Selasa, 20 Februari 2018

Selamat Membenci Wahai Budak Eksistensi



Mungkin ini perasanku saja, sepertinya di era medsos ini  semua orang haus panggung. Berlomba-lomba posting berita yang meningkatkan adrenalin untuk membenci. Membenci ulama tertentu, membenci tokoh tertentu, membenci partai politik tertentu, membenci presiden, membenci anggota dewan.
Ya'opo iki rek. Status kok kebanyakan ngajak membenci.  Ganok sing ngajak mangan-mangan. Tapi memang medsos menyediakan panggung buat mereka yang haus eksistensi, publisitas atau popularitas. Bagaimana caranya terkenal dengan cepat. Famous ni yeee.
Banyak manusia-manusia budak eksistensi yang kecanduan ngeksis di medsos. Mereka bisa 'sakaw' kalau sehari nggak ngeksis. Dan itu termasuk gangguan jiwa yang istilah kerennya FoMO alias Fear of Missing Out. Soal penyakit jiwa ini aku tidak membahasnya sekarang, karena aku harus kursus dulu ke Mbah Google.
Status-status kemarahan penuh kebencian memang bikin mumet kalau dimasukan di hati. Otak dipenuhi dengan kemarahan. Pancen uwasuok. Tiap hari maunya marah terus melihat kacaunya negeri ini. Marah pada intoleran, marah pada radikalisme, marah pada kebusukan parlemen. Pokoknya maraahhhh!
Politikus dimarahi, anggota dewan dimarahi, negaranya dimarahi, pemerintahannya dimarahi, ulamanya dimarahi, generasi barunya dimarahi. Tapi hebatnya, mereka masih berharap pada yang dimarahi itu. Masih mengandalkan mereka walau tahu mereka nggak bisa membenahi negeri yang sakit ini (hanya Tuhan yang sanggup). Tapi, terserah mereka sih. Kalau aku tidak berharap pada manusia.
Kita sedang mengalami masa dimana semua orang bisa tampil menjadi pengamat politik, pengamat ekonomi, ustadz, pujangga, seniman dengan sekejap atau instan di medsos. Semua orang bebas bicara menyatakan pendapatnya tanpa filter. Banyak yang ilmunya pas-pasan tapi getol bersuara dan follower-nya jutaan. Yang paham ilmu malah tidak bersuara, bahkan tidak punya medsos sama sekali.
Jangan salah, postingan yang di-share dan viral di medsos itu belum tentu isi kontennya benar dan datanya valid. Bahkan banyak si penulis postingan tadi bukan orang yang paham soal apa yang ditulisnya (termasuk aku, jujur ae). Nggak harus ahli untuk jadi selebriti medsos. Selalu ada faktor X, kenapa status atau postingan seseorang itu laris manis di-share, viral di dunia maya.
Apalagi menurut Jendral Gatot Nurmantyo poin yang utama dalam upaya penghancuran negeri ini oleh Asing adalah membeli dan menguasai media massa untuk pembentukan opini, menciptakan rekayasa sosial dan kegaduhan di masyarakat. Nah lhooo. Jangan-jangan yang kita posting dan share selama ini adalah berita settingan untuk tujuan di atas.
Kuperhatikan akhir-akhir ini banyak postingan artikel berupa screenshot yang hanya menampilkan judulnya doang tanpa isi atau link tulisan. Menurutku itu konyol, karena judul tidak selalu mewakili isi tulisan. Bahkan banyak yang memang dibikin begitu. Judulnya bikin emosi (satire), tapi isi tulisannya suwejukk jaya.
Di tahun-tahun politik ini, medsos lebih banyak bikin 'pusing' daripada bikin hepi.  Tapi ada rasa eman saat aku akan mendeaktifkan akun medsos-ku. Karena aku dapat orderan kerjaan juga dari situ. Oalaa, swempruol.
Medsos kalau diseriusi memang bikin cepat mati. Salah satu bibit stroke, jantung, darah tinggi ada di medsos. Tahu khan kalau salah satu sumber penyakit itu adalah pikiran. Kalau pikiran nggak beres, maka perintah yang datang dari otak ke organ-organ yang lain juga nggak beres. Dan itulah awal dari datangnya penyakit.
Medsos memang sangat bagus untuk ajang silahturami dan mencari informasi, tapi sangat buruk untuk pembangunan mental. Orang yang memaki-maki di medsos itu secara tidak sadar telah memupuk sifat pengecut yang ada di dalam diri. Mereka marah, memaki, mengumpat tapi tanpa bertatapan wajah langsung dengan yang dimaki. Seandainya bertemu muka langsung apakah masih berani seperti itu? I don't think so.
Sebelum kebablasan jadi DPO polisi karena menyebarkan postingan yang bikin penguasa marah,  mari kita mengendalikan diri dalam bermedsos. Menggunakannya dengan arif. Jangan baperan dan gampang emosi dengan postingan orang lain, padahal cuma membaca judulnya doang. Jika pun harus mengkritik, mengkritiklah dengan asyik, tidak ad hominem/menghina atau mem-bully orang yang dikritik. Tidak setuju boleh, membenci jangan.
Tapi aku bukan bapakmu, terserah kalau masih suka mengumbar kemarahan, kebencian di medsos. Sakarepmu kono. Selamat membenci.
-Robbi Gandamana-

Tidak ada komentar:

Posting Komentar