Selasa, 22 Agustus 2017

Mata Najwa itu Palsu




Di zaman yang serba cepat ini, begitu cepatnya obrolan di medsos berganti topik. Topik yang kemaren belum tuntas, sudah diganti topik yang baru. Sekarang topik yang lagi anget adalah kasus Opick yang kena masalah karena peligami.

Tapi sori, saya sudah bosen mbahas peligami, wis tau. Saya lagi ingin mbahas Najwa Shihab. Mungkin agak basi, tapi gak ngurus, karena sampai hari ini, masih ada yang menyayangkan hengkangnya Najwa Shihab (NS) dari Metro TV, meninggalkan acara Talk Show-nya yang legend itu---> Mata Najwa.

Saya sendiri nggak "berbela sungkawa" atas berakhirnya program Mata Najwa. Kenapa? Lha wong saya nggak pernah nonton sejak TV saya rusak sejak setahun yang lalu (pantatsss). Yang jelas saya maklum, NS pastilah bosen 17 tahun nggambleh di acara yang sama.

Tapi, semua acara di TV itu sebenarnya cuman dagangan. Itu soal kapitalis, jangan terlalu diambil hati. Begitu juga dengan Mata Najwa. Pastilah cari untung atau memihak (membela) yang menguntungkan.

Oke, NS memang cerdas. Tapi NS itu juga manusia seperti kita. Kalau anda jeli mengamati, anda akan tahu bahwa NS itu sebenarnya juga "asal boss senang" sama seperti sikap kebanyakan buruh pada majikannya. Itu terlihat dalam menyikapi atau memberikan pertanyaan pada nara sumber yang diundang di acaranya.

Jika yang diundang Jokowi, Prabowo, Dahlan Iskan, Risma atau orang yang banyak lover-nya, maka pertanyaannya aman, tidak menjebak, nyantai, rileks, penuh tawa, piss man. Beda jika nara sumbernya Angel lelga (artis yang nyaleg), Suadi Yahya (Walikota Lhokseumawe, soal Perda ngangkang), pokoknya yang banyak hater-nya, pasti pertanyaannya berat, mbulet, penuh jebakan sampai njawabnya glagepan kudu nangis.

---Sori Ndes, saya bukan fan Angel Lelga atau lovernya Suadi Yahya. Saya tidak sedang membela
mereka. Dan tentu saja juga tidak membenci atau anti Najwa Shihab. Biasa ae---

NS bakalan kena masalah jika pertanyaan yang diberikan sama mbuletnya pada tokoh yang dianggap punya nama besar. Bayangkan saja kalau NS kasih pertanyaan yang mbulet penuh jebakan pada Dahlan Iskan dan Dahlan Iskan njawabnya gelagepan sampek mripate mrabak mili. Metro TV bisa kehilangan jutaan pemirsa (Dahlan Iskan's Lover) plus iklan. Benjut jaya.

Aroma dagang merebak di tayangan TV, terutama TV Nasional. Jangankan Mata Najwa, acara pengajian pun itu sebenarnya dagangan. Mereka itu sedang jualan, bukan karena TV tersebut alim beneran. It's such a bussiness!

Cak Nun pun dulu (nggak tahu kalau sekarang) punya keinginan agar TV nasional tidak menyiarkan siaran agama : adzan maghrib, pengajian dan lainnya. Agar benar-benar jelas kalau setan!

Kemunafikan TV Nasional akan terlihat jelas saat bulan puasa. Semua host-nya pakai busana muslim. Yang wanita pakai kerudung , yang pria pakai baju taqwa dan kopyah. Saat mengawali acara mengucapkan salam "Assalamualaikum Wr Wb". Padahal biasanya siaran pakai tank top, susune mecotot, celono hipster melorot, ngomonge pating pecotot.

Para ustadz yang mengisi pengajian di TV nasional kebanyalan jenis "Ustadz Halal Haram" (istilahnya Sujiwo Tedjo), yang memberikan ilmu agama berdasar tafsir terjemahan Depag, tanpa pemahaman mendalam. Mengenalkan madzhab sebagai agama. Padahal madzhab itu bukan agama. Ibarat kayu itu agama. Madzhab itu kursi, meja, atau benda yang terbuat dari kayu.

Oke, kembali ke soal NS.

NS itu cuman orang yang beruntung dipercaya Metro TV membawakan program Talk Show yang namanya dipakai judul. Sama beruntungnya dengan Tukul Arwana yang sukses dengan Empat Mata, walau beda kelas. ----Ya iya lah, kalau soal kecerdasan jangan samakan Najwa Shihab dengan Tukul Arwana bla bla bla bla off the record---Mungkin nasib NS berbeda jika bukan anaknya Quraish Shihab. Mungkin.

Jadi, tidak ada kesucian di siaran TV nasional. Ditonton boleh, diyakini jangan. Karena banyak kepalsuan di sana. Seperti acara pengajian di TV nasional, itu bukan peristiwa religius tapi peristiwa dagang. Begitu juga dengan acara Mata Najwa. Jadi, pada semua itu sikapku sangat tegas : Fuck off!
Zuukkk.

(C) Robbi Gandamana, 22 Agustus 2017

Minggu, 20 Agustus 2017

Surat Terbuka untuk Generasi Copas

Ngene rek,
"Ikhlas" itu gampang diucapkan, tapi ternyata prakteknya sungguh buerattttsss. Walau aku menulis soal keikhlasan, tapi tetep saja saat tulisanku di-copy paste tanpa menyertakan namaku aku sulit untuk ikhlas. Jancok!..pisan maneh : jancokkkk! (misuhi diriku sendiri).
Alhamdulillah..lego.
Okelah kebaikan harus disebarkan, tapi ingat itu adalah karya tulis yang ditulis pakai waktu, tenaga, mikir dan bakat yang tidak semua orang punya. Jadi kalau kamu punya tenggang rasa, sopan santun, mending jangan main copy paste tanpa menyertakan link atau inisial penulis.
Sering aku menuliskan pemikiran-pemikiran Cak Nun yang dahsyat jaya. Aku dengan telaten merangkainya dari puzzle-puzzle pemikiran beliau yang bertebaran di berbagai ceramah atau pengajiannya. Aku pilah-pilah berdasarkan tema yang akan aku tulis. Eh lha kok mereka, para generasi copas, dengan santainya mengkopinya dan inisial penulisnya diganti Cak Nun. Jancok maneh! (misuhi diriku yang sulit ikhlas).
Sudah berapa ratus kali tulisanku di-copy paste tanpa ijin, atau gambarku dipakai dan semua tanpa inisialku. Ngono iku lak jancok se. Ada dulu tulisanku "Surga Itu Nggak Penting" yang inisial penulisnya diganti Mohammad Taufik Jaelani. Tulisan itu sangat viral, sudah di-share jutaan nitizen. Sampai sekarang aku masih penasaran, anake sopo Jaelani iku. Kalau ketemu akan aku ajari nulis (gayamu Su!).
Banyak orang yang masih belum bisa menghargai sebuah karya, apa itu tulisan atau lukisan. Di zaman medsos seperti sekarang ini, orang begitu santainya copy paste tanpa ijin, tanpa perduli bahwa itu sebenarnya adalah "pencurian".
Malingggg jiancokk! Kalau yang ini aku misuh-misuh bukan karena nggak ikhlas, tapi karena kamu maling. Ya kamu itu, generasi copas. Jancokk!!!!
Mungkin cukup ini saja, besok kalau ada waktu saya sambung, ini lagi sibuk. Dan maaf kalau anda semua terganggu dengan pisuhan saya yang kasar dan kampungan. Untuk seterusnya saya berjanji nggak akan misuh lagi dwech.
Solo, 8 Agustus 2017
Robbi Gandamana

NB : Eh..aku berubah pikiran....Jancok!!!
*Ingat : Jancok bukan kedzaliman, justru jancok diucapkan untuk melawan kedzaliman. Dan jangan berkata kasar kecuali dalam keadaan didzalimi.

Jumat, 18 Agustus 2017

Jokowi Presiden yang Dzalim? (Katanya)


Hari yang indah untuk menggemparkan dunia,

Salah satu hiburanku berfesbuk adalah "menyesatkan" kalian. Salahe sopo, gampang banget percoyo karo tulisanku. Dipikirnya aku ini cerdas, cerdas opo. Nek aku cerdas, aku wis dadi Kepala Sekolah ket mbiyen. Aku nek nulis ngawur pol rek, gak mikir abot, tapi serius. ???

Yang aku tulis ini tentang "kebodohan " kalian. Kalian yang gampang banget mengamini dan meyakini kebenaran hanya berdasar katanya, tanpa data yang valid dan akurat.

Aku nulis Ini tidak ada urusan dengan dukung mendukung, lover atau hater Jokowi dan Prabowo. Geluto kono, Fuck you all (kapok koen). Aku berada di luar lingkaran alias Golput. Soal kenapa saya Golput, kapan-kapan aku rangkumkan.

Sebelum membaca tulisan ini, aku sarankan kompres dulu telingamu dengan es, karena pasti akan panas. Dan tulisan ini juga akan menonjok lambemu, hook in mouth!

Sampai sekarang aku masih bingung dengan orang yang menyebut Jokowi sebagai pemimpin dzalim. Apa karena Novel Baswedan disiram air keras? atau Johannes Marliem tewas? Lha wong yang banyak tersandung kasus korupsi E-KTP itu koalisi pendukung Prabowo. Jokowi nggak ada urusan dengan KPK.

Apa karena tarif listrik yang mbokneancok itu? Apa karena harga garam yang naik 100 persen? Rego-rego mundak kok langsung auto dzalim. Asline aku yo kecewa berat dengan biaya tarif listrik, tapi yo gak lebay purik gulung-gulung koyok raimu.

Ojok salah, aku Golput sejak dalam kandungan. Gak nyoblos Jokowi, tapi aku nggak ikut gegabah mendzalim-dzalimkan Jokowi. Jangan dipikir kalau Prabowo yang jadi presiden harga-harga nggak bakalan naik? Sama saja. Siapa pun presidennya, harga-harga pasti naik tiap tahun. Harga naik itu pasti, bersabar itu pilihan.  Lha terus kate lapo nek gak sabar?

Kalau harga seharusnya naik tapi nggak dinaikan yo bandare jebol. Seperti di era SBY. Karena jaga imej, bensin yang harusnya naik tidak dinaikan.  Begitu juga dengan tarif listrik. Malah ngajari rakyatnya males dengan Bantuan Langsung Tunai. Yang kaya ngaku miskin, yang miskin jadi males kerja. Pantats kalau SBY menjabat sampai 2 periode, rakyatnya mudah disuap. Katanya sih.

Semua  penundaan itu terakumulasi dan jadi beban Jokowi.  Apes awakmu Wi. Sekarang, pemerintah butuh duit gede. Makanya semua subsidi dicabut. Jokowi gencar mbangun infrastruktur dimana-mana untuk mendongrak ekonomi dan merangsang terciptanya lapangan kerja. Nggak mudah merubah etos kerja masyarakat kita yang nyantai jaya.

Kalau sekarang Jokowi pakai jargon "Kerja! Kerja! Kerja!" itu sebenarnya nyindir SBY. Kalau SBY khan "Bantuan! Bantuan! Bantuan!" atau "Ada Bantuan Langsung Tunai! Nyantai saja!" Katanya lho.

Jokowi berusaha keras meratakan pembangunan, nggak cuman terpusat di Jawa. Banyak infrastruktur yang sedang dibangun di Indonesia timur. Papua yang dulu harga premiumnya seliter bisa sampai Rp. 50.000 -100.000, sekarang harga sudah normal, Rp. 6500.  Bayangno ae nek awakmu tuku bensin seliter satusewu, langsung nangis getih.

Saya jadi maklum, kenapa rakyat Papua ingin lepas dari NKRI, lha wong dianak-tirikan. Makanya sekarang ajudan Jokowi yang baru seorang putra Papua --> Jhonny Edison Isir. Itu untuk mengambil hati orang Papua. Katanya sih.

Kulihat orang yang nge-judge Jokowi dzalim itu mereka-mereka yang tidak bisa legowo dengan kekalahan Prabowo dulu. Masih belum berdamai dengan dirinya, masih ada dendam kesumat, tidak pernah lega hatinya. Tidak mengakui hasil pembangunan yang dicapai Jokowi, tapi diam-diam ikut menikmati. Taek rek.

Dzalim opo se rek, apa karena Jokowi minta agar memisahkan politik dengan agama? Lha wong itu tujuannya agar agama tidak dijadikan alat politik kok. Orang langsung menghubungkan statement itu dengan paham komunis. Jangan kesusu menuduh komunis hanya karena satu kesamaan. Ajaran sama bukan berarti seagama.

Apa karena UU ITE? Justru kalau tidak ada aturan itu, kita nggak punya kontrol dalam memanfaatkan medsos, hate speech akan merajalela. Atau Perpu Ormas? Lha wong itu untuk melindungi rakyatnya dari ancaman paham kolot yang bisa bermuara pada radikalisme. Paham-paham seperti itu kalau dibiarkan bisa jadi penyakit yang menggerogoti negara.

Jadi sebenarnya yang dzalim itu siapa? Jokowi, DPR, Politikus Nganu, Ormas kolot, opo raimu?

Rupanya banyak yang masih termakan kampanye hitam kalau Jokowi itu PKI, terutama penganut madzhab kolot Prabowo lover. Itu fitnah kelas kakap, tanggung jawabe gede di akhirat nanti boss. Kalau masih "katanya", nggak usah nggaya ikut-ikutan nge-judge Jokowi PKI.

Aku bukan lovernya Jokowi. Tapi siapa pun yang sudah rela remuk untuk negara perlu diapresiasi. Tahu nggak, kenaikan harga  BBM dan tarif listrik itu adalah bukti bahwa Jokowi bukanlah presiden yang suka tebar pesona dan siap dibully. Katanya begitu.

Dulu (dan sekarang) aku Golput bukan berarti benci pada para Capres. Justru Golput itu mengambil jalan sunyi. Nggak ingin terlibat dalam "perang" kalian. Aku ingin bersih dari urusan politik di negeri ini. Sori aku tidak sedang kampanye Golput. Jangan sampai Golput, gunakan hak pilihmu.

Siapa pun yang berani mencalonkan diri jadi presiden, aku dukung! ---Karena itu aku nggak bisa mencoblos keduanya---Orang yang mau jadi presiden Indonesia itu nekad. Lha wong negara sudah hancur lebur begini kok mau-maunya ndadani. Hanya Tuhan yang bisa ndadani Indonesia. Katanya Simbah.

Siapa pun presidennya, mau Jokowi, Prabowo, Sukirno, Prayitno..Indonesia tetap jadi Indonesia. Begitu juga dengan Ahok atau Anies, siapa pun yang  jadi Gubernurnya, Jakarta akan tetap jadi Jakarta, tidak kiamat. Hanya butuh sedikit adaptasi. Kita tetap usaha sendiri, nyeret gerobak sendiri, menjajakan dagangan sendiri, macul sendiri, sengsara sendiri.

Soal kecurangan dalam Pilpres atau Pilgub sudah jadi rahasia umum. Sudah cukup jangan terlalu menuntut. Jangan ngomong keadilan! Di negeri ini keadilan tidak bersemai, lahannya tandus.

Yang penting jangan berlaku 100%, banyak dari kita kalau sudah mendukung Jokowi, apa pun yang dilakukan Jokowi pasti benar, Prabowo selalu salah. Begitu juga dengan pendukung Prabowo, apa pun kelakuan Jokowi selalu salah, nggak ada benarnya.

Kita nggak bisa memaksa pilihan orang untuk memilih Jokowi, Prabowo, Ahok, Anies. Pilihan  itu soal selera, tergantung dari bekgron agama, tingkat intelektualitas, juga subyektifitas . Kalau pilihan kita berbeda, harusnya tidak menjadikan kita musuh. Makanya soal milih pemimpin, sebaiknya nggak usah diambil hati, iso pecah ndasmu. Biasa ae.

Ada desain besar konspirasi dunia di balik itu semua. Negara ini memang disetting tetep kere, nggak maju-maju, utang terus pada Bank Dunia. Dengan begitu Bank Dunia (yang dimonopoli Amrik) bisa turut serta punya hak mengambil kebijakan. Karena itu jangan terlalu yakin kalau Jokowi jadi presiden itu karena 100% pilihan rakyat.

Indonesia tidak benar-benar merdeka, kita masih dibawah cengkeraman kolonialis global (Amrik dan sekutunya). Mereka punya andil dalam memenangkan Jokowi. Jokowi disukai para kolonialis karena tidak terlalu Islam. Prabowo juga nggak Islam banget, tapi didukung partai Islam dan Ormas kolot. Jokowi di-blow up Barat melalui berbagai media Barat agar rakyat kesengsem memilih Jokowi. Iki rahasia rek.

Soeharto dulu ayem tentrem selama 32 tahun di singgasananya. Tapi ketika Soeharto mulai alim, Amrik stress. Maka digulingkanlah Soeharto dengan segala trik yang seolah-olah itu karena student power. Padahal Soeharto tidak gentar sedikit pun dengan gerakan mahasiswa. Do'i punya pasukan lengkap. Soeharto mau turun karena nggak tega hati melihat rakyatnya menjarah.

Jadi, apakah memang benar ada konspirasi dunia untuk kemenangan Jokowi kemarin? Aku gak eruh, lha wong itu semua cuman katanya kok. Ojok gampang percoyo.

Rakyat Indonesia itu gampang diadudomba. Karena masih banyak orang bodoh, gampang percaya dan bersumbu pendek. Di negeri ini, beda berarti musuh. Bukan pendukung disebut hater. Apalagi sukanya berbalas pantun, yang satu teriak "Jokoplak!", yang satunya "Prabocor!" Mbok wis gak usah kakean taek. Kita sama-sama "goblok", mending akur saja.

Merdeka tapi nggak akur, apa asyiknya.

Kita nggak benar-benar tahu apa yang sesungguhnya terjadi. Semua berdasar "katanya" tanpa data yang valid dan akurat. Ngrasani Jokowi (atau Prabowo) tapi referensinya dari internet, wadaw. Tidak ada berita politik yang murni di internet, semua sudah dipoles, diplintir, dimanipulasi disesuaikan dengan kepentingan dan permintaan. Dibaca boleh, percaya jangan. Tapi nggak percaya juga rugi. Cukup waspada saja.

Sudahlah, kerjo ae sing bener. Kalau ada kebijakan yang nggak sreg, silakan dikritik. Ojok kakean mikir konspirasi dunia, paling awakmu yo gak paham.  MERDEKAKAN DIRIMU DARI "KATANYA" (seharusnya ini judulnya, tapi kurang kontroversial). Ada urusan yang lebih penting dari itu, nguripi anak bojomu, menjaga hubungan baik dengan temanmu, tonggo-tonggomu dan mbayar utang. Duh dadi eling utang rek.

Ingat kata Soekarno dulu, "Penjajah tidak akan punah dan tidak sudi enyah dari muka bumi Indonesia ini, meskipun pada tanggal 17 Agustus 1945 telah kita proklamasikan kemerdekaan Indonesia!”

Wis, ngono ae. Ingat : Jangan percaya tulisan ini, karena semua yang saya tulis ini berdasarkan "katanya".

Zuukkk.

(C) Robbi Gandamana, 18 Agustus 2017

Kamis, 17 Agustus 2017

Bingungnya Negeri Ini



Asem, bulan Agustus memang bulan yang penuh dengan penutupan jalan. Apa itu buat pernikahan (bulan Syawal, bulan besar, bulan yang baik untuk nikah), kerjabakti, lomba, dan puncaknya malam tirakatan atau syukuran HUT RI. Lha kok ndilalah masih ditambah dengan penutupan jalan karena ada yang meninggal. Ya Alloh, mati kok yo pas lomba pitulasan.

Penutupan jalan memang bikin keki pengguna jalan, karena harus muter lewat jalan alternatif, bahkan juga lewat jalan tikus. Ada yang kesasar masuk dapur orang. Ada yang terpaksa ngikut mobil di depannya karena nggak paham jalan, eh lha kok tahu-tahu sudah ada di garasi orang yang diikuti tadi. Ya'opo se rek.

Kalau pengendara motor nggak repot banget, yang stress itu yang pakai mobil. Jalan di kampung nggak konduksif buat mobil, sempit Ndes. Repotnya kalalu berpapasan dengan mobil lain. Harus ada yang berhenti, mobil satunya jalan dengan pelan dan hati-hati. Tergores sedikit bisa nangis gulung-gulung. Apalagi kalau mobilnya Alphard. Tapi jarang ada Alphard di kampung. Kemaren ada yang pamit beli BMW, tapi ternyata yang dibawa pulang BMX. T:T

Rakyat Indonesia memang cuek bin nekad kok. Garasi nggak punya, lahan parkir nggak ada, tapi beli mobil. Akhirnya parkirnya di jalan kampung.  Jalan sudah sempit dipakai parkir mobil. Mau ngelarang sungkan, nggak dilarang kok tuman. Sing liyane melok-melok Ndes.

Tapi itulah Indonesia, negeri yang penuh dengan kebingungan. Jalan diaspal atau diplester itu khan agar nyaman dilewati, lha kok malah dikasih polisi tidur. Malah jadi nggak nyaman lagi.Gronjalan bosss. Karena kesadaran kita dalam berkendara masih primitif, akhire podo gemblung kabeh. Apalagi namanya "polisi tidur", itu khan sarkas sebenarnya. Polisi mangkel asline, "taek rek."

Pernah saat HUT POLRI, ada lomba nggambar khusus anak TK, syaratnya nggambar polisi. Ada seorang teman yang anaknya iku lomba minta saran ke aku. Yo wis kusarankan nggambar saja polisi tidur alias gundukan yang melintang di jalan. Salahe sopo.

Disamping jalan ditutup paksa dan kondisi jalan yang nggak nyaman (banyak polisi tidur), juga ada peraturan bagi pengguna jalan yang membingungkan (maaf pak polisi). Ngasih aturan : lampu motor harus dinyalakan di siang hari. Lha wong di sini iklimnya nggak berkabut. Siang hari bolong, tanpa lampu semua terlihat dengan jelas. Dan pengendara motor adalah pengguna jalan mayoritas. Sialnya, lampu sepeda motor sekarang terang sekali, silau men.

Tapi segala kebingungan itu sama sekali nggak masalah buat rakyat Indonesia. Mereka nyaman-nyaman saja. Jalan itu khan milik umum, dipakai untuk kepentingan umum. Tapi di Indonesia, jalan ditutup untuk kepentingan pribadi, apa itu pengajian pamitan haji, resepsi nikah, arisan keluarga, dan lainnya. Asyik yo, kepentingan pribadi di atas kepentingan umum. Sopo guru PKn-mu mbiyen rek.

Yo wis jarno, sing penting rukun, gak tawuran ae. Aku nulis ini juga karena bosen nunggu donlotan film "The Lost City of Z" (Siti ilang nang endi) kok belum juga beres. Daripada bingung, nulis ae. Lumayan yo tulisanku huwehehe, ayee.

Mari kita bingung! Elingo, Urip iku cuman mampir bingung. (Hadits riwayat Musyrik).

Zuukkkk.

(C) Robbi Gandamana, 17 Agustus 2017







Selasa, 15 Agustus 2017

Belajar dari Hitler



Jangan salah, kalau aku nggambar Hitler bukan berarti ngefan, setuju atau membenarkan tindakan biadab Hitler dan Nazi-nya membantai jutaan rakyat sipil Yahudi. Justru aku menggambar Hitler agar kita ingat dan belajar dari sejarah masa lalu. Jangan sampai terulang kebiadaban ideologi rasisme dan fasisme.

Semua boleh dipelajari, semua yang ada di dunia adalah cahaya ilmu. Polisi pun boleh belajar pada maling, soal ilmu maling.

Ada banyak hal di diri Hitler yang asyik untuk dipelajari (tentu yang baik saja). Hitler adalah orator ulung, anti rokok, anti minuman keras, nggak hobi gonta-ganti wanita, mencintai anak-anak (bukan pedofil lho), seorang patriot sejati dan anti korupsi.

Karena anti korupsi, sikapnya sangat tegas pada koruptor--> tembak mati.

Hitler sebenarnya berkebangsaan Austria. Lahir di kota Braunau am Inn, 20 April 1889. Hitler awalnya adalah seorang pelukis. Tapi setelah bergabung dengan pasukan Bavaria (sekutu Jerman) di Perang Dunia I melawan Perancis, Hitler nggak ngelukis lagi.

Selama di pertempuran Hitler menunjukan dedikasinya yang sip lah. Dia kecewa berat saat komandannya (seorang Yahudi) melaporkan bahwa pemerintah Jerman menyatakan menyerah pada Perancis. Apalagi semua kerugian perang ditanggung oleh Jerman (Perjanjian Versailes). Hitler pun misuh-misuh, "mbokneancok!"

Sejarah ditulis oleh orang yang menang. Pengetahuan kita soal Hitler akan jauh berbeda bila Jerman yang menang perang. Termasuk soal mengapa Hitler begitu anti-semitisme atau benci orang Yahudi. Jerman sendiri sampai sekarang tidak benar-benar berani mengungkapkan kebenarannya.

Soal jumlah Yahudi yang tewas dalam peristiwa Holocaust itu pun masih diperdebatkan. Apa benar berjumlah 6 juta jiwa. Banyak foto-foto hoax beredar. Foto korban wabah pes di Bergen Belsen pun diklaim sebagai korban Holocaust. Di Israel, rakyatnya dilarang keras meragukan atau menolak Holocaust, bisa dihukum berat.

Kenapa Hitler anti-semitisme?

Menurut sumber yang bisa dipercaya, Hitler punya pengalaman menyakitkan akibat ulah orang Yahudi. Ceritanya, orang tua Hitler punya hutang pada rentenir Yahudi. Karena tidak sanggup membayar, kakak perempuan Hitler dijadikan pelacur oleh si rentenir sebagai pengganti pelunasan hutangnya.

FYI, bank itu awalnya adalah produk Yahudi. Yahudi memang joss dalam hal bisnis atau mengolah duit, ahli riba. Tapi ojok ngomong sopo-sopo.

Ada banyak alasan kenapa Hitler benci Yahudi. Bangsa Yahudi adalah bangsa yang cepat berkembang. Mereka adalah ras yang cerdas. Baru kemarin datang, bertahun kemudian sudah menguasai Jerman, menjalankan roda perekonomian, bercokol di pemerintahan, militer, bank, dan banyak lagi. Rakyat Jerman pun terdesak, termasuk Hitler yang sempat kere total, terlunta-lunta di Jerman.

Film "Hitler: The Rise of Evil" (2013) adalah film yang recomended sebagai referensi kisah Hitler sejak kecil sampai dia sukses menapakan kariernya di pemerintahan. Bagaimana Hitler membuat publik terpukau dengan orasinya yang luar biasa. Sampai-sampai hakim yang menangani kasus kudetanya terpesona. Acara pengadilan jadi kayak khotbah jum'at dengan Hitler sebagai ustadznya.

Bicara soal kematiannya yang misterius, ternyata tengkorak yang diklaim sebagai Hitler (dipamerkan di Moskow, tahun 2000) tidak benar. Setelah diteliti oleh ilmuwan (Nick Bellantoni), ternyata tengkorak tersebut berjenis kelamin perempuan berusia 20 - 40 an.

Penelitian tersebut menjadikan kematian Hitler jadi misteri lagi. Kabar yang bikin semaput adalah Hitler mati di Indonesia?

Berdasar kesaksian dr. Sosro Husodo yang pernah bertugas di Sumbawa Besar di sebuah Kapal yang dijadikan rumah sakit. Di tahun 1960 dia bertemu dengan Dr. GA Poch, pemimpin rumah sakit tersebut yang sosoknya sangat mirip Hitler, berjalan dengan kaki kiri diseret, tangan gemetar karena menderita kelainan saraf dan kumis ala Gogon.

Dr. Poch juga tidak punya lisensi untuk jadi dokter, bahkan dia sama sekali tak punya keahlian tentang kesehatan. Penduduk setempat memanggil Dr. Poch dengan sebutan "dokter Jerman". Istrinya (yang diduga Eva Braun) memanggilnya "Dolf", paggilan masa kecil Hitler, kependekan dari Adolf.

Setelah istrinya kembali ke Jerman, Dr. Poch menikah dengan Sulaesih, wanita Sunda yang mengembara di Sumbawa yang dikenalnya di tahun 1960. Mereka menikah secara Islam di tahun 1964. Setelah masuk Islam, Dr. Poch mengganti namanya jadi Abdul kohar. Oala Har Har, ngancengan koen iku.

Sempat tinggal di rumah dr. Soetomo (tokoh Budi Oetomo) di Surabaya. Tanggal 15 Januari 1970 (usia 81 ) Dr. Poch meninggal karena serangan jantung. Dimakamkan di pemakaman Islam, Ngagel, Surabaya.

Apakah betul Dr. Poch itu Hitler? aku gak eruh. Tanyakan ke Eyang Google atau beli buku "Hitler Mati di Indonesia" karya Ir KGPH Soeryo Goeritno.

Tapi bisa jadi Hitler memang kabur ke Indonesia. Sejak dulu Indonesia tidak ada hubungan diplomatik dengan Israel. Selain itu di zaman kepemimpinan Soekarno, Indonesia sangat tidak menyukai imperialisme yang dipelopori oleh Inggris dan Amerika.

Wis ah, tulisan ini cuman caption dari gambarku. Ingat, jangan ngefan Hitler! Jangan benci Yahudi. Mereka memang dihakikatkan ada, biar kita semua mumet, iman kita kacau. Ingat kata ustadz, nggak ada ciptaan Tuhan yang sia-sia. Al Fatihah.

Zuukkkk.

(C) Robbi Gandamana, 15 Agustus 2017

Sumber diolah dari Wikipedia, Film "Hitler : The Rise of Evil" (2013), buku "Hitler Mati di Indonesia" oleh Ir KGPH Soeryo Goeritno dan interprestasi pribadi.

Senin, 14 Agustus 2017

AADJ (Ada Apa dengan Jancok)



Peringatan : Kalau anda sudah pinter, lebih baik jangan membaca tulisan ini. Nggak penting banget!

Karena seringnya aku menyisipkan kata kasar (menurutnya sih) dalam tulisanku, ada sejumlah priyayi yang menolak  tulisanku (unfriend). Padahal, bisa jadi ada ilmu yang nylempit di antara kata-kataku yang kampungan dan liar itu. Siapa tahu..

Hanya karena nggak mau membongkar bongkahan batu, akhirnya seseorang nggak jadi menemukan emas yang tertimbun oleh bongkahan-bongkahan batu tadi.

Bahasa liar Itu cuman style. Sengaja. Tulisanku segmen pasarnya adalah kaum jelata yang nggak doyan membaca, alergi bahasa profesor dan anti formalitas. Bahasa yang aku pakai  adalah bahasa yang paling familiar dengan kuping mereka--> bahasa jalanan.

Tenang ae, aku menulis kata "jancok" tidak dengan amarah, kepala penuh asap, tapi dengan rileks dan cengengesan. Lha wong jancok itu kata yang abstrak kok, epistemologisnya masih abu-abu. Malah yang menurutku kasar itu "nyinyir!", "pecundang!", "kamu waras?" Itu ngajak perang, arti dan maksudnya sangat jelas.

Jadi, ada apa dengan jancok???

Nggak ada yang salah dengan "jancok", salah jika jadi hujatan buat hater. Salah karena ditempatkan di tempat yang salah. Semua tergantung pada maksud, tujuan dan peristiwanya. Kamu nggak terima karena kamu tidak bisa lepas dari doktrin mbahmu dulu, "jancok iku saru lho le." Doktrin itu khusus untuk anak kecil, masa perjuangan. Kita sudah pasca dari hal-hal seperti itu.

Tapi jangan salah, saya tidak sedang kampanye atau ngajari anda misuh "jancok". Jangan salah koordinat.

Menurutku, lebih menyakitkan dipisuhi "Nyinyir!" daripada "Jancok!" Karena itulah aku tidak pernah menggunakan kata "nyinyir" dalam tulisan-tulisanku terdahulu, i hate that word! Apalagi yang sering misuh "nyinyir!" itu namanya sangat Islami, Muhammad Syuaib Al Idrisi. Gak cocok blas, mending namanya diganti saja --> Feli Al Jembuti.

Aku berjancok ria dalam rangka agar tidak dianggap alim atau disangka ustadz (terutama saat nggedabrus soal agama). Ustadz what!? Aku nggak suka dan tidak akan pernah mau disebut ustadz. Ojok sampek! Seandainya aku lulusan kampus Islam top luar negeri pun aku nggak bakalan menggelari diriku ustadz.

Nggak ada kata 'ustadz' di Al Qur'an. Gelar ustadz disematkan oleh masyarakat pada orang yang paham agama dan konsisten berdakwah. Jadi bukan dirinya sendiri yang menggelari dirinya ustadz. Kalau orang sudah berani ngeklaim dirinya Ustadz, itu orang yang sangat pede sekali (aku nggak bilang sombong). Oughh, ustadz ni yeeee. Pinter agama la yauww.

Apalagi yang nggaya ngeklaim dirinya ustadz itu ternyata modalnya cuman Al Qur'an terjemahan Depag. Pantesan banyak muslim yang pemahamannya remuk jaya bla bla bla bla *off the record*.

Oke cukup, kembali ke soal tulisan..

Ojok nggumunan, kagetan dan ngamukan. Kalau nggak suka dengan tulisan orang, skip saja. Nggak perlu sampai unfriend (tapi sakarepmu). Nggak ada orang yang 100% sama. Kembar identik pun nggak benar-benar sama. Selalu ada pro dan kontra. Lebih baik lebih banyak permakluman daripada penolakan, itu kalau ingin punya pengetahuan yang luas. Ambil sari-sarinya yang baik saja.

Orang yang banyak membaca biasanya punya sensor yang lebih baik. Mana tulisan (atau berita) yang layak, asyik, perlu dibaca dan valid. Hanya dengan membaca sekilas kalimat awalnya, orang sudah tahu kalau tulisan itu bagus (atau mblendes). Tanpa di-tagg pun pasukan bodrek akan berbondong-bondong hadir membaca.

Maka ada baiknya kalau bikin status fesbuk dengan tulisan yang panjang : Jangan nge-tagg temanmu. Karena itu pemaksaan, belum tentu temanmu suka dengan tulisanmu yang mawut itu. Walau tujuanmu sebenarnya untuk berinteraksi. Itu juga membuktikan kalau kamu nggak pede, sungkan kalau tulisanmu sepi sambutan. Pokoke nulis, persetan mau dibaca atau tidak.

Wis ah, orang bebas memilih untuk membaca atau tidak tulisan orang. Tapi orang yang punya kans besar mendapat hidayah adalah orang yang mau membaca, punya keluasan hati, tidak menutup diri pada ilmu hanya karena ilmu itu tidak disampaikan oleh ustadz, ulama, guru. Jangan kerdilkan dirimu.

Zuukkkkk.

(C) Robbi Gandamana, 14 Agustus 2017

Selasa, 08 Agustus 2017

Singkekphobia



Rupanya ada semacam gejala "Singkekphobia" di masyarakat kita, begitu takutnya negeri ini dikuasai oleh China. Waspada itu bagus, tapi kalau terlalu waspada yo nggak asyik. Hidup isinya cuma prasangka dan curiga. Patung dewa perang Kongco Kwan Sing Tee Koen di Tuban yang baru saja kelar, diminta dirobohkan oleh golongan tertentu. Karena mereka takut itu bisa jadi awal tonggak invansi budaya ras Tionghoa di Indonesia.

Aku nulis seperti ini biasanya ada yang menuduh aku mbelani cino. Taek arek arek, pikirane sempit banget, kok selalu yang dilihat itu suku, ras atau agamanya. Seperti nasib Gus Dur dulu yang dicap Pembela Cina, padahal yang dibela manusianya, bukan suku atau agamanya. Banyak yang masih terkungkung dengan padatan-padatan : Tionghoa, China, Pribumi, Islam, Kristen.

Memang, bangsa Tionghoa atau Cina, singkek atau apa pun istilah kita, adalah bangsa yang "larinya cepat'. Ketika datang awalnya menyewa tanah pribumi, tapi beberapa tahun kemudian tahu tahu sudah jadi pemilik tanah plus tempat usaha, dan pribumi yang jadi jongosnya. Itu nggak bisa disalahkan. Kalau ingin jadi besar ya harus kerja keras, ulet dan tahan banting. Salahe raimu bendino nyantai, tenguk-tenguk karo ngelus-elus manuk.

Saking takutnya dikuasai oleh etnis Tionghoa, di Jogja orang Tionghoa tidak diperbolehkan membeli tanah di sana. Tapi aku nggak mau membahas lebih jauh soal ini. Iku urusane wong Jogja, aku gak eruh. Mungkin takut Jogja jadi kayak Singapura yang dulunya penuh orang Melayu sekarang sejauh mata memandang yang ada kebanyakan singkek. Subhanalloh.

Etos kerja orang Tionghoa dalam berdagang memang jos gandos. Dalam berdagang, mereka sangat menghormati pelanggannya. Salah satunya adalah selalu siap kembalian. Beda dengan cara berdagang kita. Saat toko baru buka, nggak siap uang receh buat kembalian, akhirnya kembaliannya diganti permen atau yang lain. Dengan santainya bilang, "Susuke kerupuk ae yo.." Lha wong niate nang warung gak tuku kerupuk kok dipekso tuku kerupuk.

Dalam berdagang,  orang  Tionghoa tidak pernah "mentung" atau "nggorok", harga cuman seribu nggak dibilang sepuluhribu. Dan labanya nggak diambil semua, tapi diambil sedikit, sisanya dipakai untuk memgembangkan lagi usahanya. Nggak seperti kita yang untung sedikit langsung beli gadget baru, kendaraan baru, kesusu seneng disik. Tempat usaha  pun jalan di tempat.

Yo wis lah, ngomongno wong cino malah dimusuhi wong akeh. Karena kita nggak bisa benar-benar sportif mengakui bahwa  usaha kita nggak sekeras, seulet dan sefokus  orang Cina. Juga kita nggak benar-benar ber-Bhineka Tunggal Ika. Masih ada sedikit rasis di hati kita. Kalau memang Bhineka, harusnya menerima semuanya, termasuk Cina, gendruwo, jin iprit. Dan jangan salah kaprah, WNI keturunan Tionghoa itu beda dengan orang China, walau satu ras.

Lebih baik kembali ngomong soal patung saja.

Kalau aku monggo-monggo saja mau dibangun patung jenderal Cwi Lan Tseng, Kopral Bong Keng, Raja Tong Seng...sakarepmu kono. Asal patung-patung tadi dibangun di lahannya sendiri, pakai biaya sendiri, dirawat sendiri. Asal jangan patung DN Aidit, karena rakyat Indonesia masih belum bisa lepas dari trauma masa lalu dengan PKI.

Sebenarnya di Semarang  sudah ada patung ukuran besar laksamana Cheng Ho di klenteng Sam Po Kong. Warga Semarang no problem dengan keberadaan patung tersebut. Bukan karena laksamana Cheng Ho seorang muslim. Tapi memang nggak ada yang perlu diributkan. Sudah sesuai aturan yang ditetapkan pemerintah. Dan klenteng Sam Po Kong malah jadi destinasi wisata, lumayan ada pemasukan buat Pemkot.

Harusnya kita salut pada mereka yang masih mau mengenang, menghormati dan menghargai perjuangan para leluhurnya. Apalagi patung Laksamana Cheng Ho yang muslim itu dibangun di dalam klenteng, tempat ibadah penganut Khonghucu. Dan di dalam kompleks Klenteng Sam Po Kong juga disediakan Mushola. Ini khan implementasi dari Bhineka tunggal Ika.

Aku sendiri malah senang ada banyak patung raksasa tokoh atau pahlawan di tempat-tempat strategis di kota-kota besar. Disamping untuk mengenang perjuangan mereka, juga agar tidak terputus ingatan (hubungan) kita dengan leluhur.

Apakah patung itu haram? Ini soal madzhab. Yang mengharamkan itu biasanya kaum tekstual, yang hanya membaca ayat tanpa tahu ada apa dibalik ayat itu. Ada ayat "Celana di bawah mata kaki dibakar di neraka" langsung mencingkrangkan diri, nggak paham asal usul sejarahnya, nggak paham idiom, paradigma, konteks, konotasi dan nggak dipahami budaya dimana ayat itu turun. Mengharamkan patung tapi punya celengan Bagong, yo podo ae.

Wis ah, ngono ae. Jadi menurutku konyol melarang  orang mendirikan patung dewa untuk lebih memantapkan ibadah yang dibangun di tempat ibadah mereka sendiri. Selama nggak ada pemaksaan ideologi yang disertai tindakan dekstruktif, monggo-monggo saja. Bhineka Tunggal Ika harga mati!

(C) Robbi Gandamana, 9 Agustus 2017

*Yang mengAmini dan ngeshare tulisan ini masuk neraka. Hati-hati pendangkalan aqidah!

Jumat, 04 Agustus 2017

Manusia yang Belum Lulus jadi Manusia



Secara hukum memang nggak bisa disalahkan duduk seenak udel kita di gerbong KA kelas ekonomi. Tapi secara moral dan etika sosial itu salah, karena tega membiarkan orang lain menderita akibat tidak mau berbagi tempat duduk.

Zaman sekarang Islam berkembang pesat tapi lebih di wilayah syariat teknis. Semakin banyak orang jilbaban, berpakaian taqwa, tapi kelakuannya tidak berbanding lurus dengan kostum taqwanya. Itu adalah "penipuan". Sepertinya paham agama tapi kok bajingan.

Harusnya berjilbab itu nggak cuma menjaga dirinya tapi juga menjaga nama baik agamanya. Tapi kasus di foto tersebut sebenarnya bukan soal jilbab atau tidak berjilbab. Ini soal moral secara umum. Bukan berarti yang tidak berjilbab boleh berlaku seenaknya seperti yang terjadi di foto tersebut.

Zaman sekarang banyak orang berjilbab bukan karena tuntunan agama semata. Nggak heran kalau kelakuannya juga keliru. Susah kalau berjilbab niatnya agar terlihat trendy, kekinian atau cuman menutupi rambutnya yang kayak dakron bla bla bla ayeee.

Jilbab itu sebenarnya untuk menutupi keindahan wanita agar terjaga dari pandangan lelaki sing ngacengan. Walau sebenarnya bukan kepala (wajah dan rambut) wanita yang membuat pria ngaceng, tapi susune sing gede iku lho, karo bokonge sing semok. Itu yang harusnya dijilbabi. Tapi babah wis, semua butuh proses, nggak perlu dibahas karena pasti banyak yang tersinggung. Sori bude, mbokde, mbakyu..piss.

Di tahun 80'an sangat jarang cewek jilbaban. Dulu, jilbab itu anti-mainstream. Cewek yang berjilbab biasanya memang alim beneran, lulusan pondok pesantren. Tapi yang tidak berjilbab juga relatif sopan, sungkan duduk mekokok saat dibonceng pakai motor, walau pakai celana panjang. Tapi sekarang hal seperti itu sudah dianggap wajar, sakarepmu kono. Itu urusan pribadi mereka dengan hidupnya, nggak usah dibikin Perda.

Ah, itu soal kecil, hampir tiap hari kita menjumpai hal seperti itu. Endonesah geto loch. Sad but true.

Yang parah itu kejadian kemarin, seorang yang dibakar massa karena dituduh mencuri amplifier. Oala, ada orang yang terpaksa jadi pencuri karena terdesak kebutuhan (biaya tarif listrik sungguh mbokneancok), tapi konyolnya ada yang lebih memilih jadi pembunuh, membunuh pencuri ampli kere tadi. Tuhan tepok jidat,  mumet lihat kelakuan hambanya.

Betul kata Cak Nun, sekarang ini banyak umat Islam karbitan, mereka hafal Fiqih, hadits, bahkan Al Qur'an dibolak-balik pun tetap apal, tapi sesama manusia tega mengkafir-kafirkan, tega membunuh hanya karena berbeda pandangan. Dan pikirannya dangkal, ketika ada yang mengkritisi ulama malah dituduh membenci ulama, menghina Islam, taek rek.

Banyak orang Islam jangankan menjadi muslim, dia menjadi manusia saja belum sanggup. Kalau manusia menggunakan hati, nurani dan akal pikirannya pasti akan muncul kasih sayang sosialnya, muncul kesantunannya pada sesamanya.

Pencuri, pembunuh, bahkan pemerkosa, semua itu dihakikatkan ada oleh Tuhan. Sebagai penyeimbang kehidupan agar tidak hanya positif. Dan juga sebagai contoh, yurisprudensi, agar kita bisa belajar, mengambil hikmah dari kesalahan manusia. Jika tidak ada kejahatan di dunia, maka tidak akan ada Nabi, Ulama, Ustadz, Polisi, KPK. Tuhan tidak bisa menjalankan sifatnya yang Maha Pengampun. Kalau semua orang baik, sopo sing diampuni.

Jadi cintailah manusia dengan segala kesalahannya dengan cara menghukumnya dengan benar.

Pelaku pembakaran pada seorang pencuri amplifier adalah contoh manusia yang belum sanggup menjadi manusia tapi sudah terlanjur berIslam. Demi agama, mereka tega membunuh manusia. Padahal jika demi manusia, mereka nggak akan tega. Harusnya tahapnya setelah dia lulus jadi manusia dengan akal dan nuraninya, nanti akan ditambahi, dimuliakan, dimatangkan dengan nilai-nilai agama.

Al Qur'an sebenarnya sudah ada di dalam diri manusia. Seandainya tidak ada kitab suci pun manusia dengan akal budinya tidak akan tega melukai hati manusia, apalagi sampai membunuhnya. Itu yang membedakan manusia dengan hewan. Nggak heran kalau ada orang yang tidak mengenal Al Qur'an tapi kelakuannya baik sesama manusia, sangat Islami, bahkan bisa lebih Islam dari orang yang kostumnya sangat Islam.

Kalau manusia belum lulus jadi manusia kemudian memakai agama, agama bisa menjadi alat kekejaman, kebinatangannya. Agama bisa menjadi legalisasi bagi perilakunya yang belum jadi manusia. Teriakan "Allahu Akbar!" digunakan sebagai original sountrack saat mentungi atau membunuh manusia.

Jadi, jangan nggaya kalau sudah berjilbab, bercingkrang, berjenggot, hafal fiqih, Hadits atau Al Qur'an. Itu tahapan yang bagus, tapi lebih bagus lagi kalau kelakuannya baik saat di masyarakat atau saat bernegara. Jangan saat kumpul sesama kaummu teriak "Pancasila itu Thagut!", tapi saat akan dibubarkan ngakunya Pancasilais. Raimu Ndes.

Wis ah, zuukkk.

(C) Robbi Gandamana, 5 Agustus 2017