sembarangan.

Nggak heran kalau musafir (yang suka touring) lebih memilih menginap di mushola POM bensin. Di sana sangat welcome jaya 24 jam nonstop.
Makanya masjid itu butuh marbot, seseorang yang menjaga dan merawat masjid. Masjid jadi terawat, terbuka selama 24 jam nonstop, nggak digembok. Marbot itu bisa  mahasiswa perantau atau orang yang dibayar khusus. Lumayan, disamping masjid jadi aman dan terawat, juga membantu ngasih kost gratis.
Ada juga orang yang membangun masjid tapi mentalnya nggak siap masjidnya jadi milik umat. Nggak suka musafir menginap atau tidur di masjid. Kamar mandinya disetting tidak untuk umum. Orang luar jadi sungkan numpang beol atau mandi ke toiletnya. Walaupun nggak terang-terangan melarang, tapi bisa dirasakan dari keadaan toiletnya yang tidak ada grendel dan gantungan bajunya.
Masjid seperti itu biasanya berada di dekat perumahan baru yang masih dibangun. Kuli-kuli bangunan kalau jam istirahat mampir ke masjid, mandi dan dilanjutkan maksi. Setelah itu banyak bekas kaki kotor dan puntung rokok di toilet . Pengurus masjid stress. Grendel pintu toilet pun dicopot dan mesin pompa air dimatikan. Padahal itu bisa jadi ladang jihad bagi si pengurus, membersihkan bekas kaki dan puntung rokok tadi.
Itulah kebanyakan manusia sekarang, beragama tapi dengan pola pikir materialisme. Membangun masjid untuk 'menyuap' Tuhan. Sudah ada masjid tapi membangun masjid tidak jauh dari situ. Mbangun masjid dipersembahkan untuk Tuhan, tapi nggak rela kalau ada musafir nunut  leyeh-leyeh. Nggak yakin amat kalau masjid itu rumah Tuhan.
Yang  parah lagi membangun masjid untuk membeli suara umat. Masjid dijadikan alat politik. Wedusss. Oala embuh wis. Ajur Jum.
-Robbi Gandamana-

Tidak ada komentar:

Posting Komentar