Senin, 26 Februari 2018

"Bomb City", Ketika Manusia Dihukum Karena Penampilannya




"Bomb City", salah satu film keren di antara film-film superhero menyebalkan di sepanjang tahun 2017. Film berdasar kisah nyata yang berkisah tentang pembunuhan Brian Deneke, seorang Punker, dalam sebuah tawuran antara anak Punk dan kelompok anak kelas menengah yang bernama "The Preps".
Pembunuhan itu menyeret anak orang terkaya di Amarillo, Texas, yang bernama Cody Cates (nama samaran, aslinya bernama Dustin Camp). Cody Cates bukannya masuk penjara, ia di vonis masa percobaan dan diizinkan bebas. Iya, bebas merdeka Ndes. Subhanalloh.
Di persidangan, pengacara Cody Cates menyoroti aksesoris punk milik Brian Deneke (jaket kulit bertuliskan"Destroy Everything", seutas rantai, dan sepatu boot khas militer), sebagai ancaman bagi masyarakat. Menurutnya itu semua adalah alat untuk mengintimidasi. Pengacara Cody pun berhasil mempengaruhi juri, sehingga Cody Cates terbebas dari segala dakwaan.
Padahal semua aksesoris, tulisan pada kostum anak Punk itu cuman refleksi jiwa khas anak punk yang berjiwa bebas dan pemberontak. Jika saya pakai jaket bertuliskan "Kill 'Em All", apakah itu bisa jadi kesimpulan bahwa saya akan membunuh semua orang yang akan saya temui? Enggak khan.
Kisah film ini menarik karena terjadi di Amrik yang katanya sangat menghormati privasi itu. Tapi wajar bila cerita itu terjadi di sini. Ingat kejadian di wilayah Indonesia barat dulu, ada sekelompok anak Punk yang ditangkap, dicukur rambutnya, dan dipaksa berpakaian seperti pakaian orang pada umumnya. Itu aneh, harusnya orang dihukum karena perbuatannya bukan karena penampilannya.
Overall, film ini okelah. Mungkin juga karena related denganku yang juga pernah urakan di masa muda dulu (sekarang sudah sopan).
Film ini diawali narasi oleh Marilyn Manson :
"Weneske wenesko hewes hewes bla bla bla....Saat ini, semua orang ingin menyalahkan musik, menyalahkan film-film. Tapi kau tahu, kita lupa jika kita punya orang mati yang tergantung di kayu di ruang tamu. Dan itu sesuatu yang kita sembah seumur hidup kita. Jika kau berpikir salib sebagai barang dagangan massal dalam sejarah dunia, aku selalu merasa itu cukup menarik. Bla bla bla...
Menurutku apa yang mulai membuat orang bingung saat ini adalah mereka anak yang masih remaja. Kenapa mereka marah? Mereka anak kulit putih kelas menengah yang manja. Itu permasalahan sebenarnya.
Ataukah karena mereka tahu Amerika adalah kebohongan? Ataukah karena mereka ingin merasa tak pernah cukup baik, kau tahu? "Kau tak pernah cukup baik untuk beasiswa," "Untuk mobil, untuk wanita." "Tak pernah cukup baik untuk terkenal selama 15 menit."
Lalu, apa kita terkejut kenapa mereka marah atau kenapa mereka berakhir mati, kau tahu? Kenapa harus kekerasan? Karena, kau tahu, itu perbuatanmu, Amerika. Apa yang kau harapkan?"
******
Tema film ini sebenarnya sangat klise, Intinya jangan menilai seseorang hanya dari penampakan luarnya, atau dalam bahasa teman saya : "Don't judge a book by its cover". Tapi yang terjadi di Amarillo, Texas saat itu adalah orang pantas mati hanya karena berpenampilan urakan, Punk.
Apalagi si pembunuh adalah anak orang kaya yang terpandang di masyarakat yang sanggup membayar pengacara yang paling handal. Jadi si pembunuh bisa dengan mudah bebas lenggang kangkung dari dakwaan.
Btw, Brian Deneke adalah vokalis band punk lokal The White Slave Traders. Brian juga seorang seniman Pop Art. Sampai sekarang masih terpajang 3000-an Papan Tanda unik karyanya di lingkungan sekitar Amarillo, Texas.
Brian adalah Punker yang mandiri. Umur masih belasan sudah tidak bergantung ortu. Dia bersama saudaranya, Jason Michael, menyewa sebuah bangunan kosong untuk membuat club kecil-kecilan ajang kumpul sesama Punker dan menggelar konser khusus band Punk. Jauh dibandingkan dengan kelompok kelas menengah manja itu. Yang kerjanya cuman bersenang-senang menghabiskan duit buapaknya.
Bibit permusuhan anak punk dengan kelompok "The Preps" berawal dari saling ejek saat bertemu di sebuah cafe lokal. Selanjutnya kelompok kelas menengah itu selalu memulai bikin ulah pada anak Punk, termasuk melempar botol bir ke kepala Brian Deneke saat bermain skateboard sendirian suatu malam, yang menyebabkan pelipisnya robek berdarah.
Klimaks dari kemarahan Brian Deneke Cs. terhadap "The Preps" adalah saat salah satu teman Brian, Jhon King, dikeroyok oleh "The Preps" karena Jhon King  meminta pertanggungjawaban atas pecahnya kaca jendela club karena dilempar Papan Tanda Jalan oleh anak "The Preps" sesaat sebelumnya.
Perkelahian hebat antar kedua kelompok berseteru pun tidak bisa dielakan. Itu terjadi di Western Plaza Shopping Center (tempat populer untuk nongkrong di Amarillo, Texas). Berakhir dengan matinya Brian Deneke karena sengaja ditubruk dan dilindas oleh Cody Cates dengan mobil Cadillac milik bapaknya.
Urusan pun jadi panjang, karena pembunuhan termasuk kasus kriminal berat. Aparat hukum pun turun tangan. Tapi sayangnya, kasus tersebut dimenangkan oleh si pembunuh karena paradigma kolot dan nama besar orang tua si pembunuh. Keadilan tidak berteman dengan kaum marjinal.
Film ini pun diakhiri dengan narasi Marilyn Manson (sambungan dari narasi di awal film) :
"Bla bla bla wenesko weneske...Ada anak Punk remaja yang dilindas oleh atlet sekolahan kulit putih dengan mobil Cadillac ayahnya. Anak ini tewas karena dia terlihat berbeda. Hal ini terjadi, dan anak ini telah membunuhnya. Dan itu jelas bersalah, dia bahkan mengakui kesalahannya. Tapi tebak dimana atlet All-American ini berada sekarang? dia kuliah.
Hakim Juri merasa anak Punk itu pantas mati karena terlihat urakan. Tidak hanya meninggal, di persidangan dia dibunuh lagi. Karena mereka mengkritik gaya hidupnya. Karena dia tak mengenakan kemeja Tommy Hilfiger dan celana kain, tahu khan? Lalu si pembunuh bahkan mendapat tepuk tangan saat kelulusan. Karena dia seorang bintang futbol. Mimpi Amerika, kuat, normal. Dia tak pernah seharipun di penjara.
Jadi siapa yang kita salahkan? kau tahu? Semua ingin berkata, "Terlalu banyak kekerasan, terlalu banyak kekerasaan saat ini," Bla bla bla...
Menurutku itu pertanyaan yang harus kita tanyakan di diri kita saat ini. Dan, ya, tanyakan dirimu jika setiap kali kau menonton kamera jurnalis di tempat kejadian, atau di pemakaman, atau saat pesawat jatuh.
Aku akan jujur saat ini. Kau menatapku, aku melihat diriku sendiri di monitor, kau tahu? Kita duduk didepan TV dan kita adalah TV. Kita tiruan yang menatap sebuah tiruan pada tiruan dan tiruan. Pada akhirnya Xerox yang mengalami penurunan. Kita tak tahu mana yang duluan. Dan di sana lah kita saat ini. Dan aku akan serahkan itu kepadamu."
Zuukkk.
***
Detail Film :
  • Judul: Bomb City
  • Rilis : 31 Maret 2018
  • Pemeran : Dave Davis (Brian Deneke), Glenn Morshower (Cameron Wilson), Logan Huffman (Ricky), Lorelei Linklater (Rome), Eddie Hassel (Oles), Henry Knotts (Jhon King), Dominic Ryan Gabriel (Jason Michael), Luke Shelton (Cody Cates), Marilyn Manson (dirinya sendiri).
  • Sutradara: Jameson Brooks
  • Genre: Action, Crime, Drama
  • Skor: 7.3/10
(Sumber : http://www.imdb.com)
-Robbi Gandamana-

Salut Buat Bayu, Film Berbahasa Jawa Bukan Tontonan babu




Dulu, saat pertama kali lihat wajahnya Bayu Skak di pidionya, aku nggak yakin, iso opo arek iki. Raine kemaplok, wis pokoke madesu alias masa depan suram. Tapi ternyata apa yang dilakukan Bayu Skak sekarang dengan film "Yowis Ben" yang berbahasa Jawa itu, aku langsung berupa pikiran. Mantap my man!
Lewat filmnya tadi, dia mengekspresikan kecintaan dan kebanggaannya dengan Jawa-nya. Sekaligus ajang pembuktian--> Jangan pernah meremehkan orang Jawa!
Kalau ada yang membully dengan menyebutnya sebagai film khusus babu atau TKW, itu karena mereka nggak punya resolusi pandang yang luas. Mereka terpenjara oleh mindset yang diciptakan sinetron. Di tayangan sinetron orang yang berbahasa Jawa medok itu biasanya berperan sebagai babu, TKW, wong ndeso, kampungan, lugu dan ndlahom.
Mindset sinetron itulah yang membuat banyak orang Jawa merasa rendah diri (inferior) dengan ke-Jawa-annya. Dengar saja penyiar radio-radio di Jawa yang kebanyakan memakai bahasa Indonesia Jakarta (Betawi), "Lu kok baru nongol sich bang...gimana nich kabarnya...sombong yee..gua kira elo udah koit.." Padahal host-nya cah mBantul.
Jadi, aku mendukung 100% Bayu Skak dengan film berbahasa Jawa-nya itu. Dia berusaha membalikan mindset yang diciptakan sinetron, bahwa orang Jawa tidak se-ndlahom itu. Bahkan orang-orang besar di negeri ini kebanyaan orang Jawa.
Orang Jawa menyebar luas di seluruh negeri, tapi orang Jawa bukan bangsa penindas. Mereka bangsa yang suka mengalah (tapi bukan berarti kalah). Mereka bisa membaur dengan cepat tapi tetap mempertahankan budayanya. Maka salah besar kalau OPM bilang bahwa pembangunan di Papua itu bertujuan untuk mempermudah akses orang Jawa untuk menguasai Papua. Justru pembangunan itu membantu orang Papua untuk maju.
Bangsa Jawa itu mengayomi (memangku), tidak ada sejarahnya kalau bangsa Jawa itu menindas bangsa lain. Makanya di Jawa rajanya bergelar Mangkubuwana, Mangkubumi dan Mangkunegara. Mungkin juga termasuk Mangkulangit. Yang jelas, Mangkurondo tidak termasuk.
Ini bukan soal Jawasentris atau rasisme, ini soal patriotisme, kebanggaan menjadi Jawa. Dan juga soal kepantasan. Sebuah film harusnya memakai bahasa asli sesuai dengan tokoh yang diperankan, agar terlihat natural dan alami. Kalau bercerita tentang orang Papua yang settingnya di Papua, harusnya dialognya bahasa Papua. Wagu kalau pakai bahasa Indonesia. Kayak sinetron Telenovela yang di-dubbing bahasa Indonesia, tahu khan, menyebalkan!
Aku sendiri orang Jawa. Makanya aku sering menyisipkan bahasa Jawa dalam tulisanku. Dan mereka yang tidak ngerti bahasa Jawa masih bisa paham tulisanku karena memahaminya tidak kata-perkata. Kata-kata bahasa Jawa dalam tulisanku cuman pemanis, bukan kalimat utama. Jadi jangan memahami tulisanku lewat kata-perkata, bisa stres kau nak.
Ingat kata Mahfud MD, bahwa Tuhan sengaja membuat manusia berbeda agar maju bersama, bukan malah bermusuhan. Kalau tidak setuju dengan perbedaan, maka sama saja melawan Tuhan. Nah lhoo.
Jadi kalau Tuhan menciptakan dan memerintahkanmu jadi orang Jawa, kenapa malu atau nggak pede berbahasa Jawa. Kalau kamu orang Jawa tapi lebih mencintai budaya bangsa lain atau memaksa diri jadi orang lain, itu sama saja mengingkari dirimu, bahkan bisa jadi melawan Tuhan. Kalau kamu Jawa, jangan jadi Arab atau Barat. Ingat, kenali dirimu maka kau akan mengenal Tuhanmu.
Kembali ke soal film.
Sebenarnya sudah pernah ada film Indonesia yang berbahasa Jawa (Malang), judulnya "Punk In Love" (2009). Film ini asyik-asyik saja sambutannya walau dialognya pakai bahasa Jawa kasar khas anak jalanan. Karena begitulah adanya anak punk. "Jancok", "taek" adalah bahasa keseharian mereka. Nggak cocok kalau dialognya pakai bahasa Indonesia dan sopan. Apalagi kalau pakai istilah 'ukhti' dan 'akhi'. Itu bukan anak Punk, tapi Remaja Masjid.
Sudahlah, film Indonesia dengan dialog bahasa Jawa itu bukan masalah. Lha wong kita kalau nonton film Hollywood, Bollywood, atau drama Korea juga memahami dialognya lewat subtitle-nya. Kenapa sekarang jadi reseh mempersoalkan bahasa.
Kesimpulannya, film "Yowis Ben" menggunakan bahasa Jawa bukan karena sok Jowo, bukan rasis. Ini soal ekspresi cinta pada budaya sendiri. Dan tentu saja film ini bukan untuk tontonan babu. Jangan ikutan membully kalau nggak paham maksudnya. Kadang orang yang ndlahom (atau tidak) itu terlihat dari kehidupan medsosnya. Orang yang suka membully biasanya nggak kreatif. Isone cuman nyangkem all the way.
Persetan pakai bahasa Jawa, Inggris, Korea, Swahili, Sepanjang ada subtitle Indonesia yang menerjemahkan dialognya, urusan beres. Itu saja. Kalau tetep protes, bikin saja film sendiri. Nggolek enake tok ae kon iku.
Wis, ngono ae. Suwun.
-Robbi Gandamana-

Kamis, 22 Februari 2018

Pidio Bu Dendy Memang Lebay tapi Kurang Seru



Pidio pelakor yang dimaki-maki dan dilempar uang berjut-jut itu menurutku kurang seru dan nggak fair. Harusnya si pelakor disandingkan dengan suaminya. Kalau cuman pelakor yang dikasih hukuman moral (dipidiokan dan disebarkan) itu seolah-olah wanitalah yang lebih berhak disalahkan jika terjadi perselingkuhan. Padahal perselingkuhan terjadi karena perpaduan antara jablay dan ngacengan.

Harusnya di pidio itu Bu Dendy buka baju dan kutangnya sembari memaki suaminya, "kowe selingkuh mergo kepingin susu montok to? Nyo iki pe'en!" Atau buka celdam dan menunjukan isinya, "kowe selingkuh mergo doyan bawuk to!? Nyo pe'en! Obok-oboken kono!" Dan semua itu dipidiokan, close up. Itu baru joss. Ayo Bu Dendy kamu bisa!!

Tapi memang nggak mungkin Bu Dendy menampilkan suaminya bersebelahan dengan pelakor dan dimaki-maki di pidionya. Tentu itu sangat merusak nama baik suaminya dan keluarganya. Apalagi kalau sampai ditonton mertua, bisa jadi si mertua akan misuh-misuh, "Wasyu, mantuku ngacengan!"
Menurutku hukuman moral yang dilakukan Bu Dendy itu berlebihan. Diarak keliling kampung saja malunya luar biasa, apalagi ini ditonton (dan jadi hiburan) oleh masyarakat luas dari Sabang sampai Merauke. Tengsin boo.

Ada yang bilang, "itu hukuman yang pantas, masih mending daripada dirajam sampai mati." Padahal hukuman moral oleh Bu Dendy itu sama saja 'membunuh' hidup si pelakor. Orang yang aibnya disebar-sebarkan itu menjadikan dia minder, trauma, bahkan bisa bunuh diri. Hukuman rajam nggak cocok diterapkan di negeri ini. Hukuman seperti itu hanya cocok diterapkan di bangsa barbar jahiliyah, yang akhlaknya tidak tertolong.

Tahu khan, bangsa Jahiliyah dulu malu punya bayi perempuan (sampai dikubur hidup-hidup), tapi bangga punya istri banyak. Ketika populasi wanita menipis, bingung, "Ane kawin sama siafe?" ("Onta!") Itu khan gemblung banget. Wajar kalau hukuman akhirat diterapkan di sana. Itu pun masih ada yang berani melanggar. Sering khan kita dengar TKW Indonesia yang dihamili juragannya. Top BGT!

Jangan berlebihan dan semena-mena pada pelaku selingkuh. Di waktu dan tempat yang tepat dengan didukung sarana yang memadai, semua orang bisa terjebak ke dalam perselingkuhan. Ojok nggaya nek awakmu gak tau selingkuh. Itu karena belum dikasih godaan, kesempatan dan keluasan materi. Jadi bersyukurlah kalau duitmu pas-pasan, itu Tuhan sedang melindungimu. Kalau kamu kaya, bakalan kenta-kentu ae uripmu.

Pelakor memang salah. Dikhianati itu sakitnya di sini, sulit untuk memaafkan bahkan sampai dibawa mati. Tapi kita sendiri juga tidak tahu dengan pasti, apakah perselingkuhan Nila dan Pak Dendy itu sebatas "teman tapi mesra" atau sudah memasuki tahap perkentuan. Di pidio Bu Dendy seakan-akan pelakor telah melakukan selingkuh kelas berat. Padahal siapa tahu ternyata baru di tahap saling mengendus.

Sekarang mungkin jumlah view dari pidio tersebut sudah jutaan. Seandainya Bu Dendy punya akun You Tube, pasti dia dapat fee yang lumayan karena jumlah click yang bejibun. Bahkan yang cuman pidio parodinya saja laris manis kok.

Saya sendiri nggak ikutan share pidio seperti itu. Aib orang kok disebarkan. Ketahuan selingkuh dengan suami orang itu aib. Semua orang punya aib, cuman Tuhan sedang berbaik hati tidak memperlihatkan aib kita. Tapi kalau nggak ada (yang pertama kali) posting pidio tersebut, medsos jadi sepi. Yak opo yo, bingung aku rek.

Makane ojok gampang nge-share aib orang, bakalan ikut menanggung dosa orang yang ikutan nge-share. Nggak cuman amal saja yang bisa jariyah. Dosa jariyah juga ada. Tanyakan ke ustadzmu kalau nggak percaya.

Btw, yang bikin pidio Bu Dendy fenomenal itu adalah uang berjut-jut yang dihamburkan. Anti-mainstream. Biasanya khan cuma dimaki-maki. Atau kalau pelakor membela diri, terjadi adu jambak rambut dan cakar-cakaran. Kelihatannya si pelakor di pidio tersebut menyesali perbuatannya, atau (mungkin) diam-diam mencari saat yang tepat nilep selembar dua lembar duit seratus ribuan.

Yang dilakukan Bu Dendy itu juga sangat beresiko. Bahaya jika pidio itu ditonton oleh perampok atau pskikopat yang maniak duit. Untuk uang sepuluh juta cash, membunuh orang itu kayak membunuh lalat. Itu belum babi ngepet dan tuyul. Harusnya sekarang Bu Dendy menyewa pasukan elit plus dukun untuk mengantisipasi hal itu.

Berita terakhir katanya Rovi Solikah (Bu Dendy) dan Nila Rahmaniar (terduga pelakor) memutuskan berdamai. Baguslah kalau begitu, walau itu tidak bisa membendung laju share pidio yang sebenarnya melecehkan martabat wanita itu. You know lah, pikiren dewe.

Yo wis lah, menghadapi era hengpon canggih (untunge hp-ku jadul) harus benar-benar menjaga kewarasan. Kalau nggak kontrol bisa kayak Bu Dendy, konflik rumah tangga jadi konsumsi publik. Maksudnya ngasih hukuman moral tapi malah mempermalukan diri sendiri. Sekali posting, di-share dan viral, menyesal di kemudian hari tidak banyak menyelesaikan masalah. Mamfuss.

Zuuukk marii.

-Robbi Gandamana-

Selasa, 20 Februari 2018

Selamat Membenci Wahai Budak Eksistensi



Mungkin ini perasanku saja, sepertinya di era medsos ini  semua orang haus panggung. Berlomba-lomba posting berita yang meningkatkan adrenalin untuk membenci. Membenci ulama tertentu, membenci tokoh tertentu, membenci partai politik tertentu, membenci presiden, membenci anggota dewan.
Ya'opo iki rek. Status kok kebanyakan ngajak membenci.  Ganok sing ngajak mangan-mangan. Tapi memang medsos menyediakan panggung buat mereka yang haus eksistensi, publisitas atau popularitas. Bagaimana caranya terkenal dengan cepat. Famous ni yeee.
Banyak manusia-manusia budak eksistensi yang kecanduan ngeksis di medsos. Mereka bisa 'sakaw' kalau sehari nggak ngeksis. Dan itu termasuk gangguan jiwa yang istilah kerennya FoMO alias Fear of Missing Out. Soal penyakit jiwa ini aku tidak membahasnya sekarang, karena aku harus kursus dulu ke Mbah Google.
Status-status kemarahan penuh kebencian memang bikin mumet kalau dimasukan di hati. Otak dipenuhi dengan kemarahan. Pancen uwasuok. Tiap hari maunya marah terus melihat kacaunya negeri ini. Marah pada intoleran, marah pada radikalisme, marah pada kebusukan parlemen. Pokoknya maraahhhh!
Politikus dimarahi, anggota dewan dimarahi, negaranya dimarahi, pemerintahannya dimarahi, ulamanya dimarahi, generasi barunya dimarahi. Tapi hebatnya, mereka masih berharap pada yang dimarahi itu. Masih mengandalkan mereka walau tahu mereka nggak bisa membenahi negeri yang sakit ini (hanya Tuhan yang sanggup). Tapi, terserah mereka sih. Kalau aku tidak berharap pada manusia.
Kita sedang mengalami masa dimana semua orang bisa tampil menjadi pengamat politik, pengamat ekonomi, ustadz, pujangga, seniman dengan sekejap atau instan di medsos. Semua orang bebas bicara menyatakan pendapatnya tanpa filter. Banyak yang ilmunya pas-pasan tapi getol bersuara dan follower-nya jutaan. Yang paham ilmu malah tidak bersuara, bahkan tidak punya medsos sama sekali.
Jangan salah, postingan yang di-share dan viral di medsos itu belum tentu isi kontennya benar dan datanya valid. Bahkan banyak si penulis postingan tadi bukan orang yang paham soal apa yang ditulisnya (termasuk aku, jujur ae). Nggak harus ahli untuk jadi selebriti medsos. Selalu ada faktor X, kenapa status atau postingan seseorang itu laris manis di-share, viral di dunia maya.
Apalagi menurut Jendral Gatot Nurmantyo poin yang utama dalam upaya penghancuran negeri ini oleh Asing adalah membeli dan menguasai media massa untuk pembentukan opini, menciptakan rekayasa sosial dan kegaduhan di masyarakat. Nah lhooo. Jangan-jangan yang kita posting dan share selama ini adalah berita settingan untuk tujuan di atas.
Kuperhatikan akhir-akhir ini banyak postingan artikel berupa screenshot yang hanya menampilkan judulnya doang tanpa isi atau link tulisan. Menurutku itu konyol, karena judul tidak selalu mewakili isi tulisan. Bahkan banyak yang memang dibikin begitu. Judulnya bikin emosi (satire), tapi isi tulisannya suwejukk jaya.
Di tahun-tahun politik ini, medsos lebih banyak bikin 'pusing' daripada bikin hepi.  Tapi ada rasa eman saat aku akan mendeaktifkan akun medsos-ku. Karena aku dapat orderan kerjaan juga dari situ. Oalaa, swempruol.
Medsos kalau diseriusi memang bikin cepat mati. Salah satu bibit stroke, jantung, darah tinggi ada di medsos. Tahu khan kalau salah satu sumber penyakit itu adalah pikiran. Kalau pikiran nggak beres, maka perintah yang datang dari otak ke organ-organ yang lain juga nggak beres. Dan itulah awal dari datangnya penyakit.
Medsos memang sangat bagus untuk ajang silahturami dan mencari informasi, tapi sangat buruk untuk pembangunan mental. Orang yang memaki-maki di medsos itu secara tidak sadar telah memupuk sifat pengecut yang ada di dalam diri. Mereka marah, memaki, mengumpat tapi tanpa bertatapan wajah langsung dengan yang dimaki. Seandainya bertemu muka langsung apakah masih berani seperti itu? I don't think so.
Sebelum kebablasan jadi DPO polisi karena menyebarkan postingan yang bikin penguasa marah,  mari kita mengendalikan diri dalam bermedsos. Menggunakannya dengan arif. Jangan baperan dan gampang emosi dengan postingan orang lain, padahal cuma membaca judulnya doang. Jika pun harus mengkritik, mengkritiklah dengan asyik, tidak ad hominem/menghina atau mem-bully orang yang dikritik. Tidak setuju boleh, membenci jangan.
Tapi aku bukan bapakmu, terserah kalau masih suka mengumbar kemarahan, kebencian di medsos. Sakarepmu kono. Selamat membenci.
-Robbi Gandamana-

Senin, 12 Februari 2018

Aturan Wajib Berdoa Sebelum Bekerja Itu Ambigu



Aku heran dengan perusahaan yang  memberlakukan aturan wajib berdoa sebelum memulai aktivitas kerja.  Apa yang ada di kepala bossnya. Hellowww memangnya karyawan itu anak SD, yang berdoa saja harus diingatkan.
Berdoa itu baik dan perlu. Dalam keadaan apa pun dan bagaimana pun dianjurkan untuk berdoa. Baik dalam keadaan kere maupun parlente. Tapi konyol kalau berdoa jadi aturan wajib di kantor.
Berdoa jadi peraturan wajib itu hanya terjadi saat kita sekolah dulu. Tujuannya untuk latihan disiplin. Kalau kita (orang dewasa) masih diberlakukan aturan seperti itu, itu sama saja mundur ke belakang. Masa itu sudah berlalu. Kita sudah pasca dari hal seperti itu. Kita berhak menentukan sikap dan pilihan hidup kita sendiri. Sudah bukan masanya disuruh-suruh berdoa.
Bagiku berdoa itu cukup jadi himbauan moral, bukan aturan wajib. Sejak kapan berdoa itu diwajibkan. Berdoa itu urusan moral umat, nggak perlu dijadikan aturan perusahaan.
Saya tidak menolak berdoa. Tapi berdoa itu nggak cocok kalau dijadikan peraturan wajib di kantor. Berdoa itu soal etika, sopan santun  pada Tuhan. Orang yang tidak pernah berdoa itu sombong. Tapi orang yang banyak berdoa sedangkan dia males berusaha, itu juga nggak sopan. Tuhan dijadikan babu, disuruh-suruh memenuhi keinginan nafsu.
Monggo saja jika berdoa kau jadikan amalan wajib, itu hak pribadimu. Atau berdoa kau jadikan gaya hidupmu. Silakan saja. Asal tidak memaksa orang lain untuk ikut mewajibkan.
Aturan itu harusnya disertai sanksi jika melanggar. Lha terus sanksi apa yang pantas diberikan boss pada karyawan yang tidak berdoa. Boss tidak berhak memberi sanksi. Hanya Tuhan yang berhak ngasih sanksi. lha wong berdoa itu urusan personal manusia dengan Tuhannya. Memangnya boss itu menantunya Tuhan.
Sori nek tulisanku sok yes, koyok pidatone Menteri Agama. Tapi monggo kerso, diwoco karepmu, gak diwoco urusanmu. Lanjutt.
Kita nggak berhak menyuruh-nyuruh orang lain berdoa. Jangan samakan kita dengan anak SD yang tiap pagi diharuskan berdoa dulu sebelum pelajaran. Mereka bagai selembar kertas putih yang harus dituang tinta dengan tulisan soal nilai-nilai disiplin, tanggung jawab, sopan santun dan banyak lagi.
Masa sekolah adalah masa perjuangan. Zaman sekolah dulu dilarang berambut gondrong, padahal tidak ada hubungannya dengan belajar maupun kecerdasan. Itu semua diterapkan untuk melatih disiplin.
Kita orang dewasa, pikiran dan logika sudah mantap. Relatif paham hitam putihnya kehidupan. Silahkan saja jika kamu ingin gondrong, merokok, bertato dan lainnya, itu hak pribadimu. Merdeka menentukan pilihan hidup, asal tidak merugikan orang lain dan menyalahi aturan yang berlaku di masyarakat.
Dalam urusan berdoa, manusia harus tahu diri, memahami dosisnya. Nggak cuman banyak berdoa tapi usaha nggak maksimal. Kayak seorang anak yang nilai rapornya jeblok tapi minta dibelikan motor. Tuhan memang maha kaya, tapi manusia harus punya etika. Lha wong dikasih hidup saja sudah Alhamdulillah.
Banyak berdoa itu baik, tapi lebih baik lagi kalau banyak menyapa. Atau dengan bahasa lain, lebih baik banyak menyapa daripada banyak meminta. Menyapa itu nggak, "Halo Ndes..", tentu saja ada banyak cara. Misalnya dengan dzikir, atau tanyakan saja sama Ustadzmu.
Kalau kamu sering menyapa temanmu, biasanya kamu yang lebih sering diberi atau dipercaya daripada yang tidak pernah menyapa. Makanya manusia harus paham dosisnya, kapan menyapa dan kapan meminta. Sialnya, kebanyakan manusia itu berada di level yang banyak meminta (berdoa), tapi jarang menyapa Tuhan. Termasuk aku, Jujur ae.
Kapasitas manusia itu hanya menyerah di hadapan Tuhannya. Berdoa itu upaya manusia sebagai hamba mengetuk pintu hatiNya. Masalah dikabulkan atau tidak itu hak Dia, walau kita harus berbaik sangka, yakin diterima. Karena Tuhan berlaku sesuai dengan sangkaan hambaNya. Kalau kamu menyangka Tuhan itu pelit, maka Tuhan akan pelit padamu.
Ada lagi yang salah kaprah dalam hal berdoa. Banyak Ustadz yang menganjurkan menangis saat berdoa, tapi lupa menjelaskan secara rinci menangis yang bagaimana. Memang, Nabi saat berdoa menangis, tapi menangisi umatnya, menangisi kesalahannya, bukan menangisi kemiskinannya. Jadi menangis di sini bukan mengasihani diri.
Agama tidak mengajarkan cengeng. Jadi, konyol kalau ada orang yang nangis-nangis berdoa, " Ya Alloh, kenapa aku tidak diterima jadi PNS.." Seandainya Tuhannya itu aku, langsung ae tak jundu ndase, "Woww raimu! Cengeng!"
Kembali ke soal aturan wajib berdoa. 
Kadang kemunafikan muncul dari aturan yang diwajibkan di atas. Karena harusnya cukup himbauan moral saja. Banyak orang yang jadi pura-pura alim karena harus melaksanakan aturan tersebut. 
Sebenarnya nggak cuman berdoa saja yang nggak bisa dijadikan peraturan wajib di sebuah instansi, lembaga atau pemerintahan.  Ada sebuah kampus yang mewajibkan dosennya memakai baju koko alias baju taqwa alias baju Islami di hari Jum'at. Itu ngajari dosen munafik. Banyak dari mereka yang berbaju taqwa bukan karena dari hatinya (ingin memuliakan hari Jum'at), tapi ingin dipuji atasannya.
Juga soal berjilbab, berjilbab juga nggak bisa dijadikan Perda. Harusnya cukup himbauan moral. Itu soal privasi umat. Menutup aurat memang hukumnya wajib, tapi iman tidak bisa distandarisasi. Hidayah 100% hak Tuhan. Kewajiban manusia cuman mengingatkan atau mengajak, nggak bisa memaksa iman orang lain seperti standar dirinya.
Repot kalau semua urusan agama dijadikan Perda. Bayangkan saja bagaimana repotnya aparat jika shalat Jum'at ada Perda-nya, cewek keluar malam ada Perda-nya, duduk mekokok saat dibonceng motor ada Perda-nya. Kerjaan aparat itu sudah numpuk, kok masih ngurusi privasi orang lain. Cwape dwech.

-Robbi Gandamana-

Jumat, 09 Februari 2018

Indonesia Darurat Keseleo Otak



Nggak salah-salah amat kalau aku memilih Golput. Why? karena Golput itu otaknya freshhh. Tidak ikutan 'perang' membela jagoan pilihan kalian. Nggak ikut-ikutan membenci. Oke, sekali-sekali juga mengkritik, tapi mengkritik bukan berarti benci. Kalau nggak suka, bukan berarti nggak suka orangnya, tapi pada kebijakannya.
Memangnya kalau Golput tidak boleh mengkritik? Sopo sing gak ngolehi. Aku taat hukum dan membayar pajak, kok gak oleh ngritik. Ndasmu. Selama kamu punya kontribusi pada negara, silakan saja mengkritik, walau kamu golput. Mana ada peraturan Golput dilarang mengkritik.
Kebencian yang amat sangat membuat manusia nggak bisa berpikir jernih dan obyektif. Penilaian seorang hater pada orang yang dibenci itu subyektif.  Dan mereka tiap hari selalu menemukan dan membahas keburukan atau kesalahan orang yang dibenci. Tidak pernah sekalipun posting kebaikannya. Ya iyalah, namanya juga hater.
Seperti kemarin, aku nggak tega melihat Pidio Anies ngurusi banjir Jakarta dibully habis-habisan oleh para hater. Disebutkan di sana Anies sebagai orang menjilat ludah sendiri. Anies bilang bahwa air hujan harusnya jatuh dan masuk ke bumi, tidak dialirkan ke laut. Tapi ternyata dia memompa air hujan (yang menyebabkan banjir) ke laut.
Menurutku statement Anies itu nggak masalah. Itu pemahaman dia. Masalahnya adalah Anies kurang lengkap kata-katanya. Tidak memaparkan lebih lanjut jika air hujan yang berlebih, tidak masuk ke bumi atau sudah tidak bisa ditanggulangi (menjadi banjir) maka TERPAKSA harus dipompa ke laut. Dia cuman lupa menjelaskan kondisi 'terpaksa'. Apa saja boleh dilakukan kalau terpaksa.
Tapi memang dalam soal ngatasi banjir, Ahok lebih handal dibanding Anies bla bla bla bla (ojok ngomong sopo-sopo). Soal banjir Jakarta, jangan berharap pada Gubernur. Siapa pun Gubernurnya, Jakarta tetap banjir. Mereka bisanya hanya mengurangi. Jadi, jangan salahkan mereka kalau  Jakarta tetap banjir, yang salah itu harapanmu.
Itu soal Anies, ada lagi yang  lain. Tadi pagi aku baca sebuah status fesbuk yang mencibir Jokowi karena membaca berita dengan judul "Jokowi Minta Kekayaan Alam Tidak Lagi Terlalu Dibanggakan". Rupanya hater Jokowi.
Aku penasaran, what the hell is goin on? Aku pun baca beritanya. Ternyata isi beritanya nggak se-jancok judulnya. Menurut Jokowi, kekayaan alam tidak bisa menjamin kesejahteraan dan kesuksesan sebuah bangsa. Mensyukuri anugerah sumberdaya alam itu harus. Namun jangan termakan pernyataan yang menyebut Sumber Daya Alam itu menjamin kesejahteraan.
Lha terus, salahnya dimana? Judulnya yang provokatif, lha wong yang punya situs tidak berpihak pada Jokowi. Pantatsss.
Kebencian membuat resolusi pandang jadi kurang luas. Membaca judulnya saja sudah ngamuk tujuh turunan. Dalam hal ini menurutku Jokowi benar, kekayaan yang melimpah jangan sampai menjadikan kita membangga-banggakan diri. Sikap ini bisa membuat malas dan melemahkan daya juang.
Di daerah (di Indonesia) yang kaya akan sumber daya alam, biasanya orangnya males atau etos kerjanya nyantai. Karena alamnya kaya. Kayu melimpah, tambang minyak bumi banyak, tambang emas atau batu mulia juga ada. Yang memajukan daerah tersebut malah para pendatang.  Saya nggak bilang pendatang itu orang Jawa lho ya. Yang suka merantau nggak cuman orang Jawa.
Membangga-banggakan kekayaan alam juga bisa membuat kita jadi somse, sombong sekali. Ingat, manusia menjadi rendah karena kesombongannya.
Well, begitulah. Silakan memilih pemimpin yang menurutmu paling oke, tapi itu jangan membuat otak kalian keseleo. Juga pahami bahwa pemimpin negara itu bukan imam agama. Pilihlah karena kecakapannya, bukan karena seagama. Kalau ingin servis TV, datanglah ke tukang servis yang handal, bukan yang cuman pinter ngaji.
Btw, memangnya salah memilih Golput? Golput juga sebuah pilihan. Tenang saja nggak mungkin semua orang Indonesia Golput atau nggak mungkin semua orang pilihannya sama. Seandainya pun semua rakyat  memilih Golput, bangsa Indonesia tetap ada. Negara tanpa masyarakat tidak akan jadi negara. Tapi masyarakat tanpa negara, tetap akan jadi masyarakat.
Jangan salah, Golput itu sangat mencintai bangsanya tapi tidak setuju dengan sistem pemerintahannya. Golput itu jalan sunyi. Tidak ingin menjadi bagian dari kebusukan negeri ini. Tidak ingin menjadi bagian dari kekonyolan kalian semua, manusia korban politik.
Dan terakhir, sori ini bukan kampanye Golput. Persetan dengan pilihan kalian.
-Robbi Gandamana-