Peringatan : Kalau anda sudah pinter, lebih baik jangan membaca tulisan ini. Nggak penting banget!
Karena seringnya aku menyisipkan kata kasar (menurutnya sih) dalam tulisanku, ada sejumlah priyayi yang menolak tulisanku (unfriend). Padahal, bisa jadi ada ilmu yang nylempit di antara kata-kataku yang kampungan dan liar itu. Siapa tahu..
Hanya karena nggak mau membongkar bongkahan batu, akhirnya seseorang nggak jadi menemukan emas yang tertimbun oleh bongkahan-bongkahan batu tadi.
Bahasa liar Itu cuman style. Sengaja. Tulisanku segmen pasarnya adalah kaum jelata yang nggak doyan membaca, alergi bahasa profesor dan anti formalitas. Bahasa yang aku pakai adalah bahasa yang paling familiar dengan kuping mereka--> bahasa jalanan.
Tenang ae, aku menulis kata "jancok" tidak dengan amarah, kepala penuh asap, tapi dengan rileks dan cengengesan. Lha wong jancok itu kata yang abstrak kok, epistemologisnya masih abu-abu. Malah yang menurutku kasar itu "nyinyir!", "pecundang!", "kamu waras?" Itu ngajak perang, arti dan maksudnya sangat jelas.
Jadi, ada apa dengan jancok???
Nggak ada yang salah dengan "jancok", salah jika jadi hujatan buat hater. Salah karena ditempatkan di tempat yang salah. Semua tergantung pada maksud, tujuan dan peristiwanya. Kamu nggak terima karena kamu tidak bisa lepas dari doktrin mbahmu dulu, "jancok iku saru lho le." Doktrin itu khusus untuk anak kecil, masa perjuangan. Kita sudah pasca dari hal-hal seperti itu.
Tapi jangan salah, saya tidak sedang kampanye atau ngajari anda misuh "jancok". Jangan salah koordinat.
Menurutku, lebih menyakitkan dipisuhi "Nyinyir!" daripada "Jancok!" Karena itulah aku tidak pernah menggunakan kata "nyinyir" dalam tulisan-tulisanku terdahulu, i hate that word! Apalagi yang sering misuh "nyinyir!" itu namanya sangat Islami, Muhammad Syuaib Al Idrisi. Gak cocok blas, mending namanya diganti saja --> Feli Al Jembuti.
Aku berjancok ria dalam rangka agar tidak dianggap alim atau disangka ustadz (terutama saat nggedabrus soal agama). Ustadz what!? Aku nggak suka dan tidak akan pernah mau disebut ustadz. Ojok sampek! Seandainya aku lulusan kampus Islam top luar negeri pun aku nggak bakalan menggelari diriku ustadz.
Nggak ada kata 'ustadz' di Al Qur'an. Gelar ustadz disematkan oleh masyarakat pada orang yang paham agama dan konsisten berdakwah. Jadi bukan dirinya sendiri yang menggelari dirinya ustadz. Kalau orang sudah berani ngeklaim dirinya Ustadz, itu orang yang sangat pede sekali (aku nggak bilang sombong). Oughh, ustadz ni yeeee. Pinter agama la yauww.
Apalagi yang nggaya ngeklaim dirinya ustadz itu ternyata modalnya cuman Al Qur'an terjemahan Depag. Pantesan banyak muslim yang pemahamannya remuk jaya bla bla bla bla *off the record*.
Oke cukup, kembali ke soal tulisan..
Ojok nggumunan, kagetan dan ngamukan. Kalau nggak suka dengan tulisan orang, skip saja. Nggak perlu sampai unfriend (tapi sakarepmu). Nggak ada orang yang 100% sama. Kembar identik pun nggak benar-benar sama. Selalu ada pro dan kontra. Lebih baik lebih banyak permakluman daripada penolakan, itu kalau ingin punya pengetahuan yang luas. Ambil sari-sarinya yang baik saja.
Orang yang banyak membaca biasanya punya sensor yang lebih baik. Mana tulisan (atau berita) yang layak, asyik, perlu dibaca dan valid. Hanya dengan membaca sekilas kalimat awalnya, orang sudah tahu kalau tulisan itu bagus (atau mblendes). Tanpa di-tagg pun pasukan bodrek akan berbondong-bondong hadir membaca.
Maka ada baiknya kalau bikin status fesbuk dengan tulisan yang panjang : Jangan nge-tagg temanmu. Karena itu pemaksaan, belum tentu temanmu suka dengan tulisanmu yang mawut itu. Walau tujuanmu sebenarnya untuk berinteraksi. Itu juga membuktikan kalau kamu nggak pede, sungkan kalau tulisanmu sepi sambutan. Pokoke nulis, persetan mau dibaca atau tidak.
Wis ah, orang bebas memilih untuk membaca atau tidak tulisan orang. Tapi orang yang punya kans besar mendapat hidayah adalah orang yang mau membaca, punya keluasan hati, tidak menutup diri pada ilmu hanya karena ilmu itu tidak disampaikan oleh ustadz, ulama, guru. Jangan kerdilkan dirimu.
Zuukkkkk.
(C) Robbi Gandamana, 14 Agustus 2017
Tidak ada komentar:
Posting Komentar