Jumat, 04 Agustus 2017

Manusia yang Belum Lulus jadi Manusia



Secara hukum memang nggak bisa disalahkan duduk seenak udel kita di gerbong KA kelas ekonomi. Tapi secara moral dan etika sosial itu salah, karena tega membiarkan orang lain menderita akibat tidak mau berbagi tempat duduk.

Zaman sekarang Islam berkembang pesat tapi lebih di wilayah syariat teknis. Semakin banyak orang jilbaban, berpakaian taqwa, tapi kelakuannya tidak berbanding lurus dengan kostum taqwanya. Itu adalah "penipuan". Sepertinya paham agama tapi kok bajingan.

Harusnya berjilbab itu nggak cuma menjaga dirinya tapi juga menjaga nama baik agamanya. Tapi kasus di foto tersebut sebenarnya bukan soal jilbab atau tidak berjilbab. Ini soal moral secara umum. Bukan berarti yang tidak berjilbab boleh berlaku seenaknya seperti yang terjadi di foto tersebut.

Zaman sekarang banyak orang berjilbab bukan karena tuntunan agama semata. Nggak heran kalau kelakuannya juga keliru. Susah kalau berjilbab niatnya agar terlihat trendy, kekinian atau cuman menutupi rambutnya yang kayak dakron bla bla bla ayeee.

Jilbab itu sebenarnya untuk menutupi keindahan wanita agar terjaga dari pandangan lelaki sing ngacengan. Walau sebenarnya bukan kepala (wajah dan rambut) wanita yang membuat pria ngaceng, tapi susune sing gede iku lho, karo bokonge sing semok. Itu yang harusnya dijilbabi. Tapi babah wis, semua butuh proses, nggak perlu dibahas karena pasti banyak yang tersinggung. Sori bude, mbokde, mbakyu..piss.

Di tahun 80'an sangat jarang cewek jilbaban. Dulu, jilbab itu anti-mainstream. Cewek yang berjilbab biasanya memang alim beneran, lulusan pondok pesantren. Tapi yang tidak berjilbab juga relatif sopan, sungkan duduk mekokok saat dibonceng pakai motor, walau pakai celana panjang. Tapi sekarang hal seperti itu sudah dianggap wajar, sakarepmu kono. Itu urusan pribadi mereka dengan hidupnya, nggak usah dibikin Perda.

Ah, itu soal kecil, hampir tiap hari kita menjumpai hal seperti itu. Endonesah geto loch. Sad but true.

Yang parah itu kejadian kemarin, seorang yang dibakar massa karena dituduh mencuri amplifier. Oala, ada orang yang terpaksa jadi pencuri karena terdesak kebutuhan (biaya tarif listrik sungguh mbokneancok), tapi konyolnya ada yang lebih memilih jadi pembunuh, membunuh pencuri ampli kere tadi. Tuhan tepok jidat,  mumet lihat kelakuan hambanya.

Betul kata Cak Nun, sekarang ini banyak umat Islam karbitan, mereka hafal Fiqih, hadits, bahkan Al Qur'an dibolak-balik pun tetap apal, tapi sesama manusia tega mengkafir-kafirkan, tega membunuh hanya karena berbeda pandangan. Dan pikirannya dangkal, ketika ada yang mengkritisi ulama malah dituduh membenci ulama, menghina Islam, taek rek.

Banyak orang Islam jangankan menjadi muslim, dia menjadi manusia saja belum sanggup. Kalau manusia menggunakan hati, nurani dan akal pikirannya pasti akan muncul kasih sayang sosialnya, muncul kesantunannya pada sesamanya.

Pencuri, pembunuh, bahkan pemerkosa, semua itu dihakikatkan ada oleh Tuhan. Sebagai penyeimbang kehidupan agar tidak hanya positif. Dan juga sebagai contoh, yurisprudensi, agar kita bisa belajar, mengambil hikmah dari kesalahan manusia. Jika tidak ada kejahatan di dunia, maka tidak akan ada Nabi, Ulama, Ustadz, Polisi, KPK. Tuhan tidak bisa menjalankan sifatnya yang Maha Pengampun. Kalau semua orang baik, sopo sing diampuni.

Jadi cintailah manusia dengan segala kesalahannya dengan cara menghukumnya dengan benar.

Pelaku pembakaran pada seorang pencuri amplifier adalah contoh manusia yang belum sanggup menjadi manusia tapi sudah terlanjur berIslam. Demi agama, mereka tega membunuh manusia. Padahal jika demi manusia, mereka nggak akan tega. Harusnya tahapnya setelah dia lulus jadi manusia dengan akal dan nuraninya, nanti akan ditambahi, dimuliakan, dimatangkan dengan nilai-nilai agama.

Al Qur'an sebenarnya sudah ada di dalam diri manusia. Seandainya tidak ada kitab suci pun manusia dengan akal budinya tidak akan tega melukai hati manusia, apalagi sampai membunuhnya. Itu yang membedakan manusia dengan hewan. Nggak heran kalau ada orang yang tidak mengenal Al Qur'an tapi kelakuannya baik sesama manusia, sangat Islami, bahkan bisa lebih Islam dari orang yang kostumnya sangat Islam.

Kalau manusia belum lulus jadi manusia kemudian memakai agama, agama bisa menjadi alat kekejaman, kebinatangannya. Agama bisa menjadi legalisasi bagi perilakunya yang belum jadi manusia. Teriakan "Allahu Akbar!" digunakan sebagai original sountrack saat mentungi atau membunuh manusia.

Jadi, jangan nggaya kalau sudah berjilbab, bercingkrang, berjenggot, hafal fiqih, Hadits atau Al Qur'an. Itu tahapan yang bagus, tapi lebih bagus lagi kalau kelakuannya baik saat di masyarakat atau saat bernegara. Jangan saat kumpul sesama kaummu teriak "Pancasila itu Thagut!", tapi saat akan dibubarkan ngakunya Pancasilais. Raimu Ndes.

Wis ah, zuukkk.

(C) Robbi Gandamana, 5 Agustus 2017

Tidak ada komentar:

Posting Komentar