Jumat, 30 September 2016

Wudhu Pakai Segelas Air? Ciyus? Enelan??


Ceritanya, kemarin saya nonton pidio ustadz yang mencontohkan wudhu cuman pakai air segelas. What!??? Aku langsung garuk-garuk kepalaku *ndlahom jaya*. Apalagi di pidio itu wudhunya di pinggir sungai yang airnya luber-luber gemah ripah loh jinawi. O_O

(Mungkin asyik kalau ada yang membuat pidio parodi, wudhu pakai air cuma satu sendok. Tapi jangan ah, bisa dikecam : Sesat!! Laknatulloh!!, Dajjal!!, Jahannam!!!!)

Seandainya itu hadits shahih, aku nggak akan mengamalkannya, KECUALI TERPAKSA BANGETSSS. Pokoknya wudhu sewajarnya, hemat atau boros itu tergantung sikon. Kalau listrik padam, pompa air mati, baru saya akan wudhu cuma dengan air seadanya, bisa jadi cuman segelas.

Sebelum mengamalkan suatu ayat, harusnya dipahami asbabun nuzul-nya (asal usul turunnya ayat). Ditelusuri dulu, di mana Nabi melakukan wudhu seperti itu. Apakah di sekitar oase, di pinggir sumur, di tengah gurun pasir, di rumahnya pas Sanyonya rusak, atau di tengah laut. Takokno ustadzmu maneh.

Tentu saja ini tidak dalam rangka mengejek, meremehkan wudhu seperti itu. Yang jelas, ayat itu berlaku kontekstual, nggak kaku. Orang yang hidup di padang pasir jelas beda dalam menyikapi air dengan orang yang hidup di negara tropis. Bagus sih meniru cara Rasulullah wudhu cuman pakai segelas air, tapi pahami mengapa, dimana, bagaimana kondisi alam saat Rasulullah melakukan itu.

Seperti orang yang hidup di gunung berbatu-batu nggak masalah menguburkan jenazah hanya dengan menimbunnya dengan batu karena tanahnya keras nggak bisa digali. Nggak harus dalam. Sing penting aman dari hewan, gak mambu, dan seterusnya.

Ya'opo se rek, kitab suci kok disamakan dengan UUD, KUHP, PERPU. Nggak dipahami di mana ayat itu turun. Di Arab air tidak semelimpah di sini. Jadi lucu kalau membersihkan tubuh hanya dengan air segelas, padahal di sekelilingnya air melimpah.

Air Zamzam memang melimpah, tapi hanya ada di satu tempat saja. Tidak di semua wilayah Arab ada sumur Zam-zam. Tapi nggak masalah kalau memang bisa melakukan wudhu seperti, walau lucu juga sih :) .

Wudhu itu khan hakikatnya tidak membersihkan secara fisik, tapi simbolis, membersihkan batin. Kalau kamu ngentut yang dibasuh wajahmu, bukan silitmu. Kalau wudhu itu urusan fisik, maka wudhu harusnya cebok.

Kalau kamu kentut yang malu itu wajah. Karena itu wajah yang dibasuh. Wajah juga yang disuruh bersujud, bukan pantat. Bersujud merendah lebih rendah dari pantat. Karena wajah adalah kepribadian kita. Wajah adalah representatif dari martabat hidup kita.

***
Ada cerita seorang pemburu di pedalaman pulau Nganu. Karena supel, doi bisa akrab dengan penduduk suku setempat. Singkat kata, doi dan seorang penduduk (sebut saja Paimo) mandi di air terjun tengah hutan. 

Saat tengah asyik mandi, tidak disangka ada seorang cewek pedalaman lewat dan melihat mereka berdua yang telanjang bulat. Dengan cepat si pemburu langsung menutupi kelaminnya. Tapi tidak dengan Paimo, doi malah menutupi wajahnya.

Setelah si cewek berlalu, Pemburu bertanya pada Paimo.
Pemburu : "Mo, ada cewek lewat tapi yang kamu tutupi kok wajahmu, bukan kelaminmu?"
Paimo       : "Karena kebiasaan orang sini yang diingat itu wajahnya bukan kelaminnya..."
Pemburu : "@$#(*__*)(O__O)!!!!!!???"

Pesan moral : Silakan telanjang, asal wajah harus ditutupi, karena malu terletak di wajah bukan di kemaluan, huwehehehe guyon rek! Ini contoh logika sesat.

***
Kembali ke soal wudhu yang cuma pakai segelas air tadi.

Maksudnya mungkin mengajarkan hidup hemat. Oke, boros atau berlebih-lebihan itu memang nggak baik, tapi ngirit yang terlalu ngirit itu juga berlebihan. Jadi, yang baik itu yang tengah-tengah, sewajarnya.

Orang yang tiap hari makan di KFC nggak bisa serta merta dibilang boros, lha wong dia pengusaha yang gajinya besar. Jangan disamakan dengan kita, buruh pabrik, seminggu sekali makan di warung kaki lima saja itu sudah boros. Kereee..

Ada lagi yang kaya tapi saat makan lauknya cuman dengan krupuk. Iku yo berlebihan ngirite. Ada garis tipis antara ngirit dan medit.

Agama itu tidak berguna kalau kita tidak siap dengan akal dan logika. Kalau manusia tak pakai akal dan logika, apa bedanya dengan burung Beo yang hanya bisa meniru suara orang tapi tak paham apa yang dikatakannya.

Mau sedetail dan secanggih apa pun sistem nilai yang terkandung dalam Al Qur'an, percuma kalau manusia menghadapinya tidak pakai akal dan logika. Ayat dipahami seperti memahami kitab hukum pidana.

Maka pendidikan Islam nomer satu itu penggunaan akal. Kalau bahasa ustadz-nya : Afala ta'qilun afala tatafakkarun. Artinya, Apakah kalian tak memakai akal? Apakah kalian tak menelaah? Apakah kalian tak berpikir?

Alat utama menjadi orang Islam itu bukan Qur'an, Hadits, kitab, syariat, fiqih...tapi akal dan logika. Quran dan hadits itu alat dan bahan untuk mencari pedoman dari Allah. Mereka bukan subyek, subyeknya akal dan logika.

Karena karunia Tuhan yang terbesar bagi manusia adalah akal, sayang kalau tidak dipakai. Maka ayat suci jangan cuman dibaca doang. Banyak orang ngakunya Ustadzz (paham agama) tapi modalnya cuman hafalan Qur'an terjemahan Depag. Terjemahan yang mirip Google translate itu. 

Ah embuh wis.

Aku juga cuman pembual gemblung yang nggak paham agama. Tapi aku muslim yang paling ikhlas, karena hafalnya cuman surat Al Ikhlas. Pesanku, jangan belajar agama cuman dari internet tok dan jangan percaya tulisan ini!

***
SORI, TIDAK MENERIMA PERBEDAAN.

Ini pidio-nya, cekidot : 



Tidak ada komentar:

Posting Komentar