Selasa, 31 Desember 2019

Menulis karena Omongan tidak Digubris



Di medsos itu gampang banget dapat predikat "cerdas" selama tulisan-tulisanmu sering di-share banyak orang. Itu yang aku takutkan dari dulu --> dianggap cerdas, mumpuni, pakar. Padahal aku nulis itu untuk menutupi kebodohanku (ojok ngomong sopo-sopo yo).
Aku cuman tahu sedikit tentang sedikit hal. Bukan orang yang tahu banyak tentang banyak hal. Kalau tulisanku di-share banyak orang itu karena  faktor X. Aku nggak pernah tahu kenapa bisa begitu. Aku selalu bingung membaca tulisanku yang dulu-dulu. Kok iso aku nulis koyok ngono iku, entah apa yang merasukiku.
Medsos itu aneh. Yang asli cerdas malah diabaikan. Aku sering membaca tulisan dari seorang yang pakar di bidang yang ditulisnya, tapi kok ndilalah nggak ada yang nge-share. Yang ngelike pun cuman keluarganya. Gak payu. Lha wong tulisane"anyep". Bahasa yang dipakai mirip dengan buku panduan ibu menyusui. Formal banget.
Tapi sebenarnya aku nulis itu karena kalau ngomong sering tidak digubris. Karena di Endonesyah tercintah ini omongan tidak didengarkan kalau dia belum jadi orang hebat. Beda dengan negara-negara mapan yang menghargai pendapat orang. Semua omongan didengarkan untuk mengetahui orang itu hebat atau tidak.
Di sini kalau bukan ahli di bidangnya nggak akan didengarkan. Pernah saat pul kumpul sesama kere elit di angkringan, aku ngomong soal tumbuhan yang bisa berinteraksi dengan sesama tumbuhan, langsung ditertawakan, "alaa raimu.."
Memang terlihat konyol kalau kita ngomong soal tumbuhan tapi kita bukan ahli botani.  Walaupun sebenarnya nggak salah, sudah ada penelitian soal itu. Bahwa tumbuhan itu bisa berinteraksi, tapi tidak bisa berekspresi seperti manusia. Dan tumbuhan akan lebih banyak berbunga atau berbuah bila sering disapa atau dielus-elus. Iki serius rek, masio rodok gendeng.
Bagaimanapun juga menyampaikan gagasan lewat tulisan itu lebih asyik. Kalau lewat omongan biasanya ada yang menyela atau interupsi. Kaet mangap wis dipotong, " koen iku gak eruh opo-opo..menengo."
Banyak orang seperti itu. Inginnya hanya omongannya yang didengar, omongan orang lain gak dianggep. Menyebalkan ngobrol bersama orang jenis ini, yang selalu berusaha mendominasi pembicaraan. Yang lain dianggap gemblung.
Tapi menulis juga tidak selalu dibaca. Nggak masalah. Yang penting puas bisa mengeluarkan unek-unek. Tidak semua orang bisa mendapatkan "kemewahan" seperti itu. Banyak orang yang ngomong nggak dianggep, mau nulis tapi gak iso nulis. Iso nulis tapi ganok sing moco. Wasyuok.
Bagiku menulis di medsos atau situs opini itu bukan soal benar atau salah. Selama tidak menyinggung sara. Kalau memang salah ya monggo dikoreksi. Lebih baik jangan komen yang meremehkan kayak "ngoceh opo se iki..", "iki opo se.." .
Nek gak bakat komen asyik mending ojok komen. Aku sudah unfriend beberapa orang yang sukanya komennya seperti itu. Dijarno-jarno kok suwe-suwe dadi langganan. Langsung unfriend. Jarno ae, teman di medsos itu kebanyakan cuman virtual, nggak benar-benar teman, gak iso diutangi. Walau ada yang jadi teman beneran sih.
Menulis itu juga seni. Dan tulisan yang indah itu tidak selalu ditulis dengan menggunakan ejaan yang disempurnakan (EYD). Pakai bahasa alay pun bisa indah. Asal bukan bahasa rumput. Tulisan yang terlalu taat EYD itu cuman membuatku ngantuk. Kayak membaca makalah zaman kuliah dulu. Tahu khan, menyebalkan.
Omong kosong soal "menulis yang benar" yang diajarkan di kampus itu masih saja membuatku neg. Aku memang nggak waras. Setidaknya aku sudah melewati masa-masa konyol itu. Bikin makalah yang hampir seratus persen nyontek dari makalah mahasiswa lama. Aku nggak bangga sama sekali.
Menulis di medsos atau situs opini memang bukan hal yang keren. Tapi setidaknya aku melakukan sesuatu yang positif. Jangan remehkan tulisan. Kurasa nggak berlebihan kalau tulisan yang inspiratif bisa saja mengubah dunia.
Aku ingat pertama kali tulisanku di-share jutaan orang ketika menulis pemikiran Cak Nun "Surga Itu Nggak Penting". Di-copy paste dimana-mana dengan nama penulis yang bukan aku. Ada yang tercerahkan, ada pula yang tersesat, dan banyak juga yang marah. Sampai-sampai judulnya kuganti.
Orang yang marah itu yang cara berpikirnya lurus-lurus saja. "Surga Nggak penting"  itu cuman ungkapan orang dengan level keikhlasannya yang tinggi. Ibadahnya hanya terfokus pada Tuhan. Surga dan neraka itu bias bagi mereka. Surganya tetap penting. Maksudnya kalau yang diinginkan hanya Tuhan dan mendapatkanNya, otomatis dapat surga.
Tulisanku yang lain yang cukup menggegerkan dunia adalah "Gantungkan Cita-citamu Setinggi PNS". Ribuan orang mengelu-ngelukan aku. Tapi sejuta lainnya  misuh berjamaah. Mereka-mereka yang tidak berjiwa besar menerima perbedaan. Aku pun kapok menulis seperti ini.
Saiki ya'opo carane nulis opini yang membuat semuanya hepi. Walau itu nggak mungkin. Hidup yang hanya sejengkal ini sayang kalau dibiarkan berlalu begitu saja. Dan aku menulis tidak untuk tujuan popularitas (fuck populer). Aku hanya mencoba mengisi hidupku seasyik mungkin. Entah itu nulis, gambar atau apa saja.  
Ya begitulah. Gagasanku memang sinting secara intelek. Tapi kalau nggak begitu itu bukan aku. Aku bukan rektor. Bukan pula kepala sekolah.
Jadi sekarang kalau omonganmu tidak dianggap penting, tuangkan saja lewat tulisan. Tunjukan pada orang-orang  kalau kamu bukan makhluk menyedihkan yang pernah diciptakan Tuhan.
-Robbi Gandamana-

Antara Rezeki, Perang Ojol, dan Teflon


Dunia bisnis itu memang keras. Hukum rimba berlaku. Siapa yang lemah dilibas. Apalagi orang sekarang itu diam-diam nggak percaya kalau Tuhan itu Maha Pemberi rezeki. Rezeki disamakan dengan ilmu eksak, kalau dua ditambah dua hasilnya pasti empat.
Aku tidak sedang membahas atau mengajari bisnis pada Anda semua. Aku nggak paham bisnis. Aku wonge gak isoan. 
Capek-capek nggambar nggak dibayar, manut saja. Padahal ada perjanjian bisnis di awal. Aku nggak masalah, aku nothing to lose saja. Lha wong masalahnya nggak sama aku, tapi sama yang di atas.
Tapi memang lebih baik jangan meremehkan janji. Aku gak meden-medeni rek. Karena sengsaranya saat di akhirat. 
Waktu akan masuk surga distop oleh malaikat, " Sik Ndes, raimu kok rembes yo...Woala lha awakmu duwe tanggungan utang sing durung kok bayar. Ayo adus nang neroko disik, rong taon.." Dan kamu pun lemes, "Benci aku!"
Sekarang ini bisnis ojek online sedang berjaya. Ini karena sifat dasar manusia itu pemalas. Inginnya apa-apa dilayani tanpa repot beranjak dari tempat tidur. 
Ingin ini itu tinggal pencet henpon. Aku gak ngenyek lho rek, soale aku dewe yo ngono. Memang sudah zamannya, wis wayahe.
Screen culture sedang melanda dunia. Sekarang ini 80% hidup manusia ada di depan layar henpon. Makanya kebutuhan manusia sekarang itu sandang, pangan, papan, dan pulsa. Nggak ada pulsa stres, misuh-misuh, menyalahkan Jokowi.
Manusia sekarang itu males, bagaimana caranya mengerjakan apa pun tanpa berkeringat. Memerah susu sapi sekarang pun pakai mesin. Tinggal colok, ember pun penuh susu segar. 
Bahayanya kalau alat ini sampai ke tangan orang yang otaknya mesum. Bakalan dipakai onani. Alat pemerah susu ini otomatis, mesinnya nggak akan mati kalau belum dapat lima liter. Lemes jaya. 
Adza adza ajza dwech ach.
Ngomong soal bisnis ojek online. Jadi ingat kejadian kemarin, saat Gojek dan Grab protes sama Maxim. Karena mematok harga rendah yang dianggap mateni pasar. Kantornya digeruduk dan disegel.
Oala Xim Ximm, koen iku loh kok apes tenan. Baru kemarin buka lapak, sudah kena masalah.
Gojek dan Grab protes karena takut konsumennya lari ke Maxim. Ketakutan yang wajar, nggak bisa disalahkan. Karena cara berpikir orang modern itu sangat realistis. Bahwa yang laris itu yang lebih murah. Padahal nggak selalu begitu.
Aku tidak membela atau menyalahkan siapa-siapa. Semua bisa salah dan bisa benar. Kebenaran itu relatif. Tergantung sudut pandang, jarak pandang, cara pandang dan pandang pandang yang lain.
Sebenarnya wajar kalau Maxim lebih murah, karena masih masa promosi. Walau itu menyalahi aturan soal tarif minimum yang sudah ditetapkan pemerintah. Harusnya dikasih tenggat waktu untuk promosi (sudah ya? aku gak eruh). 
Kalau baru buka harganya sama dengan ojol lain yang sudah punya nama, yo merongos. Maxim belum populer. Maxim what? bukan teflon khan?
Embuh rek, aku nggak paham-paham amat soal harga. Aku awam soal ngono iku. Aku juga meragukan "persaingan sehat" dalam dunia bisnis. Yang kulihat persaingan sehat di dunia bisnis sudah lama sekarat.
Tapi tenang ae, harga murah tidak berarti membuat konsumen ojol lain berduyun-duyun ke Maxim. Orang biasanya lebih percaya pada yang pioner, sudah punya nama besar dan terpercaya.
Aku sendiri masih setia pada Gojek. Nggak ada aplikasi Maxim di henponku (sori yo mas). Karena memori henpon sudah penuh. Mungkin kapan-kapan aku donlot. Kalau ingat.
Harus diakui Gojek memang yang terdepan. Yang paling kreatif memang Gojek. Sebut saja Goride, Gocar, Gofood, Gopay, Gobox dan Gosend. Gondes nggak termasuk.
Aku punya pengalaman saat makai jasa Gocar. Saat itu aku bawa beras duapuluhlima kilo. Kupikir driver-nya akan sigap membantu ngangkat beras, seperti jamaknya sopir taksi yang langsung ikut membantu ketika tahu penumpangnya bawa bawaan berat.
Ternyata perkiraanku meleset. Si sopir sama sekali nggak ada inisiatif ikut membantu. Dia hanya buka bagasi dan menutupnya kembali setelah aku ngos-ngosan ngangkat beras.
Tapi no problem. Memang membantu ngangkat barang penumpang nggak ada di dalam job deskripsi. Itu cuman soal "roso". Membantu disyukuri, nggak membantu yo ojok diprenguti.
Itu perbedaan antara sopir "beneran" dengan sopir yang sekedar sambilan. Sikap dan mentalnya beda.
Sopir mobil online memang kebanyakan srata sosialnya sudah lumayan. Mereka kebetulan punya mobil nganggur di rumah. Ya akhirnya dikaryakan, lumayan dapat tambahan. 
Jadi secara mental memang beda dengan sopir taksi atau angkutan lain yang kerjaan utamanya memang sopir.
Sori ojok tersinggung yo. Tapi aku percaya driver Gocar yang seperti itu cuman oknum. Banyak driver Gocar yang njawani. Selalu ramah, asyik diajak ngobrol dan nggak pura-pura nggak ada kembalian saat dikasih uang gede.
Ngomong soal rezeki, orang modern memang nggak yakin-yakin amat kalau rezeki itu tidak ditentukan oleh murah atau mahalnya harga, sedikit atau banyaknya saingan. 
Makanya ada oknum tukang tambal ban yang menyebarkan paku di jalanan. Takut kalah saingan. Wedi gak kumanan.
Rezeki itu soal ghaib. Tuhan Maha Tanggung Jawab. Selama kamu ubet dengan kerjaanmu, pasti diberi rezeki. Rezeki tidak akan tertukar. Kabeh keduman. 
Tukang tambal ban tidak perlu mendoakan pengendara motor bannya bocor. Tapi selalu saja ada orang yang mampir, menambal ban motornya yang bocor.
Dokter tidak mendoakan orang sakit, tapi selalu saja ada orang sakit. Tukang gali kubur pun tidak mendoakan orang mati. Juga pembuat peti mati. 
Masak pembuat peti mati doanya begini, "Ya Tuhan semoga besok banyak job membuat peti mati, lagi butuh duit, anak sulung mau masuk kuliah."
Urip iku sawang sinawang. Jangan gampang terpengaruh dan minder kalau kamu masih buruh pabrik. Langsung resign ketika ada yang ngiming-ngimingi gaji gede kalau jadi driver ojek online. Gajinya lebih sip dibandingkan gaji di perusahaan tempatmu kerja.
Jangan gampang percaya. Ada yang berhasil, ada juga yang terpuruk. Kalau cuman sampingan, cari pengalaman, atau ngisi waktu luang itu bagus. Ada nggak sih orang yang sejak lulus sekolah ingin berkarier total jadi driver ojol?
Tapi sakarepmu rek. Iku urusanmu karo keluargamu. Semua profesi itu baik, asal nggak maling. Ojek online juga profesi yang baik, bagi yang cocok dan tahan banting. Kalau pikiranmu cuman bagaimana caranya dapat uang yang lebih banyak, yo remuk Nda. Ngojek bukan kerjaan yang ringan. Butuh stamina yang oke. Kalau gampang masuk angin, jangan nekad jadi driver.
Ada seseorang yang aku tahu kerjanya ojek online. Hasilnya memang lumayan, tapi wajahnya yang dulu fresh sekarang jadi "boros", kulite abang ireng akibat kepanasan dan kehujanan, kelihatan jauh lebih tua dari umurnya, ubannya tumbuh subur menguasai kepala. Tapi tentu saja tidak semua driver seperti itu. Yang tetap segar bugar juga banyak.
Maksudku, banyak yang nggak sadar kalau awet muda itu rezeki yang tidak terbeli.
Kerja jadi karyawan memang nggak menantang, tiap hari ngisi jurnal laporan, dan segala runitas yang membosankan. Tapi kamu masih bisa tertawa, masih sempat medsosan, kerja di dalam ruangan yang ber-AC, swejuk. Bikin awet muda. Terhindar dari panasnya matahari juga polusi asap kendaraan, radikal bebas keparat yang membuat wajah cepat berkarat.
Tapi aku memang orang yang selow sih. Ojok ditiru. Makanya taraf hidupku begini begini saja. Tapi aku nggak ngersulo yo, sing penting hepi. Aku nggak mau kesetanan dalam mencari uang dengan nyambi ini nyambi itu. Kakean nyambi, sampai lupa dengan dirinya sendiri. Lho? Aku iki sopo yo? Seniman opo bisnismen. Mungkin bisnismen yang bergaya seniman.
Jangan sampai stres cari uang. Setelah dapat uang, uangnya buat nambani stres. Lak munyer ae.
Kata Simbah, derajat manusia itu lebih tinggi dari uang. Jangan sampai diperalat oleh uang. Makanya jangan kesetanan mengejar uang, tapi bagaimana caranya uang yang mengejarmu (sori, ini maksudnya bukan MLM). Caranya? ya sedekah. Sedekah nggak selalu pakai uang. Selama kamu membuat bahagia orang tanpa pamrih itu sudah sedekah.
Ketoke kok ndakik ndakik yo tulisan iki. Babah wis. Setuju karepmu, gak setuju urusanmu. Piss.
Zaman sudah berubah, manusia sudah semakin materialistis. Mbiyen witing tresno jalaran soko kulino, nek saiki witing tresno jalaran soko atusan limo.
Sekali lagi, aku tidak sedang menyalahkan atau menyudutkan siapapun. Semua bisa sudut dan bisa siku (opo iku). Protes boleh tapi jangan main kekerasan. Tetap jaga ukhuwah antar ojol. Podo-podo golek duwike. Sing sabar. Insya Alloh munggah kaji.
-Robbi Gandamana-

Senin, 16 Desember 2019

Antara Nadiem dan Anak Kampung

sumber gambar : strategi.id

Aku bukan Jokower (juga Prabower), tapi harus kuakui bahwa menteri pilihan Jokowi memang cadas. Dulu ada Susi Pudjiastuti yang terkenal dengan jargon "tenggelamkan!" Sekarang ada Erick Thohir yang mengosek bersih BUMN dan memasang Ahok sebagai komisaris utama Pertamina. Sip wis, apik Hir!
Para pejabat bedebah nggak bisa tidur tenang lagi. Perlahan tapi pasti akan ketahuan bajingannya. Mungkin akan bernasib sama kayak Ari Askhara, dirut Garuda yang lengser keprabon setelah ketahuan ngutil motor Harley Davidson dan pit onthel Brompton.
Di dunia pendidikan ada Nadiem Makarim yang merombak total sistem pendidikan yang sudah usang dengan kebijakan yang diistilahkan dengan "merdeka belajar". Bagaimana caranya proses belajar bisa membahagiakan guru dan siswa. Sesuai dengan konsep Taman Siswa yang dicanangkan oleh Ki Hadjar Dewantara, mbahe arek-arek.
Belajar itu harus bahagia. Yak opo carane kudu bahagia. Jadi kalau kamu belajar di sekolah tapi tidak membuatmu bahagia, yo muliho ae. Tapi merdeka belajar itu bukan kayak anak yang males belajar di sekolah, akhirnya belajar di mall. Yo gak ngono. Pokoke ojok sampek budal seger mulih rembes.
Yang pasti prestasi seseorang tidak lagi diukur dari nilai ujian nasional. Karena ujian nasional memang tidak menyentuh nilai karakter dan kemampuan kognitif siswa. Negeri ini nggak butuh siswa yang pinter menghafal.
Ojok salah paham. Ujian tetap ada, tapi bukan ujian nasional. Namanya orang belajar harus melewati ujian. Kalau mau hebat yang harus mau diuji. Untuk lebih jelasnya tanyakan ke Nadiem, aku gak eruh.
Tapi aku nggak ngurus rek. Monggo saja menggunakan kurikulum atau sistem apa saja. Sakarepmu Diem. Kurikulum atau sistem apapun tidak mesti bagus atau jelek. Semua tergantung pada orang-orangnya juga.
Kalau aku sih inginnya kurikulum yang membuat siswa bangga jadi masyarakat negara agraris. Bukan kurikulum yang melanggengkan hedonisme. Bukan kurikulum yang ingin menjadikan kita kayak negara China, Singapura, Jerman, Korsel, dan negara mapan lainnya.
Kita adalah kita, bukan mereka. Kita adalah negara agraris, bukan negara industri. Apesnya kita lebih bangga jadi masyarakat industri daripada masyarakat agraris. Profesi petani sudah nggak laku. Petani bukan profesi yang keren dan membanggakan. Semua ingin jadi pengusaha dan atau pegawai negeri.
Virus industrialisasi telah meracuni kota-kota rasa desa atau desa yang sok kota. Banyak sawah yang dijadikan destinasi wisata. Dibangun wahana hiburan. Ladang yang harusnya ditanami tanaman produktif malah ditanami bunga-bunga dari plastik. Dijadikan tempat selfie (eco park) yang istagramable.
Tanah Jawa yang sangat subur ini mulai berkurang lahan tanamnya. Karena orang lebih suka membangun wahana wisata, ruko, perumahan, hotel atau mall. Tidak ada regenerasi petani. Karena jadi petani nggak keren dan labanya kecil. Petani itu rembes, kotor dan mambu. Nggak kiyut kayak bintang pilem Korea.
Teringat pitutur Mbah KH Maimun Zubar yang bilang kalau salah satu tanda-tanda kiamat adalah jika petani nggak mau bertani karena untungnya kecil. Dan itu sedang terjadi sekarang. Persiapan kiamat rek.
Sekarang ini banyak orang yang sok kota dan malu disebut anak kampung. Seolah-olah kampung adalah tempat orang rendahan. Ledekan "kampungan!" jadi ledekan yang merendahkan.
Di negeri ini petani tidak diapresiasi sebagaimana mestinya. Tidak dianggap pahlawan sebagaimana orang menganggap guru sebagai pahlawan tanpa tanda terima. Hari Tani Nasional pun tidak semeriah Hari Guru. Padahal kontribusi petani pada negara juga nggak kalah sama guru. Nggak ada petani, gak mbadok koen Ndes.
Pokoknya aku ingin sebuah kurikulum yang membuat kita bangga pada negeri ini, tidak lupa asal-usul atau siapa kita. Aku nggak tahu bentuk kurikulumnya kayak apa. Aku nggak mau mikir, karena sudah ada yang dibayar negara untuk mikir itu.
Aku memang lulusan IKIP, tapi saat mengikuti mata kuliah soal silabus, kurikulum dan tetek bengek dunia pendidikan perutku langsung mules. Aku anak Seni Rupa, aku hanya ingin nggambar saja.
Well, kita memang payah dalam hal antri, kebersihan, dan banyak lagi. Tapi itu semua karena negara gagal ngasih kesejahteraan pada rakyatnya. Makanya pikiran orang Indonesia itu simpel, nggak berpikir jauh ke depan, pokoknya bagaimana caranya besok bisa makan.
Mereka sangat tahu kalau menebang pohon itu menyebabkan longsor dan bencana yang lain. Tapi perut lapar nggak bisa diajak kompromi.
Di sini orang ngerampok karena memang miskin. Beda dengan perampok di negara-negara besar yang nganggur saja digaji. Di sana membunuh karena ingin eksis atau psikopat. Di sini membunuh karena survive (kere) atau harga diri.
Jadi jangan berpikir linear, kalau negara-negara di luar sana makmur, banyak mall, gedung mentereng, terus kita ikut-ikutan atau mengcopy-paste sistem mereka. Kita punya gaya dan cara sendiri. Kita bukan Amrik, kita bukan Jerman, kita bukan Yunani, kita Indonesia.
Di Barat anak yang semasa kecilnya dididik dengan keras akan jadi psikopat atau pembunuh berantai. Di sini enggak. Tanyakan pada orang-orang tua yang sudah jadi "orang". Bagaimana masa kecil mereka dididik keras, digebuk sabuk, dipukul pakai gagang sapu. Itu tidak membuat mereka trauma, bahkan malah tambah hormat pada orang tua.
Jadi jangan percaya begitu saja dengan ilmu psikologi dari Barat. Kita punya ketahanan dan gen yang berbeda dengan mereka.
Jangan percaya kalau negara kita nggak maju. Maju opo rek. Memangnya ukuran maju itu dilihat dari banyaknya gedung mentereng. Sejak dulu di negeri kita pembangunanya lebih pada membangun manusianya daripada membangun materi dunia. Asline peradaban kita lebih tua dan maju. Mereka junior kita. Ojok kuwalik. Kita merasa tertinggal karena terjangkit virus materialisme.
Embuh wis, panjang kalau diteruskan.
Hidup Petani!
-Robbi Gandamana-

Antara Akal dan Abu Jahal

sumber gambar : artikula.id


Dulu orang yang bertaubat (hijrah; istilah para muslim kagetan) kostumnya nggak langsung berubah seratus persen. Nggak lantas berbaju koko atau gamis plus memanjangkan jenggot. Pokoknya perubahannya hanya pada perilaku, bukan pada baju.
Tapi sejak virus aliran konservatif mewabah di negeri ini, banyak muslim berpenampilan kayak kontes cosplay Abu Jahal. Begitu bertobat, besoknya menjelma Abu Jahal. Bergamis kempling, berjenggot dan kepalanya diuntel-unteli kain atau "ban vespa" (anak maiyah pasti paham).
Kok Abu Jahal?
Karena gamisnya Rasul sedikit berbeda dengan milik Abu Jahal atau kebanyakan orang kaya di Arab abad itu. Punya Rasul nggak sekinclong punyanya Abu Jahal. Karena baju Nabi itu sederhana. Hanya ada tiga setel : yang dipakai, yang disimpan (di lemari ; kalau zaman sekarang), dan yang dicuci.
Makanya jangan terlalu yakin gamismu itu ittiba (meneladani) Rasul. Bisa-bisa malah ittiba Abu Jahal. Karena meneladani Rasul itu nggak lantas jadi Arab. Sing Jowo tetep Jowo. Sing Cino yo tetep Cino. Karena agama bukan soal penampilan, tapi kelakuan.
Islam berkembang dengan pesatnya. Sayangnya berkembangnya tidak ke arah yang lebih cerdas, tapi malah semakin kolot. Harusnya semakin mendalami agama, orang  akan semakin srawung pada sesama dan menghormati perbedaan.  
Tapi sekarang semakin mendalami agama malah jadi ekslusif dan kuper. Orang di luar golongannya dianggap najis.
Dalil dipahami secara harfiah. Misal soal menundukan pandangan pada lawan jenis. Menundukan pandangan itu bukan berarti berpaling atau tidak memandang wajah. Menundukan pandangan kok malah mengesampingkan budaya tegur sapa. Pura-pura nggak tahu. Malah ilang Jowone.
Nggak masalah memandang atau bertatapan wajah, asal hati bertapa, tidak ada muatan syahwat. Beda kalau memandangnya dengan nafsu -----makanya tugasnya hati itu bertapa. Nek diumbar terus, bojo papat ae gak cukup. Keinginan hati itu nggak ada cukupnya---.
Kemarin ada postingan sepasang muslim penganut aliran konservatif mengadakan resepsi pernikahan. Anehnya wajah sang pengantin wanita ditutupi kain sehingga nggak bisa dikenali wajahnya. Alasannya untuk menjaga pandangan dari laki-laki yang bukan mahram, karena istri adalah hiasan. Biar suaminya saja yang berhak "menikmati" hiasan itu.
Maksudnya baik, tapi salah kaprah.
Orang mengadakan acara pernikahan (mengundang banyak orang) itu bertujuan agar khalayak mengetahui dengan pasti  (wajah) bahwa ada pasangan kekasih yang telah resmi menjadi suami istri. Sehingga tidak timbul fitnah saat mereka berduaan di depan publik.
Terus bagaimana khalayak bisa tahu si pengantin wanita kalau wajahnya ditutupi kain . Si pria ini menikah dengan siapa????
Walau nama pengantin wanita ditulis di surat undangan, tapi tetap saja orang butuh bukti otentik yang meyakinkan.
Abad 21 harusnya menjadi puncak kecerdasan manusia.  Sayangnya banyak yang begitu takut menggunakan akal dalam membaca ayat.
Manusia menjadi mahkluk utama karena akal pikirannya. Akal adalah karunia tertinggi dari Tuhan bagi umat manusia, bahkan bagi alam semesta. Hanya manusia yang punya keistimewaan itu.
Semua Nabi dikarunia mujizat yang nggak bisa dinalar dengan akal, tapi sebenarnya akal adalah mujizat yang tertinggi. Bagaimana manusia dengan akalnya menjadikan besi bisa terbang (pesawat terbang). Mengirim pesan, tulisan plus gambar ke orang yang sangat berjauhan hanya dengan henpon.
Akal manusia itu pondasi dasar peradaban. Tanpa akal, kehidupan manusia akan berjalan stagnan. Tidak akan ada penemuan-penemuan. Urip cuman gawe mangan turu koyok wedus.
Jangan pernah melakukan hal apapun tanpa akal. Membaca ayat atau dalil pun harus dengan akal. Dan memang jodohnya kitab suci adalah akal. Makanya kitab suci tidak akan diturunkan pada binatang. Coba saja sodorkan Al Qur'an pada anjing. Pasti anjingnya tersinggung dan misuh, "menungso!"
Akal adalah karunia Tuhan yang paling mulia. Tapi zaman sekarang kata "diakali" malah berubah menjadi kata yang hina. Padahal dalam kehidupan sehari-hari manusia itu kerjaannya ngakali. Beras diakali jadi nasi, pohon diakali jadi meja kursi, kapur dan lempung diakali jadi semen.
Tapi tentu akal harus disinergikan dengan hati. Hasil putusan dari akal harus dipertimbangkan dengan hati. Kadang akal mengatakan iya, tapi hati menolak. Begitu juga sebaliknya. Tanpa perpaduan akal dan hati, manusia akan terombang-ambing dalam kesesatan.
Kalau memahami agama hanya dengan akal saja, manusia bisa jadi ateis. Karena agama itu soal ghaib. Dan akal manusia tidak mampu menjangkau  pengetahuan soal Tuhan. Dengan kata lain Tuhan nggak bisa dibuktikan secara ilmiah. Tuhan hanya bisa dirasakan dengan hati. Itu pun harus dengan hidayah dulu.
Kitab suci itu buku manual agar manusia selamat menjalani hidup sampai akhirat. Dan itu harus dibaca dengan memperdayakan akal. Itulah sebabnya posisi akal itu di atas kitab suci. Seandainya manusia itu diciptakan tanpa akal, nggak akan pernah ada kitab suci. Akal dulu, baru ada kitab suci.
Jadi, alat utama untuk menjadi manusia yang Islami itu adalah akal, bukan Al Qur'an atau Hadits, apalagi kitab-kitab karangan ulama. Tapi karena fanatisme, orang tidak bisa menerima itu,  "Ojok salah! Al Qur'an dulu, baru akal!" Sakarepmu Ndes.
Kalau kamu beli barang eletronik, kamu akan diberi buku manual yang gunanya untuk mengetahui cara menggunakan barang tadi. Tapi seandainya tanpa buku manual pun, orang akan tetap berusaha untuk bisa menjalankannya. Masalahnya adalah itu akan membutuhkan waktu lama.  Karena harus melakukan trial and error berkali-kali.
Zaman dulu sebelum ada kitab suci, orang mencari-cari sendiri siapa yang menciptakan alam semesta ini. Dengan mendayagunakan akal dan nalurinya mereka pun menemukan Dewa, peri, buto.
Berhubung manusia semakin tersesat, akhirnya Tuhan nggak sabar juga, Dia pun menurunkan kitab suci beserta NabiNya.
Seandainya tidak dikasih Al Qur'an atau kitab suci yang lain, manusia yang akal dan hatinya beres nggak akan menyakiti manusia lainnya. Apa berbuat baik harus menunggu kitab suci dulu? Masak agar tidak saling bunuh sesama manusia harus menunggu ada hukum dulu?
Justru perang atau kekacauan di dunia ini dicetuskan oleh orang yang paham hukum. Dan itu disebabkan oleh pertikaian antara agama yang berbeda. Agama datang harusnya mendamaikan tapi malah menyebabkan perang.
Banyak suku pedalaman terpencil yang hidup rukun dan baik dengan sesamanya. Padahal sama sekali tidak paham kitab suci maupun hukum modern. Dan malah merekalah yang sering jadi korban manusia-manusia intelek yang beragama dan mengerti hukum.
Makanya hukum itu rendah. Kamu cuek ketika ada orang jatuh di jalan, itu nggak salah menurut hukum. Tapi salah menurut akhlak. Jadi yang tinggi itu akhlak. Tanpa akhlak yang beres, hukum bisa dimainkan dengan uang dan kekuasaan.
Wis ah.
-Robbi Gandamana-

Rabu, 11 Desember 2019

Simbol Agama Itu Beban

sumber gambar | pepnews.com


Bangga dengan agama yang dianut itu sip. Ke mana-mana menunjukan simbol agamanya. Misalnya memakai kaos atau topi bertuliskan kalimat tauhid. Tapi bagiku pakai simbol agama itu beban. Karena harus menjaga nama baik simbol yang kamu pakai.
Banyak di medsos yang foto profilnya pakai topi bertuliskan "Lailahaillallah" atau simbol sejenis, tapi komennya nyelekit dan menyakitkan hati saat menanggapi postingan orang yang nggak sepaham. Gak mecing blas.
Jangankan pakai simbol agama, aku pakai kaos bergambar Cak Nun saja beban kok. Pernah saat di dalam kereta api yang penumpangnya berjubel-jubel. Di depanku ada seorang ibu berdiri menggendong bayinya karena nggak dapat tempat duduk. Aku bak Ksatria Baja Ringan langsung ngasih tempat dudukku ke dia, "Monggo bulik."
Saat itu aku jadi kayak pemeran protagonis di sinetron "Kere yang Tertukar". Swemprul.
Tapi itu kulakukan bukan karena aku baik, tapi karena aku pakai kaos Cak Nun. Nama baik Cak Nun dipertaruhkan. Juga nama maiyah. Kalau aku nggak ngasih tempat duduk, takutnya ada yang kecewa, "Anak buahe Cak Nun nggateli, onok wong meteng kok meneng ae. Maiyah cap peli."
Aku masih punya satu kaos Cak Nun (sing takok sopo). Gambarnya karyaku sendiri (cie ciee). Dulu sering kupakai kemana-mana, disamping kaos warna hitam favorit. Tapi sekarang sudah nggak lagi. Bukan karena sudah rusak, tapi karena beban. Cak Nun wong alim, sedangkan aku bajingan. Gak mecing, distorsi sekali. Akhire tak simpen ae. Cukup untuk koleksi saja.
Untung Nabi Muhammad nggak ada fotonya. Kalau ada, bisa-bisa dijadikan kaos. Dijual berdampingan dengan kaos Bob Marley. Ke mana-mana pakai kaos tersebut. Bahkan pas ngeden nang toilet. Wadoh.
Btw, dulu sempat booming kaos bergambar Cak Nun. Embuh saiki sik payu opo ora. Gambarku sempat dibajak distro-distro kere yang awam soal hak cipta. Ada yang dengan rileksnya posting (promosi) kaos bergambar karyaku di fesbuk. Padahal aku ada di daftar pertemanan dia. Walhasil aku jadi tahu. Dasar pembajak ndlahom.
Ketika kutegur dianya nggak nanggepi, eh malah ngilang. Embuh sik urip opo ora areke. Mugi-mugi jembaro kubure. Aku se ikhlas ae, sing uwis yo uwis. Tapi ojok dibaleni maneh. Sepak ndasmu..huwehehehe guyon mas.
Kembali ke soal simbol agama.
Aku menjauhi simbol-simbol agama bukan karena minder dengan agamaku. Tapi karena tahu diri.
Cak Nun pernah cerita saat di Suriname, negara yang banyak dari warganya keturunan Jawa.  Ceritanya Cak Nun tanya pada salah seorang dari mereka, "Opo kowe isih Islam? " Yang ditanya pun menjawab serius, "Ojo! Islam kuwi apik, aku ojo Islam. "
Maksudnya dia nggak Islam karena nggak mau merusak citra baik agama Islam karena dia merasa masih belum benar tabiatnya.
Dia adalah contoh orang yang biso rumongso. Bisa jadi dia adalah muslim, hanya saja dia nggak ingin keIslamannya mendapat pengakuan dari orang lain. Cukup Tuhan saja yang tahu.
Kira-kira aku ingin seperti itu. Cukup Tuhan saja yang tahu dengan pasti aku Islam atau tidak. Biarlah agama jadi urusan dapur, nggak perlu dipajang di ruang tamu. Yang penting saat ada tamu datang disambut dengan baik.
Simbol Islam itu banyak jenisnya. Bisa jadi jilbab masuk kategori sebagai simbol Islam. Berani berjilbab, harusnya berani menjaga nama baik jilbab. Kalau mau berbuat hal yang tak senonoh selalu ingat jilbabnya. "Wadoh iyo, aku jilbaban. Gak sido maling rantang wis.. "
Makanya aku nggak pernah memaksa anak istriku berjilbab kalau belum mantep hatinya. Aku hanya tegas kalau soal shalat dan rukun Islam yang lain. Kalau soal jilbab, aku cocok dengan pehamamannya Quraisy Shihab, Gus Dur atau Cak Nun. Beliau-beliau ini tidak pernah memaksa anaknya berjilbab. Soal kenapanya, tanya angsung ke orangnya. Nek aku sing jelasno engkok malah keliru. Pendangkalan aqidah.
Berjilbab harusnya karena Allah, bukan karena disuruh bapaknya atau sungkan dengan lainnya yang pada berjilbab.  Apalagi tugasnya manusia itu cuman mengajak atau mengingatkan, tidak memaksa atau memerintah. Hidayah seratus persen kuasa Allah.
Dan Tuhan bingung kalau kamu berjilbab karena sungkan sama bapakmu, "Karepe opo arek iki..luwih sungkan karo bapake timbangane aku. Asem."
Soal jilbab itu hukumnya wajib atau embuh, aku gak eruh. Kalau tahu pun aku juga nggak akan membahasnya. Bukan kapasitasku membahas soal itu. Tanyakan pada ustadzmu masing-masing. Nggolek enake tok ae koen iku. Kesel nulise Ndes.
Kesimpulannya, bangga itu harusnya pada akhlakmu, bukan karena simbol agamamu. Catet.
-Robbi Gandamana-

Minggu, 01 Desember 2019

Merindukan Zaman di Mana Kaki dan Tangan Digunakan Secara Orisinil



Kemajuan teknologi memang membuat orang manja. Ada orang yang ngamuk saat pesawatnya delay setengah jam, padahal dulu dia naik kapal laut yang bisa sehari semalam sampai ke tempat tujuan. Dan saat sampai di tempatnya langsung lemes. Karena mabuk laut parah.
Zaman dulu saat aku kuliah seni rupa, bikin pamflet  itu nggambarnya pakai kuas, spidol, dan cat poster di atas keras. Kalau nggak di-acc dosen, nggambar lagi diulang dari awal. Swemprul banget. Beda jauh di zaman milenial yang semuanya dikerjakan pakai komputer. Kalau salah tinggal edit.
Teknologi itu sebenarnya angker banget kalau dipikir secara manual (lugu). Kita nulis di henpon dan kita kirim ke orang lain yang jauh di luar kota. Dalam hitungan detik tulisan itu kok bisa nyampai ke orang yang kita tuju. Iku sopo sing ngirim. Kok yo gelem. Terus tulisan iku mlayune liwat endi. Kok bisa nyampai dengan cepat. Seolah-olah henpon itu ada jinnya.
Dulu cuman "say hello" ke teman yang di luar kota saja pakai surat yang tiga hari baru nyampai. Setelah nyampai, menunggu balasannya selama tiga hari lagi. Sabar pol. Hidup dengan cara yang sangat lambat.
Masio metalhead aku yo tau surat-suratan Mblung. Tapi aku nyesel melakukan itu. Bukan karena suratnya tapi karena yang dikirimi surat (cewek) nggak bisa nahan cangkem, cerita kemana-mana. Apalagi suratnya konyol, bukan surat cinta tapi suratnya banyak gambar tengkorak khas anak metal. Akhire aku diisin-isin karo arek-arek. Cok.
Bagi dia mungkin itu hal yang biasa. Tapi bagiku cukup bikin mati gaya. Tiap orang punya standar malu yang berbeda. Orang Eropa bertelanjang dada di pantai itu biasa. Bagi orang Timur itu malu luar biasa.
Tapi aku dapat pelajaran penting dari kejadian itu--> jangan pernah membully teman. Salah satu hal yang tidak mudah dilupakan adalah saat dipermalukan. Seumur hidup akan ingat terus. Walaupun sudah memaafkan, sing uwis yo uwis, tapi nek eling yo tetep misuh. Cok maneh. Ya'opo iki. Ampuni hambamu ya Alloh.
Yo wis lah, off the record. Ojok ngomong sopo-sopo.
Ngomong soal teknologi, generasi lawas iku tangguh sekaligus melas. Tangguh kerena serba manual. Melas karena terbatas.
Dulu saat awal-awal henpon baru keluar, harga pulsa cukup bajingan, mahal sekali. Tapi anehnya, laris manis. Kalau telpon ngomongnya super singkat, tanpa basa basi karena ngirit pulsa, "Halo..wasweswuswosss..nganu yo..weswuswos..sip (langsung matikan telpon)." Nggak cuman buruh yang begitu, bossnya juga sama. Ngirit kabeh.
Harga nomer perdana seharga emas. Bersyukurlah kalau sekarang pulsa murah, wifi gratisan ada dimana-mana. Sebentar lagi pulsa akan gratis.
Sekarang ini kebanyakan orang tidak menggunakan tangan dan kakinya secara orisinil seperti burung yang menggunakan sayapnya untuk terbang. Semua pakai mesin. Mau apa-apa tinggal pencet. Kemana-mana tinggal ngegas dan ngerem.
Makanya sekarang  banyak orang yang kena serangan jantung atau stroke. Karena kurang gerak dan nggak hobi olahraga. Olahraganya dalam bentuk game di henpon atau kompi.
Walau dimanjakan teknologi, kadang-kadang kita rindu melakukan sesuatu yang tradisional. Sekali waktu kita ingin merasakan jalan kaki atau naik sepeda ontel ke tempat yang agak jauh. Atau hal lain yang bisa dibilang kuno.
Kalau soal jalan kaki, aku wis qatam. Dulu saat masih sekolah, 90% kemana-mana jalan kaki. Anehnya, aku bisa bahagia dengan itu. Sekarang jalan kaki dari stasiun Tugu ke pasar Beringharjo Jogja saja sudah meratapi nasib. Mengutuk pemerintah. Menyalahkan Jokowi. Wadoh :)
Konon orang yang sering jalan kaki itu jiwanya lebih kaya. Karena dalam jalan kaki ada proses menghayati, mendalami, merenungi. Kalau naik kendaraan tidak bisa seperti itu. Harus fokus menjalankan mesin. Kalau merenung sedikit bisa nubruk bak truk.
Konon juga pejalan kaki itu perasaane landep, rasa sosialnya tinggi. Karena terbiasa sengsara dan sering melihat (merasakan) kesengsaraan hidup orang miskin dengan dekat. Kalau naik kendaraan melihatnya sambil lalu.
Dulu beberapa kali di jalan dipertemukan dengan para musafir kere yang kehabisan uang.  Mereka curhat sambil mewek minta kemurahan hati (uang). Ketika uangku habis kuberikan, gantian aku sing mewek. Ya Alloh, kok yo dipertemukan karo aku sing duwike pas-pasan. Ngerti nek aku gak isoan. Woalaa kere ketemu kere = kere bersatu.
Eh sik sik..iki sakjane mbahas opo se?
Embuh wis gak ngurus. Ini cuman contoh tulisan Nggedabrus. Jenis prosa baru dari generasi medsos.

Kamis, 21 November 2019

Ketika Orang Alergi pada Sebutan "Budayawan"



Manusia biasa seperti kita ini nggak bisa niru (meneladani) Nabi persis plek. Bisa niru 10 % saja itu sudah dahsyat banget. Kebanyakan cuma bisa niru tongkrongannya saja. Yang sebenarnya nggak harus ditiru--> bergamis,berjenggot dan bercelana cingkrang. Cuma niru kulit luarnya saja. Nggak nyampai isi bla bla bla---silahkan berdebat , aku gak ngurus. Persetan sekte kalian---.
Miskinnya kita karena terpaksa, sedangkan Nabi malah memilih miskin. Beliau berpoligami karena alasan sosial, sedangkan kebanyakan umatnya berpoligami karena asalan biologis. Oala peli pelii.
Pokoke raimu gak mungkin iso niru lah. Bisanya cuman sebisa-bisanya atau semampu-mampunya meniru.
Ojok maneh niru Nabi, aku niru Cak Nun ae gak iso. Isone niru misuhe tok. Ngerti khan nek Cak Nun iku misuhe los. Karena itu strategi Cak Nun biar nggak ditinggikan, diulama-ulamakan, dianggap paling alim. Karena lebih baik dikira bajingan (walau bukan) daripada bergelar Ulama tapi kacau, ilmune cetek dan menyebarkan Islam dengan cara menyakiti hati manusia. Ngafir-ngafirno wong liyo.
Dan justru karena bahasa kampung itulah Cak Nun mendapat tempat di hati rakyat. Wasyik pokoke nek Cak Nun bicara di forum. Ini salah satu contohnya.
"Aku diperintah Alloh jadi orang Jawa. Aku tidak berani melanggar perintah Alloh. Aku bukan orang Arab.  Aku wong Jowo cuk!
Tuhan menciptakan keindahan yang luar biasa. Orang ini dari Bugis, ini Blora, itu Kota Gede,....dikasih kenikmatan (menjadi diri sendiri) kok malah dibuang. Kalau kita disuruh Tuhan jadi orang Jawa, ya kita jadi orang Jawa.
Ingat "lita' arafu" (agar kita saling mengenal). Terus apa yang lita' arafu kalau kita sama semua? Kalau orang Jawa harus jadi Arab, terus untuk saling mengenal apa?
Kita mengapresiasi orang Arab. Kita hormati orang Arab. Bahkan kita ini menyanyikan lagu bernada Arab itu melebihi orang Arab sendiri. Kita itu orang Jawa tapi mau mengucapkan "ya Rasulullah". Kurang apa kita?
Laulaka ya Muhammad..kalau tidak karena engkau wahai Muhammad. Aku tidak mau berbahasa Arab. Tapi karena engkau Rasulullah yang aku cintai, jangankan bahasa Arab, seribu bahasa yang tidak aku sukai menjadi aku cintai. Karena engkau ya Rasulullah...."
Mbois yo ..
Cak Nun rela menjadi manusia ruang. Mau menampung semuanya, sampai tidak ada tempat bagi dirinya sendiri. Semua eksistansinya dibuang. Silahkan mau sebut budayawan, penyair, kyai, sakarepmu wis. Sebutan itu nggak penting. Tuhan juga nggak ngurusi gelar manusia. Yang penting bermanfaat bagi orang lain.
Untung istri Cak Nun, Novia Kolopaking, punya kesabaran luar biasa. Walau nggak tega hati lihat Cak Nun tiap malam selalu bermaiyah menemani rakyat di daerah-daerah. Tapi memang sebelum menikah mereka berjanji untuk tidak akan bertengkar karena dua urusan : seks dan uang. Dua urusan itu memang penting, tapi bukan yang terpenting.
Jangan dipikir Cak Nun tiap malam berkeliling kemana-mana itu dalam rangka cari uang. Cak nun nggak perduli tarif.  Beliau nggak pernah bertransaksi. Beliau nggak tahu berapa dibayar. Memang ada manajemen yang ngurus, tapi Cak Nun minta pada manajemen agar tidak menomorsatukan jumlah uang.
Saat diundang ke luar negeri oleh pelajar atau TKI, beliau nggak mau merepotkan mereka. Pokoknya ada dananya berapa, beliau yang nambahi. Kepada jamaah di sana (pelajar maupun TKI)  beliau memposisikan diri sebagai bapak. Jadi dia nggak mau merepotkan anaknya.
Bahkan beliau malah rugi kalau menurut ilmu bisnis. Tiket pesawatnya terbatas, tapi Cak Nun bawa personel yang jauh melebihi jatah tiket. Itu pun masih ada acara penggalangan dana untuk Palestina, Cak Nun ikut nyumbang yang jumlah nominalnya nggak sedikit.
Kalau soal nggak dibayar, Cak Nun sudah biasa. Pernah jauh-jauh dari luar kota diundang para mahasiswa jadi pembicara di kampus hanya dibayar vandel kenang-kenangan. Padahal pulang pergi pakai duwit pribadi. Mahasiswa kere.
Orang sekarang sudah tidak percaya kesucian (tanpa pamrih). Melakukan kebaikan tanpa minta imbalan pasti dicurigai. Cak Nun keliling daerah ngajak rakyat shalawatan dicurigai, mereka berpikir pasti ada udang dibalik batu. Padahal beliau mendedikasikan hidupnya untuk membesarkan hati rakyat. Agar selalu optimis, bersyukur dan berprasangka baik pada Tuhan.
Karena bahagia itu soal metode jiwa. Bahagia jangan tergantung dengan apa yang ada di luar dirimu. Masio duwik pas-pasan yo iso bahagia. Makan tempe jangan membayangkan ayam goreng. Dapat uang seratus ribu jangan membayangkan satu juta. Disyukuri saja. Asal usaha tetap ditingkatkan.
Aku yo dikit-dikit niru Cak Nun. Sufi tipis-tipis. Mendedikasikan hidupku untuk membahagiakan orang. Dengan cara yang aku bisa. Nggambar atau nulis. Ya'opo carane nulis seasyik mungkin. Aku seneng, sing moco gak spaneng. Persetan reward.
Nek ono sing komentar, "koen gak kesel ta nulis dowone sak mene iki.." Itu ciri-ciri orang yang nggak percaya kesucian. Tipikal orang yang masuk pegawai negeri dengan nyogok. Nggak percaya di zaman ini ada orang yang menulis atau melakukan apa pun secara cuma-cuma, hanya untuk membahagiakan orang (semoga).
Aku wis gak tau posting hal-hal yang berpotensi membuat orang berduka. Saat anakku opname di rumah sakit tidak aku posting. Bahkan saat bapakku meninggal pun tidak aku posting. Dukaku adalah dukaku, bahagiaku semoga jadi bahagiamu.
Saat momen hepi-hepi pun tidak selalu aku posting. Karena dunia itu penuh konflik. Kita bahagia, tapi orang di luar sana ternyata ada yang iri. Wadoh.
Semakin ke sini aku semakin nggak perduli dibayar atau tidak. Gak ngurus. Dibayar Alhamdulilah, gak dibayar yo Innalillahi.
Aku sudah jarang mempromosikan gambarku, walau hampir tiap hari nggambar. Tuhan maha tanggung jawab. Selama kamu ubet, jujur dan kerjanya bener, pasti dapat uang. Makanya jangan niat cari uang. Niatnya kerja. Kalau niatnya cari uang, nggak dapat uang bisa jadi maling.
Manusia derajatnya lebih tinggi dari uang bla bla bla..wis tau tak bahas, males nulis maneh.
Semua tulisanku (status) di fesbuk kutulis ulang di Kompasiana. Karena hanya di Kompasiana aku berjaya. Nggak tahu kenapa. Pokoke asyik ae. Tapi link di Kompasiana nggak bakalan aku posting di fesbuk. Karena segmen pembacaku kaum kere yang ngirit paket data. Nggak mungkin dibukak. Alaa raimu.
Dari apa yang aku paparkan di atas, Cak Nun ini layak untuk didengar pituturnya. Layak dijadikan rujukan, bahan perenungan (lambemu). Cak Nun itu bukan Wali bahkan Nabi, hanya manusia biasa yang memberi alternatif cara hidup yang asyik. Agar hidup menjadi lebih ringan.
Ingat rumusnya : "Ikutilah orang yang tidak meminta imbalan kepadamu; dan mereka adalah orang-orang yang mendapat petunjuk."
Cak Nun bukan ulama, tapi kwalitasnya lebih dari ulama. Aku lebih suka dan percaya dengan orang yang membuang jauh-jauh gelar-gelar agama daripada mereka yang bangga dengan gelar ulamanya. Dengan gelarnya itu, mereka mendapat akses untuk menghimpun umat yang bisa digerakan, dibaiat demi kepentingan golongan atau pribadi.
Cak Nun itu nasab keilmuannya jelas, tapi sori nggak aku bahas sekarang (aku gak apal jenenge mbah-mbahe). Tapi mau nasabnya jelas atau tidak  selama pituturnya masuk akal dan membuat hidupmu lebih baik, kenapa tidak. Jangan alergi dengan istilah "budayawan", "seniman", "penyair". Budayawan itu cuman sebutan, hakikat beliau lebih dari itu. Menurutku dia adalah sufi.
Ada anak gemblung yang komentar pekok ketika Cak Nun ceramah agama, "jangan dengarkan omongannya, dia cuman budayawan..bukan ulama."
Cak nun itu manusia yang sudah selesai dengan urusan dunia. Nggak ngurusi tarif. Nggak perduli dengan jabatan, gelar, pangkat, wedokan. Kalau mau, Cak Nun bisa berpoligami. Tapi buat apa. Istri satu saja nggak bisa tuntas. Karena waktunya tersita untuk ngurusi rakyat. Jam ngantornya jam 9 malam sampai jam 3 pagi, hampir tiap hari. Sakit pun tetap berangkat. Bagi orang seperti Cak Nun, sakit itu anugerah, sama seperti sehat. Ya'opo ngono iku.
Ada dulu ada seorang motivator yang digelari sufi oleh masyarakat hanya karena muatan bahasa yang dipakai sangat dalam dan menyentuh hati. Tapi mereka nggak sadar kalau si motivator ini tiap kali tampil selalu pasang tarif yang tinggi. Sekali nyangkem 125 juta bersih. Iku gak sufi rek, tapi bussinesman. Sufi kok pasang tarif. Sufi mblendes.
Ketoke wis kedawan rek...wis sakmene ae. Sesuk disambung maneh.
-Robbi Gandamana-

Kamis, 14 November 2019

Laporan Palsu adalah Riba yang Melegenda



Dari dulu aku nggak suka kalau tiap hari harus ngisi laporan hasil kerja. Bagiku yang penting kerjaan beres sesuai target. Jadi nggak tiap hari laporan. Jangan ditanya kapan dan dimana aku nggambarnya, yang penting kerjaan beres dan tepat waktu. Percoyo ae lah, pokoke rembes eh, beres.
Ngisi laporan tiap hari itu rawan terjadinya pembohongan. Karena ingin terlihat rajin di mata atasan, akhirnya melakukan 'penipuan'. Misal seorang ilustrator, sehari cuma dapat 5 gambar tapi ngakunya 15, padahal seharian sibuk WA-an. Raine alim, celonone cingkrang tapi kok gampang banget nggawe laporan palsu. Eman cingkrangmu Ndes. Cingkrang celanamu, cingkrang imanmu kawan.
Hal seperti itu bisa berlaku pada profesi yang lain. Entah desain grafis, lay out, dan seterusnya. Kalau orangnya nggak jujur, laporannya penuh dengan tipu-tipu. Saat akhir bulan dapat uang lemburan yang lumayan, do'i sujud syukur, "ngAlhamdulillah ya Awohh." Padahal hasil dari laporan lemburan tipu-tipu. Nglembur tapi fesbukan ae. Kok yo iso tenang atine, anake dipakani nggawe duwik syubhat (bisa jadi malah haram).
Tipu-tipu semacam itu adalah riba. Riba itu nggak cuman urusan bunga bank. Jauh sebelum ada bank, istilah riba itu sudah ada. Apapun bentuk kecurangan adalah riba. Kalau lima jangan dibilang lima belas. Di dunia kerja buanyak sekali praktek riba. Misal laporan pajak tipu-tipu. Itu riba banget.
Dan apesnya aku sering kali diminta tolong mengedit laporan seperti itu, karena aku paham Photoshop. Ditolak sungkan, nggak ditolak kok langganan. Akhirnya untuk mengingatkannya secara halus, file-nya aku kasih nama 'tipu-tipu 1', 'tipu-tipu 2' dan seterusnya. Tapi tetap dianya nggak jadi sadar. Di lain waktu tetap nyuruh ngedit laporan palsu lagi. Jahannam!!!
Semoga Tuhan nggak marah. Karena kalau ditolak mentah-mentah seduluran bisa ambyar. Aku hanya bisa berdoa atau berharap dia segera sadar. Mugi-mugi jembaro kubure.
Di zaman sekarang, sadar atau tidak, tiap hari kita hidup di kubangan riba. Kalau cuman nabung di bank sih wajar, karena keadaannya memaksa begitu. Mau bank konvensional atau syariah sama saja. Istilah syariah itu dipakai untuk tujuan dagang, memperluas pasar. Jadi jangan percaya begitu saja kalau yang syariah itu pasti tidak ada riba. Podo kabeh.
Saat ini orang jujur itu kayak Alien. Terpojok sendiri di tengah-tengah para penghamba riba. Betul jarene Mbah Gendon, "Saiki zaman edan, ora edan ora keduman". Edan yang dimaksud di sini adalah tidak benar, ngawur, maling, penipu, pemalsu, dsb. Tapi aku gak melok-melok rek, emploken kono kabeh. Insya Alloh.
-Robbi Gandamana-

Selasa, 05 November 2019

Aibon to Break Free



Kedewasaan seseorang itu bisa dilihat dari sikapnya saat menghadapi orang yang nggak asyik. Misalnya bagaimana dia menjawab komen reseh, misuh, atau apa pun komen yang nylekit di medsos.
Komen di medsos kok diseriusi, kalau berani ya ketemuan di dunia nyata. Kalau sudah kebablasan (nyinggung sara) ya tinggal di-screenshot, viralkan, biar dicyduk aparat.
Debat di medsos itu mubazir. Tiwas ndasmu pecah. Aku gak melok-melok. Apalagi dengan debater tipe kuntilanak (suka tertawa) : "..hahaha...lha kamu nganu hahaha... makanya pakai anumu hahahaha.."
Asli menyebalkan. Padahal di dunia nyata sama sekali nggak tertawa. Malah sebaliknya, ngamuk pol, mukanya merah menyala iso gawe nyumet rokok.
Dia memang sengaja tertawa untuk mendongkrak emosi lawan debatnya. Makane ojok diladeni. Pernah sekali aku ngeladeni orang seperti itu. Akibatnya, seharian aku jadi bad mood, males nggambar. Wasyu ok.
Aku nulis begini nggak ada maksud sok dewasa. Gak rek, aku durung iso dewasa. Sik seneng misuh-misuh. Konon lelaki itu nggak bisa benar-benar dewasa. Tapi minimal berusaha dewasa. Belajar berendah hati dengan perbedaan. Nggak golek menange dewe.
Pesene Simbah, jangan pernah merasa menang di dalam kehidupan. Jangan pernah kecil hati disebut kalah. Menang dan kalah tidak begitu hakikatnya. Kemenangan di dunia itu semu. Dan dalam konteks kehidupan, manusia diciptakan tidak untuk mengalahkan manusia lainnya.
Tentu saja dalam olahraga atau yang lain memang harus ada yang kalah dan menang. Kalau kalah sportif, kalau menang tidak merendahkan. Optimis oke saja, tapi jangan merasa paling hebat. Juga tidak rendah diri. Sak madyo ae.
Debat itu nggak ada yang kalah. Yang ada ngalah. Kalaupun (seolah-olah) menang itu karena kuat ngotot. Nggak ada yang betul-betul benar. Kebenaran itu relatif dan dinamis. Semua tergantung sikon dan kesepakatan. Kebenaran nggak kayak matematika, dua ditambah dua pasti empat. Nggak mungkin lima.
Makane nek mbelani Capres ojok nemen-nemen. Lha wong kebenaran agama saja relatif apalagi politik. Tiwas awakmu mbelani Prabowo sampek kelangan konco karo dulur, ternyata gabung dengan Jokowi. Padahal sudah terlanjur berkoar-koar dimana-mana kalau anti Jokowi. Taek.
Jangan terlalu membela Jokowi, Prabowo atau tokoh yang lain. Orang yang terlalu membela itu sebenarnya sakit secara psikis. Mereka itu bisa dikatakan sudah mati dalam hidupnya. Lha gendeng kok, sudah nggak bisa obyektif lagi.  Jagoannya dibela terus, apa pun kelakuannya pasti dijempol.
Mumpung durung kasep, silakan periksakan diri kalian ke psikiater terdekat. Mumpung masih bisa dicover BPJS. Besok-besok mungkin dihapus karena BPJS terancam bangkrut ---Program sedekah kok bangkrut. Iki negoro opo perusahaan---.
Aku mengagumi Cak Nun, tapi ya nggak seratus persen yakin dengan pemikirannya. Cak Nun itu cuman manusia  biasa yang bisa salah. Aku nggak mau samina wa attona pada siapa pun kecuali Nabi Muhammad.
Pernah dulu dia guyon saat acara maiyah Kenduri Cinta, "Arek Malang iku malah seneng nyebut dirinya bedes (monyet)."  Karena anak Malang bangga menyebut dirinya kera Ngalam, kebalikan dari arek Malang.
Untung videonya nggak diframing dengan judul "Cak Nun Menghina Arek Malang". Arema yang sumbu pendek bisa mencak-mencak. Tapi aku percaya Arema nggak gampang terpancing. Kalau ada yang terpancing iku mesti Arema sing ndlahom.
Padahal kata 'kera' di situ pengucapan huruf 'e'nya sama kayak kata 'kepo'. Jadi bukan kera monyet. Ya'opo se cak.
Wass embuh rek. Ya'opo carane menghindari adu kebenaran. Gak usah eker-ekeran. Urip digawe hepi ae. Nek jarene Freddy Mercury, "Aibon to break free..."

-Robbi Gandamana-

Menyakiti Hati Manusia dengan Kebenaran



Jarene wong tuwo-tuwo, ilmu kuwi kelakone kanti laku. Artinya Ilmu nggak akan pernah sampai padamu kalau hanya berupa teori atau wacana, nggak pernah diamalkan.
Itulah tipe kebanyakan anak milenial.
Wawasan dan teori soal agama oke banget, tapi nggak pernah punya pengalaman sengsara, nggak pernah tirakat, dan hidup nyaman dari warisan orang tua.
Ilmunya (soal kehidupan) nggak otentik, bukan dari pengalaman pribadi, tapi dari informasi literer.
Anak kemaren sore nggaya. Gayane nyeramahi (bikin status di medsos) wong tuwek-tuwek. Jadi polisi moral.
Ndes, kalau belum pernah atau belum mampu mengamalkan ayat atau dalil, ojok nggaya nggurui atau ndalil.  Apalagi sampai merendahkan orang. Nyawang uripe wong liyo ojok dipikir koyok raimu.
Ada orang  kredit motor atau rumah diolok-olok. Dicap sebagai pelaku riba. Enteng saja dia ngomong seperti itu, lha wong kendaraan tinggal makai, rumah tinggal nempati, nggak pernah tahu sengsaranya mengumpulkan uang dari jerih payahnya sendiri untuk beli semua itu.
Tunggu saja tanggal mainnya. Kalau kamu nggak minta maaf secara terbuka, karma akan menghampirimu. Kamu akan ditagih oleh ilmumu. Roda kehidupanmu akan berada di bawa. Kamu akan jadi kere total sampai terpaksa utang bank yang selama ini kamu ejek sebagai riba. Akhirnya kamu terpaksa ngredit motor atau rumah. Percoyo ae lah, omonganku mandi.
Seorang karyawan atau buruh pabrik di zaman sekarang agak mustahil beli rumah secara cash. Harga properti terus naik tiap tahun, tapi gaji nggak pasti naik tiap tahunnya. Dan kalau naik pun nggak bisa mengejar harga properti yang ngebut total. Bahagialah mereka yang rumahnya rumah warisan. Tinggal dipoles sedikit, jadilah rumah baru.
Jadi mereka-mereka yang ngredit rumah itu karena terpaksa. Dan itu nggak masalah. Tenang ae talah, hukum itu berlaku kondisional. Orang yang kelaparan pun dimaafkan kalau mencuri makanan.
Walaupun yang kredit rumah ternyata orang kaya (ambil dua kapling lagi). Kita nggak punya hak nuding-nuding dia. Itu urusan dia dengan Tuhannya.
Jangan gampang mengharamkan. Lihat situasi dan kondisinya kalau nggak ingin terjebak karma dan jadi munafik. Karena ada yang mengharamkan pajak, tapi menikmati pembangunan yang dibangun pakai duit pajak.
Yang wagu itu yang sok hijrah. Resign dari tempat kerjanya di  bank, karena menurutnya bank itu riba.  Tapi harta yang dibeli dari gaji selama kerja di bank didekap terus. Kalau memang bank itu riba, berarti gajinya juga riba. Jadi harta yang dibeli dari uang riba ya harusnya haram. Hijrah kok nggak konsisten.
Tapi orang seperti itu nggak usah diolok-olok. Ingat karma. Aku wis pengalaman. Hobiku khan ngenyek, ad hominem, dan body shaming. Jadi kalau sekarang hidupku kacau, itu karena karma dari kelakuanku yang dulu-dulu. Ngunduh wohing pakarti. Tapi anehnya, aku tetap suka mengolok-olok sampai sekarang. Ojok ditiru.
Pernah dulu mengolok-ngolok teman yang ikut MLM. Lha ya'opo, nggak ada angin nggak ada hujan kok nraktir makan enak di cafe. Salah opo aku?
Dan ternyata memang presentasi MLM. Semprul Nda. Yo wis lah, karena itu memang proses yang harus dilewati. Ojok dinyek. Nggak semua orang punya ketahanan mental dan bermuka tebal seperti dia. Demi sebuah helikopter (seperti yang diimpikannya).
Pernah juga aku dulu ngrasani orang kaya yang ngredit rumah murah dan ambil dua unit sekaligus. Itu khan nyerobot jatah orang tak mampu. Eh lha kok ternyata dia orang alim, sopan dan loman. Rajin shalat di masjid sampai jidatnya gosong di empat titik. Dan aku pernah dikasih sepeda ontel yang tidak terpakai tapi masih kempling.
Dan aku jadi tengsin sendiri. Ngenyek tapi mau sepedanya. Raimu Ndes.
Ya'opo ngono iku. Mumet khan. Di zaman sekarang ini kita tidak bisa mendefinisikan orang baik dan bajingan dengan mudah. Ketoke bajingan, tapi kok apikan. Ketoke apikan tapi nggak mbayar utang.
Aku tahu riba itu haram dan hukumannya berat. Aku yo ngerti agama rek, masio pas-pasan. Tapi yang penting tidak membabibuta nuding-nuding orang. Hukum itu luwes. Semua tergantung sikon. Tuhan nggak rewel koyok raimu. Ngono iku ora mesti ngono. Selow ae Ndes. Riba memang haram, tapi menyakiti perasaan orang  lain itu juga haram bla bla bla bla..
Wis ah.
-Robbi Gandamana-