Iki serius rek, ojok cengengesan ae. Iki tulisan wong ndeso khusus buat wong ndeso.
Dulu ada seseorang teman yang bilang padaku, "ojok belajar tasawuf, iso gendeng!" Belajar tasawuf kok selalu dihubung-hubungkan dengan belajar ilmu hitam. Dan lagian aku gak kuat dadi sufi (pelaku tasawuf), iman dan Islamku pas-pasan. Aku juga pecinta rokenrol dan takut mati. Tapi kalau belajar tasawuf tipis-tipis yo nggak masalah.
Seorang sufi itu harusnya waras jiwanya. Karena menyikapi segala sesuatunya dengan keluasan hati dan pikiran. Selalu berprasangka baik. Menjauhi gemerlap dunia yang penuh kepalsuan. Sedikit makan, minum, dan tidur. Begadangnya untuk ibadah, bukan nongkrong atau konser di pos ronda.
Sebutan sufi tidak selalu untuk muslim. Siapa pun yang menjaga jarak dari kesenangan duniawi itu adalah sufi. Kalau kita pakai kata 'kasta' bukan berarti Hindu atau kata 'karma' bukan berarti Budha. Tasawuf itu cuman sebuah tarekat, lelaku menyikapi kehidupan.
Kejawen adalah bentuk tasawuf yang bersifat kultural, bukan Islam, tapi nilai-nilai moral, keluhuran budi yang diterapkan secara garis besar sama dengan Islam. Di kejawen ada istilah 'Nrimo in pandum' kalau di Islam istilahnya 'qonaah'. 'Ngunduh wohing pakarti' kalau di Islam 'faman ya'mal mitsqaala dzarratin khairan yarah', dan banyak lagi yang lain. Kejawen is not religion but religiosity of Java (boso Indonesiane opo rek).
---Nrimo in pandum = menerima segala pemberian, ketentuan Tuhan, dengan ikhlas, apa adanya tanpa menuntut. Ngunduh wohing pakarti = setiap orang akan mendapatkan balasan yang setimpal atas perbuatannya. Perbuatan baik maupun buruk, sekecil apa pun pasti ada balasannya---
Orang yang mendalami tasawuf baiknya sudah paten keIslamannya. Kalau Islamnya belum tegak benar, imannya akan goyah. Ditakutkan akan terjerumus ke dalam kesyirikan. Syekh Siti Jenar dihukum oleh para Wali bukan karena sesat, tapi karena terlalu intens mengajarkan tasawuf pada orang yang masih dangkal ilmu Islamnya. Sehingga banyak dari mereka yang malah lari ke ilmu sihir. Karena ilmu kebatinan dekat dengan ilmu hitam.
Bagi seorang sufi, dunia ini kecil. Jika ada kesulitan dunia, mereka takaburi kesulitan itu. Manusia harus lebih besar dari kesulitannya, sehingga bisa sangat rileks menghadapi kesulitan. Karena dunia yang harus kita pegang atau kita mainkan. Jangan sampai dipermainkan oleh dunia.
Mereka mentalak 3 dunia, karena bagi mereka kesenangan dunia hanya menghalangi hubungannya (kekhusyuan) dengan Allah. Tapi itu sufi Arab, kalau sufi Indonesia cukup talak 1 saja. Bagaimana pun kita perlu harta dunia untuk mendukung, melancarkankan kita dalam beribadah.
Menjauhi keduniawian bukan berarti menjauhi pergaulan di masyarakat. Sufi juga manusia yang harus menghidupi hidupnya. Mereka tidak mengejar kekayaan materi, hanya melakukan sesuatunya dengan kesungguhan hati, berbuat baik pada penghuni alam semesta, menghormati hidup dan kehidupan. Dan pasti dikasih rizki, Tuhan maha tanggung jawab.
Seorang sufi menjalani hidupnya dengan ringan. Karena sebenarnya apa pun kalau dikerjakan karena Allah pasti akan terasa enteng. Taraf level keimanan seorang sufi itu tarafnya sudah level cinta. Melakukan ibadah bukan karena perintah semata, tapi karena kebutuhan. Ibadah mereka ibadah yang merdeka, artinya ibadah hanya fokus untuk Allah, bukan karena pahala, takut neraka dan berharap surga. Kalau yang dicari Tuhan otomatis mendapatkan surga.
Tuhan mengayomi hambanya. Semua perintahNya adalah kebutuhan manusia, Tuhan nggak gila hormat! Shalat, puasa atau zakat, semua bermanfaat dari segi jasmani dan rohani. Secara empiris sudah terbukti. Tuhan sama sekali tidak merepotkan hambaNya.
Karena ajaran tasawuf itu menjauhi kesombongan, merendahkan diri, maka seorang sufi tidak suka memperlihat-lihatkan status Islamnya, kealimannya, kelebihannya. Beda dengan kita yang malah berharap pengakuan dari orang lain kalau kita paham agama, orang baik, muslim taat. Kemana-mana pakai baju taqwa, busana atau aksesoris yang menunjukan diri kalau kita alim, muslim (padahal ngoleksi film bokep, ngaku saja).
Status, label, cap, jabatan, atau diri kita itu nggak penting, yang penting akhlaknya baik di masyarakat. Label itu lah yang sering membuat kita ribut. Islam dikasih label : Islam Nusantara, Islam Nusakambangan, Islam Liberal, Islam Rileks. Mending lakukan saja yang menurutmu baik, embuh iku aliran opo, nggak usah dikasih label.
Manusia awam seperti kita biasanya ingin disanjung, dinilai sebagai orang alim di depan masyarakat. Tapi sufi malah benci disanjung, dicap alim atau tahu agama. Mereka lebih senang kalau tidak dianggap alim, biasa-biasa saja. Bahkan ada sufi yang ingin orang lain mengenalnya sebagai orang tidak mungkin mengerjakan shalat. Penampilannya kumuh padahal sebenarnya dia ahli ibadah.
Mereka lebih suka dikafir-kafirkan daripada dimuslim-muslimkan. Dikafirkan lebih menenangkan hatinya daripada dianggap ahli ibadah. Mereka sendiri tidak mengkafir-kafirkan, karena merasa ibadahnya tidak lebih baik dari orang lain. Apalagi kemusliman atau kekafiran seseorang hanya Tuhan yang tahu. Tuhan yang berhak menilai. Dan istilah kafir itu buat pemahaman kita, tidak untuk dijadikan hujatan buat orang lain.
Karena low profll, merasa ilmunya dangkal, merasa kecil di hadapan Allah, mereka nggak suka dikultuskan, dijadikan idola, panutan, karena itu mengurangi totalitasnya pada Allah. Seperti kisah Abu Yazid Al Bustomi, seorang sufi yang didewa-dewakan orang banyak. Karena merasa keberhambaannya pada Allah terusik, beliau pun copot baju dan makan di siang hari pas bulan puasa di tengah keramaian. Rasakno koen.
Banyak dari kita yang bangga berjidat hitam karena jadi terlihat kalau sering shalat (sujud). Sufi sejati nggak ingin seperti itu, mereka berupaya bagaimana menyembunyikan kalau dia rajin ibadah (shalat). Biar hanya Tuhan yang tahu. Karena berbuat baik sebaiknya tidak ada orang lain yang tahu. Kalau jidatnya hitam, jadi ketahuan kalau rajin shalat (sujud).
Walau menjauhi kesenangan dunia, mereka lebih bahagia hidup di dunia daripada di surga. Bukan berarti cinta dunia dan takut mati, tapi karena di surga tidak berjuang, tidak ada gairah berkompetisi, tidak bersaing, nggak ada penelitian. Di surga isinya cuma senang-senang, semua diperbolehkan. Di surga kita bukan mahkluk sosial. Tidak ada kerja sama antar manusia. Apa pun yang diinginkan tinggal minta, tanpa perjuangan.
Seorang sufi itu hatinya sudah selesai. Ukuran hidupnya tidak laba rugi. Mereka ikhlas jika harus mengerjakan sesuatu yang bukan kerjaannya. Nggak itung-itungan. Tapi bukan berarti mental budak. Tentu saja bisa membedakan antara bekerja dan dikerjain. Itu semua dilakukan dalam rangka mengalah, dan mengalah ada batasnya.
Apakah ajaran sufi sesat? Jawabannya tergantung pada pikiran dan hati masing-masing orang. Dan tidak perlu men-sesat-sesat-kan, menengo. Ambil saja manfaatnya, yang membuatmu lebih baik jadi manusia. Lebih baik kamu pelajari (atau tidak) daripada ribut padahal nggak paham-paham amat ilmunya.
Di zaman modern ini juga ada sufi. Kebanyakan dari mereka tidak dikenal, karena menjauhi eksistensi dan popularitas. Ada juga yang karena alasan dakwah, harus muncul di publik. Tapi tampil di publik bukan karena eksistensi dan popularitas. Juga tidak bertujuan mengejar materi. Kalau mereka kaya itu karena amalan, kesungguhannya dalam melakukan perbuatan baik melayani umat, akhirnya terpaksa kaya.
Jadi, apakah mempelajari tasawuf membuat orang jadi gila? Yo nggak lah. Semua tergantung pada niat masing-masing orang. Kadang memang sufi itu mirip orang gila. Sukanya menyendiri dan gayanya ndeso tidak seperti orang kebanyakan. Tapi itu nggak penting, karena mereka nggak perduli dengan penilaian manusia, satu-satunya audience-nya adalah Tuhan.
Kalau memang sufi itu ndeso, terus koen kate lapo? Ndeso atau tidak ndeso, itu wilayah manusia. Tuhan nggak ngurusi ndesomu. Tuhan menilai kesungguhanmu mencintaiNya.
Wis ah, aku nulis ini karena nggak ada kerjaan. Kalau mau tahu lebih banyak soal tasawuf tanyakan mbah Google atau cari buku soal itu (golek enake tok ae koen iku, aku kesel nulise). Tapi tulisan soal tasawuf kebanyakan ditulis dengan gaya khas anak lulusan kampus Islam atau pondok pesantren, banyak istilah Arabnya. Mumet ndase! Jarang yang ditulis dengan bahasa koboi.
Yang aku tulis ini cuman seujung kaku dari khazanah tasawuf yang ada. Makanya jangan dicopypaste, karena belum tentu yang aku tulis ini benar, bisa jadi malah menyesatkan!
(C) Robbi Gandamana, 8 Juli 2017
Tidak ada komentar:
Posting Komentar