Kamis, 20 Juli 2017
Ustadz Matre dan Agama Materialisme
Wis rek, gak usah ngrasani Ustadz Tengu..eh, Ustadz Kentu..upss sori, Ustadz mbuh sopo iku! Wadoh lambeku rek. Banyak soal yang lebih asyik untuk ditulis. Daripada mbahas pakaian mana yang lebih baik, gamis atau batik. Bakalan nggak ada ujungnya.
Tulisan ini sebenarnya lebih cocok untuk diri saya sendiri, sebagai pengingat. Nggak ada maksud menggurui dan mempengaruhi. Kalau nggak suka, skip saja, anggaplah ini pendangkalan akidah, beressss.
Kuamati, ustadz yang kariernya cepat meroket sekarang ini adalah jenis ustadz yang mengiming-ngimingi umatnya cepat kaya (materi) melalui ibadah. Mengajarkan umatnya materialistis. Menjadikan agama tidak lebih dari transaksi dagang. Pasti anda tahu lah siapa ustadz yang saya maksud.
Ustadz yang mengajarkan kesejatian hidup, shalawatan, dan semacam itu, agak sulit kariernya (walau mereka juga tidak menjadikan ustadz sebagai profesi).
Karena agama utama seluruh dunia di zaman sekarang adalah materialisme. Beragama tapi dengan cara berpikir materi. Beribadah hanya ingin dapat laba. Rajin shalat Dhuha agar diterima jadi PNS, pengusaha, atau ingin kaya. Naik haji ingin tokonya laris. Sedekah ingin dapat kembalian berlipat. Ingin masuk surga pun karena kerinduan materialistis.
Dalam beragama cara berpikirnya masih jasad. Pahala dibayangkan sebagai duit, emas, akik, mobil mewah, bidadari sexy (maka nggak heran kalau berharap surga agar bisa pesta seks). Itu jenis ibadah level terendah. Menjadikan Tuhan sebagai mitra bisnis. Nggak ada imbalan, malas ibadah.
Ciri khas penganut agama dengan pola pikir materi adalah agama hanya dijadikan pelarian saat "kalah". Lari ke Tuhan hanya saat lagi miskin, susah, butuh sesuatu, mengincar laba berlipat-lipat. Setelah kaya atau pas nggak butuh, lupa agama. Ada juga yang ahistoris, buka usaha nggak bismillah, tapi saat bangkrut nangis bombay minta tolong Tuhan.
Yo wis lah, no problem, semua butuh proses. Cuman nek iso ojok suwe-suwe di level itu (tapi aku sendiri masih di level itu, ojok ngomong sopo-sopo). Karena sebenarnya itu rugi. Walau semua orang pasti melalui proses itu. Seperti anak kecil yang diiming-imingi es krim dulu agar mau berbuat baik, karena belum paham manfaat dari berbuat baik.
Kata Simbah, Ibadah itu dalam rangka bersyukur. Sedekah itu berbagi rezeki, tidak mencari rezeki. Fokuskan ibadah hanya pada (untuk) Tuhan. Nggak usah mikir laba, karena pasti dapat. Tapi jangan terlalu berharap laba itu selalu berupa materi. Lha wong dikasih hidup dan dijadikan manusia saja itu sudah karunia yang luar biasa. Maka sebenarnya nggak pantas manusia beribadah berharap laba. Tapi Tuhan senang mendengar hambaNya berdoa.
Banyak buku atau status di medsos, shalat dihubungkan dengan kesuksesan materi. Memang ada hubungannya, tapi menghubung-hubungkan shalat dengan materi itu merusak esensi shalat. Shalat itu menjaga hubungan baik (silahturahim) kita dengan Allah. Soal nanti kamu dikasih kekayaan atau nggak, itu urusan Allah. Nggak pakai shalat pun semua orang bisa kaya.
Ada seseorang yang saya kenal, shalatnya jos gandos selalu di masjid, tapi tetap jadi kuli bangunan sampai sekarang. Nasibnya tidak berubah. Mungkin Tuhan tidak memberi kekayaan materi, tapi berupa kekayaan yang lain. Misal diberi ketenangan hidup, kere tapi ayem. Nggak punya uang, tapi ada saat dibutuhkan. Dan hati yang damai itu jauh lebih kaya dari harta yang paling mewah di dunia ini.
Jadi jangan dipikir orang yang sukses dan kaya raya itu selalu karena rajin shalat atau ibadahnya bagus. Juga jangan dipikir kalau miskin itu karena kurang shalat atau jarang ibadah. Hidup itu nggak hitam putih. Mangkane ojok kakean nonton sinetron.
Dan jangan salahkan Tuhan kalau kamu rajin shalat, sering istighosah, tapi tetep awet kere. Terus mangkel karo wong cino. Soale ndelok wong cino sing nggak tau shalat, nggak pernah istighosah, tapi sugih pol, uripe makmur. Tuhan pun digugat, "Sampeyan iku ya'opo se Tuhan, jarene Rahman Rahim, aku wis istighosah ping sewidak jaran kok tetep kere ae. Gak asyik sampeyan!"
Aplikasi dari materialisme adalah kapitalisme. Dari pembekakan kapitalisme munculah industrialisme. Selanjutnya dari Industrialisasi tumbuhlah hedonisme, cara hidup yang berlebih-lebihan. Lihat orang sekarang yang nggak cukup punya satu atau dua akun medsos, semua aplikasi medsos punya akunnya. Sehingga separuh hidupnya habis untuk nulis status dan separuhnya lagi untuk membalas komennya.
Sekarang, gaya hidup hedonis ini benar-benar melanda negeri, sadar atau tidak. Rakyat Indonesia khususnya yang hidup di kota, mulai memasuki era mampu beli mobil. Hidup di kampung dengan jalan sempit, nggak punya garasi, memaksakan diri punya mobil. Akibat jaga gengsi, semua teman-temannya pada punya mobil. Oala, woles ae Sum.
Gaya hidup hedonis membuat pelakunya jadi konsumerisme. Membeli sesuatu yang sebenarnya nggak butuh-butuh amat atau nggak sesuai sikon. Sudah tahu gundul tapi beli sisir. Sudah tahu nggak ada tempat parkir kok beli mobil. Itu memperkosa fakta namanya. Dan semua kekonyolan itu muaranya karena menyikapi agama dengan pola pikir materi.
Jadi sekarang monggo, mau beragama dengan cara yang sejati atau pola pikir materi. Sakarepmu, pilih yang the best atau bedes, monggo. Semua tergantung pada hati, pikiran dan iman anda masing-masing. Tapi yang jelas iman tidak bisa distandarisasi.
Wis ah, cukup. Sori tidak menerima perdebatan. Matur nuwun.
(C) Robbi Gandamana, 20 Juli 2017
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar