Kamis, 29 September 2016

Antara Tulisan Asbun, Asnul dan Tulisan 'Tertib'

Karena aku bukan penulis, menurutku menulis itu bukan soal salah atau benar, tapi soal berani atau tidak. Wis ojok didebat, soale aku mesti kalah...semprul!
Semua butuh proses. Wajar kalau di awal nulis pasti morat-marit nggak karu-karuan. Tapi seiring berjalannya waktu, pastilah tulisan akan semakin mbois, otomatis. Tenang ae..
Tulisanku sendiri cuman asbun, asnul (asal nulis), nggedabrus..nggak layak disebut tulisan. Itu nggak penting. Yang penting pede, berani beropini. Walau nggak memenuhi standar kriteria tulisan yang benar menurut dosen linguistik.
Tapi lumayan aku belajar banyak dari konco2 blogger di situs Kampes si Yana. Walau sekarang jarang mampir, pusing, isinya mbahas Agus anake Bambang. Tapi aku masih sekali2 ngintip.
Aku takjub dengan teman2 yg ikut kompetisi nulis untuk Instansi, entah itu PLN, PDAM, BPJS dan lainnya. Di tulisan mereka, instansi2 tadi jadi kayak instansi malaikat, sama sekali tak ada cacatnya. Yang ditulis sisi baiknya tok. Ciyusss????
Aku sendiri nggak akan ikut lomba (menulis) seperti itu. Kalau aku nulis begitu, itu pasti dusta. Itu mengingkari hati nurani, bikin 'sakit'. Entah hatinya 'sakit', badannya 'sakit' atau hidupnya 'sakit'. Sori..
Aku memposisikan diri sebagai tukang kritik. Pada instansi2 itu, aku selalu melihat sisi jeleknya. Misal PLN, begitu gampangnya listrik padam. Angin kencang sedikit saja mati listrik, padahal itu belum kiamat!
Tapi dalam hal menulis atau berbuat apa saja, yang asyik itu--> berbuat baik ya berbuat saja, tak ada motifnya, tak ada tujuannya..pokoknya lakukan dengan tulus ikhlas dan sungguh-sungguh. Biar waktu yang akan menemukan takdirnya.
"Bro, awakmu nulis dalam rangka opo?" yo nulis ae. "Tujuane?" yo nulis. "Obsesine?" pokok nulis ae. Begitu juga dengan nggambar atau yang lain..kurang lebih sama. Nggak perlu bercita-cita. Sing penting iku ngelakoni opo ora. Ingat : Yg dinilai Tuhan usahanya, bukan hasilnya.
Kebanyakan orang selalu berpamrih atau terobsesi. Akhirnya saat obsesinya gagal, ngelu ndase, depresi--> bunuh diri. Saat tulisan tak ada yg nge-like atau coment, galau. Alaa raimu..
Itulah alasan kenapa statusku kemarin ada warning : "Tolong jangan di-share." Itu dalam rangka mematikan ego-ku yg ingin populer. Asline gak popo di-share. Ojok sampek aku nulis itu dalam rangka menginginkan popularitas, terkenal, banyak follower-nya. Taek kabeh..
Tulisanku di-copy paste juga nggk masalah tapi nggak bagus buat ente. Kapan ente pede menulis opinimu sendiri? (kecuali memang benar2 gak bisa nulis). Lagian nulis iku kesel rek, ente copy paste tanpa menyertakan penulisnya, gak ngregani blas.
Sebenarnya nggak penting orang disebut penulis, seniman, fesbuker, hijaber, rocker...yang penting output-nya menggembirakan, bermanfaat bagi orang lain. Embel-embel tersebut di butuhkan untuk keperluan administrasi, birokrasi, bikin KTP.
Di dalam kubur nggak akan ditanya sama malaikat, "Mas, sampeyan mbiyen profesine opo? Juragan sawah yo? Pirang hektar? kok ketoke tungkake sampeyan rengat kabeh."
Dan embel2 tadi disematkan oleh orang lain. Nggak ente sendiri yg bilang, "aku seniman lho.." (kecuali saat ngelamar kerja). Akeh wong ngono iku, cuman gara2 rambute gondrong, gak tau adus, keleke mambu ngaku seniman. Ngaku punya dapur rekaman ternyata dapur beneran.
Kembali ke soal tulisan..
Pembaca saiki nggak terlalu perduli soal tanda baca, yang penting 'isi'nya. Selama konten menghibur, bermanfaat, inspiratif dan aktual, orang akan mampir (walau faktor X juga menentukan). Yang perduli itu guru bahasa Indonesia, dosen fakultas sastra, juri lomba, editor buku LKS SD.
Buanyakk sekali tulisan cerdas yang malah sepi pengunjung. Bisa jadi karena terlalu tertib tanda baca atau paragrafnya rapet banget yg membuat pembaca kekurangan oksigen, megap2, nggak ada jedah utk ambil nafas.
Di kampus, di kantor, di koran tiap hari disuguhi tulisan 'tertib'..eh di medsos dijejeli tulisan seperti itu juga. Bosseeenn ndess!
Wis ah..

#iboropini

Tidak ada komentar:

Posting Komentar