Senin, 24 Juli 2017

Cak Nun sang Pawang Bangsa



Suatu kali Cak Nun bilang, "Setiap orang harus bunuh diri!" O_O. Orang yang tidak paham bahasa sastra tentu bingung jaya, "Maksude opo Ndes!?" Ternyata maksudnya, setiap orang harus membunuh dirinya yang sekarang untuk menjadi dirinya yang baru. Seperti bayi yang baru lahir. Jadi bukan bunuh diri dalam arti yang sesungguhnya. Itu konsep ruwatan dalam budaya Jawa.

Itu lah Cak Nun, petuahnya selalu membuat orang takjub, koyok dikampleng mubeng tapi nggak iso mbales. Dua kali saja mengikuti pengajiannya, kamu bakalan merasa nggak masuk akal dengan hidupmu. Karena akalnya tinggi, di atas rata-rata layaknya orang kebanyakan.

Maka rugi besar kalau ada yang benci atau menjauhi Cak Nun hanya karena tokoh idolanya atau Ormas-nya diolok-olok Cak Nun. Karena dia sebenarnya kehilangan kesempatan mendapatkan ilmu yang tidak pernah didapatkan di guru-guru konvensional. Membesar-besarkan secuil kesalahan, tapi melupakan sebongkah kebenaran ilmu yang dahsyat. What a stupid!

Cak Nun punya pengalaman dan pergaulan yang sangat luas. Maka nggak heran kalau beliau di terima oleh semua kalangan. Apalagi Cak Nun bukan orang pemerintah, bukan dari kelompok atau Ormas tertentu, bukan dari Partai manapun. Bukan NU, Muhammadiyah, JIL, apalagi HTI.

Nggak heran kalau Cak Nun sering diminta untuk mendamaikan kelompok yang bertikai. Tanpa mediasi yang ruwet, semua kelompok yang bertikai pun akur. Pejabat dan aparat pemerintah, petinggi Parpol, pemimpin Ormas, semua datang ke Cak Nun minta petuah. Karena beliau dianggap sesepuh oleh bangsa ini, tidak hanya di kalangan jamaahnya.

Kabarnya pendukung Anies dan pendukung Ahok minta Cak Nun untuk dirukunkan kembali lewat "pernikahan kebangsaan", melupakan permusuhan Pilkada, bersama-sama kembali membangun Jakarta. Apakah sudah terlaksana? Kurang tahu mas, saya orang baru.

Jangankan merukunkan manusia, jin pun segan sama Cak Nun. Iki serius Ndes. Tiap kali ada orang kesurupan, Cak Nun dan orang dekatnya diminta untuk mengusir jinnya. Tiap kali dengar nama Cak Nun, jin yang merasuki langsung pergi dengan mengeluh meminjam suara orang yang kesurupan, "Wadoh, Cak Nun maneh..yo wis aku lungo. Aku wedi karo Cak Nun."

Saya tidak pernah tahu, Cak Nun ini manusia jenis apa, menjalankan lelaku apa. Sehingga beliau punya wibawa yang luar biasa. Cak Nun sering dianggap Paranormal karena punya sidik paningal (pandangan yang jernih pada kehidupan). Bagiku beliau adalah seorang Sufi. Yang jelas beliau jadi sekarang ini karena lelaku tirakat yang luar biasa sejak kecil.

Di zaman Orba, Cak Nun sering kucing-kucingan dengan aparat karena menabrak aturan yang kolot saat itu. Walau sering menentang Orba, Cak Nun malah dijadikan guru ngajinya Soeharto. Aneh bin ajaib. Lebih aneh lagi Cak Nun ikut pula melengserkan Soeharto. Tapi bangsa Indonesia tidak tahu andil Cak Nun dalam memperjuangkan reformasi, tahunya cuman Amien Rais.

Pernah hidup menggelandang berbulan-bulan di Belanda, karena nggak ada ongkos pulang. Hidup di rumah kosong tanpa pemanas ruangan di musim dingin, seperti hidup di dalam freezer. Ketika ditangkap dan ditolak ijin tinggal di Utrecht, Cak Nun malah misuhi aparatnya sembari nggebrak meja, "Mbahmu mbiyen ngrampok mbahku! Aku mrene nggawe duwik-duwiku dewe...ancene Mbokneancok!" Ajaibnya, saat itu juga Cak Nun langsung dibebaskan.

Di zaman Gus Dur Cak Nun pernah disantet yang membuatnya divonis dokter umurnya tinggal 3 bulan. Badanya kurus kering kayak junkies. Tapi nyatanya Cak Nun masih hidup dan segar bugar sampai sekarang. Cak Nun memaafkan, tidak dendam pada orang yang menyantetnya. Bahkan jangan sampai pelakunya tahu kalau Cak Nun tahu dia pelakunya.

Cak Nun mengajarkan ilmu kehidupan dengan bahasa  rakyat yang familier oleh telinga awam. Jangan kaget kalau mendengar kata "jancok", "taek", "asu". Itu semua dalam rangka kemesraan dengan umatnya, dan kemesraan itu di atas moral. Tentu ada sikon yang membuat beliau tidak menggunakan kata "kasar" tadi, misal ada banyak anak kecil di event tersebut.

Kalau orang yang belum kenal Cak Nun, pasti mensesat-sesatkan. Padahal itu cuman style, metode Cak Nun memposisikan diri sejajar dengan rakyat yang paling jelata. Dan juga tiap orang diberikan keunikan yang berbeda dengan manusia lainnya. Dan itu lah keunikan Cak Nun. Daripada pusing, ambil saja yang bermanfaat, buang jauh yang nggak cocok denganmu.

Menurut Cak Nun, zaman sekarang harusnya ada re-edukasi, mencari ilmu yang benar di masjid-masjid. Jadi, bukan cuman doktrin atau menaku-nakuti umat. Sekarang kebanyakan ulama atau ustadz punya doktrin dan punya kepentingan untuk punya umat. Yang nantinya dimanfaatkan, digerakan, dimobilisasi, untuk suatu kepentingan suatu kelompok.

Cak Nun tidak pernah memanfaatkan jamaahnya untuk kepentingan pribadi. Seperti katanya, "Awas kalau kamu Cak Nun Mania, tak tonyo ndasmu! Saya bukan Kyai, aku temanmu, sahabatmu, aku cinta padamu kamu cinta padaku, tidak ada feodalisme, tidak ada kultus individu, saya tidak punya anak buah. Saya tidak mau bertanggung jawab atas kelakuanmu. Saya datang ke sini tidak untuk minta dihormati, saya ke sini untuk mengajak anda menghormati Allah dan Rasulullah."

"Saya tidak ngomong syar'i, saya ini ngomong budaya. Yang penting anda terurai, pikirannya bebas, adrenalin anda tumbuh, keringat anda mengucur, sehingga semua akan sehat, sel-sel anda menguat, pikiranmu cerdas, kepada istri makin sayang, kepada anak-anak kamu semakin bisa mendidik. Itu yang nomer satu. Bukan menakut-nakuti begini begitu. Yang terpenting hatimu dekat dengan Allah." Kata Cak Nun di lain waktu.

Walau nggak ingin disebut Ulama atau Kyai. Tapi bagiku hakikat Cak Nun adalah seorang ulama yang dibungkus dengan budayawan, seniman, atau penyair.

Cak Nun mewanti-wanti agar omongannya jangan dianggap kebenaran. Karena semua omongan ulama, kyai, ustadz itu bukan kebenaran, tapi tafsir. Yang pasti benar itu Al Qur'an, Allah. Semua aliran, sekte, madzhab itu nggak ada yang betul-betul benar. Mereka sama-sama mencari Islamnya Rasulullah. Dan pengajian itu bukan mengajari, tapi mencari derajat yang lebih tinggi di hadapan Allah.

Orang awam tidak bisa menafsirkan Al Qur'an. Bahkan Kyai atau Ulama pun nggak semua bisa. Hanya ahli tafsir yang bisa menafsirkan Al qur'an. Bisa kita cuman Taddabur, mencari manfaat dari pergaulan kita dengan Al Qur'an. Kalau kita beli motor, kita nggak perlu tahu siapa yang membuat motor tersebut, pabriknya dimana, yang penting kita tahu manfaat dari motor tersebut.

Jadi begitulah Cak Nun, sang Pawang Bangsa sekaligus Guru Rakyat. Nggak hanya buat muslim, penganut agama lain juga senang mendengar khotbahnya yang adem, membuka pori-pori kecerdasan. Tidak mengajak benci kepada siapa atau apa pun. Setan pun jangan dibenci, karena setan sengaja diciptakan untuk menjadi sparing partner-nya manusia dalam melatih iman. Setan nggak punya piihan, pilihannya cuman berbuat buruk. Cacingan dech loe.

Wis ah, Iki serius rek. Percoyo karepmu, gak percoyo urusanmu.

(C) Robbi Gandamana, 25 Juli 2017

Tidak ada komentar:

Posting Komentar