Selasa, 08 Agustus 2017

Singkekphobia



Rupanya ada semacam gejala "Singkekphobia" di masyarakat kita, begitu takutnya negeri ini dikuasai oleh China. Waspada itu bagus, tapi kalau terlalu waspada yo nggak asyik. Hidup isinya cuma prasangka dan curiga. Patung dewa perang Kongco Kwan Sing Tee Koen di Tuban yang baru saja kelar, diminta dirobohkan oleh golongan tertentu. Karena mereka takut itu bisa jadi awal tonggak invansi budaya ras Tionghoa di Indonesia.

Aku nulis seperti ini biasanya ada yang menuduh aku mbelani cino. Taek arek arek, pikirane sempit banget, kok selalu yang dilihat itu suku, ras atau agamanya. Seperti nasib Gus Dur dulu yang dicap Pembela Cina, padahal yang dibela manusianya, bukan suku atau agamanya. Banyak yang masih terkungkung dengan padatan-padatan : Tionghoa, China, Pribumi, Islam, Kristen.

Memang, bangsa Tionghoa atau Cina, singkek atau apa pun istilah kita, adalah bangsa yang "larinya cepat'. Ketika datang awalnya menyewa tanah pribumi, tapi beberapa tahun kemudian tahu tahu sudah jadi pemilik tanah plus tempat usaha, dan pribumi yang jadi jongosnya. Itu nggak bisa disalahkan. Kalau ingin jadi besar ya harus kerja keras, ulet dan tahan banting. Salahe raimu bendino nyantai, tenguk-tenguk karo ngelus-elus manuk.

Saking takutnya dikuasai oleh etnis Tionghoa, di Jogja orang Tionghoa tidak diperbolehkan membeli tanah di sana. Tapi aku nggak mau membahas lebih jauh soal ini. Iku urusane wong Jogja, aku gak eruh. Mungkin takut Jogja jadi kayak Singapura yang dulunya penuh orang Melayu sekarang sejauh mata memandang yang ada kebanyakan singkek. Subhanalloh.

Etos kerja orang Tionghoa dalam berdagang memang jos gandos. Dalam berdagang, mereka sangat menghormati pelanggannya. Salah satunya adalah selalu siap kembalian. Beda dengan cara berdagang kita. Saat toko baru buka, nggak siap uang receh buat kembalian, akhirnya kembaliannya diganti permen atau yang lain. Dengan santainya bilang, "Susuke kerupuk ae yo.." Lha wong niate nang warung gak tuku kerupuk kok dipekso tuku kerupuk.

Dalam berdagang,  orang  Tionghoa tidak pernah "mentung" atau "nggorok", harga cuman seribu nggak dibilang sepuluhribu. Dan labanya nggak diambil semua, tapi diambil sedikit, sisanya dipakai untuk memgembangkan lagi usahanya. Nggak seperti kita yang untung sedikit langsung beli gadget baru, kendaraan baru, kesusu seneng disik. Tempat usaha  pun jalan di tempat.

Yo wis lah, ngomongno wong cino malah dimusuhi wong akeh. Karena kita nggak bisa benar-benar sportif mengakui bahwa  usaha kita nggak sekeras, seulet dan sefokus  orang Cina. Juga kita nggak benar-benar ber-Bhineka Tunggal Ika. Masih ada sedikit rasis di hati kita. Kalau memang Bhineka, harusnya menerima semuanya, termasuk Cina, gendruwo, jin iprit. Dan jangan salah kaprah, WNI keturunan Tionghoa itu beda dengan orang China, walau satu ras.

Lebih baik kembali ngomong soal patung saja.

Kalau aku monggo-monggo saja mau dibangun patung jenderal Cwi Lan Tseng, Kopral Bong Keng, Raja Tong Seng...sakarepmu kono. Asal patung-patung tadi dibangun di lahannya sendiri, pakai biaya sendiri, dirawat sendiri. Asal jangan patung DN Aidit, karena rakyat Indonesia masih belum bisa lepas dari trauma masa lalu dengan PKI.

Sebenarnya di Semarang  sudah ada patung ukuran besar laksamana Cheng Ho di klenteng Sam Po Kong. Warga Semarang no problem dengan keberadaan patung tersebut. Bukan karena laksamana Cheng Ho seorang muslim. Tapi memang nggak ada yang perlu diributkan. Sudah sesuai aturan yang ditetapkan pemerintah. Dan klenteng Sam Po Kong malah jadi destinasi wisata, lumayan ada pemasukan buat Pemkot.

Harusnya kita salut pada mereka yang masih mau mengenang, menghormati dan menghargai perjuangan para leluhurnya. Apalagi patung Laksamana Cheng Ho yang muslim itu dibangun di dalam klenteng, tempat ibadah penganut Khonghucu. Dan di dalam kompleks Klenteng Sam Po Kong juga disediakan Mushola. Ini khan implementasi dari Bhineka tunggal Ika.

Aku sendiri malah senang ada banyak patung raksasa tokoh atau pahlawan di tempat-tempat strategis di kota-kota besar. Disamping untuk mengenang perjuangan mereka, juga agar tidak terputus ingatan (hubungan) kita dengan leluhur.

Apakah patung itu haram? Ini soal madzhab. Yang mengharamkan itu biasanya kaum tekstual, yang hanya membaca ayat tanpa tahu ada apa dibalik ayat itu. Ada ayat "Celana di bawah mata kaki dibakar di neraka" langsung mencingkrangkan diri, nggak paham asal usul sejarahnya, nggak paham idiom, paradigma, konteks, konotasi dan nggak dipahami budaya dimana ayat itu turun. Mengharamkan patung tapi punya celengan Bagong, yo podo ae.

Wis ah, ngono ae. Jadi menurutku konyol melarang  orang mendirikan patung dewa untuk lebih memantapkan ibadah yang dibangun di tempat ibadah mereka sendiri. Selama nggak ada pemaksaan ideologi yang disertai tindakan dekstruktif, monggo-monggo saja. Bhineka Tunggal Ika harga mati!

(C) Robbi Gandamana, 9 Agustus 2017

*Yang mengAmini dan ngeshare tulisan ini masuk neraka. Hati-hati pendangkalan aqidah!

Tidak ada komentar:

Posting Komentar