Senin, 31 Juli 2017

Tani Maju, Band Jenaka yang Tangguh



Tani Maju, sebuah kelompok musik paling kucluk di Malang ini akan membuat album yang ke 4 dalam waktu dekat. Rencananya judul albumnya "Beda TOPI MIRING Bersama". Dengan personil yang paling gres : Novan (vokal), Joni (gitar), Wibi (bass), Sri (vokal), Leo (ketipung), Agus (cak cuk), Pleki (keyboard), dan Sinyo (drum).

Aku tahu kelompok musik Tani Maju karena beberapa personilnya pernah satu kandang di UKM (Unit Kegiatan Mahasiswa) IKIP Malang di tahun 90 an, Sanggar Minat (seni rupa dan kerajinan) dan Opus 275 (seni musik). Kere bersatu menjalani hidup day by day di sanggar kumuh, mbambung total, mangan gak mangan pokoke berkesenian.

FYI, iklim berkesenian antar UKM seni IKIP Malang di era 90 memang sangat tinggi. Dari seni suara, seni musik, seni rupa, teater, karawitan, dan banyak lagi, semuanya berlomba-lomba unjuk gigi. Banyak lahir kelompok teater, kelompok musik maupun kelompok lakon (?). Aku sendiri dulu punya kelompok musik akustik yang memainkan lagu latin macam "Bamboleo" Gipsy King, tapi juga punya band yang memainkan lagu Metallica, aneh bin ajaib.

Tani Maju dibentuk tahun 1999. Kalau sekarang Tani Maju masih bertahan, itu karena daya survive-nya tinggi, tangguh. Lha wong sudah teruji hidup bertahun-tahun di "kamp konsentrasi" UKM IKIP Malang. Karena saking kerenya, pernah suatu kali berburu bekicot, untuk digoreng dijadikan lauk, di sekitaran kampus. Saat ada anak kecil bertanya, "Gawe opo mas?" Dijawab dengan santai oleh mereka, "Gawe pratikum.."

Setahuku nama Tani Maju adalah plesetan dari merk minuman keras Topi Miring (disingkat TM). Karena dulu kalau "upacara" yang diminum Topi Miring, minuman keras kere yang murah meriah, gampang dicari, dan nendang di kepala dengan cepat.

---Disebut upacara karena dulu acara minumnya dilakukan di lapangan upacara persis di bawah bendera merah putih saat malam hari di depan IKIP Malang gedung lama, sambil nyanyi-nyanyi nggak jelas. Makanya nggak ada Satpam yang curiga, dipikirnya latihan teater---

Itu dulu, biasalah tiap mahasiswa biasanya pernah memasuki masa itu. Masa mencoba dan bergaya. Dan sekarang mereka sudah tahu kalau minuman keras itu nggak asyik dan nggak enak--> karena rasanya pahit! Makanya sekarang kapok, nggak mabuk lagi, tobat nasuha.

Karena lulusan Fakultas Sastra dan Seni, wajarlah kalau personil Tani Maju raine terkesan ndeso dan medeni bocah. Tapi jangan salah, mereka warga Indonesia yang baik. Mereka adalah seniman yang nyambi jadi guru, dosen, pokoke wong penting lah.

Personil lama yang aku kenal adalah Novan (vokal), Wibi (bass), Joni (gitar), Poleng (menyusul penonton (embuh arek iki mbiyen nyekel opo))  dan lainnya, lali aku. Personilnya silih berganti, ada yang keluar karena diterima jadi PNS , ada juga yang diterima di sisiNya. Seperti nasib Poleng  yang "pamer kesaktian" naik motor dan menabrakan dirinya dengan truk yang melaju kencang. Akibat kebanyakan Topi Miring. Innalillahi..

Band ini (kok rodok wagu yo nek disebut band, asyike ancen kelompok musik) memang dikonsep untuk jadi band kucluk, mengajak orang gembira. Karena musik itu harusnya membuat orang bahagia. Jangan mendengarkan musik yang melemahkan, yang membuat mewek, meratapi hidup, dadi wong gendeng. Karena dunia ini sejatinya memang cuma senda gurau, jadi ojok serius-serius banget.

Karena band kucluk, musiknya pun suka-suka. Disebut band pop, tapi kok pakai ketipung. Disebut band dangdut tapi ngepop habis. Embuhlah itu disebut genre apa, yang penting hepi. Apalagi tiap personil punya latar belakang musik yang berbeda. Beberapa personilnya dulu pernah ngeband mengcover lagu yang ngetop di era 90 an dari G 'N' R, Nirvana sampai Sepultura. Sembarang gelem, pokoke iso gawe joget.

Tani Maju solid karena keberhasilan bersinergi antar personilnya. Bukan karena skill yang mumpuni dari tiap personil. Band yang tiap personilnya punya skill tinggi biasanya malah cepet bubar atau sering gonta ganti personil. Karena semua merasa punya andil, merasa paling berjasa membesarkan band, merasa paling yes, merasa paling penting. Akhirnya band pecah, personilnya pada solo karier, malah nggak laku, latihan terus tapi gak tau manggung.

Aku sendiri tahu Tani Maju punya lagu sendiri saat di rantauan (Solo), nggak di Malang lagi. Kupikir band ini kayak band IKIP lainnya yang cuman genjrang genjreng sesaat setelah itu bubar. Ceritanya, ada seseorang di kantor yang muter lagu "Castol". Awalnya aku nggak tertarik blas dengan lagu semacam itu, aku hanya muter lagu \m/etal gedabukan. Karena liriknya aneh, aku jadi penasaran. Dan ternyata..ngakak cuk! cukup menghibur.

Musik dan lirik lagunya fresh, unik dan konyol, pokoknya anti mainstream. Seperti lagu "Castol" di album pertama "Artis Top Daerah" (2005) yang bercerita tentang lem atau perekat. Di lirik lagu itu disebutkan Liem Swie King itu artinya Raja Perekat (Liem = lem, Swie = lama (suwe ; bahasa Jawa), King = raja). Iso ae.

Tani Maju bukan band humor kebanyakan yang  cuman meng-cover lagu orang yang di-medley dan dibikin lucu. Mereka percaya diri dengan karya sendiri. Walau sementara ini memang jadi artis daerah yang terkenalnya hanya di Malang dan sekitarnya, tapi yang penting mereka sudah berbuat sesuatu. Daripada terkenal tapi memainkan karya orang yang lirik lagunya dibikin lucu, apa hebatnya.

Wiz ah. Zelamat dan zuksez buwat Tani Maju. Zemogah zelaluh zehat, bizah teluz berkalyah zampai tuwah. Majzu myundul majzu myundul czanthik, tebal pezona bial menalik. Buwat pecintah muzik Indonezah : Jzangan belih kazet atauw zidi bajzakan, dan czintailah ploduk ploduk dalam negeli.

Adza adza ajza dwech ach.

(C) Robbi Gandamana, 31 Juli 2017

Senin, 24 Juli 2017

Cak Nun sang Pawang Bangsa



Suatu kali Cak Nun bilang, "Setiap orang harus bunuh diri!" O_O. Orang yang tidak paham bahasa sastra tentu bingung jaya, "Maksude opo Ndes!?" Ternyata maksudnya, setiap orang harus membunuh dirinya yang sekarang untuk menjadi dirinya yang baru. Seperti bayi yang baru lahir. Jadi bukan bunuh diri dalam arti yang sesungguhnya. Itu konsep ruwatan dalam budaya Jawa.

Itu lah Cak Nun, petuahnya selalu membuat orang takjub, koyok dikampleng mubeng tapi nggak iso mbales. Dua kali saja mengikuti pengajiannya, kamu bakalan merasa nggak masuk akal dengan hidupmu. Karena akalnya tinggi, di atas rata-rata layaknya orang kebanyakan.

Maka rugi besar kalau ada yang benci atau menjauhi Cak Nun hanya karena tokoh idolanya atau Ormas-nya diolok-olok Cak Nun. Karena dia sebenarnya kehilangan kesempatan mendapatkan ilmu yang tidak pernah didapatkan di guru-guru konvensional. Membesar-besarkan secuil kesalahan, tapi melupakan sebongkah kebenaran ilmu yang dahsyat. What a stupid!

Cak Nun punya pengalaman dan pergaulan yang sangat luas. Maka nggak heran kalau beliau di terima oleh semua kalangan. Apalagi Cak Nun bukan orang pemerintah, bukan dari kelompok atau Ormas tertentu, bukan dari Partai manapun. Bukan NU, Muhammadiyah, JIL, apalagi HTI.

Nggak heran kalau Cak Nun sering diminta untuk mendamaikan kelompok yang bertikai. Tanpa mediasi yang ruwet, semua kelompok yang bertikai pun akur. Pejabat dan aparat pemerintah, petinggi Parpol, pemimpin Ormas, semua datang ke Cak Nun minta petuah. Karena beliau dianggap sesepuh oleh bangsa ini, tidak hanya di kalangan jamaahnya.

Kabarnya pendukung Anies dan pendukung Ahok minta Cak Nun untuk dirukunkan kembali lewat "pernikahan kebangsaan", melupakan permusuhan Pilkada, bersama-sama kembali membangun Jakarta. Apakah sudah terlaksana? Kurang tahu mas, saya orang baru.

Jangankan merukunkan manusia, jin pun segan sama Cak Nun. Iki serius Ndes. Tiap kali ada orang kesurupan, Cak Nun dan orang dekatnya diminta untuk mengusir jinnya. Tiap kali dengar nama Cak Nun, jin yang merasuki langsung pergi dengan mengeluh meminjam suara orang yang kesurupan, "Wadoh, Cak Nun maneh..yo wis aku lungo. Aku wedi karo Cak Nun."

Saya tidak pernah tahu, Cak Nun ini manusia jenis apa, menjalankan lelaku apa. Sehingga beliau punya wibawa yang luar biasa. Cak Nun sering dianggap Paranormal karena punya sidik paningal (pandangan yang jernih pada kehidupan). Bagiku beliau adalah seorang Sufi. Yang jelas beliau jadi sekarang ini karena lelaku tirakat yang luar biasa sejak kecil.

Di zaman Orba, Cak Nun sering kucing-kucingan dengan aparat karena menabrak aturan yang kolot saat itu. Walau sering menentang Orba, Cak Nun malah dijadikan guru ngajinya Soeharto. Aneh bin ajaib. Lebih aneh lagi Cak Nun ikut pula melengserkan Soeharto. Tapi bangsa Indonesia tidak tahu andil Cak Nun dalam memperjuangkan reformasi, tahunya cuman Amien Rais.

Pernah hidup menggelandang berbulan-bulan di Belanda, karena nggak ada ongkos pulang. Hidup di rumah kosong tanpa pemanas ruangan di musim dingin, seperti hidup di dalam freezer. Ketika ditangkap dan ditolak ijin tinggal di Utrecht, Cak Nun malah misuhi aparatnya sembari nggebrak meja, "Mbahmu mbiyen ngrampok mbahku! Aku mrene nggawe duwik-duwiku dewe...ancene Mbokneancok!" Ajaibnya, saat itu juga Cak Nun langsung dibebaskan.

Di zaman Gus Dur Cak Nun pernah disantet yang membuatnya divonis dokter umurnya tinggal 3 bulan. Badanya kurus kering kayak junkies. Tapi nyatanya Cak Nun masih hidup dan segar bugar sampai sekarang. Cak Nun memaafkan, tidak dendam pada orang yang menyantetnya. Bahkan jangan sampai pelakunya tahu kalau Cak Nun tahu dia pelakunya.

Cak Nun mengajarkan ilmu kehidupan dengan bahasa  rakyat yang familier oleh telinga awam. Jangan kaget kalau mendengar kata "jancok", "taek", "asu". Itu semua dalam rangka kemesraan dengan umatnya, dan kemesraan itu di atas moral. Tentu ada sikon yang membuat beliau tidak menggunakan kata "kasar" tadi, misal ada banyak anak kecil di event tersebut.

Kalau orang yang belum kenal Cak Nun, pasti mensesat-sesatkan. Padahal itu cuman style, metode Cak Nun memposisikan diri sejajar dengan rakyat yang paling jelata. Dan juga tiap orang diberikan keunikan yang berbeda dengan manusia lainnya. Dan itu lah keunikan Cak Nun. Daripada pusing, ambil saja yang bermanfaat, buang jauh yang nggak cocok denganmu.

Menurut Cak Nun, zaman sekarang harusnya ada re-edukasi, mencari ilmu yang benar di masjid-masjid. Jadi, bukan cuman doktrin atau menaku-nakuti umat. Sekarang kebanyakan ulama atau ustadz punya doktrin dan punya kepentingan untuk punya umat. Yang nantinya dimanfaatkan, digerakan, dimobilisasi, untuk suatu kepentingan suatu kelompok.

Cak Nun tidak pernah memanfaatkan jamaahnya untuk kepentingan pribadi. Seperti katanya, "Awas kalau kamu Cak Nun Mania, tak tonyo ndasmu! Saya bukan Kyai, aku temanmu, sahabatmu, aku cinta padamu kamu cinta padaku, tidak ada feodalisme, tidak ada kultus individu, saya tidak punya anak buah. Saya tidak mau bertanggung jawab atas kelakuanmu. Saya datang ke sini tidak untuk minta dihormati, saya ke sini untuk mengajak anda menghormati Allah dan Rasulullah."

"Saya tidak ngomong syar'i, saya ini ngomong budaya. Yang penting anda terurai, pikirannya bebas, adrenalin anda tumbuh, keringat anda mengucur, sehingga semua akan sehat, sel-sel anda menguat, pikiranmu cerdas, kepada istri makin sayang, kepada anak-anak kamu semakin bisa mendidik. Itu yang nomer satu. Bukan menakut-nakuti begini begitu. Yang terpenting hatimu dekat dengan Allah." Kata Cak Nun di lain waktu.

Walau nggak ingin disebut Ulama atau Kyai. Tapi bagiku hakikat Cak Nun adalah seorang ulama yang dibungkus dengan budayawan, seniman, atau penyair.

Cak Nun mewanti-wanti agar omongannya jangan dianggap kebenaran. Karena semua omongan ulama, kyai, ustadz itu bukan kebenaran, tapi tafsir. Yang pasti benar itu Al Qur'an, Allah. Semua aliran, sekte, madzhab itu nggak ada yang betul-betul benar. Mereka sama-sama mencari Islamnya Rasulullah. Dan pengajian itu bukan mengajari, tapi mencari derajat yang lebih tinggi di hadapan Allah.

Orang awam tidak bisa menafsirkan Al Qur'an. Bahkan Kyai atau Ulama pun nggak semua bisa. Hanya ahli tafsir yang bisa menafsirkan Al qur'an. Bisa kita cuman Taddabur, mencari manfaat dari pergaulan kita dengan Al Qur'an. Kalau kita beli motor, kita nggak perlu tahu siapa yang membuat motor tersebut, pabriknya dimana, yang penting kita tahu manfaat dari motor tersebut.

Jadi begitulah Cak Nun, sang Pawang Bangsa sekaligus Guru Rakyat. Nggak hanya buat muslim, penganut agama lain juga senang mendengar khotbahnya yang adem, membuka pori-pori kecerdasan. Tidak mengajak benci kepada siapa atau apa pun. Setan pun jangan dibenci, karena setan sengaja diciptakan untuk menjadi sparing partner-nya manusia dalam melatih iman. Setan nggak punya piihan, pilihannya cuman berbuat buruk. Cacingan dech loe.

Wis ah, Iki serius rek. Percoyo karepmu, gak percoyo urusanmu.

(C) Robbi Gandamana, 25 Juli 2017

Jumat, 21 Juli 2017

Dana 1, 5 Trilyun yang Merusak Citra NU dan Sentilan Cak Nun


NU dibully habis-habisan hanya karena berita miring yang menyebutkan "Kementerian Keuangan Salurkan Pembiayaan Rp 1,5 Triliun ke PBNU". Padahal pemerintah menggandeng PBNU (Pengurus Besar Nadlatul Ulama) untuk menyalurkan dana tersebut ke pengusaha lemah yang perlu mendapat kredit non bank. Jadi dana tersebut tidak hanya untuk umat NU.

Sebenarnya ini berita lama, sekitar Februari lalu, tapi di-blow up lagi oleh para "musuh" atau haters NU (pasti anda tahu lah siapa yang suka memusuhi NU) untuk menyudutkan dan merusak citra NU di masyarakat. Saya sendiri bukan umat NU, cuman penggembira.

Ini soal bantuan dana sebesar 1,5 trilyun dari pemerintah yang ditulis di Tribun News 27 Februari 2017 yang di-blow up kembali oleh para wedus haters NU. Membesar-besarkan berita seolah-olah PBNU telah menerima dana tersebut khusus untuk Ormas NU.

Dana tersebut dipercaya oleh para haters NU sebagai "uang damai'" agar NU tetap setia pada pemerintah dan ikut mendukung pembubaran Ormas anti pancasila. Tentu saja itu salah besar,
kejadian itu terjadi jauh sebelum Perppu Ormas diteken dan diberlakukan.

Karena berita kacau itu lah yang membuat NU dibully habis-habisan oleh pendukung Ormas Islam kaku haters NU. Dituduh sebagai Ormas penjilat pemerintah. Apalagi NU adalah Ormas yang mendukung pemerintah membubarkan Ormas intoleran anti Pancasila. Apes.

Padahal berita yang benar adalah pemerintah minta bantuan PBNU untuk memberikan data para pengusaha lemah yang perlu mendapat kredit non bank. Dan lembaga non bank yang akan mengeksekusi. Jadi nggak cuman umat NU yang dapat. Dana tersebut sebenarnya disalurkan ke semua warga negara Indonesia, Ormas Islam yang lain juga dapat, melalui berbagai sarana dan kerjasama.

Itulah kebanyakan manusia, levelnya masih Ksatria, bukan Brahmana. Bahagia kalau rivalnya tertimpa musibah. Umat yang bersebrangan dengan NU, bersorak-sorai bahagia karena nama baik NU rusak karena pemberitaan yang ngawur tadi. Mereka punya bahan untuk mendiskreditkan NU. Seperti lalat yang berpesta di atas borok yang bernanah.

Sebenarnya wajar banget kalau pemerintah menggandeng PBNU, lha wong punya basis kuat sampai ke akar rumput. Selain itu juga memiliki program pembinaan usaha yang paling banyak pesertanya. NU juga lebih dekat dengan pemerintah daripada Ormas Islam lain. Dan NU adalah Ormas Islam yang moderat dan Pancasilais, bahkan NU adalah Pancasila itu sendiri.

Dekat dengan pemerintah bukan berarti NU selalu sejalan dengan kebijakan Pemerintah. Lihat saja saat PBNU menolak kebijakan full day school.

NU sudah lama mengawaI bangsa ini sejak bangsa ini belum merdeka. Ingat Resolusi Jihad yang dirumuskan oleh para Ulama NU (22 Oktober 1945) untuk menghadapi sekutu di Surabaya, 10 November 1945. Resolusi Jihad itulah yang membakar semangat santri NU turut memanggul senjata siap mata sahid. Dan Resolusi Jihad masih berlaku sampai sekarang. Maka nggak heran kalau NU getol mendukung pembubaran Ormas anti Pancasila.

NU setia pada Pancasila karena Pancasila lahir dari sumbangan nilai-nilai Islam. Secara substansial Pancasila itu sangat Islam. Pancasila meminjam 6 kata dari Islam : adil, adab, wakil, musyawarah, rakyat dan khidmat. Sila pertama, Ketuhanan yang Maha Esa, adalah pengejawantahan dari Surah Al Ikhlas. Begitu juga dengan sila-sila yang lain. Pikiren dewe, golek enake tok ae koen iku.

Jadi NKRI itu sebenarnya sudah Khilafah, tanpa perlu diformalkan jadi negara khilafah.

Oke, kembali ke soal dana 1,5 trilyun.

Di saat panas-panasnya bully-an terhadap NU, beredar video Cak Nun yang ngomong dengan bahasa khas menyinggung NU telah ngrakoti duit negara. Umat NU pun semakin merah mukanya. Padahal yang dimaksud Cak Nun adalah oknum NU. Oknum yang bermain dengan pemerintah, memanfaatkan loyalitas ribuan pasukan Banser yang siap mati membela NU.

Sangat tidak mungkin Cak Nun menghina NU. Lha wong beliau dekat dan bersahabat baik dengan tokoh-tokoh NU. Lagian, omongan Cak Nun kok dimasukan di hati. Semua tokoh atau orang penting di negeri sudah pernah diolok-olok Cak Nun. Dari SBY, Prabowo, Jokowi, Ahok, Anas, Anies, Anus, banyak lah. Itu semua dalam rangka kemesraan, antara sesepuh dengan anak-anaknya. Maka nggak heran kalau Cak Nun tidak pernah diperkarakan.

Jadi sekarang, jangan gampang terseret untuk membenarkan atau menyalahkan berita yang beredar di internet, apalagi sampai ikut-ikutan membully. Gunakan hati dan kecerdasanmu. Teliti dulu sebelum ikutan nggacor, nyangkem gak karu-karuan. Mending ambil saja manfaatnya yang membuatmu lebih baik jadi manusia. Dan yang paling penting jangan gampang diadu domba oleh pihak yang ingin umat muslim perang terus.


Sudah itu saja, zuukk mariii.

(C) Robbi Gandamana, 22 Juli 2017

Kamis, 20 Juli 2017

Ustadz Matre dan Agama Materialisme



Wis rek, gak usah ngrasani Ustadz Tengu..eh, Ustadz Kentu..upss sori, Ustadz mbuh sopo iku! Wadoh lambeku rek. Banyak soal yang lebih asyik untuk ditulis. Daripada mbahas pakaian mana yang lebih baik, gamis atau batik. Bakalan nggak ada ujungnya.

Tulisan ini sebenarnya lebih cocok untuk diri saya sendiri, sebagai pengingat. Nggak ada maksud menggurui dan mempengaruhi. Kalau nggak suka, skip saja, anggaplah ini pendangkalan akidah, beressss.

Kuamati, ustadz yang  kariernya cepat meroket sekarang ini adalah jenis ustadz yang mengiming-ngimingi umatnya cepat  kaya (materi) melalui ibadah. Mengajarkan umatnya materialistis. Menjadikan agama tidak lebih dari transaksi dagang. Pasti anda tahu lah siapa ustadz yang saya maksud.

Ustadz yang mengajarkan kesejatian hidup, shalawatan, dan semacam itu, agak sulit kariernya (walau mereka juga tidak menjadikan ustadz  sebagai profesi).

Karena agama utama seluruh dunia di zaman sekarang adalah materialisme. Beragama tapi dengan cara berpikir materi. Beribadah hanya ingin dapat laba. Rajin shalat Dhuha agar diterima jadi PNS, pengusaha, atau ingin kaya. Naik haji ingin tokonya laris. Sedekah ingin dapat kembalian berlipat. Ingin masuk surga pun karena kerinduan materialistis.

Dalam beragama cara berpikirnya masih jasad. Pahala dibayangkan sebagai duit, emas, akik, mobil mewah, bidadari sexy (maka nggak heran kalau berharap surga agar bisa pesta seks). Itu jenis ibadah level terendah. Menjadikan Tuhan sebagai mitra bisnis. Nggak ada imbalan, malas ibadah.

Ciri khas penganut agama dengan pola pikir materi adalah agama hanya dijadikan pelarian saat "kalah". Lari ke Tuhan hanya saat lagi miskin, susah, butuh sesuatu, mengincar laba berlipat-lipat. Setelah kaya atau pas nggak butuh, lupa agama. Ada juga yang ahistoris, buka usaha nggak bismillah, tapi saat bangkrut nangis bombay minta tolong Tuhan.

Yo wis lah, no problem, semua butuh proses. Cuman nek iso ojok suwe-suwe di level itu (tapi aku sendiri masih di level itu, ojok ngomong sopo-sopo). Karena sebenarnya itu rugi. Walau semua orang pasti melalui proses itu. Seperti anak kecil yang diiming-imingi es krim dulu agar mau berbuat baik, karena belum paham manfaat dari berbuat baik.

Kata Simbah, Ibadah itu dalam rangka bersyukur. Sedekah itu berbagi rezeki, tidak mencari rezeki. Fokuskan ibadah hanya pada (untuk) Tuhan. Nggak usah mikir laba, karena pasti dapat. Tapi jangan terlalu berharap laba itu selalu berupa materi. Lha wong dikasih hidup dan dijadikan manusia saja itu sudah karunia yang luar biasa. Maka sebenarnya nggak pantas manusia beribadah berharap laba. Tapi Tuhan senang  mendengar hambaNya berdoa.

Banyak buku atau status di medsos, shalat dihubungkan dengan kesuksesan materi. Memang ada hubungannya, tapi menghubung-hubungkan shalat dengan materi itu merusak esensi shalat. Shalat itu menjaga hubungan baik (silahturahim) kita dengan Allah. Soal nanti kamu dikasih kekayaan atau nggak, itu urusan Allah. Nggak pakai shalat pun semua orang bisa kaya.

Ada seseorang yang saya kenal, shalatnya jos gandos selalu di masjid, tapi tetap jadi kuli bangunan sampai sekarang. Nasibnya tidak berubah. Mungkin Tuhan tidak memberi kekayaan materi, tapi berupa kekayaan yang lain. Misal diberi ketenangan hidup, kere tapi ayem. Nggak punya uang, tapi ada saat dibutuhkan. Dan hati yang damai itu jauh lebih kaya dari harta yang paling mewah di dunia ini.

Jadi jangan dipikir orang yang sukses dan kaya raya itu selalu karena rajin shalat atau ibadahnya bagus. Juga jangan dipikir kalau miskin itu karena kurang shalat atau jarang ibadah.  Hidup itu nggak hitam putih. Mangkane ojok kakean nonton sinetron.

Dan jangan salahkan Tuhan kalau kamu rajin shalat, sering istighosah, tapi tetep awet kere. Terus mangkel karo wong cino. Soale ndelok wong cino sing nggak tau shalat, nggak pernah istighosah, tapi sugih pol, uripe makmur. Tuhan pun digugat, "Sampeyan iku ya'opo se Tuhan, jarene Rahman Rahim, aku wis istighosah ping sewidak jaran kok tetep kere ae. Gak asyik sampeyan!"

Aplikasi dari materialisme adalah kapitalisme. Dari pembekakan kapitalisme munculah industrialisme.  Selanjutnya dari Industrialisasi tumbuhlah hedonisme, cara hidup yang berlebih-lebihan. Lihat orang sekarang yang nggak cukup punya satu atau dua akun medsos, semua aplikasi medsos punya akunnya.  Sehingga separuh hidupnya habis untuk nulis status dan separuhnya lagi untuk membalas komennya.

Sekarang, gaya hidup hedonis ini benar-benar melanda negeri, sadar atau tidak. Rakyat Indonesia khususnya yang hidup di kota, mulai memasuki era mampu beli mobil. Hidup di kampung dengan jalan sempit, nggak punya garasi, memaksakan diri punya mobil. Akibat jaga gengsi, semua teman-temannya pada punya mobil. Oala, woles ae Sum.

Gaya hidup hedonis membuat pelakunya jadi konsumerisme. Membeli sesuatu yang sebenarnya nggak butuh-butuh amat atau nggak sesuai sikon. Sudah tahu gundul tapi beli sisir. Sudah tahu nggak ada tempat parkir kok beli mobil. Itu memperkosa fakta namanya. Dan semua kekonyolan itu muaranya karena menyikapi agama dengan pola pikir materi.

Jadi sekarang monggo, mau beragama dengan cara yang sejati atau pola pikir materi. Sakarepmu, pilih yang the best atau bedes, monggo. Semua tergantung pada hati, pikiran dan iman anda masing-masing. Tapi yang jelas iman tidak bisa distandarisasi.

Wis ah, cukup. Sori tidak menerima perdebatan. Matur nuwun.

(C) Robbi Gandamana, 20 Juli 2017


Senin, 17 Juli 2017

Gak Taek-taekan! Sikat Habis Radikalisme!



Ini bukan soal aku pro atau kontra Jokowi. Aku setuju 100% dengan adanya Perppu Ormas dan blokir aplikasi Telegram. Intinya aku mendukung pemerintah memberantas paham wedus radikalisme. Pemberantasan Ormas aliran kaku intoleran anti Pancasila dan bikin kacau negara, harus didukung. Mendukung radikalisme itu ndeso pol!

(Tulisan iki gawe wong sing durung ngerti, sing wis ngerti menengo yo)

Sempat ada kesalahpahaman di kalangan awam soal pemblokiran yang dilakukan pemerintah. Whoiii, yang diblokir pemerintah itu aplikasi Telegram. Bukan telegram dalam arti yang sesungguhnya seperti telegraf, telepon, televisi, teletubbies, teletong, telek, dan embuh wis, akeh.

Kalau telegram dilarang, itu jelas mengebiri kebebasan berbagi informasi. Iku koyok wong sing oleh mangan tapi gak oleh ngising. Utowo oleh ngising tapi gak oleh nguyuh. Tapi, zaman sekarang ada nggak orang yang masih menggunakan telegram untuk berkirim informasi? Wis gak usum.

Jadi ingat omongan Simbah. Jangan melarang orang membawa pisau, hanya karena pisau bisa dipakai untuk membunuh. Karena sesungguhnya pisau diciptakan tidak untuk membunuh manusia. Jadi, jangan salahkan pisaunya, salahkan manusianya.

Juga cerita Abu Nawas yang ditangkap, diadili dan dimasukan penjara hanya karena membawa pisau kemana-mana, karena ditakutkan bisa membunuh orang. Sebelum dipenjara Abu Nawas minta pak Hakim juga dipenjara. Kok bisa begitu? Karena pak Hakim membawa kemaluan kemana-mana, ditakutkan bisa memperkosa wanita. (O__O)

Dalam kasus pemblokiran aplikasi Telegram ini, tidak bisa disamakan dengan kisah Abu Nawas. Konteks dan substansinya lain. Di sini yang dilarang bukan pisaunya, tapi jenis pisaunya. Jadi bukan kebebasan berbagi informasi yang dilarang tapi jenis kebebasan berbagi informasinya, karena berpotensi membahayakan keselamatan rakyat dan negara.

Apalagi yang diblokir ternyata yang versi web saja. Jadi masih bisa diakses lewat hengpon.

Tujuan pemerintah memblokir aplikasi Telegram itu mulia (ayee), untuk menyelamatkan rakyatnya dari ideologi radikalisme, teroris. Para teroris ini menggunakan aplikasi Telegram untuk keperluan propaganda dan provokasi. Karena aplikasi ini lebih aman, enkripsi dengan keamanan canggih, sehingga kerahasiaan percakapan terjamin dan tidak memberikan informasi nomer telepon pengguna.

Jadi menurutku langkah pemerintah sudah sip. Keselamatan rakyat di atas segalanya. Dalam hidup ada skala prioritas, keselamatan lebih penting dari pada mbelani aplikasi basa basi, nggambleh, nggacor, nggedabrus ngalor ngidul yang bernama Telegram (kayaknya aplikasi yang lain juga begitu).

Apalagi aplikasi Telegram nggak populer di sini, aku ae tas eruh. Blokir-blokiren kono, masih banyak yang lain. Sebut saja Facebook, Twitter, WA, BBM, Instagram, Line, Twoo, Google Plus Plus (saingannya Pijat Plus Plus). Atau kalau mau, hidupkan lagi medsos 80'an macam Sahabat Pena, interkom, ngebrik, embuh opo maneh. Itu kalau berani mencanangkan Gerakan Kembali Ndeso.

Aku yakin 100% nggak mungkin negara ini memblokir medsos, selama UU ITE benar-benar dijalankan dengan benar. Sehingga hate speech, spamming, hoax, dan kejahatan medsos yang lain bisa diatasi. Medsos masih dibutuhkan untuk menjaga silahturahmi, dakwah, bisnis, kampanye, cari jodoh, bertukar ilmu, berbagi informasi, bertukar pengalaman, nggedabrus, pamer kesuksesan, bla bla bla .

****

Di era SBY, kumpulan wedus aliran radikalisme dibiarkan bebas berkembang biak bak mikro organisme di kepala yang penuh koreng akut. Gus Dur pernah mencanangkan pembubaran aliran kaku anti Pancasila, tapi sayang tidak pernah terwujud. Sekarang adalah saat yang tepat untuk mewujudkan itu, karena melihat gerakannya sekarang yang semakin terang-terangan.

Jadi, diberlakukannya Perppu Ormas dan blokir Telegram adalah upaya menutup pintu masuknya paham radikalisme. Lanjutkan Jok! Kamu bisa!!

Sejak kekalahan ISIS di Mosul, target basis ISIS berikutnya adalah Asia Tenggara, tepatnya di Marawi, Filipina. Di Indonesia sendiri ternyata banyak pendukung ISIS. Banyak dari mereka yang jadi jihadis ISIS di sana, siap mati sangit.

Kabar terakhir Turki telah menangkap 435 pendukung ISIS asal Indonesia. Dalam hal jumlah pejuang ISIS, Indonesia menduduki peringkat kedua setelah Rusia. Ini membuktikan Indonesia banyak penganut paham radikalisme yang perlu disepak peline.

Pokoknya apa pun yang dijadikan media perjuangan bagi kaum radikalisme harus diberantas tuntas. Entah itu berbentuk aplikasi medsos, Ormas, situs yang penuh dengan tulisan, ceramah, video propaganda radikalisme, dan banyak lagi. Pokoke gak taek-taekan, sikat habis!

Sudah, itu saja. Zuukkkk.

(C) Robbi Gandamana, 17 Juli 2017

Jumat, 14 Juli 2017

Gamis VS. Batik



Lumayan fesbukan hari ini dapat quotes adem dari Cak Nun : "Kesaktian tertinggi adalah ketika anda berhasil mengolah kehidupan anda sedemikian rupa sehingga tak punya musuh, tak meransang datangnya musuh atau tidak bisa dimusuhi." Emejing! Ijin share!

Tapi setelah membaca quotes di atas, pikiranku langsung nyambung pada cuitan seorang ulama tersohor Tengku Zulkarnain (TZ) yang menyanjung-nyanjungkan jubah (gamis) dan merendahkan batik. Itu khan merangsang datangnya musuh. Karena batik adalah warisan budaya asli bangsa Indonesia. Merendahkan batik sama saja merendahkan bangsa ini.

Aku sendiri nggak terlalu suka batik dijadikan baju, kaos, sempak, apalagi sprei (nggak romantis). Tapi aku menghormati dan menghargai batik sebagai karya seni asli negeri ini. Aku suka batik jadi karya seni murni dipajang atau dijadikan kostum sebuah tarian, karnaval dan semacam itu. Sori, rokenrol nggak suka kekakuan (baju batik identik dengan resmi, kaku).

Hanya ­karena ada yang menyebut jubah sebagai daster, TZ emosi dan membalas dengan merendahkan batik, budayanya sendiri. Api dibalas dengan api, kebencian dibalas dengan kebencian. Kalau sudah begitu apa bedanya si ulama dengan di penghina tadi.

Itiba' Rasul kok nggak komperehensif. Cuman diolok-olok pakai daster saja sudah mumet ndase. Lha wong Rasulullah dikatain gila, dilempar tai onta, cuek kok.

(Sori, iki rodok ngustadz. Masio aku guduk ustadz tapi wani ngomong agama, jarno ae.)

Jarene Simbah, Jubah atau gamis itu bukan syariat, tapi itu soal cinta (pada Rasulullah). Bahkan bagiku, jenggot dan celana cingkrang pun bukan syariat. Ini soal madzhab, gak perlu dibahas, iso ngerusak seduluran. Tapi sing jelas aku menghormati pilihan orang untuk berjenggot dan bercingkrang. Sakarepmu, sing penting rukun, gak gelut.

Ngene rek, jika kamu ngefan Kurt Cobain, Jojon, Tessy, atau siapa lah, kamu akan meniru persis tongkrongannya. Nggak perduli itu pantas nggak buat gestur tubuh dan model raimu yang ndeso abis. Yang penting kamu ingin persis idolamu.

Begitu juga jika kamu ngefan Nabi Muhammad, kamu akan berpakaian (model kostumnya) persis seperti beliau walaupun itu nggak ada syariatnya. Pakai gamis, kain putih diuntel-untel di atas kepala, berjenggot panjang dan bawah tasbih kemana-mana. Itu bagus, karena itu menunjukan cintamu pada Rasulullah. Lha terus masalahe opo boss??

Masalah ketika Kecintaanmu pada jubah, gamis, daster, mbuh opo istilahe, sampai membuatmu membenci budayamu sendiri, itu gobl..eh maksudku ndeso!

Rasulullah pakai gamis, rambute diuntel-untel kain itu karena kecintaan beliau pada budayanya sendiri (budaya Arab). Dan itu juga trend fashion di Arab saat itu. Rasul memakai baju model begitu bukan karena perintah langsung dari Allah. Rasulullah mencintai dan menghormati budaya Arab, tempat dimana beliau lahir.

Jadi kalau kamu mencintai Rasulullah, meneladani beliau, cintailah negerimu dengan budayanya yang beraneka ragam. Tentu saja yang sesuai dengan syariat. Jangan sampai rasa cintamu pada jubah menjadikanmu membenci batik. Salah nggak?

Budaya orang dijunjung tinggi, budaya sendiri dimaki. Asli Jawa, lahir dan besar di Jawa tapi sama sekali tidak cinta dan tidak kenal budaya Jawa. Bagiku itu tidak meneladani Rasulullah.

Makanya aku lebih suka meneladani daripada ngefan. Kalau meneladani itu mengambil yang baik-baik saja. Kalau ngefan, semua kamu tiru sampai membuatmu tidak ingat lagi siapa dirimu, leluhurmu, budayamu. Padahal, kenali dirimu maka kau akan mengenal Tuhanmu.

Sunnah rasul yang utama itu akhlaknya, ojok dengki. Jadi bukan kostumnya, hobinya, selera makannya. Nabi suka kucing, ikut-ikutan suka kucing. Kalau ditanya kenapa suka kucing, jawabnya karena Nabi suka kucing. Oala, hidup sekali kok tidak jadi diri sendiri

Tuhan menciptakan kamu sebagai kamu, bukan orang lain. Kalau kamu jadi orang lain, kamu menyalahi Sunnatulloh, gagal identitas. Begitu juga dengan Rasulullah, beliau pakai gamis karena beliau berlaku (berpakaian) layaknya orang Arab di zaman itu.

Kalau aku sekarang pakai celana jins, itu karena aku berlaku sesuai dengan zamannya. Itulah fashion abad 21, aku tidak hidup di abad 7. Dan ojok gampang ngomong "menyerupai suatu kaum". Ingat, baju Rasulullah juga sama dengan bajunya Abu Lahab, Abu Jahal, dan orang Arab lainnya di abad 7.

Aku sendiri males pakai jarik dan blangkon, itu kostum jadul zaman sepur lempung yang hanya dipakai saat ada kegiatan budaya dalam rangka mengenang dan melestarikan budaya leluhur. Nggak cocok buat dengan keseharianku yang kerjanya nggambar, ribet boss. Makane aku saaken karo PNS sing ngantor dikongkon jarikan plus blangkonan, meksooo.

Tapi silakan saja pakai kostum sesuka hatimu. Pakai gamis nggak masalah, pakai baju batik no problem. Semua baik, nggak ada yang lebih baik. Kalau orang cinta seni dan budaya pastilah memilih batik. Apalagi gamis itu boros kain. ---Ini yang membuat saya bingung, mereka bercelana cingkrang agar nggak boros kain (takut dibilang sombong), tapi kok bergamis yang kainnya panjang sekali. Harusnya yang dihitung volume kain, bukan cingkrang atau tidaknya---

Kostum apa pun nggak masalah, asal sesuai syariat. Dan yang penting nggak lebay, salah kostum, membajak sawah pakai gamis, yo repot. Batik pun juga begitu, nggak di semua waktu cocok untuk berbatik ria. Apakah jubah lebih baik untuk shalat daripada batik? Hanya Tuhan yang berhak menilai shalatnya manusia, aku gak eruh.

Sampai sekarang aku masih heran lihat orang yang kemana-mana pakai gamis. Senam pakai gamis, demo pakai gamis, menek klopo yo nggawe gamis. Kok yo betah, sampeyan iku serius ta?

Wis ngono ae rek. Kalau diterus-teruskan aku takut tulisanku ini merangsang datangnya musuh. Semoga nggak ada yang gondok. Yang jelas mengkritisi beda dengan menghina. Ini cuman opini awut-awutan. Percoyo monggo, gak percoyo matio. Zuukk marii.

(C) Robbi Gandamana, 15 Juli 2017

Selasa, 11 Juli 2017

Hak Angket DPR Terhadap KPK adalah Kejahatan yang Sempurna



Aku yakin, KPK tetap kuat menghadapi rongrongan DPR. Karena rakyat akan selalu di belakang KPK, men-support, memompa semangat, juga aksi dukungan nyata dengan cara dan lewat media apa pun.

Tenang saja, DPR nggak bisa membubarkan KPK. Kedudukan DPR tidak lebih tinggi dari KPK. Dan membubarkan KPK sama saja dengan mengusik macan kentu. Bisa-bisa gedung DPR diratakan dengan tanah oleh rakyat, dan penghuninya ditelanjangi disuruh pulang jalan kaki. Peline gondal-gandul turut dalan.

KPK hanya bisa dibatasi geraknya lewat regulasi, undang-undang (UU). Ndilalah, DPR adalah lembaga pembuat UU (bersama presiden) dan DPR berhak tidak menyetujui Peraturan Pemerintah pengganti UU yang diajukan presiden. Padahal, kejahatan yang paling sempurna adalah undang-undang. DPR membuat undang-undang lebih pada menguntungkan dirinya dan mencurangi rakyat.

Nggak salah kalau banyak rakyat yang ingin DPR dibubarkan. Mereka tidak mewakili rakyat, tapi lebih pada mewakili partai dan dirinya. Memihak rakyat hanya pada saat Pileg. Mereka butuh suara rakyat untuk tetap bercokol di tempat basahhhhh. Oh yessss.

KPK seharusnya jadi lembaga yang total indepeden. KPK harusnya tidak dilantik oleh presiden. Lha wong kerja KPK itu mengawasi presiden kok malah dilantik oleh presiden. KPK jadi sungkan menindak presiden jika terbukti korupsi, walau saya yakin Jokowi itu bersih.

KPK sebagai ujung tombak pemberatasan korupsi kelas kakap di negeri ini masih diandalkan oleh rakyat. Karena itu rakyat pasti membela mati-matian KPK. KPK hanya bisa dibubarkan lewat dekrit. Cuman masalahnya, berani nggak presiden Jokowi melakukan itu? Rasanya kok tidak mungkin. Rakyat pasti akan marah besar. Dan sesungguhnya rakyat adalah pemegang kedaulatan atas penyelenggaraan suatu negara.

Kita tahu kasus korupsi semakin menumpuk, banyak yang belum tuntas. Kasus seperti Century, Hambalang, mafia pajak yang berkaitan dengan Gayus Tambunan, dan banyak lagi. Akankah kasus-kasus tersebut akan terselesaikan? Mbuh gak eruh. Dilihat dari terbatasnya waktu, dana, penjara dan petugas yang ngurusi, sepertinya nggak bakalan tuntas ntasss.

Kasus-kasus korupsi baru bermunculan bak panu di selangkangan gelandangan yang tidak pernah mandi. Yang terbaru kasus penyalahguaan dana E-KTP yang menyeret nama-nama besar yang rasanya tidak mungkin terlibat. Rupanya korupsi mulai menjadi peradaban. Itu persoalan gawat untuk sebuah negeri.

Masyarakat sendiri mulai punya sistem imun, kebal, terhadap kasus atau berita korupsi. Itu bahaya. Ketika kejahatan dianggap sudah biasa, maka lama-lama akan dimaklumi. Dan korupsi di negeri sudah memasuki babak 'dimaklumi'. Coba perhatikan aktivitas di kantor kelurahan, kecamatan, kabupaten, selalu ada korupsi kecil-kecilan di sana, disadari atau tidak. Rasakan saat kau datang ke sana, aroma tikus sudah tercium sejak pintu kantor dibuka.

Korupsi terjadi dimana-mana, di dunia pendidikan, di bidang ketenagakerjaan, bahkan departemen agama yang harusnya paham betul agama, malah angka korupsinya tertinggi. Di dunia pendidikan, banyak oknum kepala sekolah yang menerima sogokan wali murid yang anaknya ingin masuk sekolah favorit. Di dunia ketenaga kerjaan, buanyak PNS yang masuk lewat jalan belakang, nyogok pakai duit ratusan juta. Dan itu semua sudah jadi rahasia umum.

Partai yang gencar meneriakan yel-yel anti korupsi ternyata malah lumbungnya koruptor. Mereka tidak anti korupsi tapi anti korupsinya ketahuan. Makanya sekarang mereka terus gencar mencari celah mencari cara yang paling canggih agar korupsinya lancar jaya. Salah satunya adalah melalui Hak Angket terhadap KPK.

Hak Angket terhadap KPK adalah sebuah kejahatan yang sempurna. Tapi rakyat sudah semakin cerdas, karena seringnya dikadali DPR, sekarang mereka sudah bisa mencium aroma busuk itu. Baru-baru ini 400 dosen UGM secara tertulis menyampaikan penolakan terhadap Hak Angket DPR terhadap KPK. Dan mungkin akan ada banyak lagi bentuk dukungan yang lain untuk menolak Hak Angket dari DPR.

Mari jadi bagian dari rakyat yang cerdas, menolak kesewenang-wenangan DPR, tolak Hak Angket, save KPK!

Zuukk mariiii.

(C) Robbi Gandamana, 11 Juli 2017

Jumat, 07 Juli 2017

Sufi Itu Ndeso!



Iki serius rek, ojok cengengesan ae. Iki tulisan wong ndeso khusus buat wong ndeso.

Dulu ada seseorang teman yang bilang padaku, "ojok belajar tasawuf, iso gendeng!" Belajar tasawuf kok selalu dihubung-hubungkan dengan belajar ilmu hitam. Dan lagian aku gak kuat dadi sufi (pelaku tasawuf), iman dan Islamku pas-pasan. Aku juga pecinta rokenrol dan takut mati. Tapi kalau belajar tasawuf  tipis-tipis yo nggak masalah.

Seorang sufi itu harusnya waras jiwanya. Karena menyikapi segala sesuatunya dengan  keluasan hati dan pikiran. Selalu berprasangka baik. Menjauhi gemerlap dunia yang penuh kepalsuan. Sedikit makan, minum, dan tidur. Begadangnya untuk ibadah, bukan nongkrong atau konser di pos ronda.

Sebutan sufi tidak selalu untuk muslim. Siapa pun yang menjaga jarak dari kesenangan duniawi itu adalah sufi. Kalau kita pakai kata 'kasta' bukan berarti Hindu atau kata 'karma' bukan berarti Budha. Tasawuf itu cuman sebuah tarekat, lelaku menyikapi kehidupan.

Kejawen adalah bentuk tasawuf yang bersifat kultural, bukan Islam, tapi nilai-nilai moral, keluhuran budi yang diterapkan secara garis besar sama dengan Islam. Di kejawen ada istilah 'Nrimo in pandum' kalau di Islam istilahnya 'qonaah'. 'Ngunduh wohing pakarti' kalau di Islam 'faman ya'mal mitsqaala dzarratin khairan yarah', dan banyak lagi yang lain. Kejawen is not religion but religiosity of Java (boso Indonesiane opo rek).

---Nrimo in pandum = menerima segala pemberian, ketentuan Tuhan, dengan ikhlas, apa adanya tanpa menuntut. Ngunduh wohing pakarti = setiap orang akan mendapatkan balasan yang setimpal atas perbuatannya. Perbuatan baik maupun buruk, sekecil apa pun pasti ada balasannya---

Orang yang mendalami tasawuf baiknya sudah paten keIslamannya. Kalau Islamnya belum tegak benar, imannya akan goyah. Ditakutkan akan terjerumus ke dalam kesyirikan. Syekh Siti Jenar dihukum oleh para Wali bukan karena sesat, tapi karena terlalu intens mengajarkan tasawuf pada orang yang masih dangkal ilmu Islamnya. Sehingga banyak dari mereka yang malah lari ke ilmu sihir. Karena ilmu kebatinan dekat dengan ilmu hitam.

Bagi seorang sufi, dunia ini kecil. Jika ada kesulitan dunia, mereka takaburi kesulitan itu. Manusia harus lebih besar dari kesulitannya, sehingga  bisa sangat rileks menghadapi kesulitan. Karena dunia yang harus kita pegang atau kita mainkan. Jangan sampai dipermainkan oleh dunia.

Mereka mentalak  3 dunia, karena bagi mereka kesenangan dunia hanya menghalangi hubungannya (kekhusyuan) dengan Allah. Tapi itu sufi Arab, kalau sufi Indonesia cukup talak 1 saja. Bagaimana pun kita perlu harta dunia untuk mendukung, melancarkankan kita dalam beribadah.

Menjauhi keduniawian bukan berarti menjauhi pergaulan di masyarakat. Sufi juga manusia yang harus menghidupi hidupnya. Mereka tidak mengejar kekayaan materi, hanya melakukan sesuatunya dengan kesungguhan hati, berbuat baik pada penghuni alam semesta, menghormati hidup dan kehidupan. Dan pasti dikasih rizki, Tuhan maha tanggung jawab.

Seorang sufi menjalani hidupnya dengan ringan. Karena sebenarnya apa pun kalau dikerjakan karena Allah pasti akan terasa enteng. Taraf level keimanan seorang sufi itu tarafnya sudah level cinta. Melakukan ibadah bukan karena perintah semata, tapi karena kebutuhan. Ibadah mereka ibadah yang merdeka, artinya ibadah hanya fokus untuk Allah, bukan karena pahala, takut neraka dan berharap surga.  Kalau yang dicari Tuhan otomatis mendapatkan surga.

Tuhan mengayomi hambanya. Semua perintahNya adalah kebutuhan manusia, Tuhan nggak gila hormat! Shalat, puasa atau zakat, semua bermanfaat dari segi jasmani dan rohani. Secara empiris sudah terbukti. Tuhan sama sekali tidak merepotkan hambaNya.

Karena ajaran tasawuf itu menjauhi kesombongan, merendahkan diri, maka seorang sufi  tidak suka memperlihat-lihatkan status Islamnya, kealimannya, kelebihannya. Beda dengan kita yang malah berharap pengakuan dari orang lain kalau kita paham agama, orang baik, muslim taat. Kemana-mana pakai baju taqwa, busana atau aksesoris yang menunjukan diri kalau kita alim, muslim (padahal ngoleksi film bokep, ngaku saja).

Status, label, cap, jabatan, atau diri kita  itu nggak penting, yang penting akhlaknya baik di masyarakat.  Label itu lah yang sering membuat kita ribut. Islam dikasih label : Islam Nusantara, Islam Nusakambangan, Islam Liberal, Islam Rileks. Mending lakukan saja yang menurutmu baik, embuh iku aliran opo, nggak usah dikasih label.

Manusia awam seperti kita biasanya ingin disanjung, dinilai sebagai orang alim di depan masyarakat. Tapi sufi malah benci disanjung, dicap alim atau tahu agama. Mereka lebih senang kalau tidak dianggap alim, biasa-biasa saja. Bahkan ada sufi yang ingin orang lain mengenalnya sebagai orang tidak mungkin mengerjakan shalat. Penampilannya kumuh padahal sebenarnya dia ahli ibadah.

Mereka lebih suka dikafir-kafirkan daripada dimuslim-muslimkan. Dikafirkan lebih menenangkan hatinya daripada dianggap ahli ibadah. Mereka sendiri tidak mengkafir-kafirkan, karena merasa ibadahnya tidak lebih baik dari orang lain. Apalagi kemusliman atau kekafiran seseorang hanya Tuhan yang tahu. Tuhan yang berhak menilai. Dan istilah kafir itu buat pemahaman kita, tidak untuk dijadikan hujatan buat orang lain.

Karena low profll, merasa ilmunya dangkal, merasa kecil di hadapan Allah, mereka nggak suka dikultuskan, dijadikan idola, panutan, karena itu mengurangi totalitasnya pada Allah. Seperti kisah Abu Yazid Al Bustomi, seorang sufi yang didewa-dewakan orang banyak. Karena merasa keberhambaannya pada Allah terusik, beliau pun copot baju dan makan di siang hari pas bulan puasa di tengah keramaian. Rasakno koen.

Banyak dari kita yang bangga berjidat hitam karena jadi terlihat kalau sering shalat (sujud).  Sufi sejati nggak ingin seperti itu, mereka berupaya bagaimana menyembunyikan kalau dia rajin ibadah (shalat). Biar hanya Tuhan yang tahu. Karena berbuat baik sebaiknya tidak ada orang lain yang tahu. Kalau jidatnya hitam, jadi ketahuan kalau rajin shalat (sujud).

Walau menjauhi kesenangan dunia, mereka lebih bahagia hidup di dunia daripada di surga. Bukan berarti cinta dunia dan takut mati, tapi karena di surga tidak berjuang, tidak ada gairah berkompetisi, tidak bersaing, nggak ada penelitian. Di surga isinya cuma senang-senang, semua diperbolehkan. Di surga kita bukan mahkluk sosial. Tidak ada kerja sama antar manusia. Apa pun yang diinginkan tinggal minta, tanpa perjuangan.

Seorang sufi itu hatinya sudah selesai. Ukuran hidupnya tidak laba rugi. Mereka ikhlas jika harus mengerjakan sesuatu yang bukan kerjaannya. Nggak itung-itungan. Tapi bukan berarti mental budak. Tentu saja  bisa membedakan antara bekerja dan dikerjain. Itu semua dilakukan dalam rangka mengalah, dan mengalah  ada batasnya.

Apakah ajaran sufi sesat? Jawabannya tergantung pada pikiran dan hati masing-masing orang. Dan tidak perlu men-sesat-sesat-kan, menengo. Ambil saja manfaatnya, yang membuatmu lebih baik jadi manusia. Lebih baik kamu pelajari (atau tidak) daripada ribut padahal nggak paham-paham amat ilmunya.

Di zaman modern ini juga ada sufi. Kebanyakan dari mereka tidak dikenal, karena menjauhi eksistensi dan popularitas. Ada juga yang karena alasan dakwah, harus muncul di publik. Tapi tampil di publik bukan karena eksistensi dan popularitas. Juga tidak bertujuan mengejar materi. Kalau mereka kaya itu karena amalan, kesungguhannya dalam  melakukan perbuatan baik melayani umat, akhirnya terpaksa kaya.

Jadi, apakah mempelajari tasawuf membuat orang jadi gila? Yo nggak lah. Semua tergantung pada niat masing-masing orang. Kadang memang sufi itu mirip orang gila. Sukanya menyendiri dan gayanya ndeso tidak seperti orang kebanyakan. Tapi itu nggak penting, karena mereka nggak perduli dengan penilaian manusia, satu-satunya audience-nya adalah Tuhan.

Kalau memang sufi itu ndeso, terus koen kate lapo? Ndeso atau tidak ndeso, itu wilayah manusia. Tuhan nggak ngurusi ndesomu. Tuhan menilai kesungguhanmu mencintaiNya.

Wis ah, aku nulis ini karena nggak ada kerjaan. Kalau mau tahu lebih banyak soal tasawuf tanyakan mbah Google atau cari buku soal itu (golek enake tok ae koen iku, aku kesel nulise). Tapi tulisan soal tasawuf  kebanyakan ditulis dengan gaya khas anak lulusan kampus Islam atau pondok pesantren, banyak istilah Arabnya. Mumet ndase! Jarang yang ditulis dengan bahasa koboi.

Yang aku tulis ini cuman seujung kaku dari khazanah tasawuf yang ada. Makanya jangan dicopypaste, karena belum tentu yang aku tulis ini benar, bisa jadi malah menyesatkan!

(C) Robbi Gandamana, 8 Juli 2017

Kamis, 06 Juli 2017

Konyolnya TV Lokal



Kemarin saat mudik di Malang, mumet ndasku nonton TV yang banyak sekali pilihan channelnya. Banyak sekali TV lokal baru. Sebut saja Batu TV, UB TV, Dhamma TV, CRTV, ATV, Gajayana TV, B Channel, Bios TV, Arema TV, FTV, JTV, Malang TV, Maling TV, pokoke uakeh pol. Itu belum yang TV nasional. Iku serius ta?

Ada beberapa stasiun TV yang sudah lumayan kwalitasnya, tapi ada juga yang remuk jaya. Pokoknya sekedar siaran. Ada sebuah TV yang sering menayangkan live musik band lokal, tapi yang nyanyi --ya Alloh, ampuni hambamu--nggak layak tampil, baik suara maupun manusianya, gak marketable blas. Iku konser opo latihan stress se. *trenyuh*

Tapi bagaimana pun aku cukup terhibur oleh stasiun TV konyol tadi. Karena apa pun tayangannya jadi acara lawak, membuatku pringisan dewe. Thanks a lot, you made my day!

Nggak semua TV lokal tadi mblendes. Ada satu dua acara TV lokal yang aku suka karena unik. Salah satunya adalah siaran berita tapi pakai bahasa Suroboyoan. Saat itu beritanya : "Pas riyoyo ngene iki rego daging petek mundak, mergo akeh wong sing nggawe opor.." Oala, apa kalau beli daging ayam saat lebaran itu pasti diopor. Yo onok sing digoreng, disoto, dibakar, malah onok sing dipakakno kerek barang.

Ya, semua butuh proses, bisa jadi stasiun-stasiun TV baru tadi kedepannya bakal berjaya. Namanya juga usaha, karena mendirikan stasiun TV lebih masuk akal dibandingkan dengan bikin surat kabar baru. Zaman sekarang, koran, tabloid, majalah sedang sekarat, hidup segan mati tak mau. Hanya kaum tua yang membaca koran. Kaum muda kerjanya WA-an, BBM-an, fesbukan, males baca koran. Baca berita di internet saja.

Aku sendiri sebenarnya sudah lama bercerai dengan tontonan TV. Jujur saja, aku tidak mau menghabiskan umurku melihat kepalsuan, penuh polesan, tidak ada yang indah tapi diindah-indahkan. Nggak tambah pinter, tapi malah dumber than before---Jarene Simbah, TV zaman saiki iku isine taek. Karena "kerikil" ditempatkan dimaqamnya "emas" dan sebaliknya--- Juga karena TV-ku rusak, belum sempat beli lagi, oala wedussss.

Tapi nggak papa lah sekali-kali nyambangi TV. Kalau sudah mentok bingung nggak ada kerjaan, TV pun jadi pilihan. Lumayan, dari hasil kurang kerjaan nongkrong di depan TV, aku jadi nonton film Indonesia (bukan sinetron). Sudah lama sekali aku tidak pernah nonton film Indo (karena nggak ada donlotannya, *__*). "AADC 2" pun aku nggak nonton! Tahunya film Barat, kadang juga Korea, Jepang, India, pokoknya yang recomended, sembarang gelem.

Ternyata film "Cahaya Cinta Pesantren" boleh juga. Film yang diadopsi dari novel yang ditulis oleh Ira Madan berjudul sama. Disutradarai oleh Raymond Handaya yang non muslim. Pemeran utamanya Yuki Kato yang memerankan Marshila Silalahi. Gadis Batak yang alergi Pondok Pesantren tapi harus belajar di sana karena tidak diterima di SMAN favorit, ortunya nggak mampu menyekolahkannya di SMA swasta bla bla bla bla.

Yuki Kato bermain dengan sangat meyakinkan, adorable, mbois jaya. Bagiku film ini bolehlah kalau dibandingkan dengan film Korea atau Jepang yang recomended seperti "Welcome to Dongmakgol" (2005), "Departures" (2008), "A Girl At My Door" (2014), "Umimachi Diary" (2015), "The Handmaiden" (2016) lesbian suck!, dan banyak lagi. Itu menurutku, seleraku memang ndeso.

Kalimat kunci film tersebut oke juga : “Kalau kita mencintai segala sesuatu karena Allah, maka kita tidak akan pernah kenal yang namanya kecewa atau sakit hati."

Lha kok ngomongno film se. Oke, kembali ke soal TV lokal.

Sisi baiknya, dengan adanya serbuan TV lokal, TV nasional atau yang sudah duluan ada, mau nggak mau harus meningkatkan kualitasnya kalau tidak ingin ditinggalkan pemirsa. Seperti nasib TVRI di 90an, begitu TV swasta bermunculan, TVRI pun dilupakan. Walaupun aku kadang merindukan masa kejayaan TVRI dulu, dimana nonton serial film barat yang sebenarnya biasa saja, jadi begitu sangat excited, karena kekurangan tontonan (hiburan).

Zaman sudah berubah, teknologi memudahkan kita menjadi apa pun. Beli kamera merk top markotop, bergaya fotografer, tapi hasil jepretannya garing sring. Lha wong nggak ada bakat, adanya cuman tekad. Sudah begitu berani ngeklaim diri fotografer.

Maunya serba instan. Ngakunya karya digital painting tapi ternyata hasil manipulasi photoshop. Dan dengan pede-nya ngaku seniman. Dipikirnya kalau cap seniman itu keren, kere! Tapi hebatnya banyak klien yang tertipu. Wake up Mbul, kembalilah berpijak di bumi lagi kawan, hentikan onanimu.

Revolusi informasi melanda negeri. Apa-apa digitalisasi. Harga-harga mahal tapi terbeli. Semua orang bisa bikin TV, menyampaikan berita sendiri, walau konyol yang penting hepi, walau nggak ada bakat yang penting unjuk gigi. Kalau nggak suka tinggat pencet, mati. Ndang baliyo Sri.

Tapi no problem, mari kita lanjutkan kekonyolan ini, konyol it's not a crime dan konyol itu halal!

(C) Robbi Gandamana, 6 Juli 2017

Minggu, 02 Juli 2017

Hati-Hati dengan Reuni



Hallo everybody, body ten pundi? Sudahkah anda bereuni tahun ini? Biasanya seminggu atau lebih pasca lebaran, sekolah atau organisasi mengadakan reuni. Dari reuni PAUD, TK, SD sampai Perguruan Tinggi. Dari organisasi pecinta alam, pecinta hewan sampai pecinta sesama jenis, semua larut dalam euphoria reuni.

Semua orang pasti senang jika diajak reunian, kumpul teman lama saat masih sekolah dulu. Masalahnya,  tidak semua orang punya kesiapan mental, biaya dan waktu. Banyak halangan (atau pantangan?) yang membuat orang memilih untuk tidak memilih bereuni.

Ada yang waktunya longgar, bisa datang reunian, tapi malu karena merasa belum sukses secara materi atau  malu karena masih jomblo, benci menghadapi pertanyaan "Kapan nikah?" dan pertanyaan sejenis. Ada juga yang ingin datang tapi tidak ada biaya, karena ada kebutuhan yang lebih mendesak, karena reuni bertepatan dengan tahun ajaran baru yang membutuhkan banyak biaya.

Di samping karena waktunya yang nggak pas (reuni tidak di hari libur) dan biaya, ada juga yang terpaksa nggak datang reuni karena jarak yang terlalu jauh. Domisili di pelosok pegunungan Papua, acara reuninya di pulau Sempu. Kapan-kapan ae boss.

Jadi, kalau ada orang yang tidak datang reuni, jangan langsung dicap sombong. Buanyak kemungkinan kenapa temanmu tidak memenuhi undangan reuni. Lebih baik berprasangka baik saja.

Karena reuni adalah sarana silahturahim yang ampuh, maka harusnya dipermudah, biaya reuni ditekan seminim mungkin. Jangan dipikir bahwa teman-temanmu semakmur dirimu. Banyak dari mereka yang kere. Some born to win, some born to lose. Jangan selalu dipikir biaya seratus ribu itu sedikit. Seratus ribu-mu tidak sama dengan seratus ribu temanmu yang cuman jadi tukang sapu. Kecuali memang reuninya dibikin eksklusif, reuni khusus orang berada.

Reuni tidak harus di hotel atau di tempat yang mewah, yang membutuhkan dana besar untuk ukuran buruh pabrik tempe. Kecuali ada sponsor yang mau menanggung semua itu. Kalau sudah ada sponsor tapi masih saja dipungut biaya besar, itu mencurigakan, ada yang cari keuntungan dari acara tersebut. Kecuali ada laporan dana yang masuk dan yang dikeluarkan untuk keperluan reuni.

Walau begitu aku tetap salut pada para panitia reuni. Kok mau-maunya sibuk ngurusi segala tetek bengek keperluan reuni, ganok penggawean liyo ta Mbul. Menawarkan proposal kesana kemari ganok sing ngreken. Salut, kudoakan semoga amal ibadah para panitia reuni diterima di sisiNya, mugi-mugi jembaro kubure. Aamiin.

Terus terang aku nggak terlalu suka dengan reuni akbar sekolah atau semacamnya. Biaya dari mana, lari kemana, tidak ada laporan setelah itu. Such a business! Dipaksakan harus di tempat mewah agar terlihat mentereng dan bergengsi. Dan reuni semacam itu kebanyakan jadi ajang pamer kesuksesan. Datang dengan polesan dan topeng keindahan, wedus dipupuri, kostum artis yang siap konser dangdut koplo di THR.

Sebenarnya wajar kalau prestasi dan kesuksesan dipamerkan, itu manusiawi. Masalahnya cuman bagaimana caranya memamerkan kesuksesan dengan elegan, tidak dengan cara yang norak dan ndeso. Terus caranya? aku gak eruh! aku bukan pakar sosiologi. Minimal berlakulah sewajarnya. Aku sendiri nggak mau pamer. Bukan karena alim, tapi karena nggak ada yang dipamerkan, kere of the year!

Pamer di acara reuni kadang tidak direncanakan, tapi dilakukan dengan sadar. Bisa jadi karena ingin mensejajarkan diri dengan teman-temannya yang status sosialnya lebih tinggi atau hidupnya lebih makmur. Menunjukan diri bahwa dia sudah sukses, tidak semiskin dulu.

Kalau ikut reuni, coba rasakan aura pamer di sekitarmu. Misal ada seseorang yang sering banget ngecek gadgetnya, padahal nggak ada telpon atau pesan masuk. Bisa jadi itu pamer terselubung, memamerkan gadget canggihnya keluaran terbaru. Walau tidak selalu begitu, karena siapa tahu dia pelaku bisnis online, yang dikit-dikit harus tengok HP, atau memang tidak punya teman, satu-satunya temannya adalah HP.

Salut pada sebuah organisasi yang mengadakan reuni, halal bi halal, atau kumpul-kumpul lainnya, dilarang membawa (mengoperasikan) gadget. Sebelum masuk tempat acara, gadget dititipkan di depan. Biar yang datang lebih fokus berinteraksi satu sama lain sampai acara kelar, nggak asyik sendiri dengan gadgetnya.

Itulah kenapa aku lebih suka reuni mini, kumpul-kumpul dengan teman lama yang paling akrab. Karena itu lebih murni, sejati. Tidak berhias, tanpa hiasan dan polesan. Mereka datang tidak untuk mengekspresikan kesuksesannya. Tapi datang sebagai dirinya, seperti kata Kurt Cobain : "Come as you are". Karena memang diri kita itu nggak penting. Siapa dirimu, dimana kerjamu, jabatanmu, itu semua nggak penting, yang penting itu kelakuanmu, akhlakmu.

Jadi, reuni bisa jadi ibadah, bisa jadi malah tambah dosa. Semua tergantung pada niat masing-masing orang.  Jelas nggak asyik kalau niat datang ke reuni ingin membanggakan diri dengan pencapaian kesuksesan. Tapi iku urusanmu karo uripmu, aku gak ngurus, sing penting gak gelut.

Sori, ini cuman hipotesa awur-awuran dari seseorang yang penuh dendam karena sering tidak bisa datang reuni karena sesuatu hal di atas. Don't take it seriously, jangan percaya begitu saja tulisan ini!

Wis ah, matur nuwun.

(C) Robbi Gandamana, 3 Juli 2017