Senin, 12 Februari 2018

Aturan Wajib Berdoa Sebelum Bekerja Itu Ambigu



Aku heran dengan perusahaan yang  memberlakukan aturan wajib berdoa sebelum memulai aktivitas kerja.  Apa yang ada di kepala bossnya. Hellowww memangnya karyawan itu anak SD, yang berdoa saja harus diingatkan.
Berdoa itu baik dan perlu. Dalam keadaan apa pun dan bagaimana pun dianjurkan untuk berdoa. Baik dalam keadaan kere maupun parlente. Tapi konyol kalau berdoa jadi aturan wajib di kantor.
Berdoa jadi peraturan wajib itu hanya terjadi saat kita sekolah dulu. Tujuannya untuk latihan disiplin. Kalau kita (orang dewasa) masih diberlakukan aturan seperti itu, itu sama saja mundur ke belakang. Masa itu sudah berlalu. Kita sudah pasca dari hal seperti itu. Kita berhak menentukan sikap dan pilihan hidup kita sendiri. Sudah bukan masanya disuruh-suruh berdoa.
Bagiku berdoa itu cukup jadi himbauan moral, bukan aturan wajib. Sejak kapan berdoa itu diwajibkan. Berdoa itu urusan moral umat, nggak perlu dijadikan aturan perusahaan.
Saya tidak menolak berdoa. Tapi berdoa itu nggak cocok kalau dijadikan peraturan wajib di kantor. Berdoa itu soal etika, sopan santun  pada Tuhan. Orang yang tidak pernah berdoa itu sombong. Tapi orang yang banyak berdoa sedangkan dia males berusaha, itu juga nggak sopan. Tuhan dijadikan babu, disuruh-suruh memenuhi keinginan nafsu.
Monggo saja jika berdoa kau jadikan amalan wajib, itu hak pribadimu. Atau berdoa kau jadikan gaya hidupmu. Silakan saja. Asal tidak memaksa orang lain untuk ikut mewajibkan.
Aturan itu harusnya disertai sanksi jika melanggar. Lha terus sanksi apa yang pantas diberikan boss pada karyawan yang tidak berdoa. Boss tidak berhak memberi sanksi. Hanya Tuhan yang berhak ngasih sanksi. lha wong berdoa itu urusan personal manusia dengan Tuhannya. Memangnya boss itu menantunya Tuhan.
Sori nek tulisanku sok yes, koyok pidatone Menteri Agama. Tapi monggo kerso, diwoco karepmu, gak diwoco urusanmu. Lanjutt.
Kita nggak berhak menyuruh-nyuruh orang lain berdoa. Jangan samakan kita dengan anak SD yang tiap pagi diharuskan berdoa dulu sebelum pelajaran. Mereka bagai selembar kertas putih yang harus dituang tinta dengan tulisan soal nilai-nilai disiplin, tanggung jawab, sopan santun dan banyak lagi.
Masa sekolah adalah masa perjuangan. Zaman sekolah dulu dilarang berambut gondrong, padahal tidak ada hubungannya dengan belajar maupun kecerdasan. Itu semua diterapkan untuk melatih disiplin.
Kita orang dewasa, pikiran dan logika sudah mantap. Relatif paham hitam putihnya kehidupan. Silahkan saja jika kamu ingin gondrong, merokok, bertato dan lainnya, itu hak pribadimu. Merdeka menentukan pilihan hidup, asal tidak merugikan orang lain dan menyalahi aturan yang berlaku di masyarakat.
Dalam urusan berdoa, manusia harus tahu diri, memahami dosisnya. Nggak cuman banyak berdoa tapi usaha nggak maksimal. Kayak seorang anak yang nilai rapornya jeblok tapi minta dibelikan motor. Tuhan memang maha kaya, tapi manusia harus punya etika. Lha wong dikasih hidup saja sudah Alhamdulillah.
Banyak berdoa itu baik, tapi lebih baik lagi kalau banyak menyapa. Atau dengan bahasa lain, lebih baik banyak menyapa daripada banyak meminta. Menyapa itu nggak, "Halo Ndes..", tentu saja ada banyak cara. Misalnya dengan dzikir, atau tanyakan saja sama Ustadzmu.
Kalau kamu sering menyapa temanmu, biasanya kamu yang lebih sering diberi atau dipercaya daripada yang tidak pernah menyapa. Makanya manusia harus paham dosisnya, kapan menyapa dan kapan meminta. Sialnya, kebanyakan manusia itu berada di level yang banyak meminta (berdoa), tapi jarang menyapa Tuhan. Termasuk aku, Jujur ae.
Kapasitas manusia itu hanya menyerah di hadapan Tuhannya. Berdoa itu upaya manusia sebagai hamba mengetuk pintu hatiNya. Masalah dikabulkan atau tidak itu hak Dia, walau kita harus berbaik sangka, yakin diterima. Karena Tuhan berlaku sesuai dengan sangkaan hambaNya. Kalau kamu menyangka Tuhan itu pelit, maka Tuhan akan pelit padamu.
Ada lagi yang salah kaprah dalam hal berdoa. Banyak Ustadz yang menganjurkan menangis saat berdoa, tapi lupa menjelaskan secara rinci menangis yang bagaimana. Memang, Nabi saat berdoa menangis, tapi menangisi umatnya, menangisi kesalahannya, bukan menangisi kemiskinannya. Jadi menangis di sini bukan mengasihani diri.
Agama tidak mengajarkan cengeng. Jadi, konyol kalau ada orang yang nangis-nangis berdoa, " Ya Alloh, kenapa aku tidak diterima jadi PNS.." Seandainya Tuhannya itu aku, langsung ae tak jundu ndase, "Woww raimu! Cengeng!"
Kembali ke soal aturan wajib berdoa. 
Kadang kemunafikan muncul dari aturan yang diwajibkan di atas. Karena harusnya cukup himbauan moral saja. Banyak orang yang jadi pura-pura alim karena harus melaksanakan aturan tersebut. 
Sebenarnya nggak cuman berdoa saja yang nggak bisa dijadikan peraturan wajib di sebuah instansi, lembaga atau pemerintahan.  Ada sebuah kampus yang mewajibkan dosennya memakai baju koko alias baju taqwa alias baju Islami di hari Jum'at. Itu ngajari dosen munafik. Banyak dari mereka yang berbaju taqwa bukan karena dari hatinya (ingin memuliakan hari Jum'at), tapi ingin dipuji atasannya.
Juga soal berjilbab, berjilbab juga nggak bisa dijadikan Perda. Harusnya cukup himbauan moral. Itu soal privasi umat. Menutup aurat memang hukumnya wajib, tapi iman tidak bisa distandarisasi. Hidayah 100% hak Tuhan. Kewajiban manusia cuman mengingatkan atau mengajak, nggak bisa memaksa iman orang lain seperti standar dirinya.
Repot kalau semua urusan agama dijadikan Perda. Bayangkan saja bagaimana repotnya aparat jika shalat Jum'at ada Perda-nya, cewek keluar malam ada Perda-nya, duduk mekokok saat dibonceng motor ada Perda-nya. Kerjaan aparat itu sudah numpuk, kok masih ngurusi privasi orang lain. Cwape dwech.

-Robbi Gandamana-

Tidak ada komentar:

Posting Komentar