Dulu, saat pertama kali lihat wajahnya Bayu Skak di pidionya, aku nggak yakin, iso opo arek iki. Raine kemaplok, wis pokoke madesu alias masa depan suram. Tapi ternyata apa yang dilakukan Bayu Skak sekarang dengan film "Yowis Ben" yang berbahasa Jawa itu, aku langsung berupa pikiran. Mantap my man!
Lewat filmnya tadi, dia mengekspresikan kecintaan dan kebanggaannya dengan Jawa-nya. Sekaligus ajang pembuktian--> Jangan pernah meremehkan orang Jawa!
Kalau ada yang membully dengan menyebutnya sebagai film khusus babu atau TKW, itu karena mereka nggak punya resolusi pandang yang luas. Mereka terpenjara oleh mindset yang diciptakan sinetron. Di tayangan sinetron orang yang berbahasa Jawa medok itu biasanya berperan sebagai babu, TKW, wong ndeso, kampungan, lugu dan ndlahom.
Mindset sinetron itulah yang membuat banyak orang Jawa merasa rendah diri (inferior) dengan ke-Jawa-annya. Dengar saja penyiar radio-radio di Jawa yang kebanyakan memakai bahasa Indonesia Jakarta (Betawi), "Lu kok baru nongol sich bang...gimana nich kabarnya...sombong yee..gua kira elo udah koit.." Padahal host-nya cah mBantul.
Jadi, aku mendukung 100% Bayu Skak dengan film berbahasa Jawa-nya itu. Dia berusaha membalikan mindset yang diciptakan sinetron, bahwa orang Jawa tidak se-ndlahom itu. Bahkan orang-orang besar di negeri ini kebanyaan orang Jawa.
Orang Jawa menyebar luas di seluruh negeri, tapi orang Jawa bukan bangsa penindas. Mereka bangsa yang suka mengalah (tapi bukan berarti kalah). Mereka bisa membaur dengan cepat tapi tetap mempertahankan budayanya. Maka salah besar kalau OPM bilang bahwa pembangunan di Papua itu bertujuan untuk mempermudah akses orang Jawa untuk menguasai Papua. Justru pembangunan itu membantu orang Papua untuk maju.
Bangsa Jawa itu mengayomi (memangku), tidak ada sejarahnya kalau bangsa Jawa itu menindas bangsa lain. Makanya di Jawa rajanya bergelar Mangkubuwana, Mangkubumi dan Mangkunegara. Mungkin juga termasuk Mangkulangit. Yang jelas, Mangkurondo tidak termasuk.
Ini bukan soal Jawasentris atau rasisme, ini soal patriotisme, kebanggaan menjadi Jawa. Dan juga soal kepantasan. Sebuah film harusnya memakai bahasa asli sesuai dengan tokoh yang diperankan, agar terlihat natural dan alami. Kalau bercerita tentang orang Papua yang settingnya di Papua, harusnya dialognya bahasa Papua. Wagu kalau pakai bahasa Indonesia. Kayak sinetron Telenovela yang di-dubbing bahasa Indonesia, tahu khan, menyebalkan!
Aku sendiri orang Jawa. Makanya aku sering menyisipkan bahasa Jawa dalam tulisanku. Dan mereka yang tidak ngerti bahasa Jawa masih bisa paham tulisanku karena memahaminya tidak kata-perkata. Kata-kata bahasa Jawa dalam tulisanku cuman pemanis, bukan kalimat utama. Jadi jangan memahami tulisanku lewat kata-perkata, bisa stres kau nak.
Ingat kata Mahfud MD, bahwa Tuhan sengaja membuat manusia berbeda agar maju bersama, bukan malah bermusuhan. Kalau tidak setuju dengan perbedaan, maka sama saja melawan Tuhan. Nah lhoo.
Jadi kalau Tuhan menciptakan dan memerintahkanmu jadi orang Jawa, kenapa malu atau nggak pede berbahasa Jawa. Kalau kamu orang Jawa tapi lebih mencintai budaya bangsa lain atau memaksa diri jadi orang lain, itu sama saja mengingkari dirimu, bahkan bisa jadi melawan Tuhan. Kalau kamu Jawa, jangan jadi Arab atau Barat. Ingat, kenali dirimu maka kau akan mengenal Tuhanmu.
Kembali ke soal film.
Sebenarnya sudah pernah ada film Indonesia yang berbahasa Jawa (Malang), judulnya "Punk In Love" (2009). Film ini asyik-asyik saja sambutannya walau dialognya pakai bahasa Jawa kasar khas anak jalanan. Karena begitulah adanya anak punk. "Jancok", "taek" adalah bahasa keseharian mereka. Nggak cocok kalau dialognya pakai bahasa Indonesia dan sopan. Apalagi kalau pakai istilah 'ukhti' dan 'akhi'. Itu bukan anak Punk, tapi Remaja Masjid.
Sudahlah, film Indonesia dengan dialog bahasa Jawa itu bukan masalah. Lha wong kita kalau nonton film Hollywood, Bollywood, atau drama Korea juga memahami dialognya lewat subtitle-nya. Kenapa sekarang jadi reseh mempersoalkan bahasa.
Kesimpulannya, film "Yowis Ben" menggunakan bahasa Jawa bukan karena sok Jowo, bukan rasis. Ini soal ekspresi cinta pada budaya sendiri. Dan tentu saja film ini bukan untuk tontonan babu. Jangan ikutan membully kalau nggak paham maksudnya. Kadang orang yang ndlahom (atau tidak) itu terlihat dari kehidupan medsosnya. Orang yang suka membully biasanya nggak kreatif. Isone cuman nyangkem all the way.
Persetan pakai bahasa Jawa, Inggris, Korea, Swahili, Sepanjang ada subtitle Indonesia yang menerjemahkan dialognya, urusan beres. Itu saja. Kalau tetep protes, bikin saja film sendiri. Nggolek enake tok ae kon iku.
Wis, ngono ae. Suwun.
-Robbi Gandamana-
Tidak ada komentar:
Posting Komentar